Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

SEJARAH INDONESIA

Guru Mata pelajaran:


Bpk. JAMALUDDIN, S.Pd

Oleh:
MUHAMMAD YUNUS
KELAS XII IPS B 1

SMA NEGERI 1 CANDI LARAS SELATAN


TAHUN 2022
GUNUNG BATU DARI PERAHU YANG TERBELAH
Asal Usul Gunung Batu Bini dan Gunung Batu Laki
Angui adalah seorang pemuda yang cekatan dan rajin bekerja. Ia tinggal bersama
ibunya yang sudah tua bernama Diang Ingsung.
Sewaktu kecil, Angui sering diajak oleh ibunya mencari ikan di sungai dengan
manggunakan jukung, yaitu sejenis sampan dari kayu.
Ketika sudah dewasa, setiap hari ia pergi mencari rotan ke hutan untuk dijual.
Setelah mengumpulkan rotan, ia membersihkan dan mengikatnya dengan sangat
rapi. Kerapian dalam mengerjakan tugas memang selalu diajarkan oleh ibunya.
Pada suatu hari, seorang saudagar datang ke desa itu untuk mengambil rotan dan
menukarkannya dengan bahan-bahan kebutuhan pokok. Angui pun ikut
menyerahkan hasil hutan yang didapatnya untuk ditukar dengan beras, nasi, dan
gula merah. Saudagar tersebut terkesan melihat ketelatenan Angui membersihkan
dan mengikat rotan-rotannya. Ia lalu memanggil pemuda itu.

