Anda di halaman 1dari 3

Tugas Ujian Praktek Bahasa Indonesia Membuat Sinopsis

Dan Menganalisis Novel “Kisah Langit”

Karya Arum Effendi

Fasilitator: Ibu Tien Prihartini S.Pd

Nama: Sindy Helviany

Kelas: XII Keperawatan 2

YAYASAN NURUL WALIDAIN T.H

SMK KESEHATAN PELITA CIAMPEA


Program keahlian: Keperawatan

JL. Raya warung borong Telp.(0251) 8627 289. Fax (0251) 8627 289

Email :smkpelita.ciampea@gmail.com

Blog :smkpelita-ciampea.blogspot.com

Bogor 16620
Sinopsis Novel “Kisah Langit”

Sebuah bingkisan ku terima dari pak pos siang ini.

Ini pertama kalinya Ada tukang pos yang mengantar paket untukku, bingkisan itu
berbentuk kubus, kubolak-balik sejenak dibagian depan tercantum nama ku “Rahani
nugraha”. Jemariku lantas membuka penutup kotak itu ternyata di dalam nya kutemukan
benda aneh yaitu mainan Kincir angin. Belum pernah terbayangkan seorang mahasiswi
seusiaku akan mendapat sebuah mainan anak TK seperti ini. Tak sadar, kugigit bibir
bawahku dengan kelu. Aku tahu, siapa pengirim kincir angin itu. Aku tahun dan aku benar-
benar merindukannya.

Dua benda yang sering ku bawa kemana-mana yaitu kincir angin dan sebuah alat
musik entah apa namanya. Alat musik yang ku bawa adalah jenis petik, tingginya Cuma
sebahu ku. Alat musik itu bukan miliku, sebenarnya bukan sepenuhnya milik ku. Tapi milik
Kak Rihan kakak ku yang dipinjamkan padaku. Sedangkan mainan kincir angin milikku
sendiri, seorang teman baru saya memberi. Bayu Narendra namanya.

Kami bertetangga, rumah itu cukup besar, rumah itu milik paman bayu beliau baru
saja meninggalkan rumahnya dalam keadaan kosong. Aku dan bayu bebas masuk kesana, lalu
kami berdua menaiki tangga dan berhenti dibelokan tangga dan duduk disana. “kok kamu
membawa gambar?” suaraku menggema diruangan yang kosong dan tinggi.

“supaya kamu nggak main harpa lagi. Soalnya bunyi permainanmu aneh.”yang kuingat, bayu
selalu berkata jujur. Harpa alat musik yang kubawa bernama harpa. Menurut bayu permainan
harpa ku buruk, dan disuruh untuk berhenti memainkannya. Tapi menurut Bunda justru
karena aku tidak bisa memainkannya aku harus berlatih lebih kuat. Bunda bilang posisi
pergelangan tangan harus tepat, entahlah apa yang dikata kan bunda susah sekali ku
praktikkan. Mungkin karena aku harus menyesuaikan jari jemariku lagi setelah beberapa
bulan tak menyentuh harpa sama sekali. Sebulan kemarin aku diopname dirumah sakit karena
Meningitis, Bahkan aku tidak bisa bangun dari tempat tidur.

Bayu memperhatikan ekspresi jijik, “yang paling menakutkan bagiku, penyakitmu itu
menular han, mangkanya aku nggak berani lama-lama menjenguk”

“Tapi, ayah bilang kalau aku sekarang sudah sembuh total kok” jawabku tanpa mengalihkan
perhatian dari senar-senar harpa. Kemudian terdengar sesorang membuka pagar berkarat itu.
“suara bunda, aku haus pulang sekarang” bisikku. “rahani!!!” terdengar panggilan bunda dari
lantai bawah. Begitu terdengar langkah bunda meninggalkan rumah, aku dan bayu segera
kembali ke belokan tangga. Aku kemudian menengadah sehingga akhirnya tahu gambar apa
yang tersusun di kaca ternyata gambar pesawat. “Leiden” aku bergumam membaca sebuah
label kaca yang terpatri di kosen jendela. Ada kata leiden bertinta emas disana . “jadi, nama
jendela leiden ya?” kami berdua sepakat dengan nama itu.

Suatu hati kak rihan tampil dalam resital yang diadakan disekolah musiknya, ayah mengajak
aku dan bayu untuk menonton sedangkan bunda sedang mempersiapkan banyak hal untuk ka
rihan. “apa aku harus bisa memainkan harpa sehebat ka rihan?” aku bertanya pada ayah.
“Siapa yang bilang begitu? Kalau kamu lebih suka menggambar, menggambar juga oke”
ujarnya sambil tersenyum”, bunda memang seorang guru musik tak heran kalau jari
jemarinya lentik saat mainkan harpa.

Aku tak bisa mendengar dengan normal lagi sekarang, semua berawal sejak masa pemulihan
sehabis menderita meningitis, aku sudah melewati berbagai proses pengobatan yang
kompleks , sejak saat itu aku diperkenalkan dengan sebuah benda yang baru pertama aku
lihat namanya hairing aid, sebuah alat bantu dengar. ada satu hari yang sangat buruk yang
pernah terjadi yaitu saat aku berusia 13 tahun yaitu ditinggal Ayah dan Kak rihan, mereka
meninggal karena hotel yang mereka tempati kebakaran. Bunda sangat terpukul ketika
kepergian ayah dan kak rihan sekaligus membuat bunda menjadi depresi. Aku pergi sendiri
ke jendela leiden, menangis disana. Itu tempat yang paling nyaman karena tak ada orang lain
yang tahu, aku duduk disebuah anak tangga dan memeluk kedua lutut.

Bayu mengenalkan Riksa sepupunya kepada ku, setelah mengenal riksa lebih jauh lagi,
ternyata dia mempunyai rasa kepadaku, dan kami berdua pergi untuk melanjutkan kuliah ke
Neso, net herlands Education Support Office, salah satu Universitas tertua di Erop. Walaupun
aku mempunyai kekurangan dari pedengaran ku tapi aku bisa menunjukan kepada orang-
orang bahwa aku bisa seperti orang-orang diluaran sana yang jauh lebih jauh sempurna dari
ku, aku pun terus berlatih untuk bermain harpa agar semakin mahir dalam memainkannya.

Riksa pun berjanji kepada ku akan membangun rumah yang banyak jendela mozaiknya, aku
terkejut mendengarnya, “ sungguhkah riksa?”aku teringat dengan sebuah rumah yang
dinamakan Jendela Leiden.

“ kamu memang pintar memainkan harpa

Anda mungkin juga menyukai