Anda di halaman 1dari 258

Cerita Si Umbut

Muda

CERITA
SI UMBUT MUDA
Di Indonesiakan oleh

Tulis Sutan Sati

Cetakan Keempat
P.N. BALAI PUSTAKA

Jakarta 1969

Penerbit:
P.N. Balai Pustaka

Percetakan:
Balai Pustaka

B.P. No. 897

Hak Pengarang dilindungi oleh Undang-


undang

ISI

1. Iman
. . .Berguncang
.............. 7
2. Meniman
. . .g. . . . . . . . 20

3. Dihinakan
.......... 29

4. Tanda Kasih Akan


. . .Anak
................... 38

5. Dirayu Talang
. . Perindu
.................. 45

6. Dimabuk
. .Umbut
............. 55

7. Tiada diberi
. .Harap
............... 67

8. Makan Hati Berulam


. .Jantung
....................... 81
9. Yang Hilang Sudah
. .Kembali
....................... 87

10. Berhelat
. .Kawin
. . . . . . . . . . . . 100

11. .Penutup
. . . . . . . . 113

1. IMAN BERGUNCANG

Gila sipasin gila,


digila sitawang-tawang.
Gila si malim gila,
digila lapik sembahyang.

Berkata ibu si Umbut:

„O buyung si Umbut Muda,


jadi apatah engkau hendaknya;
jadi penghululah engkau nan elok."

Menjawab si Umbut Muda:

„Bukan mudah orang jadi penghulu,


orang penghulu orang cerdik
tahu diadat dan pusaka
tahu menimbang sama berat
tahu mengagak mengagihkan;
katanya kata berlipat
nan alah dimenangkannya
nan menang dialahkan-nya."

Bertanya pula ibu si Umbut Muda:

„Jadi apatah engkau hendaknya


jadi dubalanglah engkau."

Menjawab si Umbut Muda:


„O ibu, ujarku ibu,
bukan mudah orang jadi dubalang
orang dubalang kuat kebal
tegaknya di pintu mati;
nan keras akan ditakiknya
nan lunak akan disudunya
nan jauh akan dijemputnya
nan tinggi akan dijoloknya
nan bungkuk hendak diluruskannya."

„Jadi apatah engkau hendaknya?


Jadi pegawailah jika tidak?"

katanya ibu si Umbut.

Menjawab si Umbut Muda:

„Bukan mudah orang jadi pegawai*)1


pegawai cepat kaki ringan tangan
lebihkan jaga dari tidur
jika malam berselimut embun
kalau siang berpayung awan
berjalan tak berkaki penat
kalau kelam hari bersuluh
jika hujan hari bertudung
perintah sampaikan juga
kalau tidak tinggal diawak."

„Jadi apatah engkau hendaknya?


Jadi juaralah, kalau tidak
tegak di lingkung orang banyak?"

kata ibu si Umbut.

Menjawab si Umbut Muda:

„O ibu, ujarku ibu,


bukan mudah orang jadi juara
juara orang tahu dituah ayam
tahu membulang dan menimbang."

„Pergi mengaji engkau, kalau tidak!


Jadi orang a'lim dan utama."

Menjawab si Umbut Muda:

„Itulah nan di hati hamba benar,


pucuk dicinta ulam tiba
bagai bunyi pantun orang:

Ibu perberas-beras,
terletak dalam belanga.
Ibu perderas-deras,
jangan dinanti lama-lama.

Ibu, isikanlah bekal hamba


hamba hendak pergi mengaji
hamba akan pergi berdagang
sekarang jua hamba berjalan."

Kononlah ibu si Umbut — mendengar


kata anak kandung — lekas-lekas ia
berkemas — diisikan beras dibuntil —
diberi emas setahil — akan bekal si
Umbut mengaji. Menyembah si Umbut
Muda — minta ampun kepada ibunya —
lalu berjalan ia sekali. Ke mana-lah ia
akan berjalan — ialah ke Tach
Simalanggang — sampai keranah
Kampung Aur; mengaji ia di sana — di
surau Tuanku Panjang Janggut.

Sudah setahun dia mengaji — telah dua


tahun dia di sana — terkenang olehnya
hendak berjalan — terkira olehnya hendak
pindah — pergi mengaji ke tempat lain.

Minta izin ia kepada gurunya. Berkata si


Umbut Muda:

„O guru, ujarku guru


beri ma'af hamba oleh guru
beri ampun hamba banyak-banyak,
lepaslah hamba dahulu
hamba hendak berjalan jauh!”

Menjawab guru si Umbut:

„Kalau itu yang kaukatakan


iba benar rasa hatiku
rusuh benar kira-kiraku;
sebab karena engkau ini tidak
kusangka murid lagi
tidak sebagai anak sasian*2
sudah seperti kemanakan kandung
telah kusangka anak sendiri.
Mengapa buyung akan berjalan
mengapa engkau akan berdagang?”

Menjawab si Umbut Muda:

„Jika itu guru katakan


benar jua itu guru.
Maka hamba hendak berjalan
maka hamba hendak berdagang
tak sunyi hati di sini
tak sunyi kira-kira hamba
karena mengaji hampir kampung
sebab berdagang dekat negeri.”

Berkata guru si Umbut:


„Kupatah tidak terpatah,
kutebas jua nan jadi"
Kutegah tidak tertegah,
kulepas juga nan jadi.

Kulepas dengan hati suci


kulepas dengan muka jernih.
Inilah emas setahil
inilah beras sebuntil
akan bekal engkau di jalan.”

Sesudah cukup semua — berjabat salam


si Umbut — diunjamkan lutut nan dua —
ditekurkan kepala nan satu — minta
ma'af kepada ibu — lalu berjalan dari
sana. Sudah serentang perjalanan —
cukup ketiga rentang panjang — makin
dekat makin hampir — hampir ia akan
tiba — tiba di surau tuanku imam —
bergelar Tuanku Imam Muda; alim nan
tidak alim amat begitulah hanya 'alimnya.
Konon tafsir dengan fakihi — ialah mantik
dengan ma'ani — ganti sahadat pulang
mandi; Kurän yang tiga puluh juz — dapat
menyimak-nyimakkan saja.

Lah mengaji si Umbut di sana —


banyaklah kitab yang terkaji — banyaklah
surat yang dibaca — banyak lagu yang
telah dapat — hatinya terang bagai suluh
— kajinya lancar air hilir. Lorong kepada
suaranya — nyaring ada serakpun ada —
seraknya serak-serak manis. Lamun
berlagu si Umbut Muda — orang berjalan
jadi berhenti — burung terbang jadi
hinggap — air hilir tertegun-tegun —
karena elok lagu si Umbut.

Setelah beberapa lamanya — habis hari


berbilang pekan — habis pekan berbilang
bulan — habis bulan berbilang tahun —
cukuplah tiga tahun pepat si Umbut
mengaji sana — terkenang olehnya akan
pulang — hendak kembali ke
kampungnya — ialah ke rumah Kampung
Teberau.

Minta izin ia kepada gurunya — setelah


izin didapat — lalu berjalan ia sekali.
Sudah serentang perjalanan – telah dua
rentang perjalanan — cukup tiga rentang
panjang — dekat hampir akan tiba —
tibalah ia di rumah ibunya.

Sudah sehari ia di rumah, datanglah


orang memanggil — suruhan gurunya
yang dahulu — yang bergelar Tuanku
Panjang Janggut — ke ranah ke Kampung
Aur; gurunya akan berhelat gedang — si
Umbut diminta datang — tetapi dia tidak
di rumah. 'Lah sebentar antaranya — 'lah
pulang si Umbut Muda; lalu berkatalah
ibunya;

„Ke mana buyung sejak tadi?


Orang datang memanggil engkau
memanggil ke rumah gurumu
gurumu berhelat gedang.
Kini jua engkau pergi
kini jua buyung berjalan!”

Menjawab si Umbut Muda:

„Jika begitu kata ibu


insya Allah baiklah itu!
Hamba berjalan malam kini
ke ranah ke Kampung Aur;
ibu ambilkanlah pakaian hamba
ibu ambilkanlah kain hamba.”

Bersegera ibu si Umbut — lału masuk ke


bilik dalam; dibuka peti yang besar —
mendencing bunyi kuncinya — bunyi
menyusur awan biru; diambil pakaian si
Umbut — lalu diberikan sekali.

Sesudah memakai si Umbut Muda — lalu


ditakah*)3 perjalanan — dibawakan
langkah lima — surut ke langkah nan
empat — lalu tegak berdiri betul;
dipandang-pandang cermin gedang —
ditilik bayang-bayang badan; tegak ke
tengah bermenung — tegak ke tepi
menegun; diputar cincin di kiri — dipaling
cincin nan kanan.

Berkata si Umbut Muda:

„Ibu, ujarnya ibu!


pandang benarlah oleh ibu
lihat benarlah oleh bunda
bagaimana hamba memakai
adakah elok dan tampan?”

Menjawab ibu si Umbut:

„Kalau itu yang kau tanyakan


takkan salah lagi rupanya;
hanya karena pakaian hitam
tumbuh cela di mata orang:
gagak terbang, kata orang.”

Mendengar kata demikian — diganti pula


pakaian — dipakai segala putih.

Berkata si Umbut Muda:

„Pandang benarlah bunda


tampani benar sungguh-sungguh;
adakah tampan di mata bunda?”

Menjawab ibu si Umbut:

„Jika itu engkau tanyakan


tak mungkir lagi rasanya;
hanya karena segala putih
sedikit pula salahnya:
bangau terbang, kata orang."

Mendengar kata demikian — dibuka pula


pakaian itu — dilulus kain di badan —
dipakai segala merah.

Setelah si Umbut memakai, bertanya


pula pada bunda:

„Pandang benarlah bunda


lihat benar nyata-nyata
bagaimanakah hamba memakai?"

Menjawab ibu si Umbut:

„Jika itu engkau tanyakan


kalau bagus memanglah bagus
hanyalah karena segala merah
sebuah pula salahnya:
Simpai dirimba, kata orang."

Sudah mabuk hati si Umbut — sudah


rusuh kira-kiranya — mendengar jawab
ibunya — tidak 'kan jadi berjalan — hari
bertambah tinggi jua.

Berkata si Umbut Muda:

„O ibu, bertanya hamba kepada ibu,


apakah pakaian nan baik
bagaimana hendaknya nan 'kan elok?
Cobalah ibu katakan
coba tunjukkan oleh ibu!"

Berkata ibu si Umbut:

„Jika itu nan engkau tanyakan


pakailah segala sehelai!"

Sesudah ibunya berkata — 'lah memakai


si Umbut Muda — berdestar pelangi Aceh
— bukan pelangi orang kini — pelangi
orang dahulunya; berbaju beledu mana
dahulunya — tidaklah lusuh karena
dipakai; berkain Palembang Aceh —
tidaklah lusuh karena dipakai; berkain
Palembang Aceh — bukan Palembang
kini — Palembang masa nenek moyang —
sudah lama turun-temurun — berpantang
cabik dipakai — sampai hancur elok jua
yang ditenun orang berparuh — yang
dipegas orang beringsang — berulas
lidah air — memutus ke lidah api. Sudah
dikenakan segala satu — berdestar belah
kacang — berkain upih 'kan jatuh — sudut
menikam empu kaki.

Berkata si Umbut Muda:

„O ibu, ujarku ibu!


pandang benarlah oleh ibu
tampani benar oleh bunda
bagaimanakah rupa tampannya?”

Menjawab ibu si Umbut:

„Jika itu nan engkau tanyakan


tidak bercela bercacat lagi
sudah kena rupa tampannya;
buyung berjalanlah kini
kendarai kuda nan belang
kenakan alat pelananya!”
Kononlah kuda nan belang — bulu
sebagai 'aina'lbanat — bulu tengkuk awan
tergantung — ekornya serasah terjun —
kaki nan rajah*)4 keempatnya: pelana
emas bertempa — kekangnya perak
berhela — sanggurnya dari suasa.
Berjalan si Umbut Muda — dinaiki kuda
yang belang — berjalan mendoncang-
doncang**)5 — sudah dicencang
guratihkan — telah mendua-dua lunak —
genta besar imbau-mengimbau — genta
kecil panggil-memanggil — pada lalu
surut nan lebih terpijak semut tidak mati
— batang terlanda berbujuran — alu
tersandung patah tiga.
Dekat hampir akan tiba — tiba ia tengah
halaman; merentak kuda si Umbut —
merentak meringkik panjang. Terkejut
guru si Umbut — tercengang orang nan
banyak — tegak berdiri semuanya —
meninjau ke pintu gedang — tampaklah
si Umbut datang.

Berkata guru si Umbut:

„O buyung si Umbut Muda!


Cempedak tengah halaman,
dijolok dengan empu kaki.
Jangan yama tegak di halaman,
itu cibuk,***)6 basuhlah kaki.”

Naik si Umbut Muda — serta naik dia


menyembah — menyembah kepada
gurunya:

„Dari Dusun ke Situjuh,


seraut perambah paku,
paku digulai akan pembuka.
Di dusun jari yang sepuluh,
ditangkupkan kepala nan satu,
diunjamkan lutut nan dua.”

Berkata guru si Umbut:

„Sebanyak inilah orang


helat sudah sepenuh rumah
yang jauh orang 'lah datang
yang dekat orang 'lah tiba
engkau saja yang tak tampak
engkau saja nan belum ke mari.
Apa jua nan dicari
apa jua nan dituntut?
Coba katakan pada hamba!”

Menjawab si Umbut Muda:

„Jika itu guru tanyakan


bukan hamba pergi mengaji
tapi menuntut lagu Mesir;
sebab itu hamba lambat datang
mengunjungi guru ke mari.”

Berkata guru si Umbut:

„O buyung si Umbut Muda


ketika engkau belum datang
sebelum engkau datang ke mari
banyaklah surat nan dibaca
banyaklah kitab nan dikaji
banyaklah lagu nan didengarkan:
cobakan pula lagu engkau
nan dituntut ke negeri orang!”

Mendengar kata demikian — dibakar


kemenyan putih — asap menjulang ke
atas langit — harum setahun pelayaran.
Mengaji si Umbut Muda — mengaji
berlagu Mesir. Baru sebentar dia mengaji
— dua bentar dia melagu — jangan orang
'kan berbunyi — lantai berdetikpun tidak.
Mw'allim yang sebanyak itu — tuanku
yang beratus-ratus — habis ternganga
semuanya — karena bunyi lagu si Umbut.
Tiga bentar dia melagu ― turunlah puteri
nan bertujuh ― puteri bertujuh
berdensanak ― kemanakan oleh gurunya
― elok nan bukan alang palang ― indah
bak anak-anakan emas ― mahallah
raja'kan jodohnya ― sukarlah sutan 'kan
tandingnya.

page=14

Kononlah tentang rupanya: muka bak


bulan empat belas ― keningnya kiliran
taji ― hidungnya pancung telutuk ―
telinga jerat tertahan ― bibirnya limau
seulas ― kerat kuku bulan 'kan habis ―
keratannya bintang tertabur ― empu kaki
bungkal setahil ― ibu jari bungkal
sepada. Dipilih dalam dipilih ― dipilih
dalam yang tujuh ― si bungsu elok sekali
― bernama Puteri Gelang Banyak ―
semarak rumah nan gedang ― limpa
berkurung bunda kandung ― jantung hati
oleh bapaknya ― permainan orang
sekampungnya; duduk ia di kanan si
Umbut.

Berkata Puteri Gelang Banyak:

„O tuan, tuan Umbut Muda


banyaklah orang nan mengaji
banyak orang nan melagu
tuanku ada mu'allimpun ada
pakih tidak terbilang puluh
satupun tidak hamba dengarkan
seorangpun tidak hamba acuhkan.
Terdengar lagu tuan Umbut
beruras *)7 rasa jantung hamba
terbuka kira-kira hamba
'lah terang pemandangan hamba
sebab itu hambapun turun
karena itu hamba ke mari.
O tuan, tuan Umbut Muda
dengarlah pantun hamba ini:

Dulanglah sedulang lagi,


pendulang emas pelangki.
Ulanglah seulang lagi,
ulanglah lagu yang tadi.

supaya kami dengarkan benar


kami perhatikan sungguh-sungguh!"

Menjawab si Umbut Muda:


„Malah dibuluhkan jua,
capa di pematang tebat.
Malah disuruhkan jua,
disebut malah yang dapat.

Entah sepat entah belanak,


rama-rama di dalam kabut.
Entah dapat entah tidak,
lamalah kaji tak bersebut."

Mengaji si Umbut Muda ― diulang


seulang lagi, dibawakan lagu yang tadi.
Jangankan lagu akan dapat ― jangankan
kaji akan terbaca ― mata surat haram tak
nampak.
Kalit-kalit dari Melaka.
hinggap di pasar Payakumbuh.
Terkelik iman nan celaka,
kepada puteri nan bertujuh.

Tertawa puteri nan bertujuh ― 'lah rintang


garis menggaris ― 'lah asik berbisik-bisik
― kecimus 8 berapi-api ― gelak'lah
berderai-derai; berkata Puteri Gelang
Banyak:

'Lah terbalik tepi kain,


'lah hilang penggiliannya. **) 9
'Lah terbalik hati malim,
'lah hilang pengajiannya.
Gila sipasin gila,
digila si tawang-tawang.
Gila si malim gila,
digila lapik sembahyang.

Berburu ke Padang Datar,


kenalah rusa belang kaki,
berlimau purutlah dahulu.

Berguru kepalang ajar,


bak bunga kembang tak jadi,
berbalik surutlah dahulu!"

Tumbuh malu si Umbut Muda — peluh'lah


menganak sungai — mengalir ke tulang
punggung; mukanya merah-merah
padam — napas sudah besar kecil.

Berkata si Umbut Muda — berkata


kepada gurunya:

„O guru, ujarku, guru,


ma'af jua hamba minta
ampun jua hamba ini
ampunilah banyak-banyak
berbalik pulang hamba dulu
tak guna hamba di sini:

Tak alu sebesar ini,


Alu tertumbuk di tebing,
kalau tertumbuk di pandan,
boleh ditanami tebu.
Tak malu sebesar ini,
malu tertumbuk di kening,
kalau tertumbuk di badan,
boleh ditutup dengan baju."

Berkemas si Umbut Muda — bersiap


hendak berjalan — turunlah ia ke janjang.

Berkata guru si Umbut:

„Buyung, tunggulah agak sebentar


nanti dulu seketika
tunggulah helat sampai habis
makan minum malah dahulu!"

Menjawab si Umbut Muda:

„Beri ma'af hamba banyak-banyak


beri ampun sekali ini
jangan guru berkecil hati
hamba akan pergi jua."

Berkata guru si Umbut:

„Kutebang tidak tertebang,


bagai menebang batang
sampir,
kutetas jua nan jadi.
Kularang tidak terlarang,
bagi melarang air hilir,
kulepas jua nan jadi."
2. MEMINANG

Esa tali dua pijakkan,


jala putus bawa berenang.
Esa jadi, dua tidakkan,
Kata putus badan 'nak senang.