Cerita Rakyat Kalsel Dongeng Gunung Batu Bini dan Laki


“Siapa namamu?” tanya sang saudagar. “Angui, Tuan,” jawab pemuda itu.
“Aku melihat kau sangat rapi dan cekatan. Batang-batang rotan yang kau jual pun
cukup tua dan kering. Aku butuh orang-orang sepertimu. Apakah kau mau ikut
berlayar denganku?” ajak sang saudagar.
Angui merasa terkejut sekaligus gembira.
“Terima kasih, Tuan! Tentu saja saya mau, tetapi izinkan saya meminta izin
kepada ibu saya”
“Pergilah, besok ku tunggu kau di sini,” kata saudagar itu.
Angui pulang ke rumah dengan perasan gembira. Ia menceritakan apa yang
dialaminya kepada ibunya.
“Bu, apakah aku boleh pergi berlayar supaya kehidupan kita lebih baik lagi?”
tanya Angui.
Meskipun berat, Diang Ingsung tidak ingin menahan keinginan anaknya untuk
mencari kehidupannya yang lebih baik.
“Ibu mengizinkanmu pergi, Nak. Namun, setelah berhasil pulanglah, Ibu pasti
sangat merindukanmu,” jawab ibunya dengan perasaan sedih.
Angui memeluk ibunya dengan bahagia sekaligus sedih, karena harus
meninggalkannya sendiri.
Keesokan paginya, Angui pamit kepada Ibunya untuk pergi berlayar.
“Jaga diri Ibu baik-baik. Aku titip ayam jagoku ini Bu, ia sahabatku semenjak aku
kecil. Biarlah ayam ini jadi pengingat Ibu terhadapku. Doakan aku berhasil, Bu,”
kata Angui.
Diang Ingsung menahan air matanya, “Tentu, Nak. Ibu akan menjaganya:’
Angui pun pergi berlayar bersama saudagar pemilik kapal.
Bertahun-tahun lamanya Angui bekerja dengan baik don rajin. Saudagar itu
sangat menyayangi Angui. Ia pun menikahkan putri satu- satunya dengan Angui.
Tidak berapa lama kemudian, saudagar itu meninggal dunia. Semua hartanya
diwariskan kepada putrinya dan Angui. Dengan demikian, nasib Angui pun
berubah menjadi saudagar yang kaya raya dengan istri yang cantik.
Kemudian, Angui teringat dengan ibunya. Ia berniat mengunjungi ibunya. Istrinya
menyambut gembira ajakan suaminya.
“Mari kita berangkat, Bang. Aku belum pernah bertemu dengan mertuaku,” kata
sang istri.
Angui pun meminta anak buahnya menyiapkan perjalanan mereka ke kampung
Angui dengan menggunakan kapal yang besar dan megah. Setelah berlayar
beberapa lama, sampailah kapal besar tersebut di pelabuhan.
Orang-orang kampung terkejut melihat sebuah kapal besar dan megah mendarat di
kampung mereka. Lebih terkejut lagi ketika mereka melihat seorang laki-laki
muda dan perempuan muda di geladak kapal.
“Bukankah itu Angui, anak Diang Ingsung?” kata salah seorang penduduk, “Wah
ia sudah menjadi saudagar kaya!”
“Iya betul, itu Angui, anak Nenek Ingsung. Lebih balk aku ke rumah Nenek
Ingsung dan memberitahukannya bahwa anaknya datang!”
Beberapa orang berlarian ke gubuk Diang Ingsung.
“Nek, Nenek Ingsung! Cepatlah ke pantai! Angui anakmu datang! Ia sudah jadi
saudagar kaya!”
Diang Ingsung yang sudah tua renta dan sakit-sakitan bersusah payah keluar
rumah.
“Apa kalian bilang? Angui pulang?”
“Iya Nek, cepatlah ke sana!”
Diang Ingsung merasa sangat bahagia. Angui anak yang dirindukannya telah
pulang. Ia akan menggunakan jukung, ia yakin Angui akan segera mengenali
jukung tua mereka.
“Ah, akan kubawa juga ayam jago si Angui, ia pasti senang, karena ayam jagonya
berumur panjang!”
Diang Ingsung pun mulai mendayung jukung dengan susah payah. Ayam jago
Angui diletakkan di ujung jukung. Tubuhnya yang telah letih karena penyakit
terasa lebih bersemangat, karena sebentar lagi akan bertemu dengan anaknya.
Jukung tua itu didayung mendekati kapal besar milik Angui. Diang Ingsung
melihat sosok anaknya di anjungan kapal. Ah, betapa tampon anaknya sekarang.
Diang Inngsung merasa sangat bahagia.
” Angui! Angui, Anakku! Kamu datang, Nak!” teriak Diang Ingsung dengan
susah payah. Sauaranya yang serak hampir kalah oleh angin laut.
Angui terkejut melihat seorang nenek kumal dengan jukung tua mendekati
kapalnya. Ia tahu itu ibunya, tetapi melihat keadaan ibunya yang kumal dan
dengan pakaian yang kusam, ia menjadi malu mengakuinya.
“Siapakah ibu yang memanggilmu itu, Bang?” tanya istri Angui, Betulkah itu
ibumu? Kalau iya, suruhlah awak kapal menjemputnya naik.”
Angui masih memandang nenek tua yang sedang berusaha merapat ke kapalnya
dengan masam.
“Hei, Nenek! Siapakah kau? Mengapa kau memanggil aku anakmu? Ibuku bukan
nenek-nenek miskin sepertimu!” hardik Angui .
Diang Ingsung terkejut, “Nak, ini betul Ibumu. Lihatlah Nak, ini jukung yang
selalu kita gunakan untuk mencari ikan dan ini ayam jago yang kau titipkan
kepada ibu!””
“Dasar penipu! Tidak mungkin seekor ayam bisa hidup selama itu! Cepat pergi
dari sini!!”
“Abang, jika memang itu ibumu, akuilah. Aku menerimanya apa adanya,” kata
istrinya lagi.
“Sudah kubilang ia bukan ibuku!” Angui memerintahkan anak buah kapal
mengusir ibunya.
Angui juga memerintahkan untuk meninggalkan tempat itu. Kapal besar itu pun
perlahan menjauh dari pantai.
Betapa hancur hati Diang Ingsung. Anak yang dirindukannya kembali justru tidak
mengakuinya sebagai ibu. Air matanya berlinang.
Dengan menangis ia berdoa, “Tuhan, anakku tidak mengakui aku lagi sebagai
ibunya. Celakakanlah ia. Biarkanlah ia menjadi batu beserta segala milik dan
kekayaannya!”
Tiba-tiba, langit mendung. Hujan turun dengan derasnya disertai badai dan petir
menyambar. Kapal Angui diterjang badai dan petir berkali-kali. Kapal besar
tersebut terbelah menjadi dua, satu bagian berisi istri dan dayang-dayangnya, satu
bagian lagi Angui dan para awak kapal. Kedua bagian yang terbelah itu pun
pelan-pelan karam.
“Ibu, ampun Ibu. Aku memang anakmu! Tolonglah aku Ibu,” terdengar teriakan
Angui meminta tolong.
Diang Ingsung tidak bergeming mendengar teriakan anaknya, ia tetap mendayung
jukungnya menuju ke daratan.
Daratan kampung yang tergenang air, lama-kelamaan surut. Ketika air surut,
munculah dua belahan kapal yang sudah membatu. Satu bagian kapal yang berisi
istri Angui dan dayang-dayangnya kemudian dinamakan Gunung Batu Bini.
Sementara itu, bagian lainnya yang berisi Angui dan anak buah kapalnya
dinamakan Gunung Batu Laki.
Gunung Batu Laki ada sebuah pohon besar yang tinggi. Konon, pohon itu berasal
dari tiang layar kapal yang mencuat setelah tenggelam. Lokasi Gunung Batu Bini
dan Gunung Batu Laki ada di sebelah barat Pegunungan Meratus.
Pesan moral dari Cerita Rakyat Kalsel : Gunung Batu dari Perahu yang
Terbelah adalah kita harus menghormati dan menyayangi orangtua. Mereka lah
sumber kesuksesan dan kebahagiaan yang akan kita raih.

Anda mungkin juga menyukai