Anda di halaman 1dari 6

TUGAS BAHASA INDONESIA

“Ujar Lampu Lalu Lintas”

NAMA : SHALSA BILA AGUSTINA


KELAS : XI IPS 3
NO.ABSEN : 29

SMAN 1 SRENGAT
TAHUN PELAJARAN 2020/2021
Ujar Lampu Lalu Lintas

Sinar matahari membakar kulit sampai ke tulang belulangmu. Bulir keringat


mengguyur deras di sekujur tubuhmu. Engkau terus mengayuh tiada henti demi
sesuap nasi. Di keramaian kota istimewa Yogyakarta di sekitar Jalan Malioboro yang
penuh dengan kepulan asap kendaraan. Orang-orang melintas dalam gegas bersimbah
peluh diliputi lautan udara bermuatan asap knalpot, terlihat sesosok lelaki setengah
umur dengan caping dan handuk kusam di bahunya sedang mengayuh becak tua
mengantarkan penumpangnya sampai ke depan gang sempit dekat kos-kosan.
“Stop Pak. Sampai disini saja. Berapa ongkosnya Pak?”, kata salah seorang
mahasiswi yang baru saja menaiki becaknya.
Sambil mengusap keringat,”Lima ribu rupiah saja neng”,
Sambil mengeluarkan uang dua puluh ribuan mahasiswa tadi berkata,”Ini Pak, ambil
saja kembaliannya”.
Pak Tukiman pun menjawab,”Terimakasih banyak ya Neng semoga ini menjadi
berkah bapak”.
“Aamiin Pak”, kata si mahasiswi.
Dengan penuh semangat, walau terik matahari menyengat dan keringat mengucur di
dahinya, Pak Tukiman tetap mengayuh becak tuanya yang telah lama menjadi
tumpuan hidupnya. Terlihat beberapa kantong kresek merah menggantung di kanan
dan kiri sisi becak tuanya, entah harta apa yang tengah di bawanya.
Ngikk…ngekk..ngik..ngek, begitulah suara becak Pak Tukiman di malam yang
dingin saat memasuki pekarangan sebuah rumah kontrakan yang sudah tak layak huni.
“Assalamu’alaikum”, ucap Pak Tukiman ketika hendak memasuki halaman
rumah
Dari dalam rumah terdengar seseorang menjawab salam tersebut dengan suara
yang amat pelan, “Wa’alakumsalam,.. uhuuk uhukk bapak sudah pulang”, jawab istri
Pak Tukiman yang keluar dengan langkah perlahan karena memang ia sedang sakit.
“Sudah bu, anak-anak dimana bu. Apa mereka sudah tidur?”, tanya Pak Tukiman
“Iya pak mereka sudah tidur. Bagaimana pekerjaan bapak hari ini, apa banyak
penumpang sampai pulang larut malam begini?”, tanya balik istri Pak Tukiman
“Alhamdulillah bu banyak sedikitnya harus tetap kita syukuri”
“Benar pak, Allhamdulillah yang terpenting kita masih bisa makan dan memiliki
tempat tinggal itu saja sudah cukup. Ayo pak masuk dulu ke dalam bapak mandilah
dulu setelah itu ibu siapkan makanan untuk bapak”, kata istri Pak Tukiman
Di usianya yang menginjak kepala lima, Pak Tukiman masih mempunyai
tanggungan yaitu anaknya yang kedua Sulis masih bersekolah di SMA dan anaknya
yang ketiga Muiz sedang duduk di bangku SMP, belum lagi istrinya sakit-sakitan
dirumah. Untung anak pertamanya, Sulis ikut membantu perekonomian keluarga
dengan berjualan gorengan dari warung ke warung sepulang sekolah. Dengan keadaan
ekonomi yang pas-pasan Pak Tukiman tetap bersyukur dengan apa yang diberikan
Tuhan, ia tak sedikitpun mengeluh dengan keadaanya sekarang. Ia percaya
bahwa Tuhan itu maha adil dan tidak akan menguji hambanya melebihi batas
kemampuanya.
Kala itu tepat saat matahari berada di atas kepala di pinggiran Jalan Malioboro
terlihat pangkalan becak yang berjejer rapi, tepat di paling ujung barisan becak
tersebut becak tua berwarna merah tengah ditunggui oleh sang pemilik. Pak Tukiman
yang tampak lesu karena sedari pagi belum ada pemasukan. Sebenarnya 15 menit
yang lalu seorang ibu berbadan gempal menghampiri becak tuanya, penumpang
tersebut membawa cukup banyak barang belanja, saat mulai mengemudikan becaknya
Pak Tukiman kehilamgan keseimbangan dan mereka hampir saja terjatuh. Penumpang
tersebut merasa kesal.
“Eeehh gimana sih Pak, yang bener dong”, ujar ibu tersebut saat becak Pak
Tukiman hendak jatuh terhuyung
Dengan raut wajah penuh penyesalan Pak Tukiman memohon maaf kepada ibu