Berjalan si Umbut Muda — dinaiki kuda


nan belang — dipacu berbalik pulang —
sudah mendua-dua katak; dekat semakin
hampir — hampir dekat 'kan tiba —
tibalah ia tengah halaman; dipautkannya
kuda sekali — lalu naik keatas rumah.
Tegak ketengah bermenung — tegak
ketepi menegun — penglihatan 'lah
berapi-api — pemandangan'lah kelam-
kabut; terus ia rebah sekali — tidur
menangkup kebantal — menangkup
sambil menangis — menangis
mengesak-esak. Air mata berderai-derai
— jatuh dua, jatuh tiga — bagai intan
putus pengarang — bagai manik putus
talinya — bagai bonai*) 10 direntak
pagam**). 11 Baru sebentar ia tidur —
dihampir oleh ibunya; dilihat si Umbut
menangis — mata bengkak mukanya
muram — bertanya ibu si Umbut:

„Buyung! apa engkau rusuhkan — apakah


nan engkau tangiskan — mengajikah
dialahkan orang — dunia orangkah nan
tak terlawan?"
Menjawab si Umbut Muda: „Bukan
hamba alah mengaji — bukan hamba
alah berdunia*)12 — bukan hamba alah
memakai.

Kalit-kalit dari Melaka,


hinggap dipasar Payakumbuh.
Terkelik iman nan celaka,
kepada puteri nan bertujuh.

O ibu, ujarku ibu-jika ibu kasihkan hamba


— kalau ibu sayang kan hamba-pergilah
ibu hamba suruh — pergilah ibu hamba
seraya — ibu isi uncang ibu — tiap sudut
tiap hikmat — tiap liku tiap pekasih —
talinya sipalit gila**).13 Ibu pergilah
kesana — keranah ke Kampung Aur —
kerumah puteri nan bertujuh — kerumah
Puteri Gelang Banyak — Ibu tanyakan
benar-benar — ibu berunding elok-elok;

Esa tali dua tijakkan,


jala putus bawa berenang.
Esa jadi, dua tidakkan,
kata putus badan 'nak senang.

Berbuah kacang dibandar,


Buahnya nasi-nasian
Suruh katakan kata nan benar,
jangan kita nati-nantian.
Katakan begitu oleh ibu-kepada puteri
Gelang Banyak!"

Berkemas ibu si Umbut — dikunyah sirih


sekapur — dicari ketika nan elok — diisi-
uncang lengkap-lengkap — lalu tarun dua
sekali. 'Lah serentang dua rentang —
dekat semakin 'kan hampir — hampir
dekat 'kan tiba — tibalah ia tengah
halaman — dihalaman rumah si Gelang.
Mengimbau ibu si Umbut: „O upik, Puteri
Gelang Banyak — adakah engkau
dirumah kini — menjenguk agak
sebentar!"

Berkata ibu si Gelang: „O upik Puteri


Gelang Banyak.
Upik tingkatlah bengkudu,
upik panjatlah embacang.
Upik lihatlah kepintu,
siapakah orang nan datang?"

'Lah ditingkatnya bengkudu,


'lah dipanjatnya embacang.
'Lah dilihatnya kepintu,
ibu si Umbut nan datang.

Terliuk pinggang yang lemah — terdorong


*)14 bahu yang kembang — merentak
subang dibahu — mengilat cincin dijari —
terurai — rambut nan panjang — berjela —
jela dilapik — berbelit — belit dipinggang
— berkebut-kebat ditumit. Gemilang
panau didada — panau nan empat
bersaudara — bernama belaka
keempatnya: dipunggung si pikau
terbang — didada si puyuh laga —
dikening panau meninjau — dilengan
panau asli. Keningnya kiliran taji,
hidungnya pancung terlutuk telinga jerat
tertahan — bibirnya limau seulas — kerat
kuku bulan'kan habis — keratannya
bintang tertabur; lehernya bertingkat
empat — setingkat ditutup baju —
setingkat diimpit rambut — setingkat
aliran peluh — setingkat aluran dokoh.

„O ibu tuan Umbut Muda!", katanya si


Gelang Banyak

„Cempedak tengah halaman,


dijolok dengan empu kaki.
Jangan lama tegak dihalaman,
itu cibuk, basuhlah kaki.

ibu naiklah dahulu."

'Lah naik ibu si Umbut — 'lah sebentar


tengah rumah — 'lah dua bentar tengah
rumah — duduk bersirih-sirihan — makan
sirih sekapur seorang: habis manis sepah
terbuang — kelanca tinggal dirangkungan
— rasa'lah habis tertelan — sari 'lah
keubun-ubun. Sedang elok pertuturan —
sedang longgar perkabaran — sedang
terbit kira-kira — sedang dapat agak-agak
— lalu diangsur perundingan — dimulai
malah pertututan, berkata ibu si Umbut: „
O, kakak ibu si Gelang!
Bukan orang Kinari saja,
Kinari anak 'rang Talang.
Bukan hamba kemari saja,
gedang maksud nan dijelang.

Ikan terkilat, jala tercampak,


jala terendam masuk lubuk,
payah badan bergendang saja.

Niat besar terkatakan tidak,


bagai buah tangisan beruk,
payah oleh memandang saja."

Berkata ibu si Gelang:


„Ada malah ikan terkilat,
mengapatah tidak dijalakan.
Ada malah kakak berniat,
mengapatah tidak dikatakan

Menjawab ibu si Umbut:

„Maka tidak terjalakan,


tindih bertindih kaki dulang.
Maka tidak terkatakan,
kakak pemilih kata orang!"

Dengarkan sebuah lagi!

„Lalang di Kota Panjang,


dipintal dikebat empat.
Dirantang runding akan panjang,
elok dipintal supaya singkat.

Benar disini surat nahu,


kalam tersisip atas kasau.
Benar disini burung mau,
hati berahi hendak mencekau."

Berkata ibu si Gelang:

„Beringin diatas gunung,


uratnya berkelok-kelok.
Kalau ingin kakak di burung,
carilah getah nan elok.

Uratnya berkelok-kelok,
lalu ke si Kuran-kuran.
Kalau dapat getah nan elok,
unggas 'lah sudah ketahuan."
Menjawab ibu si Umbut:

„Lalu ke si Kuran-kuran,
berjalan menempuh semak.
Unggas 'lah sudah ketahuan,
nanti kurancungkan demak."

Berkata ibu si Gelang:

„Berjanlan menempuh semak,


dipancung kaki cendawan.
Tidak telap dirancungkan damak.
terbangnya menyisi awan.”

Menjawab ibu si Umbut:

„Dipancung kaki cendawan,


beliung diatas atap.
Terbang jika menyisi awan,
nanti kesuluh dengan asap.”

Berkata ibu si Gelang:

„Beliung diatas atap,


kayu rukam hulu seraut.
Kalau 'kak suluh dengan asap,
unggas membenam masuk laut.”

Menjawab ibu si Umbut:

„Kayu rukam hulu seraut,


gendang nan lima dalam buluk.
Unggas membenam masuk laut,
jala sutera mengerat sisik.”

Berkata ibu si Gelang:


„Gendang nan lima dalam bilik,
gendang orang Pekan Sabtu.
Jalan sutera mengerat sisik,
unggas lari kerongga batu.”

Menjawab ibu si Umbut:

„Gendang orang Pekan Sabtu,


empelas didalam padi.
Unggas lari kerongga batu,
kuremas tuba supaya mati.”

Berkata ibu si Gelang:

„Empelas didalam padi,


si Culik kotanya rendah.
Dituba unggas tak mati,
ia menggerek masuk tanah."
Menjawab ibu si Umbut:

„Si Culik kotanya rendah,


silaras *)15 dipelimbahan.
Unggas menggerek masuk tanah,
dua belas tembilang makan."

Berkata ibu si Gelang:

„Kelapa dibelah-belah,
terletak diatas pintu.
Mengapalah tertalah-talah, **)16
dahulu tidak begitu."

Menjawab ibu si Umbut:

„Bukan orang Kinari saja,


kerimba mengambil rotan,
terbawa dirotan muda.
Bukan hamba kemari saja,
kemari membawa pesan,
ialah pesan si Umbut Muda.

Berbunyi bedil di Ulakan,


'rang perang di Lima Kota,
berlari berbanyak-banyak.
Kata tak’kan disembunyikan,
si Umbut Muda datang 'nak semenda,
kepada Puteri Gelang Banyak."

Berkata ibu si Gelang: „Terhadap kepada


rundingan itu — dengarkan benar oleh
kakak:

Dirimba tidak bercapa


tumbuh dilurah dekat pantai
oleh karena tidak mengapa
tinggal diorang 'kan memakai.

Kakak berundinglah dengan si Gelang —


kakak berbicara dengan dia.

Teluk baik kuala tenang


juragan masuk muaranya.
Buruk baik kata si Gelang,
tidak hamba dua bicara!"

'Lah dipaling yadi rundingan — diasak


kepada si Gelang. Berkata ibu si Umbut;
„O upik, Puteri Gelang Banyak —
dengarkan benarlah oleh 'kau:

Esa tali dua tijakkan,


yala putus bawa berenang,
jala 'nak 'rang Dangung-dangung.
Esa jadi, dua tidakkan,
kata putus hati 'nak senang,
jangan lama kami digantung."

Menyawab si Gelang Banyak: „O ibu,


ujarku ibu — jika itu tanyakkan benar pula
itu ibu. Tetapi hanya sedikit — minta
tangguh hambah dahulu — barang
setahun dua ini; belum hamba akan
berjunjungan — belum hamba akan
bersuami — belum hamba terniat
berkawan — hamba hendak begini saja.
Ibu katakan baik-baik — kepada tuan
Umbut Muda."

Mendengar kata demikian — termenung


ibu si Umbut — terpikir didalam hati —
angan lalu paham tertumbuk — awak
mau, orang enggan — diurut dada lalu
pulang. Sambil turun ia berkata: „O upik
Puteri Gelang Banyak!

Anak todak mudik kehulu,


bawa keruntung dua-dua.
Ibu hendak pulang dahulu,
kalau untung berbalik pula."

Menjawab si Gelang Banyak: „Dengarkan


pula oleh ibu:

Kemanalah condong kerambil,


dulang-dulang rebah kebandar.
Kemari tidak dipanggil,
pulangpun tidak berantar.
Hamba lepas dengan hati suci — hamba
lepas dengan mulut manis — hamba
lepas dengan muka jernih."

3. DIHINAKAN
Apa gunanya siput lagi,
siput'lah berangkai-rangkai.
Apa gunanya hidup lagi,
hidup 'kan becermin bangkai.

'Lah turun ibu si Umbut — berjalan berhati


iba — berbalik berhati risau — pulang
dengan hati rusuh. 'Lah serentang
perjalanan — 'lah dua rentang perjalanan
— cukup tiga rentang panjang —
hampirlah dekat akan tiba — tibalah dia
tengah halaman — lalu naik rumah sekali.
Bertanya si Umbut Muda: „O ibu ujarku,
ibu! bagaimana rundingan ibu —
bagaimana jawab nan ibu bawa?

Tarap diambil hari senja,


dibelah-belah dengan kapak.
Harap rasa akan ada,
cemas rasa akan tidak."

Menjawab ibu si Umbut: „O buyung,


anakku buyung!

Sikujur di Dangung-Dangung,
jatuh sedahan selaranya.
Belum dianjur, 'lah tersandung,
'alamat badan 'kan binasa.

Berkata si Umbut Muda: „O ibu, ya ibuku!


katakan benar oleh ibu — kabarkan benar
semuanya — apakah kata nan diterima —
apakah kata si Gelang Banyak — supaya
senang hati hamba. Apa benar nan
dienggankan — maka jadi demikian
benar?”

„O buyung, dengarkan buyung!” katanya


ibu si Umbut. „Lamun setahun dua ini —
dia belum akan berjunjungan — belum ia
akan bersuami — belum terniat hendak
berkawan — ia akan meranda saja.
Begitu benar buah katanya — begitu
benar buah tuturnya. O buyung, anakku
kandung — sungguhpun begitu nan
bersua — dengarkan pula kata bunda:

Anak buaya gulung tenun,


masuk kuala Inderapura.
Apakah daya untung belum,
nantikan saja ketikanya.

Kota Sabak menghadap Tiku,


Tiku menghadap Kotatengah.
Sedang tidak sabar dahulu,
nantikan saja gerak Allah.

Tak jarak bengkudu lagi,


belum pandan akan bergagang.
Tidaklah niat itu lagi,
belum badan akan tergemang. 17
usah hati diperusuh — usah hati
diperisau — usah buyung cemas lagi.”

Menjawab si Umbut Muda: „Benar pula


kata ibu — tetapi sedikit yang merasa —
yang merasa dihati hamba — patua jua
dari ibu: melangkah tak sedang
selangkah — berkata tak sedang sepatah
— yang sekali diduakan — dua
dicukupkan tiga — cukup tiga kata putus.
Begitu jua yang biasa — begitu jua yang
terpakai. Pergilah ibu sekali lagi — minta
benar kata putus — jangan terasa-rasa —
rasa juga!”

Mendengar kata demikian — hilang 'akal


ibu si Umbut; 'lah sesak rasa kira-kira:
Terketak terketun-ketun,
selempada didalam lubang.
Tertegak tertegun-tegun,
bicara dibadan seorang.

Rumah gedang sembilan ruang,


puteri duduk diserambi.
Alang sakitnya bertenggang seorang,
bagai menentang langit tinggi.

Akan pergi diri 'lah malu — ta'kan pergi


bak mana pula. Karena sayang pada
anak — berjalan jua nan jadi. 'Lah
serentang perjalanan — 'lah dua rentang
perjalanan — cukup tiga rentang panjang
— hampir dekat akan tiba — tibalah ia
dihalaman — dihalaman rumah si Gelang.
Mengimbau ibu si Umbut: „O upik Puteri
Gelang Banyak, adakah dirumah 'kau
kini?”

Meninjau si Gelang Banyak — 'lah tampak


ibu si Umbut — berkata si Gelang Banyak:

„Cempedak tengah halaman,


dijolok dengan empu kaki.
Jangan lama tegak dihalaman,
itu cibuk basuhlah kaki!”

'Lah naik ibu si Umbut — 'lah sebentar


tengah rumah — 'lah dua bentar
antaranya — berpantun si Gelang Banyak:

„Berbuah belimbing basi,


berbuah berputik pula.
Bertuah pintu ditepi,
sudah pergi berbalik Pula."

Menjawab ibu si Umbtut:

„Kain kurik, kain Jawa,


dijahit belum dicuci.
Maka hamba berbalik Pula,
rundingan belum Putus lagi.

O kakak ibu si Gelang, dengarkan benar


oleh kakak:

Bertanggan berbalik Pula.


berdulang berkalang hulu.
Maka hamba berbalik Pula,
mengulang kata nan dahulu."

Berkata ibu si Gelang:


„Sejak semula hamba latakkan,
tidak diletak dalam Padi,
diletak jua dipematang.
Sejak semula hamba katakan,
tidak diletak dalam hati,
diletak jua dibelakang.

Dirimba tidak bercapa.


tumbuh dilurah tepi pantai.
Pada hamba tidak mengapa'
tinggal di orang nan 'kan memakai.

Terhadap kepada rundingan itu — jangan


dihalakan pada hamba, kakak
berundinglah dengan si Gelang — si
Gelang nan akan memutuskan.”
Berkata ibu si Umbut: „O upik Puteri
Gelang Banyak — upik jawablah kata
hamba:

Esa tali dua tijakkan,


jala putus bawa berenang,
jangan beraga-raga jua.
Esa jadi, dua tidakkan,
kata putus badan 'nak senang,
jangan terasa-rasa jua!”

Berkata si Gelang Banyak: „O ibu


dengarkan ibu:

Tuak jua kata hamba,


nira jua kata ibu.
Tidak jua kata hamba,
ia jua kata ibu.
Dengarkan benar oleh ibu — dengarkan
benar habis habis — hamba katakan kata
hati — hamba beri kata putus. Kononlah
tuan Umbut Muda — siang tak menjadi
angan-angan — malam tak menjadi buah
mimpi. Sungguhpun elok tuan Umbut —
tahulah hamba akan eloknya — elok
karena kain bersalang *)18, licin karena
minyak berminta. Jika gedang tuan
Umbut — tahulah hamba akan
gedangnya — gedang karena tebu
lingkaran. Jika kaya tuan Umbut —
tahulah hamba akan kayanya, — kaya
karena emas pembawa — emas
pembawa dari ayahnya — akan gelang
kaki hamba takkan sampai. Kononlah
tuan Umbut Muda — usah disebut dua
kali — cukuplah sekali ini. Jika tergeser
hamba"empelas — jika tertangguk hamba
kiraikan — jika terbawa hamba antarkan
— jika diulang-ulang jua — meremang
buku tengkuk hamba...."

Kononlah ibu si Umbut — mendengar


kata demikian — hati gatal mata digaruk
— berjalan dengan hati iba — berjalan
dengan hati rusuh — berjalan terentak-
entak berjalan tertegun-tegun.

Kepundung kulitnya manis,


pucuk sibia-bia tinggi.
Berundung-undung menangis,
apalah kira-kira kini.
Sampai serentang perjalanan — berhenti
ibu si Umbut — duduk bermenung tengah
jalan — peluh sudah menganak sungai —
mengalir ketulang punggung. Dipikir-pikir
dalam hati — dipatut-patut dengan 'akal
— terkira pula yang merusuh. Apalah
yang dirusuhkan nya — apalah yang
dirisaukannya?

„Jika datang usul dan siasat-kalau


datang tanya dengan sudi-dari si buyung
Umbut Muda-apalah akan jawab hamba-
apalah akan kata hamba-apalah akan
tenggang hamba?" katanya ibu si Umbut.
„Kalau dikatakan semuanya — jika
diberitakan habis-habis — takut 'kan ia
marah nanti; suratan hamba gerangan
nan malang-untung hamba gerangan nan
buruk. Benarlah bagai-pantun orang:

Sikujur dilingkar tedung,


urat dahan jadi berbisa.
Belum dianjur'lah tersandung,
'alamat badan kan binasa.

Ya Allah, ya Rasulu'llah — bagaimanalah


untung hamba ini? Setampan inilah
anakku — segombang inilah rupanya —
rancak ada patutpun ada — tumbuh
cacat berhadapan — orang tidak
menenggang awak. Mengapalah begitu
benar — gerak Allah gerangan ini."

Lah sebentar ia bermenung — lah dua


bentar ia bermenung — 'lah sabar
rupanya hati — 'lah diperbulat kira-kira —
berjalan ibu si Umbut. Dekat makin 'kan
hampir — hampir dekat 'kan tiba —
tibalah ia tengah halaman — lalu naik
sekali. Si Umbut sedang bermenung —
sedang melentur-lentur jari — sedang
mengerat-ngerat kuku. Bertanya si
Umbut Muda:

O ibu, ujarku ibu — bagaimana kata nan


dijawab — bagaimana rundingan yang
dibawa?

