SMAN 1 SRENGAT TAHUN PELAJARAN 2020/2021 Ujar Lampu Lalu Lintas
Sinar matahari membakar kulit sampai ke tulang belulangmu. Bulir keringat
mengguyur deras di sekujur tubuhmu. Engkau terus mengayuh tiada henti demi sesuap nasi. Di keramaian kota istimewa Yogyakarta di sekitar Jalan Malioboro yang penuh dengan kepulan asap kendaraan. Orang-orang melintas dalam gegas bersimbah peluh diliputi lautan udara bermuatan asap knalpot, terlihat sesosok lelaki setengah umur dengan caping dan handuk kusam di bahunya sedang mengayuh becak tua mengantarkan penumpangnya sampai ke depan gang sempit dekat kos-kosan. “Stop Pak. Sampai disini saja. Berapa ongkosnya Pak?”, kata salah seorang mahasiswi yang baru saja menaiki becaknya. Sambil mengusap keringat,”Lima ribu rupiah saja neng”, Sambil mengeluarkan uang dua puluh ribuan mahasiswa tadi berkata,”Ini Pak, ambil saja kembaliannya”. Pak Tukiman pun menjawab,”Terimakasih banyak ya Neng semoga ini menjadi berkah bapak”. “Aamiin Pak”, kata si mahasiswi. Dengan penuh semangat, walau terik matahari menyengat dan keringat mengucur di dahinya, Pak Tukiman tetap mengayuh becak tuanya yang telah lama menjadi tumpuan hidupnya. Terlihat beberapa kantong kresek merah menggantung di kanan dan kiri sisi becak tuanya, entah harta apa yang tengah di bawanya. Ngikk…ngekk..ngik..ngek, begitulah suara becak Pak Tukiman di malam yang dingin saat memasuki pekarangan sebuah rumah kontrakan yang sudah tak layak huni. “Assalamu’alaikum”, ucap Pak Tukiman ketika hendak memasuki halaman rumah Dari dalam rumah terdengar seseorang menjawab salam tersebut dengan suara yang amat pelan, “Wa’alakumsalam,.. uhuuk uhukk bapak sudah pulang”, jawab istri Pak Tukiman yang keluar dengan langkah perlahan karena memang ia sedang sakit. “Sudah bu, anak-anak dimana bu. Apa mereka sudah tidur?”, tanya Pak Tukiman “Iya pak mereka sudah tidur. Bagaimana pekerjaan bapak hari ini, apa banyak penumpang sampai pulang larut malam begini?”, tanya balik istri Pak Tukiman “Alhamdulillah bu banyak sedikitnya harus tetap kita syukuri” “Benar pak, Allhamdulillah yang terpenting kita masih bisa makan dan memiliki tempat tinggal itu saja sudah cukup. Ayo pak masuk dulu ke dalam bapak mandilah dulu setelah itu ibu siapkan makanan untuk bapak”, kata istri Pak Tukiman Di usianya yang menginjak kepala lima, Pak Tukiman masih mempunyai tanggungan yaitu anaknya yang kedua Sulis masih bersekolah di SMA dan anaknya yang ketiga Muiz sedang duduk di bangku SMP, belum lagi istrinya sakit-sakitan dirumah. Untung anak pertamanya, Sulis ikut membantu perekonomian keluarga dengan berjualan gorengan dari warung ke warung sepulang sekolah. Dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan Pak Tukiman tetap bersyukur dengan apa yang diberikan Tuhan, ia tak sedikitpun mengeluh dengan keadaanya sekarang. Ia percaya bahwa Tuhan itu maha adil dan tidak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuanya. Kala itu tepat saat matahari berada di atas kepala di pinggiran Jalan Malioboro terlihat pangkalan becak yang berjejer rapi, tepat di paling ujung barisan becak tersebut becak tua berwarna merah tengah ditunggui oleh sang pemilik. Pak Tukiman yang tampak lesu karena sedari pagi belum ada pemasukan. Sebenarnya 15 menit yang lalu seorang ibu berbadan gempal menghampiri becak tuanya, penumpang tersebut membawa cukup banyak barang belanja, saat mulai mengemudikan becaknya Pak Tukiman kehilamgan keseimbangan dan mereka hampir saja terjatuh. Penumpang tersebut merasa kesal. “Eeehh gimana sih Pak, yang bener dong”, ujar ibu tersebut saat becak Pak Tukiman hendak jatuh terhuyung Dengan raut wajah penuh penyesalan Pak Tukiman memohon maaf kepada ibu tersebut “Maaf bu, saya tidak sengaja bu” “Bapak ini gimana sih. Untung aja saya engga