Anda di halaman 1dari 2

Kutipan Novel “Siti Nurbaya”

Karangan Marah Rusli


Dalam satu pekan, bangkrutlah toko ku itu , sebab kumakan segala kue tersebut . setiap orang
yang membeli kue di toko ku , aku usir agar makanan itu tidakhabis oleh nha,’’ kata Bakhtiar
Yang mendengar nya tertawa.
‘’keempat,” kata Arifin pula, “setiap kali merusakan badan. Teringat kalau kuda sudah terlalu
panas, jadi kehausan, atau orang yang tidak minum selama empat lima hari, tiba-tiba di beri
minum yang banyak, dapat mendatangkan ajalnya.
Yang kelima, yaitu yang paling utama hampir lupa aku sebutkan, yakni supaya kelak jangan
kau rasakan lelah mendaki, karena ingatanmu telah diikat oleh ceritaku yang menarik.’’
‘’Keenam,’’ menyela Bakhtiar,’’sebab kita telah sampai ke seberang, haruslah kita bayar
sewa sampan orang,’’ seraya ia mengeluarkan uang empat sen dari saku nya dan memberikan
uang itu kepada tukang sampan, lalu melompat ke daratan. Ketiga temanya pun melompat
mengikutinya.
“Di kedai itu aku lihat ada tebu, marilah kita beli! Tentu kita nanti akan haus dijalan,’’ kata
samsul.
“Aku akn membawa sirup dua botol,’’ jawab Bakhtiar.
‘’kalau cukup, kalau tidak cukup, dimana kita cari nanti?’’ kata Samsu pula.
Sesudah membeli tebu, ,ulailah keempat anak muda ini mendaki. Gunung Padang yang
tingginya kira-kira 322 m, ialah ujung sebelah utara gunung-gunung rendah, yang
memanjang di sebelah selatan kota Padang. Itulah sebabnya, maka pinggir laut di situ pada
tempat curam dan jarang didiami orang. Asalnya gunung-gunung ini pada bukit barisan, yang
memanjang di tengah-tengah Pulau Sumatera dari ujung barat laut ke ujung tenggara.
Gunung Padang adalah sebagai suatu cabang bukit barisan itu, menjorok ke barat, sampai ke
tepi laut kota Padang.
Orang Belanda menamai Gunung Padang ini Apenberg (gunung kera*), sebab di puncaknya
banyak kera yang jinak, yang memberi kesukaan kepada mereka kepada yang mendaki
gunung itu apabila dipanggil dan di beri pisang datanglah kera-kera itu puluhan banyaknya,
memperebutkan makanan ini kera yang besar-besar, terkadang berani merampas pisang atau
makanan lain, dari tangan orang. Sungguh demikian, tak ada orang yang berani berbuat
apapu atas kera-kera ini, sebab pada sangka anak neger kota Padang, kera-kera itu keramat,
tak boleh diganggu. Jika dibunuh, tentulah yang menangkap itu tak dapat mencari jalan
pulang. Ada pula yang bersangka, bahwa kera-kera itu asalnya dari orang yang telah mati,
yang telah meninggalkan dunia, untuk mendoakan arwahnya.
Walaupun gunung ini pada hakikatnya tempat sedih dan duka cita, akan tetapi pemandangan
di atas puncaknya sangatlah indah, dijadikanlah tempat bermain. Jalanya brtangga-tangga
naik ke atas supaya pada musim hujan, mudah di daki. Di puncaknya didirikan tiang bendera
yang tinggi. Pada tiap hari Ahad, berkibarlah bendera pada ujung tiang ini. Dekat tiang
bendera itu, di buat sebuah rumah punjung yang bundar, cukup dengan bangku dan mejanya,
tempat melepaskan lelah, akan menyejukan badan yang panas karena mendaki, dibuatlah
ayun-ayuan tempat yang berangin menggantikan kipas. Sekalian ini dibersihkan oleh orang
hukuman. Oleh sebab itu setiap hari Ahad, dikunjungi tempat ini oleh mereka yang hendak
berjalan-jalan mencari kesenangan dan kesehatan tubuhnya, seraya membawa makanan dan
minuman.
Ketika nurbaya dengan teman-temanya sampai di pertengahan gunung iyu, pada suatu
pendakian yang curam, berkatalah ia sambil mencari batu besar untuk duduk,’’ Alangkah
baiknya, apabila ada kendaraan yang dapat ditunggang ke atas sini!’’
‘’Bagaimana? Belum sampai separuh jalan, telah lelah,’’ kata Arifin, seraya membuka
kancing baju nya, akan melepaskan hawa panas yang keluar dari badanya.
‘’kalau tulangku sebesar tulangmu, aku tidak akan berkata sedemikian,’’ jawab Nurbaya.
‘’Ha, sangkaku sekarang datang waktunya, aku akan menceritakan, asal mulanya keramaian
di rumahku tadi malam, sebab kulihat kamu sekalian berteriak, karena kelelahan,’’ kata
Arifin .
‘’Ya, ya,’’ jawab Bakhtiar ,’’ mulailah!’’
‘’baik,dengarkan dan perhatikan benar-benar!’’ kata Arifin pula, lalu bercerita, ‘’tatkala
berbunyi katuk-katuk aku sedang dengan orang tuaku di serambi belakang, hendak makan.
Sangat terkejut kami, sebab bunyi katuk-katuk itu datang dari rumah jaga, yang tiada
berjauhan dari rumah kami. Ayahku lalu melompat dari kursinya dan berteriak kepada
opasnya,’’Saban, suruh pasang bendi!’’ kemudian masuklah ia ke dalam biliknya akan
menukar pakaianya. Seketikakemudiann, keluarlah pula ia, lalu berteriak, sambil
mengancingkan baju nya,’’ Sudah ,saban’’
‘’Sudah.engku,’’ jawab opas ini.
Ayahku lalu turun, sambil berkata kepada ibuku,’’Mauk ke dalam dan tutup pintu!’’
Ibuku yang rupanya sangat terkejut, tak dapat berkata apa-apa, hanya,’’Hati-Hti’’ tatkala
dilihatnya ayahku turun.
‘’Jangan khawatir!’’ jawab ayahku,lalu melompat ke atas bendinya.
Maka tinggalah kami dengan si Baki, sebab kusir tak ada di rumah. Katuk-katuk itu bunyinya
semakin lama semakin keras, sehngga kami makin lama makin bertambah takut. Maka
disuruhlah oleh ibuku tutup pintu jendela, lalu kami masuk ke dalam bilik. Karena takut,
tidak ingat kalau kami lapar.
‘’Ya,benar.’’ Kata samsu, ‘’Kami di rumah pun demikian pula; hanya bertiga dengan bujang
saja. Ayahku sejak pukul lima petang tak ada di rumah. Coba kalau ada apa-apa, bagaimana
dapat melawan? Untunglah ayah Nurbay datang ke rumahku, mengatakan kami tak usah
takut, sebab pengamukan itu jauh. Dan lagi kalau ada apa-apa ia segera datang.”

Anda mungkin juga menyukai