Tarab diambil hari senja,


dibelah-belah dengan kapak.
Harap rasa akan ada,
cemas rasa akan tidak.
Coba katakanlah oleh ibu — kabarkan
benar oleh ibu: usah ibu sembunyikan —
yang benar-benar saja katakan — supaya
senang hati hamba."

Berkata ibu si Umbut: „O buyung, anakku,


buyung — dengarkan benar oleh buyung;
jika itu nan engkau tanyakan — jika itu
nan engkau siasat — begini ujar si
Gelang: „Yang setahun dua ini — belum
hamba 'kan berjunyungan — belum
hamba 'kan bersuami — belum berniat
hendak berlaki — hamba akan meranda
saja."

Menjawab si Umbut Muda: „Mata ibu


mengapa bengkak — mata ibu mengapa
sembab — rupa ibu mengapa muram —
hati apa hati ibu? Hati pelepah malah
gerangan — jantung apa jantung ibu?
jantung pisang malah agaknya. Tidak nan
benar ibu katakan — berdusta ibu malah
kiranya."

Mendengar anak sudah marah — melihat


anak sudah berang — dibenarkannya jua
nan jadi: „O buyung, anakku buyung —
dengarkan benar oleh buyung — 'nak
hamba katakan habis-habis — 'nak
hamba katakan kata benar — lebih tidak
kurangpun tidak. Begitu ujar si Gelang:
„Kononlah tuan Umbut Muda — siang tak
jadi angan-angan — malam tak jadi buah
mimpi. Biarpun elok tuan Umbut —
tahulah hamba akan eloknya — elok
karena kain bersalang, licin karena
minyak meminta. — Jika gedang tuan
Umbut — tahulah hamba akan
gedangnya — gedang karena tebu
lingkaran. Kalau kaya tuan Umbut Muda
— tahulah hamba akan kayanya — kaya
karena emas pembawa — emas
pembawa dari ayahnya; 'kan gelang
kakiku takkan sampai. Kononlah tuan
Umbut Muda — usah disebut dua kali —
sedanglah sekali ini. Jika tergeser
kuempelas — jika tertangguk kukiraikan
— jika terbawa kuantarkan — usah
diulang-ulang juga — meremang bulu
tengkuk hamba!" Begitu benar bunyi
katanya — kata puteri Gelang Banyak."
Mendengar kata demikian — 'lah marah
si Umbut Muda — marahnya bukan alang-
kepalang — berangnya bukan olah-olah —
mengempas-empasksn tangan —
melecut-lecutkan badan — memukul-
mukulkan kaki. Disabarkan tidak
tersabarkan — dibujuk tidak terbujuk; 'lah
hilang 'akal ibunya. Berkata ibu si Umbut:
„Itu jua yang kusegankan — itu jua yang
kuenggankan akan mengatakan
semuanya — akan mengabarkan nan
sungguh; sudah berdetak jua hatiku —
telah terkenang jua olehku — bahasa
akan jadi begini — bahasa akan serupa
ini."
4. TANDA KASIH AKAN
ANAK

Belalang terbang melayang,


terbangnya berapi-api.
Esa hilang kedua terbilang,
namanya anak laki-laki.

'Lah sebentar ia menangis ― 'lah


sebentar ia bermenung ― ialah si Umbut
Muda ― tibalah pikiran yang benar.
Berkata si Umbut Muda: „Ibu, dengarkan
ibu! ― jika ibu iba 'kan hamba ― menaruh
sayang kepada hamba ― pergilah ibu
hamba suruh ― pergilah ibu hamba
seraya. Kalau ada malu 'kan terbangkit ―
kalau ada malu 'kan terhapus ― carikan
hamba talang perupuk ― ialah talang
perupuk hanyut ― nun di Lubuk Mata
Kucing; sakti nan tidak sakti amat —
dagang lali mati tegak — burung melintas
mati jatuh; jernih nan tidak jernih amat —
setukal benang berusai — dikepesong
*)19 nan mengeong — diserangkak nan
berdengkang; nan dipalut naga sakti —
nan dililit ular bisa — nan dijunjung ikan
gedang. Talang itulah ibu carikan —
perupuk itulah ibu ambilkan! kalau tak
dapat perupuk itu — tak kasih ibu 'kan
hamba — tak sayang ibu kepadaku.

Apa gunanya siput lagi,


siput’lah berangkai-rangkai.
Apa gunanya hidup lagi,
hidup ’kan becermin bangkai;

biarlah hamba amuk badan hamba —


supaya senang hati ibu.”

Mendengar kata demikian rusuh hati ibu


si Umbut — sesak rasa kira-kiranya —
bagai memakan simalakama akan pergi
takut ’kan mati — tidak pergi anak
mengamuk; itulah sukarnya akan dicari —
itu rupanya kehendak anak. Dipatut-patut
dengan ’akal — dipikir-pikir dimenungkan
— oleh ibu si Umbut Muda lalu berkata
sama seorang: „Dari pada anakku mati —
biarlah hamba mati jua.” Karena iba akan
anak — tidak lagi pikirkan — tidak lagi
dimenungkannya — berjalan ia sekali.
Dibawa kemenyan putih — menangis
berundung-undung — kainlah genjong
gerongan *)20 — napasnya sudah gedang
kecil. Berpantun ibu si Umbut:

„Kepekan sekali ini,


tak mungkin membeli lagi.
Berjalan sekali ini,
tak ’kan kembali lagi.

Tinggi melanjutlah ’kau


betung,
tak ’kan kudulang-dulang lagi.
Tinggal terjengunglah ’kau
kampung,
tak ’kan kuulang-ulangi lagi.”

'Lah sudah ia menangis — berjalan ibu si


Umbut — berjalan tertegun-tegun —
berjalan terentak-entak; bumi dipijak rasa
gempur — langit dipandang rasa terban.
'Lah serentang ia berjalan — 'lah dua
rentang ia berjalan — dekat semakin 'kan
hampir — hampir dekat 'kan tiba: 'lah tiba
ia disana — ialah di Lubuk Mata Kucing.
Serta sampai ia kesana — mendebak
hujan nan lebat — berdentung bunyi
petus tunggal; 'lah tiba sidolak-dolai *)21
— gumambik **)22 tanah dipijakkan; 'lah
kelam tentangan lubuk — kilat sudah
belapi-api. Lalu menyeru ibu si Umbut —
dibakar kemenyan putih — asap
menjulang keatas langit — harum
setahun pelayaran. Dibaca ibu si Umbut:
„Ya Allah Rasulu'llah — ya Tuhanku
junjungan hamba! perlakukan apalah
kehendak hamba — beri apalah pinta
hamba — hanyutlah kiranya talang
perupuk!"

Pintanya akan berlaku — Allah akan


menolong — serta sudah kemenyan
dibakar — teduh sekali hujan lebat —
berhenti kilat dengan petus — sudah
tenang angin nan deras — 'lah terang
tentangan lubuk. Tampak talang perupuk
hanyut — sedang dijunjung ikan gedang
— sedang dipalut naga sakti — sedang
dililit-lilit ular — sedang dijaga kala bisa;
sudah dipesong-pesong air — 'lah
dilamun-lamun ombak — jauh yang tak
jauh amat — dipandang sayup-sayup
sampai — jika sikait tidak dapat — jika
dijemba kelampauan; kadang-kadang ia
menepi — kadang-kadang ia ketengah —
bagaikan hampir ia jauh — baru jauh
iapun hampir — sudah hilang-hilang
timbul — telah nampak-nampak apung.

Kononlah ibu si Umbut ― melihat rupa


demikian ― memandang talang perupuk
― hatinya kembang kecut ― hatinya
harap-harap cemas ― harap bercampur
dengan takut ― cemas rasa tak kira'kan
― diberanikan malah hatinya ―
dipejamkan pula mata ― dihamrburi
lubuk itu ― dilompati terus sekali ―
diceburinya yang jadi. 'Lah dipesong-
pesong air ― diernpas-empaskan ombak
― dilecuCecutkan air; berunjun-unjun
dengan kala ― beregang-regang dengan
ikan ― berhela-hela dengan naga.

'Lah ganti empas mengempaskan ― 'lah


ganti lecut melecutkan; 'lah payah
berunjun-unjun ― 'lah puas hela
menghela ― 'lah lama beregang-regang
― dapatlah perupuk seruas ― oleh ibu si
Umbut Muda. Serta dapat perupuk itu ―
keluarlah dari dalam lubuk ― berlari
sekali pulang; 'lah berlari-lari anjing ― 'lah
mendoncang-doncang kecil ― 'lah
menghambur-hambur kilan; hilanglah
malu dengan sopan ― karena hati sangat
besar. Sukanya bukan alang kepalang ―
riang nan bukan olah-olah ― baju sudah
koyak-koyak ― kain sudah cabik-cabik ―
rambut sudah tergebang-gebang *)23.
Mana orang nan memandang ― mana
orang nan melihat ― besar kecil tua
muda ― habis tercengang semuanya ―
gelak-gelak sekaliannya ― melihat laku
ibu si Umbut ― melihat perangai. Eanyak
orang nan menegur ― banyak orang nan
bertanya ― satupun tidak diacuhkannya
― satupun tidak dihiraukannya ― entah
kedengaran entah tidah; ia terus berlali
jua ― talang perupuk dijunjungnya. 'Lah
sebentar ia berjalan ― 'lah dua bentar ia
berlari ― tibalah ia tengah halaman ―
lalu naik ia sekali.

Bertanya si Umbut Muda: „O ibu, ujarku


ibu! dapatkah nan hamba katakan —
dapatkah nan ibu cari?

Tarab diambil hari senja,


dibelah-belah dengan kapak.
Harap rasa akan ada,
cemas rasa akan tidak.”

Menjawab ibu si Umbut — suara sayup-


sayup sampai — berkata tertahan-tahan
— payah badan bukan kepalang: „O
buyung si Umbut Muda! jika itu engkau
tanyakan — jika itu engkau siasat —
hampir mati badan hamba — hampir
karam badan hamba — hampir kita tidak
bersua.

Memukat tentang Teluk


Gosong,
kenalah akan ikan haji.
Jika tak Allah nan menolong,
haram terjejak tanah tepi.

Lihatlah baju dibadan — sudah habis


compang-camping — lihat kain dipakai —
sudah habis koyak-koyak: pandanglah
badan diri hamba — tidak seperti badan
lagi — sebab berunjun-unjun dengan kala
— beregang-regang dengan ikan —
berhela-hela dengan naga — diempas-
empaskan ombak — dipesong-pesong air
gedang — dilecut-lecut ikan raya. Karena
untung pemberi Allah — dapatlah talang
perupuk ini — tetapi hanya seruas saja.
Inilah dia, wahai buyung!”

Konolah si Umbut Muda — serta melihat


talang perupuk — riang hati bukan
kepalang — suka tak dapat dikatakan.
Ditarik lalu talang perupuk — dibawa
sekali masuk bilik — lalu diraut akan
puput. Puputpun'lah sudah diperbuat —
bertanya ibu si Umbut: „Buyung, apa nan
engkau buat — buyung, apa nan engkau
kerjakan — buyung, mengapa engkau
ini?”
Menjawab si Umbut Muda: „Jika itu ibu
tanyakan — hamba sedang membuat
puput. Jika ada malu'kan terbangkit —
jika ada malu'kan terhapus — hamba'kan
pergi kelubuk — kelubuk Puteri Gelang
Banyak.”

Berkata ibu si Umbut: „Buyung, usah


engkau pergi — anak orang 'kan demam-
demam — anak orang 'kan terkejut-kejut
— anak orang lemah semangat!”

Menjawab si Umbut Muda: „Ibu tak tahu


dimalu — ibu tak tahu disakit; benar tebal
telinga ibu — tidak patut ibu tegahkan —
tidak patut ibu larangkan — tak layak ibu
tahani. Pikirkan benar oleh ibu —
menung-menungkanlah dahulu! Tak
mengapakah itu oleh ibu? Dengarkan
benarlah oleh ibu:

Rumah gedang bertingkap


tidak,
dimanalah angin 'kan lalu,
entah jika diliang lantai.
Hati bimbang bersingkap
tidak,
siapalah orang akan tahu,
entah jika orang yang merasai.

Terhadap kepada badan hamba — sejak


mendengar kata si Gelang — tidur nan
tidak terlelapkan — makan nan tidak
termakankan — duduk tak dapat
disenangkan; lamun nan sekali ini — biar
hilang nyawa badan — biar putus nan
genting — biar hilang nan berketak — biar
hamba coba benar:

Belalang terbang melayang,


terbangnya berapi-api.
Esa hilang, kedua terbilang,
namanya anak laki-laki!”

Mendengar kata anaknya — berkata ibu


si Umbut:

„Kutebang tidak tertebang.


bagai menebang batang
sampir,
ditutuh dikerat-kerat.
Kularang tidak terlarang,
bagai menegah air hilir,
suka hatilah perbuat!”

5. DIRAYU TALANG
PERINDU

Aur ditanam betung tumbuh,


paring diparak si Gumanti,
Asal hati sama sungguh,
kering lautan kita nanti.

Berjalan si Umbut Muda — berjalan pergi


kepancuran — kelubuk si Gelang Banyak,
'Lah serentang perjalanan — 'lah dua
rentang perjalanan — cukup tiga rentang
panjang — hampir makin 'kan dekat —
dekat hampir 'kan tiba; 'lah dia disana —
dilubuk Pancuran Raja — dilubuk si
Gelang Banyak — nan berbatua suasa —
nan berpancuran gading gajah — nan
berdinding cermin gedang — airnya bagai
mata kucing. Berpuput si Umbut Muda;
hari itu hari Jum'at — sedang tengah hari
tepat — sedang buntar bayang-bayang —
sedang litak-litak anjing — sedang
kenyang-kenyang pipit — sedang lengang
orang — dikampung sedang ramai orang
dipekan — sedang sunyi senyap unggas
— sedang si cindai bergelut. Bunyi puput
bagai mengimbau — bagai bunyi orang
memanggil — bunyi menyusut awan biru
— bagai bunyi rebab dan kecapi-bagai
bunyi gung dengan telempong — bunyi
canang dipukul jauh; kadang-kadang
bunyi diawan — kadang-kadang bunyi
dalam tanah.

Si Gelang Banyak sedang bertenun —


bertenun dibawah lumbung — tersirap
darah didada — 'lah tak keempu kaki —
membalas keubun-ubun. Turak tidak
terluncurkan — suri tidak tercocokkan —
karok tidak terpijakkan — 'lah terlepas
dari gengaman — terlepas sedang
dipegang; sutera habis kusut-kusut —
benang mas putus-putus.
Keruh nan bagai kuah siput,
jernih nan bagai kuah ayam.
Hati'lah bagai rumin *)24kusut,
bagai benang dilanda ayam.

mendengar puput si Umbut Muda.

Kononlah si Gelang Banyak — merayuk


tegak sekali — badan serasa bayang-
bayang — peluh sudah menganak sungai
— darah 'lah menampi-nampi — sudah
keluh-keluh kesah — bagai puyuh kena
palang — bagai belut kena lukah — bagai
beruk kena ipuh — duduk tidak
tersenangkan. Digulung tenun terentang
— lalu berkata pada ibunya: „O ibu, ujarku
ibu! — ibu luncurkanlah perian — ibu
kemarikanlah labu — ibu ulurkanlah
galuk. Hamba akan pergi mandi — tidak
tertahan pelak badan — tak tertanggung
panas hari — awak palak-palak miang —
angus hangat rasa dibakar.”

Mendengar kata si Gelang — Kononlah


oleh ibunya — diluncurkan perian gading
— diberikan labu suasa — diulurkan galuk
perak. Berjalan si Gelang Banyak —
berjalan pergi kepancuran; disandang
perian dibahu — dijinjing galuk dikiri —
dikepit labu diketiak. 'Lah sebentar ia
berjalan — 'lah dua benar ia berjalan —
hampirlah dekat akan tiba — tiba ia ditepi
tebing — 'lah tegak si Gelang Banyak,
nampak oleh si Umbut Muda — ia sedang
di balik aur; berpantun si Umbut Muda:

„Cempedak berkeping-keping,
terletak didalam buluh.
Jangan lama tegak ditebing,
nanti dibawa tebing runtuh.”

Mendengar pantun demikian —


tertcengang si Gelang Banyak —
dipandang hilir mudik — dilihat kiri dan
kanan — seorang tidak yang tampak;
terus jua ia berjalan — menuyu arah
kepancuran. Serta tiba ia dilubuk —
dilihat air sudah keruh — lubuk’lah diharu
orang — sumur sudah diaduk orang. ’Lah
marah si Gelang Banyak — ’'lah
mencerca, ’lah memaki; „Anak bincacak
bincacau — anak ngiang-ngiang rimba —
anak dapat dalam semak — anak
cencang penarahan — anak tak bertunjuk
berajari — anak tidak berpengajaran —
lubuk awak diharunya — sumur awak
yang dikacaunya!”

Baru mendengar kata itu — mencagur si


Umbut Muda — tegaklah ia dinan terang;
’lah tampak oleh si Gelang, berpantun si
Umbut Muda:

„Cemetas talang berduri,


lantak sepenuh pematang,
Hari panas elang berbunyi,
awak litak, nan kuning
datang.”

'Lah marah si Gelang Banyak — lalu


diturutnya sekali — didekat si Umbut
Muda — ditariknya perian panjang —
diletakannya kepada si Umbut. Jangan si
Umbut 'kan kena periannya habis pecah-
pecah; diambilnya pula labunya — di
lemparkan kepada si Umbut — dielakkan
pula oleh si Umbut — lalu habis hancur
luluh. Ditariknya pula geluknya —
dilemparkan pula pada si Umbut; jangan
si Umbut 'kan kena — geluk hilang entah
kemana.

Berpantun si Umbut Muda:


„Telah gugur selara kopi,
diimpit seludang pinang.
Kesumur tak jadi mandi,
geluk digenggam 'lah hilang.

Dengarkan sebuah lagi:

Mempelam serangkai kuning,


dijolok serangkai muda,
lalu disambar bidadari,
terbang keatas pohon jambak,

Jika tak jadi dengan nan


kuning,
awan bertepuk, gunung laga,
bulan disambar matahari,
konon kasihan'kan cerai tidak.

Kalau dapat kelapa tumbuh,


kutanam dibawah janjang.
Kalau boleh kata yang
sungguh,
kugonggong kubawa terbang.”

Menjawab si Gelang Banyak:

„Cincin empat hilang lima,


hilang dipulau Bentuk Taji,
ada tergilang-gilang jua.

Sedang sahabat ada menggila,


apa lagi main belum jadi,
ada terkenang-kenang jua.

Dengarkan sebuah lagi:

Anak selimang selempada,


kurahg esa tiga puluh.
Jangan suka dirintang mata,
karena mata binasa tubuh.