tersebut “Maaf bu, saya tidak sengaja bu”
“Bapak ini gimana sih. Untung aja saya engga kenapa-napa kalau sampai saya
jatuh bapak mau ganti rugi”, ujar ibu berbadan gempal itu sambil berkacak pinggang,
Pak Tukiman hanya terdiam tak bergeming merutuki kecerobohannya.
“Kalau begini saya tidak mau bayar, makanya lain kali yang bener pak”, sambung
ibu itu
Habis memaki Pak Tukiman ibu berbadan gempal itu pergi begitu saja. Dengan
rasa kecewa Pak Tukiman kembali ke parkiran becak dengan tangan hampa, kembali
tak mendapat sepeserpun rupiah.
Meskipun belum mendapat rezeki hingga siang, hal itu tidak mematahkan
semangatnya. Dan ketika terdengar suara adzan berkumandang, ia lekas mendekati
becak tuanya mencari kresek merah yang menyimpan alat sholat, dengan langkah
perlahan Pak Tukiman berjalan menuju ke arah mushola dekat pangkalan becaknya.
Ketika kembali Pak Tukiman dikejutkan dengan kehadiran dua orang yang
nampak asing dalam penglihatannya, mereka berdiri tepat di sebelah becak tuanya.
Seorang pemuda dengan pakaian rapi dan seorang gadis berjilbab merah muda tengah
berdiri di depan becaknya. “Alhamdulillah”, kata Pak Tukiman dalam hati, ia mengira
kedua orang tersebut adalah penumpang pertamanya hari itu.
“Cari Narasumber lain saja disini panas, kotor, berdebu, banyak asap kendaraan”,
kata gadis berjilbab merah muda dengan kesal sambil mengibas-kibaskan tangannya.
Ketika mereka berbalik badan, mereka mendapati Pak Tukiman berdiri di belakang
mereka.
“Permisi pak, selamat siang”, ujar ramah pemuda itu sambil menjabat tangan Pak
Tukiman.
“Siang mas, ada apa ini mas?”, tanya Pak Tukiman dengan raut wajah yang
sedikit cemas
“Tujuan kami kemari menemui bapak adalah untuk mewawancarai bapak, itupun
jika bapak berkenan ”, ujar pemuda tersebut
“Boleh mas, tapi saya ini hanya seorang tukang becak. Apa mas tidak salah
orang?”, tanya Pak Tukiman.
“Tidak Pak saya sudah mengamati sedari tadi becak bapak belum ada yang
menumpangi, tetapi bapak terlihat sabar dan terlihat tetap tenang. Bagaimana bisa
bapak bertahan dalam pekerjaan ini ”, ujar pemuda tersebut.
Pak Tukiman tidak menjawab hanya menampakkan senyum tipis, kedua
wartawan tersebut mengerutkan dahinya tanda kebingungan. Kemudian si wartawan
gadis berjilbab merah muda itupun mengajukan beberapa pertanyaan kepada Pak
Tukiman mulai dari asal usulnya hingga mengenai profesi nya. Gadis berjilbab merah
muda itu mulai merasa kesal karna semua pertanyaan tampak di jawab dengan mudah
oleh Pak Tukiman.
Si wartawan itu pun berpikir bahwa pertanyaan brilian berikutnya akan
memancing jawaban lebih panjang dan lebih mencengangkan, yang akan menghibur
para pembaca majalahnya. Dan dia nekad bertanya "Menurut Anda, apa itu arti
kehidupan?". Setelah pertanyaan tersebut dilontarkan, suasana berubah menjadi
mencekam. Hening sebentar, namun diluar dugaan kembali terlihat sebuah senyum
tipis dari Pak Tukiman, teringat jerih payah, keringat, pegal-pegal, kurang tidur, tak
makan, tak minum, yang telah ia tempuh demi menjalani hidup.
"Begini," Pak Tukiman mulai menjelaskan, "Pertama-tama, lihatlah lampu lalu
lintas di ujung jalan itu” Mendengarnya, wartawan itu kian mencondongkan badannya
ke depan, matanya berbinar antusias. Wartawan itu terkesiap. Tak siap. Namun rasa
penasarannya terusik, dan keinginan kuat untuk mempertahankan reputasinya sebagai
sang penanya brilian.
“Lihatlah! lampu lalu lintas di pinggiran jalan itu. Apa maknanya?” tanya Pak
Tukiman. Kedua wartawan itu bingung dibuatnya, gadis berjilbab merah mudapun
menjawab dengan ragu “Lampu merah tanda berhenti, kuning berhati-hati, dan hijau
jalan”.
“Lalu apa arti kehidupan sebenarnya?”, tanya Pak Tukiman dengan penuh
semangat, kedua wartawan tersebut saling bertatapan dan seperti memberikan isyarat
bahwa mereka sama-sama merasa bingung. Cukup lama mereka hanya diam, mereka