kenapa-napa kalau sampai saya jatuh bapak mau ganti rugi”, ujar ibu berbadan gempal itu sambil berkacak pinggang, Pak Tukiman hanya terdiam tak bergeming merutuki kecerobohannya. “Kalau begini saya tidak mau bayar, makanya lain kali yang bener pak”, sambung ibu itu Habis memaki Pak Tukiman ibu berbadan gempal itu pergi begitu saja. Dengan rasa kecewa Pak Tukiman kembali ke parkiran becak dengan tangan hampa, kembali tak mendapat sepeserpun rupiah. Meskipun belum mendapat rezeki hingga siang, hal itu tidak mematahkan semangatnya. Dan ketika terdengar suara adzan berkumandang, ia lekas mendekati becak tuanya mencari kresek merah yang menyimpan alat sholat, dengan langkah perlahan Pak Tukiman berjalan menuju ke arah mushola dekat pangkalan becaknya. Ketika kembali Pak Tukiman dikejutkan dengan kehadiran dua orang yang nampak asing dalam penglihatannya, mereka berdiri tepat di sebelah becak tuanya. Seorang pemuda dengan pakaian rapi dan seorang gadis berjilbab merah muda tengah berdiri di depan becaknya. “Alhamdulillah”, kata Pak Tukiman dalam hati, ia mengira kedua orang tersebut adalah penumpang pertamanya hari itu. “Cari Narasumber lain saja disini panas, kotor, berdebu, banyak asap kendaraan”, kata gadis berjilbab merah muda dengan kesal sambil mengibas-kibaskan tangannya. Ketika mereka berbalik badan, mereka mendapati Pak Tukiman berdiri di belakang mereka. “Permisi pak, selamat siang”, ujar ramah pemuda itu sambil menjabat tangan Pak Tukiman. “Siang mas, ada apa ini mas?”, tanya Pak Tukiman dengan raut wajah yang sedikit cemas “Tujuan kami kemari menemui bapak adalah untuk mewawancarai bapak, itupun jika bapak berkenan ”, ujar pemuda tersebut “Boleh mas, tapi saya ini hanya seorang tukang becak. Apa mas tidak salah orang?”, tanya Pak Tukiman. “Tidak Pak saya sudah mengamati sedari tadi becak bapak belum ada yang menumpangi, tetapi bapak terlihat sabar dan terlihat tetap tenang. Bagaimana bisa bapak bertahan dalam pekerjaan ini ”, ujar pemuda tersebut. Pak Tukiman tidak menjawab hanya menampakkan senyum tipis, kedua wartawan tersebut mengerutkan dahinya tanda kebingungan. Kemudian si wartawan gadis berjilbab merah muda itupun mengajukan beberapa pertanyaan kepada Pak Tukiman mulai dari asal usulnya hingga mengenai profesi nya. Gadis berjilbab merah muda itu mulai merasa kesal karna semua pertanyaan tampak di jawab dengan mudah oleh Pak Tukiman. Si wartawan itu pun berpikir bahwa pertanyaan brilian berikutnya akan memancing jawaban lebih panjang dan lebih mencengangkan, yang akan menghibur para pembaca majalahnya. Dan dia nekad bertanya "Menurut Anda, apa itu arti kehidupan?". Setelah pertanyaan tersebut dilontarkan, suasana berubah menjadi mencekam. Hening sebentar, namun diluar dugaan kembali terlihat sebuah senyum tipis dari Pak Tukiman, teringat jerih payah, keringat, pegal-pegal, kurang tidur, tak makan, tak minum, yang telah ia tempuh demi menjalani hidup. "Begini," Pak Tukiman mulai menjelaskan, "Pertama-tama, lihatlah lampu lalu lintas di ujung jalan itu” Mendengarnya, wartawan itu kian mencondongkan badannya ke depan, matanya berbinar antusias. Wartawan itu terkesiap. Tak siap. Namun rasa penasarannya terusik, dan keinginan kuat untuk mempertahankan reputasinya sebagai sang penanya brilian. “Lihatlah! lampu lalu lintas di pinggiran jalan itu. Apa maknanya?” tanya Pak Tukiman. Kedua wartawan itu bingung dibuatnya, gadis berjilbab merah mudapun menjawab dengan ragu “Lampu merah tanda berhenti, kuning berhati-hati, dan hijau jalan”. “Lalu apa arti kehidupan sebenarnya?”, tanya Pak Tukiman dengan penuh semangat, kedua wartawan tersebut saling bertatapan dan seperti memberikan isyarat bahwa mereka sama-sama merasa bingung. Cukup lama mereka hanya diam, mereka berpikir keras. Keduanya saling mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan sangat hati-hati. Merasa terusik pada akhirnya mereka kembali bertanya “Apa arti nya Pak Tukiman apa hubungan antara kehidupan dengan lampu lalu lintas itu?”, ucap pemuda itu, ia nampak sudah pasrah “Itulah arti kehidupan mas, mbak. Lampu merah mengajarkan untuk bersabar ketika memang ada saatnya harus berhenti sebentar. Memanfaatkan waktu untuk berpikir dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Sedangkan lampu kuning mengajarkan kita agar bertindak berhati-hati agar yang kita lakukan malah merugikan orang lain. Dan dari lampu hijau kita belajar jika waktunya untuk berjalan, lekaslah jalan, jangan menunda-nunda lagi” ujar Pak Tukiman, ia kemudian menghela nafas sejenak. “Bagaimana bisa bapak menganggap hidup semudah itu?”, tanya gadis berjilbab merah muda yang nampak kesal “Saya sudah hidup lebih dari 50 tahun, asam manis kehidupan sudah saya rasakan. Kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Oleh karena itu, saya jalani hidup dengan sebaik-baiknya. Untuk membuat hidup bahagia dan berarti, kita tidak harus jadi orang kaya. Namun, setidaknya kita dapat berbagi pada mereka yang membutuhkan. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, kita harus bekerja. Tidak ada yang tidak mungkin mbak, mas jika Tuhan sudah berkehendak”, jelas Pak Tukiman. Kedua wartawan tersebut hanya diam tidak ada lagi lontaran pertanyaan dari keduannya. Seperti rasa ingin tahunya telah terpenuhi. Hening, itulah gambaran mengenai suasana yang kini terjadi dibawah lampu jalan yang sudah menyala, pertanda bahwa hari sudah mulai surut. Tanpa di sadari percakapan itu sudah mencapai akhir ketika terdengar suara adzan magrib. Mereka memutuskan mengakhiri wawancara tersebut dan bergegas menuju mushola untuk menunaikan sholat. Begitulah kisah Pak Tukiman dalam menjalani kehidupannya dengan keikhlasan dan rasa sabar yang terangkum hangat pada sebuah majalah. Beberapa hari kemudian datang beberapa orang dengan pakaian rapi dan seorang yang nampaknya adalah bos mereka datang bertamu ke rumah Pak Tukiman. Rupanya pria yang menggunakan jas tersebut adalah pemilik dari kantor majalah yang memuat kisah Pak Tukiman, tanpa di duga kedatangan bos tersebut adalah untuk memberikan hadiah kepada Pak Tukiman. Bos kantor majalah itu berkata “Saya sangat tersentuh dengan kisah pak Tukiman begitupun dengan para pembaca, sebelumnya saya selalu mengejar dunia tetapi setelah membaca kisah pak tukiman dan nasihat lampu lalu lintas itu hati saya terenyuh saya sadar hidup bukan hanya tentang harta dan kuasa tapi bagaimana kita bisa berguna bagi banyak orang. Terimakasih banyak Pak Tukiman” “Saya senang pak jika dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang. Namun beginilah kehidupan saya, seorang tukang becak Saya hanya berusaha mensyukuri segala sesuatu yang ada”, ujar Pak Tukiman “Bapak benar-benar luar biasa, saya memiliki niat baik mohon bapak tidak menolak niat saya. Saya ingin membiayai pengobatan istri bapak dan ini ada sedikit uang untuk bapak”, ujar bos majalah tersebut sambil memberika sejumlah uang kepada Pak Tukiman. “Alahamdulillah, terimakasih banyak pak. Terimakasih” Jawab Pak Tukiman dengan raut wajah begitu gembira hingga meneteskan air mata “Sama-sama Pak Tukiman saya harap ini dapat bermanfaat bagi bapak”. Mereka kemudian saling berpelukan. Keluarga Pak Tukiman begitu senang mendengar kabar tersebut. Buah kesabaran dan keihklasan Pak Tukiman begitu manis, seperti lampu lalu lintas Pak Tukiman menjalani hari-harinya, dengan mengikuti alur kehidupan ia tetap bersabar, berhati-hati dan terus berjalan mencoba melakukan yang terbaik yang ia bisa. Hidup hanya sementara yang terpenting adalah bagaimana kita memanfaatkannya sebaik mungkin.