Aur ditanam, betung tumbuh,


buluh diparak si Gumanti.
Asal hati sama sungguh,
kering lautan kita nanti!"

'Lah lama berpantun-pantun — 'lah puas


bertutur-tutur — 'lah penat berunding-
runding — datang pikiran pada si Gelang
— terkenang hendak pergi pulang; hati'lah
berdebar-debar — darah'lah menampi-
nampi: „Bapak jika menyebut-nyebut —
ibu jika bertanya-tanya — apalah kata
bapa dan ibu — selama ini hamba keair!"
lalu berlari hendak pulang. Sedangkan ia
berjalan — dua rentang ia berlari —
tertegak pula kembali — tertegun si
Gelang Banyak. Nampak oleh si Umbut
Muda — si Gelang berhenti pula — ia
tidak jadi pulang — bertanya si Umbut
Muda: „Apa sebab adik tertegun — apa
sebab adik berhenti — mengapa belum
pulang jua? Apa gerangan nan terkenang
— apa juga nan ditegunkan — apa nan
gaduh dalam hati?"
Menjawab si Gelang Banyak: „Bukan
sedikit hamba rusuhkan — bukan sedikit
hamba risaukan — ada sebuah nan
hamba takutkan — ada sebuah nan
hamba menungkan — takut benar hamba
'kan pulang. Disinilah bapak mulai berang
— sinilah ibu tahu marah!”

Berkata si Umbut Muda: „O, upik Puteri


Gelang Banyak — apa benar nan
dirisaukan — apa benar nan ditakutkan?
Mengapa bapak akan berang — mengapa
ibu akan marah — apakah nan akan
dimarahkannya? Coba katakan pada
hamba!”

Menjawab si Gelang Banyak:


„Tengkolok bersudut empat,
tengkolok orang Batang Kapas.
Yang dijolok tidak dapat,
penjolok tinggal diatas.

Hamba sudah pergi keair — membawa


labu dan perian. Jangan air akan terbawa
— perian nan habis pecah-pecah — labu
'lah habis hancur luluh — geluk nan hilang
tak bertentu. Jika datang usul periksa —
jika datang sudi siasat — dari bapak
dengan ibu — apalah akan jawab hamba
— apalah akan kata hamba? Itulah nan
hamba menungkan — itu nan hamba
rusuhkan.”
Berkata si Umbut Muda: „Adikku Puteri
Gelang Banyak — itu tak patut
kaurusuhkan — itu tidak usah
kaumabukkan — itu tak guna dirisaukan;
biar kuberi pengajaran — biar kuberi'kau
petunjuk. Dengarkan benarlah oleh adik!
Jika bertanya bapak dirumah — jika
menyiasat ibu nanti: Kemanakah labu'kau
tadi — kemanakah perianmu tadi —
mengapa tidak membawa air —
mengapa'kau pulang saja — jawab oleh
adik elok-elok — pandai-pandai berkata-
kata: Hampir mati badan hamba —
hampir kita tak bersua; hamba
menampak kerbau laga — kerbau
bertanduk dua-dua — kuda bersepak
kebelakang. Karena lari perian pecah —
itu makanya labu hancur — geluk hilang
lenyap saja! Begitu mengatakannya —
jangan adik ubah-ubah. Tidaklah bapak
akan marah — tidak ibu akan berang.
Dengarkan benar oleh adik:

page=50

Dari Siturak ke Situngkai,


dari Simabur hendak ke Gasan,
tupai melompat dalam padi.
Jika membuka jangan
diungkai,
jika menyimpul jangan
mengesan,
pandai-pandai bermain budi.

Dengarkan sebuah lagi — biar dua pantun


seiring:

Merpati terbang kekota,


terbang melintas kebubungan.
Jangan terbetik terberita,
biar luluh dalam kandungan.

Sekarang beginilah adikku:

Beragih bawang 'lah kita,


supaya tentu bersiang serai.
Beragih sayang 'lah kita,
supaya tentu bercerai-cerai.

Adik berbaliklah pulang — keranah ke


Kampung Aur — hamba hendak pulang
pula — keranah Kampung Teberau;
bertolak punggung'lah kita — jangan
lama kita disini.”

Mendengar kata demikian — girang


sungguh hati si Gelang — mendapat
petunjuk pengajar — berjalan sekali
pulang. 'Lah serentang perjalanan — 'lah
dua rentang perjalanan — dekat semakin
'kan hampir — hampir dekat 'kan tiba —
tiba si Gelang tengah halaman — lalu
naik sekali. Baru sebentar tengah rumah
— dua bentar tengah rumah — datang
tanya dari bapaknya — tumbuh sudi dari
ibunya. Berkata ibu Gelang: „O upik Puteri
Gelang Banyak! manatah perian tadi —
manatah labu 'kan tadi — mengapa tidak
membawa air — mengapa pulang
melenggang saja? Siapa mengambil
perian engkau — siapa mencuri labu
engkau?”

Menjawab si Gelang Banyak — berkata


sambil menangis: „O, Bapak, ujar hamba!
O, ibu kata hamba dengarkanlah hamba
katakan — dengarkan hamba kabarkan.
Ketika awak akan pulang — berbalik dari
pancuran tadi — perian sudah hamba
sandang — labu'lah penuh hamba isi —
bersua dengan kerbau laga — kerbau
laga tengah jalan — kerbau bertanduk
dua-dua — kuda bersepak kebelakang.
Karena lari perian pecah — karena takut
labu ku pecah — labu pecah — geluk lah
hilang kucari tidak bersua.”

Berkata bapak si Gelang: „Mengapa


engkau menangis — siapa orang nan
marah — siapa orang nan berang?
Tidaklah kami akan marah — hanya tadi
nan kami cemaskan — kalau perian
diambil orang — kalau labu dicuri orang.
Jika itu engkau katakan — jika itu mara
nan datang — senanglah pula hati kami —
sunyilah kira-kira kami. Beruntung benar
engkau tadi — tidak cacat tidak binasa;
mujur benar tak celaka sudah patut
berkaul-kaul — patut kita meminta doa.
Pergi cekau malah ayam — suruh
tangkap kambing seekor — suruh
sembelih kini-kini — kita mendo'a nanti
malam — suruh imbau seorang mualim.”

Mendengar kata demikian — dicekau


ayam tujuh ekor, ditangkap kambing
seekor — lalu disembelih sekali; dibuat
gulai dua tiga — lalu dipanggil orang
mualim — meminta do'a selamat.

6. DIMABUK UMBUT

Guruh petus penuba limbat,


limbat dituba 'rang seberang.
Tujuh ratus carikan obat,
badan bertemu muka senang.

Kabar beralih tentang itu — sungguh


beralih sana jua. 'Lah sehari sudah itu —
'lah dua hari antaranya — 'lah sakit si
Gelang Banyak — sakit tidak bangun lagi;
nasi dimakan rasa sekam — air diminum
sembiluan. Banyaklah dukun nan
mengobat — banyak penawar dikenakan
— obat sudah sepenuh rumah — penawar
sudah bercawan-cawan — penambal
sudah bertimbun-timbun — jangankan
sakit 'kan sembuh — malah semakin
dalam. Hilanglah 'akal bapaknya — 'lah
mabuk hati ibunya — emat budi habis
bicara — melihat si Gelang Banyak. 'Lah
sehari si Gelang sakit — 'lah dua hari ia
terletak — cukuplah tiga harinya —
tumbuh pikiran oleh bapaknya — terbuka
hati ibunya ditanyai si Gelang Banyak: „O
upik Puteri Gelang Banyak! Apamukah
yang sakit? Coba katakan kepada kami
supaya tentu nan 'kan dicari — kalau ada
nan 'kan diminta.”

Menjawab si Gelang Banyak: „Tidak tentu


mana yang sakit — badah serasa bayang-
bayang — darah hamba tersembur-
sembur — hati hamba berdebar-debar —
kepala rasakan pecah — nasi ditelan rasa
duri — air diminum pahit-pahit. Hamba
ingin akan Umbut — carikan apalah
hamba umbut — diranah Kampung
Teberau!"

Mendengar kata demikian — berkata ibu


si Gelang: „O tuan bapak si Gelang — o,
tuan bapak si Upik! Pergi juga tuan
kesana — pergilah berlekas-lekas —
jangan berlalai-lalai jua — ambilkan
umbut nan diminta — dikeranah
Kampung Teberau — entah 'kan sungguh
jadi obat.

Akan bagaimana pulatah lagi — berjalan


bapak si Gelang — berjalan bergulut-gulut
— berjalan bergegas-gegas — keranah
Kampung Teberau. 'Lah sebentar ia
berjalan — 'lah dua bentar ia berjalan —
dekat semakin 'kan hampir — hampir
dekat 'kan tiba — 'lah tiba ia disana —
diranah Kampung Teberau. Dicari umbut
teberau — sesudah dapat dibawa pulang;
berjalan bergulut-gulut — hati cemas
darah tak senang; si Gelang sakit
ditinggalkan. Setelah tiba ia dirumah —
dibangunkan si Gelang Banyak: „O, upik
bangunlah-bangun — ini umbut sudah
dapat."

Mendengar kata bapaknya — umbut


dicari telah dapat — 'lah bangun si
Gelang Banyak — 'lah tahu duduk sekali.
Dilihat-lihat dipandangi — 'lah nampak
umbut teberau — merajuk berbalik tidur
— mengempas-empaskan badan —
melecut-lecutkan diri — memukul-mukul
kepala.Berkata si Gelang Banyak: „Bodoh
benar malah bapak — bingung benar
malah kiranya! Ke Kampung Teberau
kusuruh cari — umbut teberau yang
diambil!"

Karena mengempas-empaskan badan —


semakin sakit si Gelang Banyak —
kadang ingat kadang tidak — kadang
mengigau tak bertentu. Berkata si Gelang
Banyak — berkata sambil menangis:
„Kalau kehendak tidak dapat — 'kan mati
malah badan diri:

Kayu kelat tumbuh dihilir,


berurat berbanir tidak.
Obat jauh, penyakit hampir,
bertawar selilir tidak.”

Berkata bapak si Gelang: „O upik, anakku


sayang — katakan benarlah olehmu —
kabarkan benar jelas-jelas! Apa nan akan
hamba cari — apa nan akan hamba
ambil? Jauh boleh kami jemput — hampir
boleh kami jangkau — tergantung boleh
kami kait — asal sakit akan senang.”

Menjawab si Gelang Banyak: „Jika iba


bapak — jika sayang pada hamba — jika
sakit hendak diobat — carikan malah
hamba umbut — nan sama tinggi dengan
hamba — nan sama gedang dengan
hamba — keranah Kampung Teberau.
Sebagai lagi petaruh hamba, lorong
kepada umbut itu — tumbuhnya sebatang
saja — tidaklah boleh ia dibeli — tidaklah
ia dapat ditukar!”

Serta mendengar kata itu — berdiri bapak


si Gelang — berjalan turun sekali —
keranah Kampung Teberau. 'Lah
serentang perjalanan — 'lah dua rentang
perjalanan — hampir semakin 'kan dekat
— dekat hampir 'kan tiba — tibalah ia
disana — diranah Kampung Teberau.
Duduk bermenung ia sebentar — tegak
berpikir seketika — dibakar rokok
sebatang — dikunyah sirih sekapur.
Sedang dapat agak-agak — sedang
datang kira-kira — berkata bapak si
Gelang: „Umbut apa nan akan kuambil —
umbut apa nan akan ditarik? Jika
kuambil umbut pisang — umbut pisang
penuh dirumah — tidak sama besar
dengan dia.” Termenung pula ia kembali.
Baru sebentar ia bermenung — dua
bentar ia tertegun — memandang hilir
dengan mudik — melihat kekiri dan
kekanan — tampaklah enau sebatang.
Berlari-lari ia kesana — ditebang sekali
enau itu — lalu diambil umbutnya —
diukur setinggi si Gelang. Umbut 'lah
sudah diambil — berkata bapak si
Gelang: „Nan dapat sekali ini — takkan
mungkir lagi rasanya!”

Umbut enau dipikul pulang — berjalan


bergegas-gegas — berjalan bergulut-
gulut; napas sudah gedang kecil — peluh
'lah menganak sungai — mengalir
ketulang punggung — karena berat
umbut itu. 'Lah serentang perjalanan —
'lah dua renteng perjalanan — hampir
semakin 'kan dekat — dekat hampir 'kan
tiba — tibalah ia tengah malam.
Dientakkannya umbut itu — diletak
dibawah lumbung — lalu naik sekali. 'Lah
sebentar tengah rumah — berkata bapak
si Gelang: „O upik, Puteri Gelang Banyak
— upik jagalah dahulu — itu umbut sudah
dapat — nan sama besar dengan engkau
— nan tingginya setinggi 'kau — kubawa
dari Kampung Teberau. Itulah dia tengah
halaman — tinjaulah kepintu gerbang! —
lihatlah kebawah lumbung!
Kononlah si Gelang Banyak — serta
mendengar umbut dapat — hilang sekali
penyakitnya; tegak ia kepintu gedang —
lalu meninjau kehalaman — melihat ia
kekiri kanan — memandang lalu kebawah
lumbung; 'lah terputih umbut enau — 'lah
terbelintang tengah halaman. Berbalik si
Gelang tidur — mengempas-empaskan
awak — melecut-lecutkan badan —
memukul-mukul badan — didemuk dada
nan jajai — mengesan jari nan sepuluh —
sebelas dengan bentuk cincin. Berkata si
Gelang Banyak: „Bingung benar malah
bapak — bodoh benar malah kiranya —
umbut enau pula bapak bawa — apa
gunanya pada hamba? Bagaimanakah
bapakku ini — makanya sebingung ini —
maka tak tahu kata kias — maka tak tahu
kilat kata — 'kan mati jua hamba
gerangan.' '

Berkata bapak si Gelang: „O upik, anakku


sayang! Umbut apakah akan dicari —
umbut apa 'kau kehendaki? Katakan
benarlah sungguh-sungguh — katakan
benar kata hati — usah engkau
sembunyi² usah disimpan² jua — supaya
tentu nan 'kan dicari — supaya tentu nan
'kan diturut; jika jauh kami jemput — jika
mihal akan dibeli — asal sakit akan
senang."

Menjawab si Gelang Banyak: „O bapak,


dengarlah bapakku! kalau bapak iba 'kan
hamba — kalau bapak sebenar sayang —
kalau ada hati hendak mengoba —
berhelat besarlah bapak — bantailah
kerbau empat lima — tumbangkan
rengkiang dua tiga — panggil orang
Kampung Teberau — besar kecil tua
muda — laki-laki perempuan — baik imam
baikpun chatib — sapu lantaikanlah
memanggil!"

Mendengar kata demikian — bermenung


bapak si Gelang — dipikir-pikir
diheningkan — ditimbang-timbang dalam
hati — diturut juga kata anak — dipanggil
orang Kampung Teberau — besar kecil
tua muda — laki-laki perempuan hilir nan
serentak galah — mudik nan serangkuh
dayung — seberang-menyeberang. Jika
jauh kulangsing *)25 datang — jika hampir
dipanggilan tiba — malam dipanggil
dengan surat — seranah Kampung
Teberaunya. Allahu Rabbi banyak orang.

Tak termuat didaun talas,


didaun terung penuh pula.
Tak termuat pada nan luas,
pada nan lekung penuh pula.

Dari jauh jamu 'lah datang — nan hampir


jamu 'lah tiba — dari bukit orang menurun
— dari lurah orang mendaki — nan buta
datang berpimpin — nan lumpuh datang
berdukung — nan pincang tertenjak-
tenjak. Helat sudah sepenuh rumah —
tuanku sela-menyela — malim sudah tiap
sudut — penghulu berbilang puluh —
orang ranah Kampung Teberau. Berkata
bapak si Gelang: „O upik Puteri Gelang
Banyak — Bangunlah upik bangunlah —
jagalah anak jagalah! — lihatlah helat
sudah tiba — mengapa engkau tidur juga
— sudahkah senang sakit 'kau?”

Lah bangun si Gelang Banyak — lalu ia


duduk sekali — berjalan turun kebawah —
dibasuh muka seketika — 'lah naik pula
berbalik. Giranglah hati bapak kandung —
melihat si Gelang Banyak — 'lah pandai
berjalan-jalan — 'lah pandai mengganti
kain.
Ada sebentar antaranya — kononlah
Puteri Gelang Banyak — dipandang hilir
dengan mudik — dilihat ketengah dan
ketepi; pandang jauh dilayangkan —
pandang hampir ditukikkan — pandang
rusuk digendengkan. 'Lah tampak ummat
semua — besar kecil tua muda — laki-laki
perempuan — baik imam dengan chatib
— baik manti dengan penghulu —
pegawai sukar dibilang — 'rang ranah
Kampung Teberau. Seorang saja nan tak
nampak — seorang saja nan tak datang
— si Umbut Muda yang tak ada. Berbalik
si Gelang tidur — lelap nan tidak jaga lagi
— sakitnya semakin sangat — herangnya
berbuah-buah.
„Kayu kelat tumbuh dihilir,
berurat berbanir tidak.
Obat jauh penyakit hampir,
bertawar selilirpun tidak.”

katanya si Gelang Banyak.

Mendengar kata demikian 'lah hilang


'akal bapaknya — habis tenggang kelakar
— habis budi dengan upaya — melihat
anak kandung diri. Terhenyak duduk
dilantai — bermenung ditiang panjang —
menangis mengesak-esak — hati rusuh
bercampur iba — awak jerih jasa tidak.
'Lah sebentar ia menangis — timbul
pikiran dalam hati — diimbau ibu si
Gelang — dibawa duduk berunding —
dibawa beria-ria. Berkata bapak si
Gelang: „O ibu si Gelang Banyak! Kini
begitulah nan baik — coba tanyai pula
oleh 'kau — ape benar nan dihatinya —
apa benar nan kehendaknya — kehendak
si Gelang Banyak. Tioba beli benar
mulutnya — tunai benarlah bicaranya.
Konon hamba engkau harapkan — tak
dapat olehku lagi — 'lah hilang 'akal dan
budi — 'lah sempit kira-kira hamba; boleh
jadi kalau pada kau dia mau mengatakan
— dia mau membukakan — apa benar
dihatinya.”

Kononlah ibu si Gelang — orang cerdik


cendekia — orang jauhari bijaksana —
mendengar kata demikian, rasa
terbayang dalam hatinya, rasa terkira
dipikiran — mengapa anak jadi sakit —
mengapa si Gelang jadi begitu. Didekati
anak nan sakit, lalu berkata ibu si Gelang:
„O upik Puteri Gelang Banyak! katakan
benarlah oleh 'kau — kabarkan benar
habis-habis — usah 'kau sembunyi-
sembunyi — usah 'kau mengendap-
endap. Apa 'kau benar nan sakit — apa
obat akan dicari — apa benar kehendak
'kau? Hamba minta kata putus — katakan
sungguh kata hati; jika tidak 'kau katakan
— tak kau terangkan jelas-jelas —
kuamuk badanku kini — supaya senang
hati 'kau!”
Ibu si Gelang berlari kebilik dalam —
dibuka peti nan gedang — ditarik rencong
sebilah — tajam yang bukan alang-alang
— bisanya bangun sekali — tidak
ketawaran — jejak ditikam mati jua.
Disentak rencong sekali — berlari
ketengah rumah — ditujukan rencong
keleher — sebagai orang akan menikam.

