Anda di halaman 1dari 4

Datang dari Angin

Zaidan Ananda Wardoyo (2006588086)

Saat itu bulan Maret. Kami merupakan siswa kelas 12 IPA 6, salah satu dari 12 kelas
IPA di angkatan kami. Sekolah kami berada dekat dengan perempatan yang cukup terkenal
karena terletak diantara dua kota yang sangat ramai lalu lalangnya. Pemandangan jalan
raya penuh dengan warna abu-abu dan debu ini identik dengan suasana metropolitan,
kecuali satu hal. Warna hijau dari pucuk pohon beringin yang timbul dikelilingi bangunan
sekolah.
Di tengah kota, cabang-cabang pohon yang luas memberikan keteduhan dan
perlindungan bagi mereka yang mencari istirahat dari terik matahari. Pohon beringin adalah
pemandangan yang menyejukkan dilihat di tengah kota metropolitan yang panas. Namun
terdapat pula orang-orang yang merasa resah di bawah bayang-bayang pohon beringin itu.
Aku sendiri tidak terganggu dengan keberadaan pohon beringin itu. Ia tumbuh di
tempat yang sekarang menjadi bagian pinggir halaman sekolah kami. Terkadang beberapa
siswa duduk di naungannya pada jam istirahat. Namun tidak ada yang dapat mengira apa
yang akan terjadi di bawah pohon tersebut di hari ini.
“Eh, itu beneran gak, sih,” ujar Bayu selepas ia masuk ke kelas.
“Apa yang beneran?” aku bertanya.
“Itu, Gus. Tentang anak-anak kelas akselerasi yang pingsan karena duduk di bawah
pohon beringin,” balas Bayu.
“Memangnya mereka benar pingsan karena pohon beringin itu?” Daffa menyela
dengan alisnya yang berkerut, ia sudah terbiasa dengan sifat Bayu yang suka membuat
heboh cerita.
“Aku dengar dari temanku di kelas 12 IPA 11, kelas mereka bersebelahan, jadi
mereka pasti tahu kejadiannya sebenarnya,” jawab Bayu.
“Mereka pingsan tiba-tiba setelah duduk di bawah pohon?” aku bertanya pada Bayu.
“Bukan Gus, mereka pingsan setelah muncul bercak misterius di kulit mereka. Lalu
saat mereka kembali ke kelas, semua yang memiliki bercak itu pingsan,” jawab Bayu.
“Mereka mungkin punya alergi tertentu ke tanaman yang ada disana. Pasti ada
penjelasan yang masuk akal,” Daffa kembali menyela Bayu, menghentikannya seperti dia
akan mulai berkata yang aneh-aneh.
“Bercak seperti apa?” aku bertanya. Aku tahu seharusnya aku tidak menanggapi
bualan Bayu, tapi sejujurnya aku merasa penasaran terhadap kejadian langka ini.
“Bercak itu cukup besar dan berwarna merah seperti darah, jika orang yang terkena
bercak itu melihatnya, maka si pemilik tubuh akan berteriak-teriak seperti kesurupan. Lalu
tidak lama lagi akan hilang kesadarannya”
“Mana mungkin,” kata Daffa sambil memutar matanya.
“Aku dengar dari anak PMR ada satu orang yang berteriak karena kaget setelah
melihat bercak itu. Jadi bukan dari bercaknya yang membuat mereka berteriak”
“Kamu yakin anak PMR itu mengatakan seperti itu untuk menenangkan siswa yang
berkumpul di UKS?
Bisa jadi ia hanya ingin mereka bubar,” Jawab Bayu dengan nada yang
merendahkan.
“Anak PMR tidak akan berbohong untuk membubarkan keramaian doang! Yang
sering menyebarkan kebohongan itu tukang gosip sepertimu,” jawab Daffa dengan sedikit
kesal.
Sebelum percekcokan mereka semakin parah, aku pergi menuju pintu masuk kelas.
Kepalaku keluar dari pintu yang sedikit terbuka untuk mengintip keadaan di lorong-lorong
lantai dua sekolah. Kelihatannya memang benar telah terjadi sesuatu. Banyak murid-murid
yang berjalan-jalan di luar kelas walaupun sekarang belum jam istirahat.
Suasana di sekolah menjadi kacau saat sekelompok siswa berlarian di sekitar
halaman sekolah dan terdengar suara keras dari ruang kelas yang terbuka. Para guru
dengan sigap keluar dan menegur siswa-siswa tersebut untuk kembali ke dalam kelas.
Namun, ketika semuanya tenang, terdengar pengumuman penting dari pengeras suara
sekolah.