berpikir keras. Keduanya saling mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan
sangat hati-hati. Merasa terusik pada akhirnya mereka kembali bertanya
“Apa arti nya Pak Tukiman apa hubungan antara kehidupan dengan lampu lalu
lintas itu?”, ucap pemuda itu, ia nampak sudah pasrah
“Itulah arti kehidupan mas, mbak. Lampu merah mengajarkan untuk bersabar
ketika memang ada saatnya harus berhenti sebentar. Memanfaatkan waktu untuk
berpikir dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Sedangkan lampu kuning mengajarkan
kita agar bertindak berhati-hati agar yang kita lakukan malah merugikan orang lain.
Dan dari lampu hijau kita belajar jika waktunya untuk berjalan, lekaslah jalan, jangan
menunda-nunda lagi” ujar Pak Tukiman, ia kemudian menghela nafas sejenak.
“Bagaimana bisa bapak menganggap hidup semudah itu?”, tanya gadis berjilbab
merah muda yang nampak kesal
“Saya sudah hidup lebih dari 50 tahun, asam manis kehidupan sudah saya rasakan.
Kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Oleh karena itu, saya jalani hidup dengan
sebaik-baiknya. Untuk membuat hidup bahagia dan berarti, kita tidak harus jadi orang
kaya. Namun, setidaknya kita dapat berbagi pada mereka yang membutuhkan. Untuk
mencukupi kebutuhan hidup, kita harus bekerja. Tidak ada yang tidak mungkin mbak,
mas jika Tuhan sudah berkehendak”, jelas Pak Tukiman. Kedua wartawan tersebut
hanya diam tidak ada lagi lontaran pertanyaan dari keduannya. Seperti rasa ingin
tahunya telah terpenuhi.
Hening, itulah gambaran mengenai suasana yang kini terjadi dibawah lampu jalan
yang sudah menyala, pertanda bahwa hari sudah mulai surut. Tanpa di sadari
percakapan itu sudah mencapai akhir ketika terdengar suara adzan magrib. Mereka
memutuskan mengakhiri wawancara tersebut dan bergegas menuju mushola untuk
menunaikan sholat. Begitulah kisah Pak Tukiman dalam menjalani kehidupannya
dengan keikhlasan dan rasa sabar yang terangkum hangat pada sebuah majalah.
Beberapa hari kemudian datang beberapa orang dengan pakaian rapi dan seorang
yang nampaknya adalah bos mereka datang bertamu ke rumah Pak Tukiman. Rupanya
pria yang menggunakan jas tersebut adalah pemilik dari kantor majalah yang memuat
kisah Pak Tukiman, tanpa di duga kedatangan bos tersebut adalah untuk memberikan
hadiah kepada Pak Tukiman.
Bos kantor majalah itu berkata “Saya sangat tersentuh dengan kisah pak Tukiman
begitupun dengan para pembaca, sebelumnya saya selalu mengejar dunia tetapi
setelah membaca kisah pak tukiman dan nasihat lampu lalu lintas itu hati saya
terenyuh saya sadar hidup bukan hanya tentang harta dan kuasa tapi bagaimana kita
bisa berguna bagi banyak orang. Terimakasih banyak Pak Tukiman”
“Saya senang pak jika dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang. Namun
beginilah kehidupan saya, seorang tukang becak Saya hanya berusaha mensyukuri
segala sesuatu yang ada”, ujar Pak Tukiman
“Bapak benar-benar luar biasa, saya memiliki niat baik mohon bapak tidak
menolak niat saya. Saya ingin membiayai pengobatan istri bapak dan ini ada sedikit
uang untuk bapak”, ujar bos majalah tersebut sambil memberika sejumlah uang
kepada Pak Tukiman.
“Alahamdulillah, terimakasih banyak pak. Terimakasih” Jawab Pak Tukiman
dengan raut wajah begitu gembira hingga meneteskan air mata
“Sama-sama Pak Tukiman saya harap ini dapat bermanfaat bagi bapak”. Mereka
kemudian saling berpelukan. Keluarga Pak Tukiman begitu senang mendengar kabar
tersebut.
Buah kesabaran dan keihklasan Pak Tukiman begitu manis, seperti lampu lalu
lintas Pak Tukiman menjalani hari-harinya, dengan mengikuti alur kehidupan ia tetap
bersabar, berhati-hati dan terus berjalan mencoba melakukan yang terbaik yang ia bisa.
Hidup hanya sementara yang terpenting adalah bagaimana kita memanfaatkannya
sebaik mungkin.

Anda mungkin juga menyukai