Serta tampak oleh si Gelang — ibunya


hendak mengamuk — hendak mengamuk
badan diri — cemas sungguh dalam hati
— takut bercampur ngeri.
Memberongsang si Gelang bangun —
direbut rencong ditangan — dirampas
dari tangan ibu — lalu dicampakkan
dihalaman.
Kononlah si Gelang Banyak — 'lah sesak
rasa kira-kira — 'lah emat budi bicara —
habis tenggang dengan kelakar.

'Lah masak padi di Biara,


diambil akan galu-galu,
tak boleh mengubik lagi.

Tersesak padang kerimba,


terentak ruas kebuku,
tak dapat menyuruk lagi.

'Kan dikatakan rasa malu — tak dikatakan


ibu mengamuk. Dikatakannya jua yang
jadi — apa nan isi hati kecil: „O ibu, ujarku
ibu, — dengarkan benar ibu — dengarkan
hamba ber'ibarat:

Guruh petus menuba limbat,


limbat dituba 'rang seberang.
Tujuh ratus carikan obat,
bersua tuan Umbut maka
senang.”

Mendengar kata demikian berkata ibu si


Gelang — berkata kepada tuannya: „O
tuan bapak si Gelang — berhelatlah sekali
lagi — turunkanlah padi dilumbung —
cekaulah kerbau dikandang — jemput si
Umbut Muda — keranah Kampung
Teberau.”
Akan bagaimana pula lagi — berjalan
bapak si Gelang — berjalan bergegas-
gegas — keranah Kampung Teberau —
dibawa cerana sekali. 'Lah serentang
perjalanan — 'lah dua rentang perjalanan
— cukup tiga rentang panjang — dekat
semakin 'kan hampir — hampir dekat 'kan
tiba — 'lah tiba ia disana — diranah
Kampung Teberau — dirumah ibu si
Umbut. Mengimbau bapak si Gelang: „O
Umbut dengarlah dengar ada dirumah
engkau kini?”

Mendengar orang mengimbau —


meninjau adik si Umbut — bernama
Puteri Rambun Emas. 'Lah tampak bapak
si Gelang — berkata si Rambun Emas: „O
bapak, ujarku bapak:

Cempedak tengah halaman,


dijo'ok dengan empu kaki.
Jangan lama tegak dihalaman,
itu cibuk basuhlah kaki.

bapak naiklah dahulu!”

'Lah naik bapak si Gelang — 'lah timbang


sela menyela — 'lah duduk bersirih-
sirihan — 'lah duduk berpinang-pinangan
— makan sirih sekapur seorang, habis
manis sepuh terbuang — kelat tinggal
dirangkungan — rasanya habis terlulur —
sarinya keubun-ubun. Sedang elok
pertuturan — sedang longgar perkabaran
— diangsur sekali rundingan. Berkata
bapak si Gelang:

„Bukan hamba Kenari saja,


Kenari anak 'rang Talang.
Bukan hamba kemari saja,
besar maksud nan dijelang.

Dengarkan sebuah lagi:

„Bukan hamba kerimba saja,


kerimba menebang sampil.
Bukan hamba kemari saja,
kemari datang memanggil.
memanggil si Umbut Muda — dimanakah
ia sekarang?”

Menjawab Puteri Rambun Emas: „Jika itu


bapak tanyakan — jika itu bapak maksud
— ia ada dirumah kini — ia tidur diatas
anjung — baru sebentar ini tidur.”

Berkata bapak si Gelang: „Tolong


benarlah bapak ini — tolong bersusah
engkau sebentar — tolong apalah
bangunkan ia — katakan hamba datang
memanggil — terbawa jua kini
hendaknya. Katakanlah elok-elok benar!”

Menjawab si Rambun Emas: „O bapak,


ujarku bapak — usah bapak marah nanti
— eloklah marah kini-kini. Bukan hamba
segan menolong — bukannya enggan
diseraya; takutlah hamba menjagakannya
— takutlah hamba membangunkan —
sebab dia tidur — pulang mendo'a tadi
malam. Bapak berbaliklah dahulu —
bapak pulanglah dulu — nanti hamba
katakan padanya — bapak datang
memanggil.”

Menjawab bapak si Gelang: „Jika itu


jawab engkau — biar disini hamba
nantikan — sampai si Umbut terbangun;
makanya senang hati hamba — seiring
jua kami berjalan.”

Berkata si Rambun Emas: „Itu jangan


bapak rusuhkan — itu jangan bapak
risaukan — malah ia terbangun nanti —
hamba suruh berjalan sekali — tidakkan
berapa lamanya — berjalan sedekat ini!”

Mendengar kata demikian — 'lah menurut


bapak si Gelang — lalu turun berjalan
pulang. 'Lah serentang perjalanan — 'lah
dua rentang perjalanan — tibalah ia
tengah halaman — lalu naik ia sekali.
Bertanya si Gelang Banyak: „O bapak,
ujarku bapak — manatah orang nan
dijemput — manatah orang nan dipanggil
— makanya belum tiba jua — apa
sebabnya tak terbawa?”

Menjawab bapak si Gelang: „Kuturut


benar kerumah ibunya — kupergi benar
kekampungnya — keranah Kampung
Teberau — bersua si Umbut sedang tidur.
Kusuruh jagakan oleh adiknya — takut ia
membangunkan — sebab si Umbut baru
tidur — pulang mendo'a malam tadi. Tapi
ada bapak berjanji — dengan Puteri
Rambun Emas — menyuruh bangunkan
lekas-lekas — menyuruh kemari bangat-
bangat.”

7. TIADA DIBERI HARAP

Mengabut api Pulau Punjung.


orang memarun rimba raya.
Maksud hati hendak
bergantung,
tuan enggan apakah daya.
Kabar beralih tentang itu — sungguh
beralih sananjua — beralih kepada si
Umbut. Tidaklah lama antaranya —
sepeninggal bapak si Gelang — sudah
bangun si Umbut Muda — bangun tidak
dijagakan. Lalu digosok-gosok mata —
duduk termenung atas tilam — sedang
mencari kira-kira. Bertanya si Rambun
Emas: „O tuan, dengarkan tuan: mengapa
tuan bermenung — mengapa tuan jaga
sekali — sudahkah cukup tidur tuan?”

Menjawab si Umbut Muda: „Makanya


hamba terbangun — darah hamba
tersirap-sirap — badan hamba pelak-
pelak miang. Siapalah orang yang
menyebut — siapalah orang yang
menuntut? Sudah begini besar hamba —
belum pernah macam ini.”

Menjawab si Rambun Emas: „Benar juga


kata tuan — lurus benar terka tuan!
Sementara tuan tidur tadi — 'lah datang
bapak si Gelang — membawa sirih
dicerana — memanggil tuan kemari — Ia
akan berhelat gedang. Disuruhnya hamba
menjagakan tuan — dimintanya sungguh
dengan sangat — hamba jua yang tak
mau — hamba jua yang bertangguh.
Lama benar dinantikannya — ia hendak
seiring sekali; sekarang bersiaplah tuan
— berkemaslah kini-kini — jangan tuan
disusulnya lagi!”
’Lah memakai si Umbut Muda —
memakai cara Bangkiang; ’lah berdestar
seluk timba — letaknya membelah benak
— berkain Pelembang Aceh — bercincin
permata nilam — berbaju beledu
gandum. Dibawakan langkah lima —
surut kelangkah yang empat — lalu tegak
berdiri betul — dipandang-pandang
dalam cermin — ditilik bayang-bayang
badan. Tegak ketengah ia bermenung —
tegak ketepi ia menegun; diputar cincin
dikiri — dipaling cincin kekanan. Berjalan
turun sekali — dinaiki kuda nan belang —
kuda nan belang rajah kaki — ekornya
serasah terjun — bulu seperti ’aina’lbanat
— bulu tengkuk awan tergantung —
pelana emas bertempa — kekangnya
perak berhela — sanggurdi dari suasana.
’Lah berjalan si Umbut Muda — hari nan
sedang tengah hari — sedang buntar
bayang-bayang — sedang kenyang-
kenyang pipit — sedang lengang orang
dikampung — sedang sunyi senyap
unggas — sedang letih lesu tulang. Jalan
kuda mendoncang doncang — jalan
mengempang-empang lebuh — genta
gedang imbau-mengimbau — genta kecil
panggil-memanggil; sudah dicencang
guratihkan — ’lah mendua-dua katak —
pada lalu surut nan lebih — semut
terpijak tidak mati — alu tersandung
patah tiga — batang terlanda berbujuran.
’Lah sebentar ia berjalan — ’lah dua
bentar ia berlari — tibalah diranah
Kampung Aur.

Merentak kuda si Umbut — merentak


meringkik panjang — terbebar ayam
dilesung — terkejut lembu dipadang —
tercengang orang nan banyak — terkejut
bapak si Gelang — tegak berdiri ia
kepintu — meninjau arah kehalaman. 'Lah
tampak si Umbut Muda — 'lah turun si
Gelang: Banyak — dibawa air dikendi —
disongsong si Umbut Muda. Berpantun si
Gelang Banyak: „O tuan, dengarkan tuan:

'Lah penat hamba mendaki,


mendaki batu berjanjang,
bulan tak terang-terangnya.
'Lah penat hamba menanti,
'lah putih mata memandang,
tuan tak datang-datangnya!”

Menjawab si Umbut Muda:

Anak balam atas jelatang,


hinggap diranting dalu-dalu.
Maka hamba tak kunjung
datang,
berbelok jalan tempat lalu.”

Berkata pula si Gelang:

„Cempedak tengah halaman,


dijolok dengan empu kaki,
Jangan lama tegak dihalaman,
itu cibuk, basuhlah kaki.”

"Lah naik si Umbut Muda — 'lah sebentar


ditengah rumah — 'lah dua bentar
antaranya — berpantun si Gelang Banyak:

„Berpikat balam dengan


balam,
jerat tidak tuan pilinkan.
Penyakit semakin mendalam,
obat tidak tuan kirimkan.”

Menjawab si Umbut Muda:


„Nan tidak kincir berkiut,
dimana akan beroleh benang.
Nan tidak hamba dituntut,
dimana duduk akan senang?

Dengarkan sebuah lagi:

Ada jerat hamba pilinkan,


entah rantai entahpun tidak.
Ada obat hamba kirimkan,
entah sampai entah tidak.”

Menjawab si Gelang Banyak:


„Biar jerat tuan pilinkan,
pandan terjemur diseberang.
Biar obat tuan kirimkan,
badan bertemu maka senang.”

'Lah penat berpantun-pantun ― lah puas


bertutur ― 'lah duduk si Umbut Muda.
Dimanakah ia duduk? ― duduknya
dikepala janjang. Serta nampak oleh si
Gelang ― Si Umbut duduk disana ―
berkata si Gelang Banyak: „O bapak,
ujarku bapak! pandang benarlah oleh
bapak ― lihat benar oleh bapak ―
pandang ujung dengan pangkal ― lihat
hilir dengan mudik — duduk orang
adakah betul — yang ditengah
diketepikan — yang ditepi
diketengahkan!”

Mendengar kata demikian — 'lah tegak


bapak si Gelang — dipandang hilir
dengan mudik — dilihat ujung dengan
pangkal — pandang jauh dilayangkan —
pandang dekat ditukikkan — pandang
rusuk digendengkan. 'Lah nampak si
Umbut Muda — duduknya dikepala
janjang — diturut oleh bapak si Gelang —
dibawanya duduk ketengah. Berkata
bapak si Gelang: „O buyung si Umbut
Muda — buyung berkisar malah duduk —
buyung beranjaklah dari situ — keatas
kursi emas ini — jangan buyung disana
jua — salah rupa dilihat orang — salab
roman dipandang orang.”

Menjawab si Umbut Muda: „O bapak,


dengarkan bapak! pada pikiran hati
hamba — 'lah patut hamba disini.
Mengapa hamba 'kan berasak —
mengapa hamba 'kan berkisar — keatas
kursi orang lain — maka hamba duduk
kesana?”

Berkata bapak si Gelang: „O buyung si


Umbut Muda! jika boleh beli dengan pinta
— perlakukanlah kehendak hamba.
Buyung kawin sekarang juga — dengan
Puteri Gelang Banyak.”
Menjawab si Umbut Muda: „O bapak,
dengarkan bapak — serta nenek mamak
hamba — yang duduk dirumah ini —
memintak ampun hamba banyak-banyak
— dengarkan hamba ber'ibarat:

Lurus jalan Kampung Cina,


beri bertonggak batang padi.
Sambut salam si dagang hina,
letak dibawah tapak kaki.

Anak Keling berbaju sitin,


sudah sitin sekelat pula.
Hamba hina lagi miskin,
sudah miskin melarat pula.
Empelas daun keloyang,
ditoreh maka dijemur.
Si Gelang emas, hamba loyang,
dimana boleh bercampur
baur?

Dengarkan jua oleh bapak! Jika elok


benarlah hamba, elok karena kain
bersalang — jika gedang benarlah
hamba, gedang karena tebu lingkaran —
jika kaya benarlah hamba, kaya karena
emas pembawa — emas pembawa ayah
hamba — akan gelang kakinya takkan
sampai. Kononlah serupa hamba ini —
tergeser akan diempalasnya —
tertangguk akan dikiraikannya — terbawa
akan diantarkannya — oleh Puteri Gelang
Banyak.”

Berkata bapak si Gelang: „Usah itu


buyung sebut — Usah dibincang-bincang
jua — usah diulang dua kali. Hanyalah
sekarang ini — meminta hamba sungguh-
sungguh — elok dipakai, buruk dibuang.
Jika kupur (durhaka) mau kami tobat —
jika salah hendak kami timbang — utang
suka kami membayar — asal pinta kan
berlaku — kehendak akan dikabulkan.
Buyung kawin jua kini — dengan Puteri
Gelang Banyak!”

Berkata si Umbut Muda: „Mana nenek


mamak hamba — yang hadir dihelat ini!
Beri ma'af hamba banyak-banyak —
hamba akan mengurak sela — hamba
akan dahulu turun — hamba berjalan kini
jua.” Mendengar kata yang demikian —
tercengang orangnan banyak. Berkata
bapak si Gelang: „O buyung! nantilah
dahulu — buyung jangan turun lekas —
nantikan helat sampai habis — minum
makan kita dahulu!”

Menjawab si Umbut Muda: „Kalau itu


bapak katakan — benar pula itu bapak:
akan tetapi hanya sedikit — terniat
ternazar dihati hamba — hamba akan
berjalan jauh — hamba akan balik
mengaji. Bapak lepaslah dahulu —
lepaslah dengan suka hati:
Sikujur berladang kapas,
kembanglah bunga perautan.
Jika mujur ibu melepas,
bagai ayam pulang kepautan.”

Mendengar kata demikian — keluarlah


Puteri Gelang Banyak — berkata sambil
menangis: „O tuan, tuan Umbut Muda —
apa nan merasa dihati — apa nan
bersalahan dimata — maka tuan hendak
berjalan? Coba katakan pada hamba!”

Menjawab si Umbut Muda:

„Putus berdenting tali rebab,


diimpit tanah berderai.
Adik jangan menanya sebab,
untung nan membawa sangsai.

Dengarkan sekali lagi:

Berburu kepadang datar,


kenalah rusa belang kaki,
berlimau purut hamba dahulu.
Berguru kepalang ajar,
bagai bunga kembang tak jadi,
berbalik surut hamba dahulu.

Hamba 'kan balik mengaji — izinkan


hamba — lepas dengan hati suci — lepas
dengan muka jerih:
Selasih diparak ubi,
hamba minta dipatahkan,
rotan ditarik orang Pauh,
entah berduri entah tidak.
Kasih adik selama ini,
hamba minta direlakan,
badan jika terdorong jauh,
entah kembali entah tidak.

Dengarkan sebuah lagi — supaya dua


pantun seiring:

O adik, keladang adik,


keladang mudik kelurah,
bayur tak berpucuk lagi.
O adik, tergemang adik,
'lah hilang ayam pengerumah,
bendul tak berluluk lagi!”

Menangis si Gelang Banyak — menangis


meraung panjang — mengempas-
empaskan badan — melecut-lecutkan diri
— meruntas-runtasi rambut —
didengkung dada nan jajai — mengesan
jari nan sepuluh — sebelas dengan
bentuk cincin. „O tuan, tuan Umbut
Muda!” katanya si Gelang Banyak
„mengapa tuan begitu benar — usah itu
disebut jua — usah dikenang-kenang lagi.
Jika salah hamba kepada tuan — jika
terdorong mulut hamba — jika tercela
oleh hamba — jangan diletak dalam hati.
Kalau salah biar kutimbang — kalau
berutang hamba bayar — usah tuan pergi
berjalan — usah tuan balik mengaji.”

Kononlah oleh si Umbut — gayung tidak


disambutnya — kata tidak dijawabnya —
pantun tidak dibalasnya — si Umbut
berjalan jua.

Berkata pula si Gelang:

„Kapal si Ali ke Benggali,


kapal si Tenggar ke Bawan.
Jika tuan pergi mengaji,
hamba tinggal tidak berkawan.
Tergenang air dijajaran,
terendam urat padi muda.
Tergemang hamba
ditinggalkan,
hamba 'lah tuan ajar manja.

Rumah beranjung di Ulakan,


rumah Baginda Raja Ganti.
Kami disanjung dientakkan,
alangkah ibanya hati kami.

'Lah runtuh sawah 'rang Kubu,


diimpit bandar Tan Maraja.
Tak elok tuan begitu,
kami diberi harap saja.
Anak 'rang di Padang Tarab,
bersunting bunga durian.
Hamba diberi kata harap,
bagai digunting perhatian.

Tiup api, pangganglah lakon,


anak raja pergi menjala.
Buruk baik ditangan tuan,
tidak kami banyak bicara.

Orang menampi dihalaman,


padi dicotok balam tunggal.
Tuan 'kan pergi berjalan,
hamba tidak suka tinggal!”

Menjawab si Umbut Muda: „O upik, Puteri


Gelang Banyak — dengarkan pula kata
hamba:

Apa direndang dikuali,


beras siarang belum masak.
Apa dipandang pada kami,
emas kurang, rupapun tidak.

Sutan Muda memakai cincin,


kiriman orang dari Andalas.
Berkasih-sayang dengan nan
miskin,
guna dengan apa'kan dibalas?

Limau purut belimbing besi,


makan seiris bubuhi garam.
Jangan ditumpang untung
kami,
biduk tiris menanti karam.