Suara dari pengeras suara tersebut memberitahu tentang munculnya bercak merah
pada beberapa siswa. Jika terdapat siswa yang memiliki bercak tersebut, mereka
diharapkan untuk segera melapor ke ketua kelas karena dikhawatirkan dapat menyebabkan
bahaya bagi kesehatan mereka. Sekolah juga mengumumkan bahwa semua siswa dan
anggota sekolah lainnya untuk tidak keluar dari kelas atau ruangan masing-masing dan
menutup pintu dan jendela.
Suasana kelas berubah menjadi khawatir selepas pengumuman tersebut. Kesunyian
yang datang setelah perginya suara pengumuman mengendap di ruangan kelas.Sekarang
aku jelas terjebak di ruangan kelas ini bersama dengan argumentasi Bayu dan Daffa. Tetapi
sekarang mereka telah terlihat lebih tenang. Mungkin akhirnya mereka mencapai suatu
mufakat terhadap masalah mereka selepas informasi yang datang dari sang ketua kelas.
“Ini ulah makhluk halus yang meresahkan sekolah kita selama ini!" ujar Bayu yang
tiba-tiba berteriak dengan yakin. Ucapannya itu membuat beberapa siswa lainnya
menatapnya dengan heran.
“Apa maksudmu?” tanya Daffa dengan nada meringis, kedua tangannya menutupi
wajahnya.
“Pohon beringin tersebut konon ada penunggunya. Para guru juga sudah tahu. Anak-
anak kelas aksel mungkin tidak tahu oleh karena itu mereka terkena,” ujar Bayu dengan
lantang.Daffa menggelengkan kepala dengan skeptis. "Bayu, ini hanya mitos belaka.
Jangan percaya begitu saja."
Namun, suasana di kelas semakin tegang saat salah satu siswa melaporkan bahwa
dia juga memiliki bercak merah di kulitnya. Pandangan cemas dan kepanikan mulai melanda
seluruh siswa di ruangan itu.
Beberapa guru masuk ke dalam kelas dengan wajah serius. Mereka berusaha
menenangkan siswa dan meminta mereka tetap tenang. Namun, ketidakpastian dan rasa
takut semakin meluas di antara mereka.
Sementara para siswa saling berbisik dan berusaha mencari penjelasan, tiba-tiba
terdengar suara ribut dari luar kelas. Ketika pintu terbuka, masuklah seorang petugas
kesehatan bersama sekelompok paramedis. Wajah mereka terlihat tegang dan serius.
"Mohon tenang, semua orang," ujar petugas kesehatan dengan suara yang bergetar.
"Kami telah menerima laporan tentang bercak merah ini, dan kami tengah
melakukan investigasi. Namun, yang terpenting saat ini adalah menjaga keamanan dan
kesehatan semua orang di sekolah ini."
Mendengar perkataan itu, siswa-siswa semakin ketakutan. Mereka saling menatap
dengan ekspresi campur aduk antara rasa cemas dan kebingungan. Tidak ada yang tahu
apa yang sebenarnya terjadi.
Beberapa saat kemudian, pengeras suara sekolah kembali menyala. Kepala sekolah
memberikan pengumuman yang membuat semua orang terdiam dan mengerang dalam
ketakutan.
"Dalam kondisi darurat seperti ini, kami memutuskan untuk menutup sekolah
sementara waktu. Semua siswa diinstruksikan untuk pulang ke rumah masing-masing dan
menjaga keamanan diri. Harap berhati-hati dan tidak menyebarkan informasi yang belum
diverifikasi."
Ketika para siswa meninggalkan ruangan, langit di luar tiba-tiba menjadi gelap. Angin
kencang berhembus dan daun-daun pohon beringin berguguran dengan suara seram.
Suasana menjadi semakin mencekam.
Ketika aku berjalan melintasi halaman sekolah yang sepi, hatiku dipenuhi rasa takut
yang sulit diungkapkan. Aku menoleh ke arah pohon beringin yang biasanya menenangkan,
tapi kali ini terasa begitu menakutkan. Seakan ada sesuatu yang tidak manusiawi di balik
keheningannya.
Malam itu, berita tentang sekolah kami menyebar dengan cepat. Media meliput
insiden tersebut dengan judul yang mengerikan, menimbulkan kepanikan di kalangan
masyarakat. Orang-orang saling bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, tetapi tidak
ada yang memiliki jawaban pasti.

Anda mungkin juga menyukai