Anda di halaman 1dari 4

Joko Samudro goes to Bali.

Joko Samudro memang dikenal sebagai anak yang punya rasa ingin tahu yang besar. Termasuk ingin
tahu seperti apakah pulau Bali. Semua orang melansir berita tentang keindahan Pulau Bali. Pulau itu
konon dikaruniai kecantikan yang tak terlupakan. Indah pada setiap sudutnya.

Dan celakanya, sesuai dengan rencana bisnis yang telah bicarakan di level top management PT. Tandes
Abadi Jaya, Nama firma dagang milik Nyi Ageng Pinatih, agenda hari itu adalah meningkatkan omzet
penjualan ke salah satu target potensial, Pulau Bali.

Maka, pada saat dia mengetahui PT. Tandes Abadi Jaya berencana melakukan penjualan ke Bali, dia
memaksa ikut. Usianya belum genap 10 tahun.

“Tidak usah ikut. Kamu di sini saja menami Bunda. Ya.”

“Tapi aku ingin ikut Bunda.”

“Sudah di sini saja.”

“Kenapa sih gak boleh?”

Nyi Ageng Pinatih memberikan alasan rasional yang sampai hari ini masih sering dipakai oleh orang tua
untuk mencegah anaknya ikut-ikutan dalam urusan pekerjaan : nanti malah bikin repot. Kamu masih
kecil. Atau yang lain.

“Akhir tahun kan ada outing, Kakak pasti diajak. Ada Outboundnya lagi. Seru kak.”

“Yah masih lama banget. Maunya sekarang, bunda."

Semakin logis alasan sang ibu, semakin tidak rasional pula Joko Samudro memaparkan dalil. Perdebatan
ibu dan anak itu akhirnya dimenangkan oleh anak.

Memang, kalau main tarik tambang dengan anak untuk memenangkan keinginan, orang tua biasanya
selalu mengalah.

Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, tim kerja berkumpul di dermaga keberangkatan
Pelabuhan Tandes, Gresik nama sekarang, pada pagi menjelang Subuh.

Selepas Sholat Subuh berjamaah, barang-barang dagangan yang hendak dijual mulai dinaikkan ke atas
kapal. Hampir 20 peti jumlahnya.

Matahari pagi sudah mulai intap intip di sebelah timur. Cahayanya segar, membawa kabaikan.

Sebagai supervisor, Bureroh adalah penumpang terakhir yang naik. Dia harus lebih dulu mengurus
administrasi di loket keberangkatan. Semuanya berjalan lancar, juga mulus-cepat. Pertama karena dia
memang saudagar senior, kedua karena kapal yang akan berangkat adalah milik Nyi Ageng Pinatih,
Kepala Kantor Syahbandar Utama Pelabuhan Gresik. SK pengangkatan lengkap dengan cap basah
kerajaan Majapahit pada tahun 1458.
Bureroh sudah ada di pucuk anak tangga yang menghubungkan kapal dengan bibir dermaga pelahuhan.
Satu langkah lagi dia menginjak geladak kapal. Saat itu petugas darat sudah bersiap mengurai tali
dadung yang melilit pada tiang tambatan.

Tiba-tiba Bureroh medengar ada orang memanggil namanya.

“Om Bureroh…tungguin om.. aku ikut om….”

Yang manggil ternyata adalah anak majikannya, Joko Samudro.

(megnerutkan dahi)

Sambil berkerut begini jidatnya, bureroh berkata dalam hati, “Serius?”

Bureroh hanya berdiri bengong di ujung anak tangga di bagian Haluan. Ia melihat Joko Samudro berlari
penuh semangat mendekati kapal. Dengan lincah dia naik tangga sambil bicara, “Udah dibolehin ikut
sama bunda,” lalu melewati Bureroh begitu saja.

“Aku ke atas ya om.”

KE ATAS?

Dengan cepat Bureroh menguasai diri. Mengembalikan jiwanya ke alam nyata. Dia segera
mengkonfigurasi alam pikirnya pada pemikiran anak kecil seumur Joko Samudro saat naik kapal kali
pertama.