Simanting ditepi air,


rantingnya ambil pemulut,
pemulut burung rambak Cina,
singgah kepulau makan padi.
Adik kandung cobalah pikir,
sebelum kena eloklah surut,
awak mulia menjadi hina,
'kan rendah bangsa sebab
kami.”

Menjawab si Gelang Banyak:


„Ayam kurik rambaian tedung,
ekor terjela dalam padi,
ambil tempurung beri makan.
Dalam daerah tujuh Kampung,
tuan seorang tempat hati,
nan lain jadi diharamkan.

Ikan bernama gamba-lelan,


mudik menggonggong anak
damak.
Tuan sepantun gambar bulan,
indah dimata orang banyak.

Sutan Palembang 'rang


Pariaman,
duduk menyurat menulisi,
duduk melukis gambar bulan.
Sepantun jernang dalam
pinggan,
lekat tak hendak pupus lagi,
begitu sayang kepada tuan.

Kiambang 'rang Bangkahulu,


ditanam aur ditebing,
oleh poan bengkuang jua.
Sayang tiap helai bulu,
kasih menjadi darah daging,
oleh tuan terbuang saja.

Dengarkan benar oleh tuan:


Mengabut api Pulau Punjung,
orang membakar rimba raya.
Maksud hati hendak
bergantung,
tuan enggan, apakah daya?

Hamba sungguh hendak menurut — tuan


tak mau membawa; bawalah pantun
hamba ini — simpul didalam ikat
pinggang — bungkus didalam sudut
destar — letakkan benar dalam hati:

Serindit mati tertatal,


mati terpulut dalam padi.
Sedikit tuan tentu menyesal,
tidak dimulut, didalam hati.

Kebalai nan sekali ini,


kebalai tak membeli lagi.
Bercerai nan sekali ini,
kita ta'kan bersua lagi!”

Berkata si Umbut Muda:

„Jika adik mandi dahulu,


bergosok dengan daun lada.

Jika adik mati dahulu,


nantikan hamba disurga!”

Menjawab si Gelang Banyak:


„Surat nahu berukir perak,
dibaca Chatib Sidur Alam,
duduk dimihrab surau tua.
Sedang didunia lagi tidak,
diachirat wa'llahua'lam,
musim pabila akan bersua?”

Berkata si Umbut Muda:

„Tutuh limau padang ini,


takkan lama rampak lagi.
Lihat benar si dagang ini,
takkan lama tampak lagi.

Sebuah lagi, o dik kandung!


Jangan dicucup minum kilang,
kalau dicucup ditapisi.
Jangan dituntut dagang hilang,
dituntut jangan ditangisi.

Jangan ditimba biduk Padang,


kalau ditimba keruh jua.
Jangan dicinta dagang hilang,
kalau dicinta jauh jua.

Anak 'rang Kuok Bangkinang,


singgah kerumah Katib Sutan.
Layur bagai daun didiang,
usah diganti dengan nan
bukan.
Kekanan jalan ke si Pinang,
kekiri jalan ke Melaka,
kersik berderai tebing tinggi.
Dengan kanan jawat kasih
sayang,
dengan kiri hapur air mata,
kasih 'kan cerai hanya lagi!"

'Lah turun si Umbut Muda — dinaiki kuda


nan belang — dipacu berbalik pulang —
sekejap mata lenyap sekali. Menangis
Puteri Gelang Banyak — menangis
meratap panjang — mengempas-
empaskan badan — bergolat-golat
ditanah — hingga tidak tahu diri.
Tercengang helat nan banyak — berlari
semua kehalaman — ditating si Gelang
Banyak — dibawa keatas rumah. Dihari
sehari itu — tak lain dirintangkan orang —
hanya dimabuk si Gelang saja.

8. MAKAN HATI BERULAM


JANTUNG

Bakar rakit digunung Padang,


daun selasih bawa kepekan.
Sukar sulit kasih 'kan dagang,
awak kasih ia berjalan.

Kabar beralih tentang itu — sungguh


beralih sanan jua — beralih kepada si
Umbut. 'Lah tiba ia dirumah — lalu naik ia
sekali. Berkata si Umbut Muda kepada
adik kandung diri: „O upik Puteri Rambun
Emas — adik isikan malah bekal —
hamba 'kan balik mengaji — tinggallah
'kau dirumah. Sebuah petaruh hamba —
yang akan kaupegang teguh. Jika mati si
Gelang Banyak — mati sepeninggal
hamba — bawakan payung panji 'kau —
bawakan kain 'kan kapannya — kuburkan
kebukit Silanggung. Katakan begitu
kepada bapaknya — kabarkan begitu
kepada ibunya — katakan bahasa petaruh
hamba!”

Menjawah si Rambun Emas: „Jika itu


tuan katakan — insya Allah baiklah tuan
— petaruh hamba pegang erat — hamba
genggam teguh-teguh!”
'Lah berjalan si Umbut Muda — 'lah sehari
ia berjalan — cukup tiga hari penuh — tiba
ia disurau gurunya — nan bergelar
Tuanku Imam Muda — 'lah mengaji ia
disana.

Terkabar si Gelang Banyak — tidak lama


antaranya — sepeninggal si Umbut
berjalan — 'lah sakit pula si Gelang —
sakit nan tidak bangun lagi — makan
tidak minumpun tidak — sakitnya lebih
dari dahulu — payah dari nan 'lah sudah.
Banyaklah dukun nan mengobat —
banyak tawar nan ditawarkan —
banyaklah tambal nan ditambalkan —
obat sudah sepenuh rumah — tawar telah
bercawan-cawan — jangankan sembuh,
bertambah payah.

Kayu kelat tumbuh dihilir,


berurat berbanir tidak.
Obat jauh, penyakit hampir,
bertawar selilirpun tidak.

'Lah sepekan ia sakit — 'lah dua pekan ia


sakit — 'lah payah si Gelang Banyak —
sudah keluh-keluh kesah. Hari itu hari
Jum'at — sedang buntar bayang-bayang
— sedang letih-letih anjing — sedang
lengang langis orang — sedang sunyi
senyap unggas — sedang si cindai
bergelut — berkata si Gelang Banyak: „O
bapak, dengarkan bapak — o ibu,
dengarkan ibu! Imam hamba sudah
berkucak — 'lah lemah sendi tulang
hamba — akan sampai ajalu'llah hamba
— nan punya datang menjemput. Beri
ma'af hamba oleh bapak — beri ampun
hamba oleh ibu — relakan jerih payah
bapak — relakan air susu ibu — jawat
salam pada yang tinggal — hamba akan
berjalan lagi!”

Mendengar kata demikian — bandung


ratap ibu bapaknya — mengempas-
empaskan awak — melecut-lecutkan
badan — meruntas-runtas rambut.

Akan bagaimana pulatah lagi:


Pidoli, Kota Siantar,
pandan melilit Penyambungan.
Nyawa putus, badan terhantar,
arwah mengirap kejunjungan.

'Lah mati si Gelang Banyak. Dihari nan


sehari itu — ibunya sudah bergila-gila —
lupa dunia sehari itu — 'lah dikurung
masuk bilik. Dipukul tabuh dengan
canang — berhimpun orang semuanya —
gedang kecil tua muda — laki-laki
perempuan — baik imam baik pun chatib
— baik pakih baikpun maulana — rapat
pepat semuanya. Allahu rabbi banyak
orang!
Tak termuat didaun talas,
didaun terung penuh pula.
Tak termuat pada yang luas,
pada nan lekung penuh pula.

melihat si Gelang Banyak — melawat


mayat nan gadis.

Mendengar tabuh berbunyi — terkejut si


Rambun Emas — tersirap darah didada —
lupa 'kan badan seketika — lalu
mengucap masa itu: „Ya Allah, ya
Rasulu'llah — ya Tuhanku junjungan
hamba — tabuh apakah gerangan itu —
kakak Gelang agaknya mati?" Diambil
payung panji-panji — dikepitnya kain
sekayu — lalu turun ia sekali — berjalan
bergegas-gegas — jalannya lari-lari
anjing. 'Lah sebentar ia berlari — lah dua
bentar ia berjalan — tibalah ia di
Kampung Aur — dilihat orang sudah
banyak — 'lah bandung bunyinya ratap.
Naik ia keatas rumah — menjerembab ia
sekali menangkup kemayat si Gelang —
Meratap si Rambun Emas:

„Kerimba mengambil rotan,


anak siamang bergagauan.
Kakak'lah pergi berjalan,
dengan siapa adik
dipetaruhkan?

O kakak! dengarkan kakak:

Kepekan nan sekali ini,


kepekan tak membeli lagi.
Berjalan nan sekali ini,
berjalan tak kembali lagi.

Dengarkan jua oleh kakak:

Kerbau nan gedang dibantaian,


tunjang siapa 'kan membeli.
Kakak dimaksud akan
pakaian,
hilang dengan apa 'kan diganti.

Beruas-ruas buku jagung,


beruas sampai kebukunya.
Puas hati tuan kandung,
kakak berjalan sebab lakunya.

Beruas-ruas buku jagung,


beruas pula buku talang.
Puaslah hati tuan kandung,
kakak hamba terbaring
seorang.”

Mendengar ratap si Rambun Emas —


menangis puteri nan berenam — meratap
meraung panjang: „O adik Puteri Gelang
Banyak:

Sejak semula hamba latakkan,


tidak diletak dalam padi,
batang sitaka diampaikan.
Sejak semula hamba katakan,
tidak diletak dalam hati,
kami juga merasaikan.

Bakar rakit di Gunung


Padang.,
daun selasih bawa kepekan.
Sukar sulit kasih 'kan dagang,
awak kasih, ia berjalan."
'Lah sebentar orang meratap — 'lah dua
bentar mayat terbujur — datang pikiran
pada si Rambun — terkira akan pesan
tuannya — petaruh si Umbut Muda.
Berkata si Rambun Emas kepada ibu si
Gelang: „O ibu, ujarku ibu! dengarkan
hamba katakan — tatkala tuan Umbut
'kan pergi — berpetaruh kepada hamba.
Demikian bunyi petaruhnya: „Jika mati si
Gelang Banyak — mati sepeninggal
hamba — bawakan payung panji 'kau —
bawakan kain akan kapannya —
kuburkan kebukit Silanggung" — begitu
kata tuan Umbut. Inilah payung hamba
bawa — ibu tudungkanlah pada kak
Gelang; ini ada kain sekayu — akan kapan
oleh kak Gelang! Kononlah sekarang ini
— mayat 'lah lama tengah rumah —
mayat'lah lama terbujur — eloklah kita
kuburkan — kepuncak bukit Silanggung —
jangan kita tangisi jua — jangan kita ratap
jua!”

Menjawab ibu si Gelang: „Jika begitu


kata 'kau — kita bawa malah kesana —
kepuncak bukit Silang-gung.”

Akan bagaimana pulatah lagi: 'lah selesai


mayat dikapani — 'lah berjalan orang nan
banyak — membawa mayat si Gelang —
kepuncak bukit Silanggung. 'Lah sebentar
orang berjalan — 'lah dua bentar
antaranya — 'lah tiba orang disana —
dipuncak bukit Silanggung. Sesudah
ditanam mayat itu — ditegakkan pancang
kuburnya — dilekatkan langit-langitnya.

9. YANG HILANG SUDAH


KEMBALI

Kalau boleh siput bertali,


kuseret ketengah rimba.
Kalau boleh hidup dua kali,
kutimbang sekati lima.

Kabar beralih tentang itu — sungguh


beralih sanan juga — beralih kepada si
Umbut; cukuplah tiga hari pepat — mayat
si Gelang dalam kubur — tumbuh mimpi
oleh si Umbut. Apalah nan
dimimpikannya — bermimpi kehilangan
burung — berasian kehilangan destar.
Terbangun si Umbut tidur — lalu jaga ia
sekali — menangis mengesak-esak; baru
sebentar ia menangis — tibalah pikiran
masa itu — lalu turun ia sekali — pergi
kesumur mencuci muka — diambil air
sembahyang — berbalyk keatas surau.
Serta sudah ia sembahyang — bertanya
ia kepada gurunya: „O guru, ya guruku!
beri ma'af hamba oleh guru — beri ampun
banyak-banyak! Apakah takbir mimpi
hamba — hamba bermimpi malam tadi?”

Berkata guru si Umbut: „O buyung, si


Umbut Muda! Apakah nan engkau
mimpikan? — coba katakan kepada
hamba — coba kabarkan jelas-jelas —
supaya kulihat takbirnya.”

Menjawab si Umbut Muda: „Mimpi


hamba malam tadi — bermimpi
kehilangan burung — bermimpi
kehilangan destar. Apa takbirnya itu
guru? Coba katakan oleh guru — supaya
senang hati hamba!”

Kononlah guru si Umbut — diambil sekali


surat mimpi — dibawa ketengah surau —
dibilang-bilang hari bulan — menggeleng-
geleng masa itu — sambil mengangguk-
anggukkan kepala. Berkata guru si
Umbut: „O buyung, si Umbut Muda! Jika
itu engkau mimpikan — buruklah itu
takbirnya: Kerugian didalam kampung —
engkau kehilangan permainan —
kematian bini malah itu.”

Mendengar kata demikian — menangis si


Umbut Muda — air mata bagai hujan
lebat — jatuh dua jatuh tiga-bagai intan
putus pengarang — bagai manik putus
talinya — bagai bonai direntak pagam.

Berkata guru si Umbut: „O buyung, si


Umbut Muda! Jangan hati diperusuh —
jangan hati dipermabuk — buyung
pulanglah dahulu — berjalan malah kini-
kini — jangan tumbuh umpat dengan puji
— kepada orang sekampungmu.”

Menjawab si Umbut Muda: „Kalau begitu


kata guru — kalau 'lah izin dari guru —
hamba pulang malah dahulu. Beri ampun
hamba oleh guru — beri ma'af banyak-
banyak — hamba balik dahsutu pulang.
Tunangan hambalah agaknya — bernama
Puteri Gelang Banyak — nan sampai
ajulu'llilahnya — waktu sakit hamba
berjalan — sedang letih hamba
tinggalkan.”

Berkemas si Umbut Muda — berjabat


salam dengan gurunya — diunjamkan
lutut nan dua — ditekurkan kepala nan
satu — lalu berjalan ia sekali.

Berapa lama dijalan — tibalah di


Kampung Teberau — tiba ia dirumah
ibunya — lalu naik ia sekali. Berkata si
Umbut Muda: „O upik, Puteri Rambun
Emas — bertanaklah engkau sebentar —
menggulailah agak sececah — sejak pagi
hari siang — belum menginyam nasi
sebutir — mengisap-isap hati hamba —
gemetar rasa jantung hamba.”

'Lah bertanak si Rambun Emas — nasi


masak gulaipun masak — kopi sudah
masak pula. 'Lah makan si Umbut Muda
— minum kopi ia sekali. Sudah minum
dengan makan — berkata si Rambun
Emas: „O tuan, tuan Umbut Muda —
benar jua kata tuan — kakak hamba
Puteri Gelang Banyak — 'lah mati jua nan
jadi — berkubur dibukit Silanggung.
Lorong kepada pesan tuan — sudahlah
hamba sampaikan — petaruh sudah
hamba katakan — semuanya sudah
hamba kerjakan. Serta hilang kak Gelang
Banyak — hamba bawakan payung panji
— hamba bawakan kain kapannya.”

Mendengar kata demikian — menangis si


Umbut Muda — air mata iring-gemiring —
lalu dibawanya menengadah — hati bagai
disayat-sayat — jantung bagai diiris-iris.
Berkata si Umbut Muda: „O upik Puteri
Rambun Emas — hamba 'kan turun
sebentar — kesumur pergi mandi — tidak
tertahan panas badan.”

'Lah turun si Umbut Muda — berjalan


melereng bukit. 'Lah sebentar ia berjalan
— 'lah dua bentar antaranya — sampai
kepuncak bukit Silanggung. Dipandang
kiri dengan kanan — dipandang hilir
dengan mudik — 'lah tampak kubur si
Gelang. Tersirap darah didada —
terpercik peluh dikening — mengalir
ketulang punggung — air mata iring-
gemiring — terentak duduk bermenung.
'Lah sebentar ia menangislah dua bentar
ia bermenung — tampaklah seorang anak
gembala

Berkata si Umbut Muda: „O, buyung


kemari sebentar — sukakah buyung
hamba suruh — maukah buyung hamba
seraya — hamba beri emas setahil.
Ambilkan hamba lidi kerambil — lidi
kerambil nyiur hijau — nan bernama si lidi
gila — ambilkan dua kali tujuh!”
Menjawab anak 'rang gembala:
„Sedangkan gembala hamba mau konon
pula mengambil lidi!"

Setelah dapat emas setahil — berjalan


anak 'rang gembala — mencari kerambil
hijau. Karena untung pemberi Allah —
Tuhan akan menolongnya — belum
serentang ia berjalan — 'lah tampak
kerambil hijau — nan menaruh silidi gila;
dipanjatnya kerambil itu silidi diambil
sekali lidinya — dibilang dua kali tujuh.
Lidi 'lah sudah diambil — berlari-lari ia
balik — berbalik kepada si Umbut; serta
tiba ia disana — lalu diberikan lidi itu.
Berkata anak 'rang gembala: tuan, tuan
Umbut Muda — inilah lidi nan hamba cari
— banyaknya dua kali tujuh!”

Berkata pula si Umbut: „O buyung anak


gembala — sebuah lagi pinta hamba —
sebuah lagi kehendak hamba tolonglah
carikan hamba limau — limau nan tiga
sepunjut — limau nan tiga serangkai —
tumbuhnya ditepi lubuk — pijakkan
bayang-bayangnya — kuberi kau emas
setahil!”

Giranglah anak 'rang gembala — 'lah dua


tahil beroleh emas. Berjalan ia sekali —
pergi mencari limau itu. Karena mujur
anak 'rang gembala — pinta si Umbut
akan berlaku — belum serentang ia
berjalan — 'lah nampak limau sebatang —
tumbuhnya ditepi lubuk — berbuah tiga
sepunjut; lalu dipanjatnya limau itu —
dipetiknya buah nan setangkai. Setelah
limau dibawa turun — ia berlari kepada si
Umbut — serta tiba diberikannya —
beroleh pula emas setahil.

Bertanya si Umbut Muda: „O buyung,


anak 'rang gembala — beri lurus hamba
bertanya! Siapakah punya kubur ini —
diatas puncak bukit ini?”

Menjawab anak 'rang gembala: „Jika itu


tuan tanyakan — ini lah kubur Puteri
Gelang Banyak!”

Berkata pula si Umbut: „Kini begitulah


oleh buyung — tolonglah hamba sekali ini
— tolonglah dengan jerih payah —
tolonglah gali kubur ini — hamba beri
pakaian sepersalin!”

Mendengar kata demikian giranglah hati


'rang gembala — emas dapat pakaian
dapat; berlari sekali pulang berlari
menjemput tembilang — akan penggali
kubur si Gelang. Ada sebentar antaranya
— baliklah pula anak gembala; serta tiba
ia bersiap — dibuka baju dibadan —
disingsingkan celana tinggi-tinggi — lalu
digalinya kubur itu. 'Lah sebentar ia
menggali — 'lah dua bentar ia menggali
'lah tampak biang-biangan *)26. Cukup
tiga bentar ia menggali — 'lah tampak
mayat si Gelang — lalu ditating keatas
kubur. 'Lah ditoreh kocong kapan — 'lah
tampak rupa si Gelang — rupa nan bagai
orang tidur — jangankan busuk berbau
tidak — jangankan gembur, lisutpun tidak;
hanya sebuah saja cacatnya — nyawa
nan tidak ada — napas dibadan nan
hilang.

Berkebun kebukit Sulah,


tumbuhlah kapas muda-muda.
Meski tertimbun dalam tanah,
lamun teras membangun jua.

Berkata si Umbut Muda: „O buyung 'rang


gembala — minta tolong hamba kepada
buyung — jemputkan apalah hamba air —
bawakan cawan sebuah.

Berjalan anak 'rang gembala — pergi


menjemput air; tidak lama antaranya —
'lah tampak ia berbalik — membawa air
seperian — serta dengan cawan sebuah
— diberikannya kepada si Umbut. Berkata
pula si Umbut: „O, buyung 'lah payah
menoiong — inilah ringgit sepura —
sedekah hamba pada buyung — pergi
buyung menggembala — pergilah lihat
kerbau awak.”

'Lah berjalan anak 'rang gembala —


bergegas si Umbut Muda — dibakar
kemenyan putih — asap menjulang
keatas langit — harum setimbang dengan
negeri dicucutkan air kecawan — disayat-
sayat pula limau — diremas-remas dalam
cawan. Mendo'a si Umbut Muda —
berkaul kepada yang keramat — meminta
kepada yang akan dapat — berkata si
Umbut Muda:

„Titian di Kota Kecil,


dibuang orang Talang Enau.
Berdasun beriada kecil,
Berlidi keranrbii hijau.”

Sekaii melayang limau — terangkat daki


si Gelang; dua kali melayang limau —
bercahaya sampai kelangit — kelangit
berbayang kuning — kelaut berbayang
merah — kedunia mengelimantang.

page=92

Diambilnya air sembahyang — ditariknya


pula lidi tadi — dicambuk empu kaki si
Gelang — mendenyut keubun-ubun. 'Lah
bergerak si Gelang Banyak — dicambuk
sekali lagi — 'lah duduk si Gelang Banyak
— diembus umbun-umbunnya — tahu
berunding ia sekali — tahu bertutur
dengan si Umbut. Berkata si Gelang
Banyak:

„Tak kusangka akan kegua,


kegua jua malah kiranya.
Tak kusangka akan bersua,
bersua jua malah kiranya.”

Menjawab si Umbut Muda: „Adikku Puteri


Gelang Banyak:

Berbilang dua kali lima,


berbilang dengan buku jari.
Hilang adik sekian lama,
apa jua yang kaucari?”

Menjawab Puteri Gelang Banyak:

„Berbilang dua kali lima,


berbilang sampai sembilan.
Hilang nan sekian lama,
tak cerai hamba dengan tuan!

Dengarkan jua oleh tuan:

Damar padam haripun terang,


orang dilurah kematian,
kepekan membeli kain,
dapat merekan panjang lima,
selasih berjurai daun.

Nyawa padam, tubuhpun


hilang,
'lah merah tanah penggalian,
berderum air penalakin,
tertegak nisan nan dua,
kasih 'kan tuan cerai belum.

Ramai pasar 'rang Suliki,


tempat berjual-beli minyak.
Barang kemana tuan pergi.
hilang dimata, lupa tidak.

Pisang ketela pisang rotau,


pucuk diguncang-guncang
balam.
Allah jua siang malam,
terkenang jua siang malam.

Gedang air telentang panjang,


kersik kesawah 'rang Suliki,
bercampur dengan daun
talang.
Angan-angan ke tuan seorang,
kasih nan boleh tahan uji,
sayang nan boleh tahan
timbang.

Elang dijungut batu mandi,


menyambar ayam sambil
terbang.
Batang tubuh boleh diganti,
rupa tiada kunjung hilang.

Punai dibukit Tambun Tulang,


kena getah dua-dua.
Ruman tidak mau hilang,
rasa dimata tampak jua.

Mengabut api Pulau Punjung,


orang memarun rimba raya.
Maksud hati hendak
bergantung,
tuan enggan, apakan daya!”

Berkata si Umbut Muda:

„Tinggi bukit Gunung Padang,


tempat orang bertanam cekur.
Sejak adik terdengar hilang,
hamba nan tidak lelap tidur.
Singkarak jalan ke Muara,
jalan orang membeli padi.
Hati rusak, badan binasa,
untunglah pandai main budi.

Cucilah kain dengan sabun,


bawa keair buang daki.
Adik sepantun kasah embun,
hilang dengan apa'kan diganti.

Layang-layang menyambar
buih,
dibalik pulau Angsa Dua.
Kasih sayang dicari boleh,
tempat hati larang bersua.
Kalau terkenang 'rang di
Pandan,
mati kesturi dalam kaca.
Kalau terkenang 'rang ditolan,
tidur bertilam air mata.

Kalau 'ndak tahu diladang


padi,
ke Panti jalan ke Cubadak.
Kalau 'ndak tahu disayang
kami,
lihatlah api makan dedak.

Hari Ahad pukul sebelas,


orang melepas layang-layang.
Adik kandung janganlah
cemas,
tidak berubah kasih sayang.

O upik Puteri Gelang Banyak —


dengarkan benarlah oleh kau! Marilah
kita balik pulang — ibu'lah angus dengan
rindu — bapak 'lah kurus kira-kira.”

Menjawab si Gelang Banyak:

„Ketebing hambapun suka,


kononlah kelurah pula.
Terbaring hamba lagi suka,
kononlah berjalan berdua.

Orang membaca surat nahu,


dibaca sambil berdiri.
Hilang dengan nyawa hamba
mau.
hanyalah tuan takut mati.”

Menjawab si Umbut Muda:

„Sejak semula hamba latakkan,


tidak diletak dalam padi,
pandan jua meladungkan.

Sejak semula hamba katakan,


tidak diletak dalam hati,
badan 'kau jua
menanggungkan.

Senduduk 'rang Limbanang,


dipepat dikabung tujuh.
Dimana hidup akan senang,
malah diperbuat nan merusuh.

Jika tidak hujan dihulu,


tidaklah ara berapungan.
Jika tidak enggan dahulu,
tidaklah begini penanggungan.

Lubuk dangkal, ikannya jinak,


sanalah pandan muda-muda.
Awal dikenal, achir idak,
sanalah badan maka binasa.

Sekarang beginilah nan elok — kita


hentikanlah dahulu — tak usahu
dibincang jua — tak usah diulang jua.
Marilah kita pulang kerumah — berjalan
kita kini — sebab hari 'lah rembang
petang — usah kita lalai jua — supaya
senang hati bapak — supaya suka hati
ibu — supaya tahu orang dikampung —
'kau sudah kembali hidup.”

Akan bagaimana pulatah lagi — berjalan


si Umbut Muda — berjalan berdua-dua —
berdua dengan si Gelang. Lama lambat
ia dijalan — tibalah dikampung si Gelang
— ialah diranah Kampung Aur. Ibu si
Gelang sedang dirumah — sedang
bermenung tentang pintu. Serta tampak
si Gelang melintas — hilang rasanya
darah didada — berkata ia kepada
lakinya: „O tuan bapak si Gelang — itu
serupa si Gelang Banyak — itu seroman
anak kita; lihatlah ketengah jalan —
pandanglah ke tengah lebuh!”

'Lah menengok bapak si Gelang —


melihat ketengah lebuh — 'lah tampak si
Gelang Banyak. Tercengang bapak si
Gelang — dipatut-patut dengan 'akal —
tidak mungkin itu anaknya. Berkata
bapak si Gelang: „Bingung benar malah
'kau — anak kita sudah — 'lah mati —
masakan ia hidup pula. Penglihatan 'kau
banyak nan seroman — penuh orang
yang serupa.

Kalau boleh siput bertali


kuseret ketengah rimba.
Kalau boleh hidup dua kali,
kutimbang sekati lima!"

Berjalan jua si Gelang — si Umbut


berundung-undung — menempuh ranah
Kampung Aur. 'Lah sebentar ia berjalan —
lepaslah dari Kampung Aur — tiba di
Kampung Teberau — lalu naik ia sekali —
ialah kerumah ibu si Umbut.

10. BERHELAT KAWIN

Kinayan dibalik kandang,


dibelah dibalik buku.
Kemenyan sudah terpanggang,
sembah tiba pada tuanku.
'Lah sehari ia dirumah — 'lah dua hari
antannya — berkata si Umbut Muda: „O
upik Puteri Gelang Banyak — serta Puteri
Rambun Emas — berhelat gedanglah
kalian bantai — kerbau empat lima
tumbangkan rengkiang dua tiga —
panggil segala nenek mamak — besar
kecil tua muda — baik imam dengan
chatib — orang ranah Kampung Aur —
serta ranah Kampung Teberau — supaya
tahu orang semuanya — bahasa si
Gelang balik hidup.”

Akan bagaimana pulatah lagi — 'lah


dibantai kerbau empat lima — 'lah
tumbang rengkiang dua tiga — akan
makanan helat banyak — dipukul tabuh
larangan — menyahut tabuh nan banyak
— menggeluguh dipukul tabuh dibukit —
menyahut tabuh dilurah — tabuh Jum'at
menyudahi. Terkejut orang negeri —
gemparlah orang Kampung Aur — 'lah
tiba umat semuanya — baik imam
dengan chatib — banyak penghulu
dengan manti — pegawai bersama-sama
orang banyak berbondong-bondong.
Yang buta datang berbimbing — yang
lumpuh datang berdukung — yang
pincang tinjak-tinjaki. Berkata penghulu
kampung: „Apa sebab tabuh berbunyi —
dahulu tidak berguguh? Apa sebab
canang dipukul — dahulu tidak begitu?
Adakah randa dapat malu — adakah
dubalang salah hukum — ataukah parit
nan terhampar — ataukah pancang nan
'lah rebah — ataukah ranjau nan 'lah
lapuk — ataukah aur nan diretas —
ataukah musuh nan mengadang?"

Menjawab si Umbut Muda: „Bukan randa


dapat malu — bukan dubalang salah
hukum — bukan patir nan terhampa —
bukan ranjau nan 'lah lapuk — bukanlah
musuh nan mengadang. Mana segala
ninik mamak — maka hamba himpunkan
kemari — jika boleh pinta hamba —
hamba hendak menjamu ninik mamak —
meminta kawin masa kini — dengan
Puteri Gelang Banyak. Parenailah segala
ninik mamak — naik keatas rumah kami."
'Mendengar kata demikian tercengang
orang nan banyak — heran lah hati
semuanya — tidak lulus pada 'akal —
tidak lantas pada pikiran — si Gelang 'kan
hidup-balik.

Baharu tampak oleh si Umbut — orang


heran cengang-cengang — 'ariflah ia
masa itu — bahasa orang tidak percaya.
Berkata si Umbut Muda: „Mana ninik
mamak hamba — usah lama tegak
dihalaman — parenailah sekali keatas
rumah."

Mendengar kata demikian — naiklah


orang keatas rumah — lalu diberi minum
makan.
Serta sudah minum dan makan — berdiri
si Umbut Muda — dibuka kelambu kuning
— tersingkap kelambu kasah embun —
terbayang si Gelang Banyak —
membayang lalu kehalaman —
mencahaya sampai keudara; kelangit
berbayang kuning — kelaut berbayang
merah — kebumi mengelimantang.
Tercengang orang nan banyak — bisik
'lah berdesus-desus — garis 'lah berapi —
melihat si Gelang Banyak — 'lah mati
berbalik hidup.

Berkata ibu si Gelang — berkata ia


kepada lakinya: „O tuan bapak si Gelang!
Tidak jua kata hamba — sejak dahulu
hamba katakan bahasa si Gelang 'lah
balik hidup. Lihat jua oleh tuan — lihatlah
dengan sungguh-sungguh — pandang
dengan nyata-nyata. Itu siapa dalam
kelambu — bukankah itu si Gelang
Banyak?”

Menjawab bapak si Gelang: „Bingung


benar engkau ini — bodoh benar malah
kiranya — penglihatan 'kau nan berlainan
— pemandangan 'kau nan bertukar.
Orang banyak nan serupa — 'lah nyata
anak kita mati — manakan mungkin
hidup lagi?

Kalau boleh siput bertali,


kubawa kedalam lurah.
Kalau boleh hidup dua kali,
tanda kiamat bumi Allah!”

Mendengar kata demikian — berkata si


Umbut Muda:

„Ada siput yang bertali,


kuseret menempuh semak.
Ada hidup dua kali,
ialah Puteri Gelang Banyak!”

Berkata pula si Umbut — berkata kepada


si Gelang: „O adik Puteri Gelang Banyak
— adik keluarlah sebentar — pergilah
temui ibu bapak — pergilah jelang
keduanya — supaya tahu orang banyak —
supaya percaya semuanya.”
Kononlah si Gelang Banyak keluar dari
dalam bilik — berjalan tertatah-tatah —
berjalan ditengah helat — meminta ma'af
kanan kiri — pergi mendapatkan
bapaknya — pergi menemui ibunya. Serta
tiba ia menyembah — menangkup
keharibaan ibu — menangis si Gelang
Banyak: „O ibu, dengarkan ibu:

Tak kusangka akan kegua,


kegua jua nan jadi.
Tak kusangka akan bersua,
bersua jua nan jadi!”

Mendengar anak menangis — melihat


anak'lah meratap — menangis pula ibu si
Gelang — meratap pula nan jadi. Berkata
ibu si Gelang:

„Tembakau anak 'rang


Sikilang,
dari hulu turun berakit.
Sejak 'kau, upik, sudah hilang,
tiap bulu menanggung sakit.

Gemuruh sorak 'rang berhilau,


berarak beriring-iring.
Rusuh hati terkenangkan
dikau,
air mata iring-gemiring.
Berlari-lari memanjat pinang,
berpayah-payah memanjat
kepundung.
Sejak sehari engkau hilang,
ibu sudah masuk kungkung.

Kalau tidak ditebat orang,


'kau mandi, hamba menyauk,
supaya sama berbasah-basah,
disumur 'rang Kota Tua.
Kalau tidak dikebat orang,
'kau mati, ibu mengamuk,
supaya sama berkalang tanah,
sekubur kita berdua.”
'Lah sebentar ia menangis — lah dua
bentar ia meratap — berkata si Umbut
Muda: „O ibu, dengarkan ibu — o bapak,
kataku bapakku! Mengapa bapak
menangis jua — mengapa ibu meratap
jua? Tak patut bapak menangis — tak
padan ibu meratap — patut bersuka-suka
hati — nan hilang sudah kembali — nan
mati sudahlah hidup. Berkaul-kaullah
bapak — berniat-niatlah ibu memuji
kepada Allah — jangan memuji kepada
hamba!”

Berkata bapak si Gelang: „Insya Allah


baiklah itu! hanya nan sekarang ini
buyung perlakukan kehendak hamba —
buyung berilah pinta kami. Buyung kawin
kini jua — buyung nikah sehari ini dengan
si Upik Gelang Banyak!”

Menjawab si Umbut Muda: „Jika itu


bapak katakan — jika itu kehendak ibu —
insya Allah baiklah itu!”

'Lah kawin si Umbut Muda — dihari sehari


itu. Serta sudah nikah dijawat — nasi
ditating orang pula — minum makan
sekali lagi, serta sudah minum dan
makan dibaca do'a selamat. 'Lah selesai
orang mendo'a berkata bapak si Gelang:
„O buyung si Umbut Muda — sebuah lagi
kehendak kami — sebuah lagi nan dipinta
— buyung berbalik pulang dahulu — ialah
keranah Kampung Aur — boleh kita
melepas niat — boleh kita membayar
kaul — berhelat pula kita di sana.
Manalah ninik dengan mamak — segala
sanak saudara hamba — besar kecil tua
muda — laki-laki perempuan nan hadir
dihelat ini — gedang tidak disebut gelar —
kecil tidak diimbau nama. Beri ma'af
hamba banyak-banyak — meminta
ampun gedang-gedang — bukanlah akan
dipermudah-mudah — meminta hamba
sungguh-sungguh kita bertolak
semuanya — keranah ke Kampung Aur —
keranah Puteri Gelang Banyak! Biarlah
habis sawahladang — biarlah habis harta
benda — barang terhirun biar terdaing
*)27 — biar tertulang biar terdaging — kita
berhelat tujuh hari — bergelanggang agak
sebulan — kita arak si Umbut Muda
beserta Puteri Gelang Banyak. Kita
panggil orang semuanya — seluhak se
Lima Puluhnya — seluhak se Tanah
Datarnya — serta orang Luhak Agam —
sampai ke Kubung Tiga Belas!”

Menjawab orang nan banyak: „Insya Allah


baiklah itu!”

Berkata si Umbut Muda: „Kalau begitu


maksud bapak — jika itu niat nazar —
bapak berbaliklah dahulu — bapak
pulanglah kini-kini — tangkaplah kerbau
dikandang — tangkaplah jawi dipadang —
keluarkan padi dilumbung — apa yang
kurang suruh cari. Lorong kepada ninik
mamak — hamba membawa kemudian —
itu jangan bapak rusuhkan — itu jangan
bapak risaukan — lekaslah bapak balik
pulang.”

Kononlah bapak si Gelang ia bergegas


balik pulang — berjalan bergulut-gulut —
berjalan tergesa-gesa. 'Lah serentang
perjalanan — 'lah dua rentang perjalanan
— dekat semakin 'kan hampir — hampir
dekat 'kan tiba — tibalah ia tengah
halaman — lalu naik ia sekali. Berkata
bapak si Gelang: „Mana anakku
keenamnya — mari kalian semuanya —
jelanglah karib baid kita — sekalian sanak
saudara — minta tolong sungguh-
sungguh — apa nan kurang suruh cari —
kita akan berhelat gedang — mengarak
Puteri Gelang Banyak — dengan buyung
si Umbui Muda. 'Lah hidup ia kembali —
dirumah si Rambun dia kini — diranah
Kampung Teberau — 'lah kawin ia tadi
pagi.”

Mendengar kata demikian — sukalah


puteri nan berenam — riang yang bukan
alang-alang — lalu berjalan turun sekali
dibawa uncang berisi — memanggil
sanak saudara — meminta tolong akan
berhelat.