Dan dia menyimpulkan bahwa, jika seandainya Joko Samudro adalah anak kecil biasa “ke atas”
maksudnya pasti ke ke anjungan (bagian kapal yang posisinya paling tinggi) untuk dapat melihat
pemandangan lebih luas. Tapi dia faham betul, Joko Samudro ini bukan anak kecil biasa. Ke atas bisa jadi
maksudnya adalah ke ruang kemudi!

Bureroh segera menghampiri Joko Samudro yang ternyata benar sudah duduk manis di samping
nahkoda.

“Eh…Kakak beneran boleh ikut sama Bunda?”

“Aman om.Boleh. Ayo om jalan om…”

Bureroh dan Nahkoda lirik-lirikan.

Layarpun dikembangkan, dan perahu berlayar menuju Pulau Bali.

Beberapa saat kemudian, kapal dagang milik Nyi Ageng Pinatih sudah sampai di Pelabuhan. Bunyi
Meriam Meletus 3 kali sebagai tanda salah satu kapal sebentar lagi sandar.

Setelah turun dari perahu mereka segera menyiapkan barang-barang dagangan, lalu bergegas bersiap
membuka lapak di pasar hari itu juga.

Bureroh membuka lapak untuk menjual barang-barang dan kebutuhan sandangan. Perabotan, tembikar,
alat-alat pertanian, dan lain-lain. Tidak seperti biasanya, orang-orang lebih banyak berdatangan pada
hari itu. Dan mereka datang betul-betul untuk membeli, tawar menawar harga pas tancap gas. Jarang
sekali terjadi CLBK (Cerita Lama Beli Kagak), aduh…matilah anak ayam..
Bureroh optimis, dengan minat pembeli seramai ini, dia yakin bisa memenuhi target penjualan.

Sekitar lima meter dari lokasi lapak Bureroh, Joko Samudro membuka lapaknya sendiri. Karena masih
terlalu kecil, Bureroh memerintahkan dua orang timnya yang badannya besar untuk jadi pendamping.
Menjaga Joko Samudro dari resiko pemalakan dari preman pasar.

Kalau lapak Bureroh tadi menjual barang dan perabotan, lapak Joko Samudro menjual logistic. Ada
beras, minyak goreng, jagung, sayuran segar, buah-buahan, dan lain-lain.

Lapak dagangan Joko Samudro gak kalah ramai dengan lapak Bureroh. Justru dua kali lipat lebih ramai.
Malah sesekali terdengar suara orang berteriak sambil tepuk tangan. Juga suara orang tertawa
kegirangan.

Bureroh memantau dari jauh. Sesekali dia jinjit-jinjitin kaki untuk memastikan keamanan Joko Samudro.
Tapi karena tubuhnya masih kecil, Joko Samudro tidak terlihat. Sebetulnya dia ingin pergi sebentar ke
lapaknya Joko Samudro, tapi tidak bisa. Karena di lapaknya sendiri sedang ramai.

Ternyata konsep jual beli di lapak Joko Samudro tidak berlaku di sana. Apa yang selama ini difahami
sebagai aktifikas dagang hancur berantakan. Jual beli, dari dulu sampai nanti, selalu dipersyarati dengan
adanya transaksi antara pihak penjual dengan pihak pembeli untuk memindahkan hak penguasaan atas
benda dengan sejumlah uang yang disepakati jumlahnya oleh kedua belah pihak sebagai alat tukar. Itu
Namanya jualan.

Tapi yang dilakukan Joko Samudro adalah, dia membagi bagikan semua barang di lapaknya dengan gratis
ke orang yang butuh. Yang datang minta beras, dikasih beras. Datang minta minyak goreng, dikasih
minyak goreng. Datang minta tepung terigu, dikasih.

Jual beli berubah menjadi serah terima.

Dan kKetika barang-barang dilapaknya sudah ludes, dia berlari ke laut lalu nyemplung begitu saja.
Berenang bebas tanpa beban di pesisir pantai. Merambah buih, memeluk ombak.

Menjelang sore lapak Bureroh sudah hapir habis. Dia memutuskan untuk mengakhiri aktifitas penjualan
hari itu untuk diteruskan keesokan harinya. Barang dagangan di atas kapal juga masih tersisa beberapa
peti lagi.

Setelah beres-beres, Joko Samudro mengajak Bureroh beserta tim untuk membersihkan sampah-
sampah yang ada di pasar itu. Sampahnya dimasukkan kotak yang telah kosong dan ditutup rapat-rapat.
Saat ditanya buat apa, untuk oleh-oleh Ibunda, begitu jawabnya.

Mulanya Bureroh menolak, tapi karena desakan Joko Samudro akhirnya ia menyerah pula. Ia pasrah saat
berkata, “Pokoknya kalau Bunda tanya, om gak ikut-ikut lho ya.”

Ya. Anak yang baik selalu pulang bawa oleh-oleh untuk ibunya…tapi ini sampah. Ah…ya sudahlah…

Peristiwa yang sama berulang sampai beberapa hari. Sampai seluruh barang dagangan Bureroh habis
tidak tersisa. Sampai seluruh kotak kayu yang telah kosong kembali penuh terisi sampah.

Selepas Sholat Subuh pada hari terakhir aktifitas perdangangan di Bali, mereka melakukan perjalanan
pulang. Layar dikembangkan dan perahu kembali pulang ke Gresik.
Sesampainya di pelahuban Gresik, Nyi Ageng Pinatih menyambut anaknya pulang dari perjalanan
dagang perdana dengan hati suka cita.

Bureroh dan seluruh timnya turun dari kapal, kecuali Joko Samudro.

“Mana si Kakak? Kok tidak ikut turun?”

“Masih diatas kapal bu.” Bureroh menjelaskan. “Tolong panggil. Jangan-jangan masih tidur.” Dia
memerintahkan salah satu timnya.

“Tidak usah mas. Biar saya saja.” Nyi Ageng Pinatih menyahut.

Lalu Nyi Ageng Pinatih menyusul naik ke atas kapal. Dia menemui Joko Samudro sedang termenung di
anjungan. Nyi Ageng Pinatih memeluk anaknya, tangannya mengusap rambut Joko Samudro dengan
penuh kelembutan. Ia manangis terharu. Air matanya melukiskan bahagia. Beberapa hari lampau adalah
untuk kali pertama ia terpsiah jarak dengan anaknya.

“Bunda jangan nangis. Aku bawa oleh-oleh lho buat Bunda.“ Joko Samudro berkata sambil menuntun
ibunya menuju salah satu kabin kapal tempat penyimpanan barang.

Sesampainya disana, Joko Samudro kemudian membuka salah satu dari sekian banyak peti kayu yang
ada. Puluhan peti dengan sampah seisi pasar terdapat di dalamnya.

Setelah dibuka, alih-alih sampah yang ada. Di dalam sana terdapat barang-barang berkualitas istimewa
aneka rupa. Barang original, branded. Kain, tembikar, benang, rempah-rempah, dan semuanya bernilai
tinggi.

“Tuh masih banyak.” Kata Joko Samudro sembari menunjuk seluruh kotak yang tertumpuk, “Semuanya
untuk Bunda.”

“Wah. Hebat…” Nyi Ageng Pinatih membesarkan hati anaknya kemudian berpesan untuk tidak usah ikut
dalam perjalanan dagang lagi. Cukup di rumah saja.

Nyi Ageng Pinatih menggandeng tangan anaknya turun dari kapal.

Nyai Ageng Pinatih melihat Bureroh dan teman-temannya sedang duduk bercengkrama di salah satu
kursi kayu di sisi dermaga. Nyi Ageng Pinatih melintas sambil mengacungkan dua ibu jarinya keatas
kepada Bureroh. Bureroh mengangguk dan tersenyum kikuk.

“Aman om…!” Kata Joko Samudro kepada Bureroh sambil melintas.

Anda mungkin juga menyukai