Akan bagaimana pula lagi — datanglah


orang nan banyak — keranah si Gelang
Banyak — habis bekerja semuanya — ada
pegangan masing-masing. 'Lah sehari
dua hari — cukup ketiga harinya — hasil
semua pekerjaan. Berjalan bapak si
Gelang keranah Kampung Teberau —
menjemput si Umbut Muda — dengan
Puteri Gelang Banyak. 'Lah sebentar ia
berjalan — 'lah dua bentar ia berjalan —
tibalah ia dirumah si Rambun — lalu naik
ia sekali. Ada sebentar tengah rumah —
berkata bapak si Gelang: „Mana buyung
Umbut Muda — maka hamba datang
kemari — mendapati janji nan dahulu —
menjemput kalian keduanya — serta ninik
dengan mamak — baik imam dengan
chatib — laki-laki perempuan — seranah
Kampung Teberau — melepaskan niat
nan dahulu — menyampaikan maksud
tempoh hari; jika boleh permintaan
hamba — kini jua kita berjalan!”
Kononlah pada masa itu — diguguh
tabuh larangan — sahut-menyahut tabuh
nan banyak — berdentum tabuh dibukit —
membalas tabuh dilurah — terkejut orang
negeri — 'rang banyak hilau-berhilau —
pegawai bersama-sama — penghulu
berpangkat-pangkat — nan buta datang
berbimbing — nan lumpuh datang
berdukung — nan pincang tinjak-tinjaki.
Berkata penghulu kampung: „Apakah
sebab tabuh berbunyi — dahulu tidak nan
bagini! Apakah sebabnya canang dipukul
— dahulu tidak nan begitu! Ataukah
dubalang nan mendapat — ataukah randa
dapat malu — ataukah parit nan 'Iah
bubus — ataukah pancang nan
terdampar — ataukah ranjau nan 'lah
lapuk — ataukah aur nan beretas —
ataukah musuh nan mengadang?”

Menjawab si Umbut Muda: „Bukan randa


dapat malu — bukan dubalang nan
mendapat — bukan musuh nan
mengadang: maka ninik mamak
dikampungkan — mengulang kata nan
dahulu — permintaan dari bapak hamba
— kita bertolak semuanya — kita berjalan
kini-kini — ialah keranah Kampung Aur.”

Berkata orang nan banyak: „Insya Allah,


baiklah itu!”

Akan bagaimana pula lagi — bersiap si


Gelang Banyak — memakai cara puteri-
puteri, berkemas si Umbut Muda —
memakai cara rang Bugis — 'lah
berdestar seluk timba — bersisamping
kain Palembang: dibawakan langkah lima
— surut kelangkah nan empat, lalu tegak
berdiri betul — ditenggar cermin nan
gedang — dipandang bayang-bayang diri
— tegak ketengah bermenung — tegak
ketepi menegun — diputar cincin dikiri —
dipaling cincin dikanan — berjalan turun
sekali.

page=107

Akan bagaimana pula lagi — 'lah berjalan


orang nan banyak — berjalan
berbondong-bondong — berjalan
berduyun-duyun — Allahu rabbi banyak
orang! Penghulu berpuluh-puluh —
pegawai beratus-ratus — orang banyak
beribu-ribu — cukup imam dengan chatib
— mengarak si Umbut Muda. Rasa
kiamat bumi Allah — berapa gendang dan
rebana — bunyi bedil merendang kacang
— rasakan pekak nan mendengar —
berapa sorak dengan sorai — berapa
tepuk dengan tari. Rupa serban sudah
memutih — destar gedang 'lah
menghitam. Selama lambat dijalan —
dekat hampir 'kan tiba — tibalah umat
semuanya — diranah di Kampung Aur.
Turunlah puteri nan berenam —
membawa ait cuci kaki — serta dengan
beras kuning — menyongsong si Umbut
Muda. Setelah sampai dihalaman — lalu
ditaburkan beras kuning — sambil ditegur
merapulai, oleh puteri nan berenam,
begini bunyi tegurnya: — serta tiba atas
rumah — berbunyi rebab dan kecapi —
berbunyi gendang dan celempong —
berapa salung dengan puput — puput
'rang ranah Kampung Aur — menanti
helat nan datang. 'Lah cukup alat nan
datang — berkata bapak si Gelang:

„Petat nan berangkai-rangkai,


petai nan berjinjing-jinjing.
Datuk nan diujung lantai,
datuk nan dilingkung dinding.
Si Japun mandikan anak,
mandi bertimba air urai.
Beri ampun hamba pada nan
banyak,
hamba menegur marapulai.

Dipanjat kerambil pagai,


reraskan mumbang mudanya.
Hamba menegur marapulai,
serta dengan orang mudanya.

Kayu kelat medang dilurah,


ketiga kayu medang lumat,
tumbuh dibukit bio-bio,
ambil sebatang jadi tonggak,
keramuan rumah nan gadang.
Penghulu banyak nan bertuah,
alim banyak nan keramat,
hamba ini kena serayo,
tak dapat tempat mengelak,
tertumbuk dibadan seorang.

Enau kecil nimbuh sebanjar,


kurang rapat runduk-
rundukkan.
Hamba kecil jolong belajar,
jika kurang tunjuk-tunjukkan.

Sudahlah kembang bunga


bolai,
padi nan hampir menuruti,
Sudahlah datang marapulai,
kami nan hampir menuruti.

Anak kambing dalam jilatang,


memakan buah dalu-dalu.
Apa sebab lambat datang,
jalan berkelok tempat lalu?

Dibelah-belah batang padi


dibelah lalu diperdua.

Alangkah sukanya hati kami,


anak seorang jadi berdua.

Mudik buaya berpasangan,


mudik berenang ke Singkarak.
Sepantun kasau dengan
bubungan,
putus pengarang maka rerak.

Si Amat Padang Siabung,


nak lalu ke Guguk Sarai.
Berkamat kain berkabung,
'lah laluh maka bercerai.

Cempedak tengah halaman,


dijolok dengan empu kaki.
Jangan lama tegak dihalaman,
itu cibuk basuhlah kaki.

'Rang Padang membawa


kundur,
dibelah-belah ditanamkan.
Tingkatlah jangjang tepiklah
bandur.
jejaki tikar kedudukan!"

Akan bagaimana pula lagi, dibasuh kaki


si Umbut Muda. Sesudah kaki dibasuh —
lalu naik ia sekali — mengiring orang nan
banyak:

„Tidak tergetapkan, pinang,


pinang berbuah semuanya.
Tidak teratap terbilang,
datuk bertuah semuanya.

Kiniyan dibalik kandang,


dibelah-belah dengan kuku.
Kemenyan sudah dipanggang,
sembah tiba pada tuanku!

Bacalah do'a selamat — meminta rahmat


pada Allah — nan dimaksud sudah-
sampai — nan di'amal sudah pecah —
mati'lah berbalik hidup — nan hilang
sudah kembali.”

Berkata tuanku imam, bergelar Tuanku


Imam Muda: „Jika itu niat dan nazar —
kita masukkan dalam do'a!”

Mendo'a Tuanku Imam Muda — serta


sudah do'a dibaca — minum makan
orang nan banyak. 'Lah sudah minum
dan makan — makan sirih sekapur
seorang. Sedang elok pertuturan —
sedang longgar perkabaran — berkata
orang nan banyak: „O tuan bapak si
Gelang — makan sudah obat lapar —
minum sudah obat haus — meminta kami
mengurak sela-mencari tempat masing-
masing.”

Menjawab bapak si Gelang: „Akan


bagaimanatah pula lagi — jika itu pinta
datuk — hamba lepas dengan hati suci —
hamba lepas dengan muka jernih!”

11. PENUTUP

Makan jangan beremah,


kepiring tuangkan bubur.
Didunia hidup serumah,
diachirat mati sekubur.

'Lah pulang helat nan banyak — 'lah


tinggal si Umbut Muda — berdua dengan
si Gelang Banyak. Habis hari berbilang
pekan — habis pekan berbilang bulan —
cukuplah tiga bulan pepat — terkira pula
oleh si Umbut — hendak pulang
kekampungnya — keranah Kampung
Teberau. Berkata si Umbut Muda: „O adik
Puteri Gelang Banyak — dengar benarlah
oleh kau! 'Lah lama kita disini — hamba
ingin hendak pulang — hamba terkenang
dikampung hamba — marilah kita pergi
kesana — kerumah Kampung Teberau —
pergi bertemu dengan si Rambun."
Menjawab si Gelang Banyak: „Jika itu
tuan katakan — tidak hamba akan
bertangguh — kebarang empat ujar tuan
— kebarang tempat tuan bawa — hamba
tidak mendua hati. Hanya sedikit pinta
hamba — berkata tuan sepatah —
berkabar tuan sedikit — minta izin malah
dahulu — kepada ibu bapak kita —
supaya senang hati beliau!”

Mendengar kata demikian — didapatkan


ibu dan bapak; berkata si Umbut Muda:
„O ibu, dengarkan ibu — O bapak, ujarku
bapak! beri izin hamba dahulu — hamba
hendak pulang kembali — keranah ke
Kampung Teberau — si Gelang bersama
pula.”
Menangis ibu si Gelang — menangis
mengesak-esak: „Jika itu buyung katakan
— rusuhlah kira-kira hamba — rusuhlah
rasa dalam hati — karena mataku belum
puas — karena hatiku belum lepas —
memandangi kalian kedua. Tapi jika
begitu pinta buyung — tak dapat kami
menidakkan — bagaimana kami akan
menahani? Buyung pergilah dahulu —
buyung pulanglah cepat. Sebuah hanya
pinta kami, jangan lama buyung berjalan
— jangan ama kami ditinggalkan. Inilah
jenis badan kami — inilah rupa tua badan
— haus kemana minta air — lapar
kemana minta nasi — rusuh kemana
dikatakan? Jika datang sakit ngelu
pening — siapalah akan hamba imbau —
siapa nan akan membela. Entah terjadi
dinihari — entah mati tengah jalan — apa
kan tenggang 'akal kami?”

Menjawab si Umbut Muda: „Jika itu ibu


katakan — itu jangan ibu rusuhkan — itu
jangan ibu risaukan — itu jangan bapak
cemaskan. Setahun ibu tak bersua — dua
musim bapak tidak bertemu — sehari
haram hamba lupakan. Jika untung
pemberi Allah — tak ada aral melintang —
tidak sakit ngelu pening — lekas kami
kembali surut!”

Berkemas si Gelang Banyak — bersiap si


Umbut Muda — jawat salam dengan
mentua — lalu turun ia sekali, "Lah
serentang perjalanan — "lah dua rentang
perjalanan — hampir dekat 'kan tiba —
tibalah diperhentian — ialah di Jirak Jirau
Randin — dikayu kandung nan sebatang
— diberingin nan rimbun daun — dikanan
talang perindu — dikiri beraur Cina. Hari
nan sedang tengah hari — sedang buntar
bayang-bayang — sedang letih lesu
tulang — sedang lengang-lengis orang —
sedang si cindai bergelut — berkata si
Umbut Muda: „Adikku Puteri Gelang
Banyak — dengarkan pulalah dikau:

Sijelitak sijelutai,
bertitian batang talas.
Tulang litak bagai ditulai,
berbaur ditimpa panas.
Memakan kerak 'lah dahulu,
berulam pucuk kepundung.
Berlepas pelaklah dahulu,
sementara kita boleh
berlindung.”

Berkata si Gelang Banyak: „Jika itu tuan


katakan — pucuk dicinta ulam tiba —
hamba hendak berhenti jua — pelak nan
bukan oleh-oleh. Inilah kampil sirih tuan
— mengunyah sirihlah sekapur — supaya
lepas payah badan — supaya mendung
hati ini — nanti kita berjalan pula!”

'Lah mengunyah si Gelang Banyak 'lah


mengudut si Umbut Muda — seri'lah
keubun-ubun — kelat tinggal
dirangkungan; sedang dapat agak-agak
— sedang datang kira-kira — berkata si
Umbut Muda: „O adik, Puteri Gelang
Banyak — berhenti sudah obat payah —
rasanya hati sudah lindung — marilah kita
berjalan pula.”

'Lah tegak si Gelang Banyak — berdiri si


Umbut Muda — lalu berjalan sekali. Dekat
semakin 'kan hampir — hampir dekat 'kan
tiba — 'lah tampak Kampung Teberau;
berasa lama pula berjalan — tibalah ia
tengah halaman — lalu naik ia sekali —
kerumah Puteri Rambun Emas.

Lama lambat ia disana — diranah


Kampung Teberau — habis hari berbilang
pekan — habis pekan berbilang bulan —
cukup tujuh bulan pepat — 'lah sakit si
Umbut Muda — sakit nan tidak jaga lagi
— minum tidak makanpun tidak — makin
diobat makin sangat. 'Lah rusuh hati si
Gelang — Lah mabuk hati si Rambun —
siang malam menangis saja. Karena
untung takdir Allah — 'lah sakit pula si
Gelang. Terdengar ke Kampung Aur —
datanglah pula ibunya — datang Puteri
nan berenam — melihat si Gelang Banyak
— melihat si Umbut sakit: dibawa obat
dengan tawar. Serta tiba obat dikenakan:
baru sebentar obat makan habis pingsan
keduanya — lupa dunia seketika. Ada
sebentar dua bentar — berkata si Umbut
Muda: „Mana kau Puteri Rambun Emas —
mana ibu bapak hamba — letihlah rasa
badan hamba — goyah segala sendi
tulang — rezeki gerangan nan 'lah habis
— janjian rupanya nan 'Iah sampai. Beri
ampun hamba oleh bapak — beri ma'af
hamba oleh ibu — relakan apa nan
termakan — relakan jerih payah ibu —
ma'afkan kata terdorong — baik lahir
baikpun batin — jangan menjadi utang
piutang.”

Mendengar kata demikian — menangis


ibu si Umbut — menangis orang nan
banyak.

Berkata pula si Gelang — suaranya


sayup-sayup sampai: „O ibu, ujarku ibu —
dengarkan benarlah oleh ibu! Tentang
kepada badan hamba — ' ah datang pula
nan menjemput — rasa "kan sama kami
hilang — beri ma'af hamba banyak-
banyak beri ampun hamba kini-kini —
jangan berutang diachirat, selamat ibu
nan tinggal — selamat pula kami nan
pergi. Hanya sebuah petaruh hamba—jika
kami bersama hilang — kuburkan kami
dibukit — dibukit berseberang-
seberangan — supaya sama
bertentangan— itulah amanat dari
hamba; ibu pegangkan erat-erat — ibu
genggam teguh-teguh ’’

Akan bagaimana pulatah lagi — Allah


ta'ala kaya sungguh Tuhan berbuat
sekehendaknya! Kata sudah dikatakan —
amanat sudah ditinggalkan — matilah ia
keduanya — dihari yang sehari itu;harinya
hari — Jum'at sedang tengah hari tepat.
Diguguh tabuh larangan — sahut
menyahut tabuh nan banyak —
berdentum tabuh dibukit membalas
tabuh dilurah, terkejut orang negeri —
habis datang semuanya — besar kecil tua
muda — laki-laki perempuan. Serta tiba
tengah halaman — bandunglah bunyi
ratap tangis — naiklah orang semuanya
— ’ lah tampak maiat si Gelang ia
keduanya — dihari yang sehari itu;harinya
hari — Jum'at sedang tengah hari tepat.
Diguguh tabuh larangan — sahut
menyahut tabuh nan banyak —
berdentum tabuh dibukit membalas
tabuh dilurah, terkejut orang negeri —
habis datang semuanya — besar kecil tua
muda — laki-laki perempuan. Serta tiba
tengah halaman — bandunglah bunyi
ratap tangis — naiklah orang semuanya
— ’lah tampak mayat si Umbut —
heranlah orang nan banyak habis
mengutcap semuanya.

Kononlah ibu si Umbut — serta ibu Si


Gelang Banyak bertiga si Rambun Emas
— sembilan dengan puteri nan berenam
— mengempas-empaskan badan
memukul-mukuli diri — memeruntas-
runtasi rambut lalu pingsan sekali.
Berkata penghulu kampung — kepada
mamak si Gelang serta kepada bapak si
Umbut: „Mana Tuanku Panjang Janggut
— lamalah sudah mayat berbujur —
eloklah kita kuburkan sementara hari
belum petang.’’

Mendiawab Tuanku Panjang Janggut:


„Kalau itu nan kata Datuk akan —
bagaimana pulatah lagi — sebuah hanya
pinta hamba — petaruh dari nan mati —
tatkala ia sakit-sakit ― jika sampai ia
berpulang ― meminta berkubur atas
bukit ― bukit nan berseberang-
seberangan — itu petaruh hamba pegang
— itu amanat hamba genggam — patut
kita sampaikan jua — jangan kita
berketinggalan — jangan kena sumpah
ruhnya.”

page=117
Menjawab penghulu kampung: „Kalau itu
permintaannya — kita bawa malah
kesana — kebukit nan dua bertentangan
— disana kita kuburkan — disana tanah
nan meminta.”

Akan bagaimana pulatah lagi —


dimandikan mayat keduanya — sudah
dimandikan dikapani — lalu dibawa turun
rumah. Allahu rabbi bunyi ratap — Allahu
rabbi bunyi tangis — bagaikan runtuh
rumah gedang — karena tangis orang
banyak. Berjalan orang nan banyak —
membawa mayat si Umbut — dua mayat
si Gelang — dikuburkan diatas bukit —
bukit nan dua berdekatan — bukit nan
berhadap-hadapan. Sampai sekarang
ada jua.

Cerita habis kabarlah tamat — api padam


puntunglah hanyut — kami tidak disana
lagi.

B.P. No. 410 — '69

Catatan kaki
1. ↑ *) Pesuruh pemerintah negeri
2. ↑ Murid
3. ↑ dipatut-patut
4. ↑ Putih kaki keempatnya tanda kuda
bertuah.
5. ↑ Mendua-dua kecll.
6. ↑ Kolam-kolam kecil tempat
membasuh kaki.
7. ↑ Ditawari.
8. ↑ *)Mengejokkan
9. ↑ *)Peloi
10. ↑ *) Nama semacam buah.
11. ↑ **) Sebangsa balam
12. ↑ Beradu kemewahan.
13. ↑ Jimat perkasih.
14. ↑ )* Terhuyung.
15. ↑ *) Semacam belalang.
16. ↑ **) Tergesa-gesa.
17. ↑ 'Cemas dan ngeri.
18. ↑ *) Salang=Pinjam
19. ↑ Putaran air
20. ↑ *) Tidak teratur lagi
21. ↑ *) Angin puput bayu.
22. ↑ **) Bergoyang-goyang.
23. ↑ *) Rambut terurai ditiup angin.
24. ↑ Semacam kelindan.
25. ↑ *) Sirih yang dikerunyutkan berisi
pinang didalamnya, suatu tanda
untuk panggilan berhelat.
26. ↑ *) Membayang
27. ↑ *) Biar habis harta benda

Diperoleh dari
"https://id.wikibooks.org/w/index.php?
title=Cerita_Si_Umbut_Muda&oldid=80428"

Halaman ini terakhir diubah pada 5 Juli 2022,


pukul 07.32. •
Konten tersedia di bawah CC BY-SA 4.0 kecuali
dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai