Anda di halaman 1dari 13

TAHAMMUL WA ADA’

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata kuliah: Studi Hadis

Dosen Pengampu: Achmad Beadie Busyroel Basyar, M.Pd.I

Disusun Oleh:

1. Moch Hadi Zulqornain (22208401011068)


2. Ana Alfiana Dwi Maisaroh (22208401011057)
3. Titik Faridah (22208401011073)
4. Muslimatul Imamia (22208401011059)

KELOMPOK: 2

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM AL – QOLAM MALANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga
makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi hadis ini dapat terselesaikan dengan baik
tanpa suatu rintangan apapun. Adapun maksud dan tujuan kami disini yaitu meyajikan
beberapa hal yang menjadi materi dari makalah kami.

Makalah ini membahas mengenai “Tahammul Wa Ada’”. Makalah ini menggunakan


bahasa yang mudah dimengerti untuk para pembacanya. Kami menyadari bahwa di dalam
makalah kami ini masih banyak kekurangan, kami mengharapkan kritik dan saran demi
menyempurnakan makalah kami agar lebih baik dan dapat berguna semaksimal mungkin.

Akhir kata kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan dan penyempurnaan makalah ini.

Malang, 1 Juni 2023

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................................... 2

Daftar Isi ................................................................................................................................ 3

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4
C. Tujuan ....................................................................................................................... 4

BAB II : PEMBAHASAN

A. Definisi Tahammul Wa Ada’ dan Transformasi Hadis ............................................ 5


B. Jenis-Jenis Transformasi Hadis dalam Tahammul Wa Ada’ ................................... 5
C. Status Transformasi Hadis dalam Tahammul Wa Ada’ .......................................... 8
D. Syarat-Syaraf Transformasi Hadis dalam Tahammul Wa Ada’ ............................... 11

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................ 12
B. Saran ...................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 13

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis adalah sumber hukum yang kedua setelah al-qur'an yang berasal dari
Nabi Muhammad, baik itu perkataan maupun pengakuannya. Rawi dalam ulumul
hadis adalah seseorang yang menyampaikan hadis (berupa perkataan, perbuatan,
komitmen dan sifat Nabi) kepada umat Islam. Dimana seorang perawi memiliki
tanggung jawab yang sangat besar terhadap hadis-hadis Nabi, karena jika seorang
perawi tidak memiliki syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama hadis, maka
hadis yang disampaikannya tidak diterima atau ditolak.
Kemudia at tahammul wa ada' adalah dua istilah yang sangat penting dalam
perkembangan ilmu hadis, oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis memilih
judul Tahammul Wa Ada' agar penulis dan pembaca dapat mengetahui lebih jauh
tentang tahammul wa ada' serta mengetahui atau lebih mengenal istilah-istilah dalam
ilmu hadis yang tidak kita ketahui, dengan begitu maka akan lebih mudah bagi kita
untuk memahami ulumul hadis tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud tentang tahammul wa ada' dan transformasi hadis?


2. Apa saja jenis-jenis transformasi hadis dalam tahammul wa ada'?
3. Apa itu status transformasi hadis dalam tahammul wa ada'?
4. Apa saja syarat-syarat transformasi hadis dalam tahammul wa ada'?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui definisi tentang tahammul wa ada' dan transformasi hadis.


2. Untuk mengetahui jenis-jenis transformasi hadis dalam tahammul wa ada'.
3. Untuk mengetahui status transformasi hadis dalam tahammul wa ada'.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat transformasi hadis dalam tahammul wa ada'.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Tahammul Wa Ada' dan Transformasi Hadis

1. Tahammul Wa Ada'
Secara etimologi kata tahammul berasal dari kata mashdar َ‫ت َ َح َم َّ ََتَح َ َح َم َّ حَت َ َحم َّ ا‬
(yang berarti menanggung dan membawa) atau biasa diterjemahkan dengan
menerima. Secara terminologi tahammul adalah mengambil hadis dari seorang guru
dengan cara-cara tertentu. Sedangkan pengertian ada’, menurut etimologi, yaitu
diambil dari kata َ‫َاَدَاء‬- ‫َ حت َّدِ دى‬- ‫ اَدَى‬yang berarti menyampaikan sesuatu kepada orang
yang dikirim kepadanya. Adapun secara terminologi adalah sebuah proses
meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada muridnya atau bisa diartikan dengan
meriwayatkan dan menyampaikan hadis kepada murid. Sejak dahulu ulama’ hadis
telah menjelaskan bagaimana hadis itu didapat oleh seorang rawi dari gurunya, syarat-
syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh orang yang mendengar hadis dan
menyampaikannya kembali, serta shighat/ lafadz yang digunakan dalam
menyampaikan hadis. Hal ini untuk memastikan tersambungnya hadis sampai kepada
Nabi Muhammad shallaallah alihi wa sallam, sehingga akan menghilangkan keraguan
dalam diri dan yakin bahwa suatu hadis benar-benar datang dari Nabi. Hal itu
menunjukkan bahwa begitu telitinya ulama hadis dalam menyeleksi kebenaran
datangnya suatu hadis. Serta hadis yang diterima dari seorang rawi itu diteliti, apakah
dengan mendengarkan langsung dari rawi sebelumnya, apakah mendengarkannya
ketika sedang sendiri atau berjamaah dengan orang lain, atau sebenarnya tidak
mendengarkan langsung tetapi menemukan di tulisannya.
Maka dapat disimpukan bahwa tahammul wa ada’ adalah kegiatan menyampaikan
riwayat hadis beserta sanad dan matannya.
2. Transformasi Hadis
Transformasi adalah pemindahan, yaitu ragam metode dalam penyampaian
dan penerimaan hadis dari satu perawi pada perawi lain. Dalam istilah hadis hal ini
disebut al-haml wa al-ada', yaitu al-haml (menerima), sedangkan al-ada'
(menyampaikan).

B. Jenis Transformasi
Pertama-tama kita mengulas ragam jenis transformasi hadis dan istilahnya. Model
transformasi ini berdampak apakah seseorang boleh atau tidak meriwayatkan dengan
berkata, "saya mendengar" atau "fulan berkata padaku". Orang yang tidak mendengar
atau tidak bertemu langsung, tentu tidak diperkenankan berkata "aku mendengar," karena
itu artinya dia berbohong tentang itu.

5
1. Sama'
Sama' artinya mendengarkan secara langsung Sama' menunjukkan bahwa
perawi memang mendengar langsung dari gurunya, baik secara personal maupun
dalam suatu kumpulan jamaah. Kata-kata yang termasuk dalam kategori ini ialah:
a. َ‫(َسَمعِتح‬sami'tu), yang berarti aku mendengar,
b. ‫ن‬ََ َ‫( َحدَث‬haddatsana), yang berarti dia bercerita pada kami,
c. ‫ي‬َِ ‫( َحدَثَن‬haddatsani), yang berarti dia bercerita padaku,
d. ‫ن‬ََ ‫( أ َ ِخبَ َر‬akbbarana), yang berarti dia bercerita pada kami,
e. ‫( أنبأني‬anba'ana), yang berarti dia bercerita pada kami,
f. ‫( قالَليَف ن‬qala lana), yang berarti dia berkata pada kami,
g. ‫( ذكرَليَف ن‬dzkara lana), yang berarti dia berkata pada kami.

Ulama berbeda pendapat kalimat mana yang paling kuat di antara kalimat di
atas. Al-Khatib menyatakan sami'tu adalah kategori terkuat, diikuti haddatsana dan
baddatsani. Ibnu Shalah berpendapat justru baddatsana dan akhbarana yang terkuat
dibanding sami 'tu, karena sami'tu bisa jadi gurunya tidak berniat menyampaikan pada
dia. Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat haddatsani yang terkuat, karena haddatsana
dan akhbarana bisa jadi gurunya tidak niat menyampaikan padanya.

2. Qiraah ala Syaih


Qiraah ala Syaih artinya membaca di hadapan guru, baik melalui hafalan atau
menggunakan catatan, baik dia sendiri yang membaca atau orang lain yang membaca
di depan guru sedang dia mendengarkan. Kategori ini lebih rendah dari kategori
sama'. Qiraah ala Syaikh ini juga disebut 'Ardh yang artinya menyetorkan.
Kalimat yang termasuk dalam kategori ini adalah:
a. ‫(سمعت‬sami tu), yang berarti aku mendengar
b. ‫(قرأت‬gara'tu), yang berarti aku membaca
c. ‫قرئ َعلى َف ن َوانا َاسمع‬quri'a ala fulan wa ana asma) yang berarti dibacakan di
depan guru dan aku mendengar
d. ‫ اخربنا َقراءة َعليه‬akhbarana qiraatan alaih), yang berarti dia bercerita pada kami
dengan pembacaan
e. ‫(أنبأنا قراءة عليه‬anba'ana qiraatan alaih), yang berarti dia bercerita pada kami
dengan pembacaan,

Terdapat pula beberapa kalimatlain. Ulama berbeda pendapat, ketika perawi


mendapatkan dengan qiraah ala syaikh, apakah boleh menggunakan kalimat
(sami'tu), yang berarti aku mendengar, atau (haddatsana), yang berarti dia bercerita
pada kami.

3. Ijazah
Ijazah adalah persetujuan atau konfirmasi dari guru bahwa dia memperoleh
hadis tersebut dan bisa meriwayatkannya. Ada beberapa model ijazah ini, di
antaranya:
a) Ijazah langsung dan khusus

6
Yaitu pemberian ijin: muridnya jelas, hadis atau kitab hadisnya juga jelas.
Misalnya guru memberikan kitab pada murid, lalu berkata, "aku ijinkan kau
meriwayatkan isi kitab ini". Pada model ini, murid sah meriwayatkan semua
hadis tersebut. Model ini disebut pula munawalah bersama ijazah.
b) Ijazah langsung
Yaitu pemberian ijin muridnya jelas, tapi hadis atau kitabnya tidak jelas.
Misalnya guru berkata, "aku ijinkan kau meriwayatkan semua hadisku".
c) Ijazah umum
Yaitu pemberian ijin: muridnya tidak jelas, tapi hadis atau kitabnya jelas.
Misalnya guru berkata, "aku ijinkan siapapun meriwayatkan isi kitabku".
d) Ijazah tidak jelas
Yaitu pemberian ijin: murid tidak jelas, hadis atau kitabnya juga tidak jelas.
Misalnya guru berkata, "aku ijazahkan kepada siapapun meriwayatkan semua
hadisku".
4. Munawalah
Munawalah artinya memperoleh salinan hadis. Dalam hal ini murid
mendapatkan salinan kitabnya atau meminjam kitab itu dari guru. Kategori ini
memiliki beberapa model, di antaranya:"
a) Munawalah bersama Ijazah Yaitu murid mendapatkan salinan hadis, lalu guru
memberinya ijin periwayatan. Model ini sah untuk dijadikan periwayatan.
b) Munawalah tanpa Ijazah Yaitu murid mendapatkan salinan hadis, tanpa ijin
periwayatan dari guru Mayoritas ulama tidak mengesahkan model ini sebagai
periwayatan. Mukatabah
5. Mukatabah
Mukatabah artinya menulis hadis gurunya. Jika penulisan itu dukuti ijin
periwayatan dari guru, maka statusnya sama dengan munawalah bersama ijazah. Dan
murid sah meriwayatkan hadis yang ia tulis." Akan tetapi, jika penulisan itu tak
mendapatkan ijin periwayatan, maka mayoritas ulama menyatakan tidak sah sebagai
periwayatan. Ketika dia akan meriwayatkan, dia harus menjelaskan bahwa dia
mendapatkannya dari mukatabah.
6. I'lam
I'lam adalah pemberian informasi dari guru bahwa kitab ini dia dapatkan
riwayatnya dari seorang perawi. Jika informasi itu bersamaan dengan ijin
periwayatan, maka statusnya sama dengan munawalah bersama ijazah." Tapi jika
tanpa ijin, ulama berbeda pendapat sah atau tidaknya model itu dijadikan
periwayatan.
7. Wasiah
Wasiah adalah wasiat guru bahwa kitab ini boleh diriwayatkan nantinya oleh
fulan. Ulama tidak mengesahkan model ini sebagai periwayatan, karena fulan
tersebut tidak bertemu langsung dengan guru itu."
8. Wijadah
Wijadah adalah menemukan suatu hadis dengan sanadnya pada tulisan orang
lain. Model ini jelas menunjukkan bahwa murid tidak bertemu dengan perawi,
sehingga tidak sah dijadikan periwayatan. Model wijadah ini sangat umum di masa

7
sekarang, ketika literatur hadis mudah didapatkan, terlebih dengan digitalisasi
literatur hadis. Tiap orang dengan mudah mendapatkan hadis lengkap dengan
sanadnya, tanpa bertemu langsung dengan para perawinya.
Seseorang yang mendapatkan hadis dengan model wijadah ini tidak boleh
meriwayatkan hadis itu dengan ungkapan, "aku atau "fulan berkata padaku" Karena
memang dia mendengar" udak pernah mendengarnya secara langsung, dia juga tidak
berinteraksi dengan perawinya secara langsung.
Terapi dia diperkenankan meriwayatkannya dengan mengatakan "aku
menemukan hadis" atau "fulan berkata" atau ungkapan lain yang tidak menunjukkan
pertemuan Periwayatan tidak langsung semacam ini disebut riwayat bi bikayah
(meriwayatkan dengan bercerita).

C. Status Transformasi

1. Sama’ lafdzi as-Syaikh atau Mendengarkan Suatu Lafadz dari Guru Langsung
Tingkatan : Menurut pendapat Jumhur Ulama’ metode tahammul ini merupakan
tingakat pertama dalam urutan tahammul hadis.1

2. al-Qira’ah ‘ala as-Syeikh/’ardhun Atau Membacakan Suatu Teks Di Depan Guru


(‫)العرض‬.
a) Hukum Riwayat : Meriwayatkan hadis dengan metode ini adalah shahih dan bisa
diterima.
b) Tingkatan : Ulama’ berbeda pendapat tentang tingkatan metode ini dalam
tiga pendapat:
1. Sama dengan as-Sama’ (metode pertama). Ini pendapat Malik, al-Bukhari,
Yahya bin Said al-Qahthan, Ibnu Uyainah, az-Zuhri, kebanyakan Ulama’
Hijaz dan Kufah.
2. Di bawah as-Sama’, Ini adalah pendapat Jumhur Khurasan, as-Syafi’i, Muslim
bin Hajjaj, Yahya bin Yahya at-Tamimi. Ini adalah pendapat yang shahih.2
3. Lebih tinggi daripada as-Sama’. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, dan salah
satu pendapat Malik. Imam Malik memberikan alasan bahwa, jika saja seorang
guru salah atau lupa dalam menyampaikan suatu hadis, maka murid tidak bisa
membetulkannya. Ada kalanya memang murid tersebut belum mengetahui
hadisnya, atau karena keagungan gurunya, jadi murid enggan untuk
mengoreksi.3

3. al-Ijazah atau Pemberian Ijazah

1 Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 69,
Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 8
2
Al-Qadhi Iyadh Abu al-Fadhl Iyadh bin Amrun bin Musa bin Iyadh as-Sibti al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati
Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, (Kairo: Dar at-Turats, 1970 M, tahqiq As-Sayyid Ahmad Shaqr, hal. 68
3
Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 69,
Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 8

8
Macam-Macam Ijazah dan Hukumnya:
a. Ada beberapa macam Ijazah, tapi Ijazah yang diterima riwayatnya dan
dipakai oleh Kebanyakan Ulama’ adalah jika Ijazah itu dari seorang guru
kepada murid yang tertentu atas sesuatu yang tertentu pula. Misalnya:
Saya mengijazahkan kepadamu kitab Shahih Bukhari. Menurut imam
Malik dan beberapa Ulama’, Ijazah seperti ini derajatnya sama dengan as-
Sama’.4 Disebutkan dalam kitab al-Ilma’ oleh al-Qadhi Iyadz (w. 544 H).5
b. Adapun Ijazah yang lain, misalnya Ijazah kepada orang yang tak tertentu,
atau atas sesuatu yang tidak tertentu pula, misalnya: Seorang guru berkata,
Aku mengijazahkan hafalanku, aku mengijazahkan kepada semua orang
yang hidup di zamanku, maka para Ulama’ tidak mengambil riwayat dari
hal tersebut. Meskipun ada pula yang membolehkan mengambil riwayat
dari Ijazah seperti itu, tetapi pendapat ini adalah pendapat yang lemah.

4. al-Munawalah Atau Penyerahan Sesuatu


Bentuk: al-Munawalah terbagi menjadi dua:
a) al-Munawalah disertai dengan Ijazah.
Inilah bentuk Ijazah tertinggi, dimana seorang guru memberikan kitab kepada
muridnya disertai izin untuk meriwayatkannya. Sebagaimana guru berkata kepada
muridnya, Kitab ini saya meriwayatkannya dari guru saya, maka sekarang
riawayatkanlah dari saya. Setelah itu, kitab menjadi milik murid atau guru hanya
meminjamkan saja kitabnya untuk disalin. Al-munawalah yang disertai ijazah
adalah diterima, dia berada dibawah as-Sama’ dan al-Qira’ah ala as-Syeikh.
b) al-Munawalah tidak disertai dengan ijazah.
Bentuknya adalah seorang guru memberikan kitab kepada muridnya. Hukum
meriwayatkan hadis dengan al-Munawalah yang tidak disertai ijazah ini adalah
tidak diterima, menurut pendapat yang shahih.

5. al-Kitabah Atau Tulisan

Macam al-kitabah ini oleh para Ulama’ hadis dibagi menjadi dua:

a) Disertai dengan pemberian Ijazah. Sebagaimana perkataan seorang guru


kepada muridnya: Saya ijazahkan kepadamu hadis yang telah aku tuliskan
kepadamu. Hukum meriwayatkan hadis metode ini, jika disertai ijazah, maka
diterima.6
b) Tidak disertai pemberian ijazah. Sebagaimana seorang guru menuliskan hadis
kepada seseorang tetapi tidak disertai ijazah untuk meriwayatkannya. maka
sebagian Ulama’ tidak memperbolehkan meriwayatkannya, seperti al-Qadhi
Abu al-Mawardi as-Syafi’i (w. 450 H) dalam kitabnya al-Hawi dan al-Amidi
(w. 631 H).

4
Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 159
5 Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 159
6 M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 53

9
Sedangkan sebagian Ulama’ ada membolehkan meriwayatkan hadis dari al-kitabah,
meskipun tidak disertai ijazah. Karena ada tanda-tanda yang bisa diketahui dari al-
kitabah bahwa orang yang memberikan tulisannya kepada orang lain, artinya boleh
untuk diriwayatkan. Ini pendapat yang shahih, sebagaimana diungkap oleh Dr.
Mahmud at-Thahhan. Sebelumnya, Al-Qadhi Iyadh al-Yahshafi (w. 544 H), dalam
kitabnya al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, juga
menyatakan kebolehan riwayat dengan metode ini. Karena sejatinya tulisan kepada
seseorang adalah berbicaranya seseorang kepada orang lain, tetapi dengan media yang
berbeda.Apakah untuk memastikan tulisan seorang guru itu dibutuhkan sebuah bukti?

Sebagaimana kita ketahui zaman dahulu belum ada mesin tik atau komputer, artinya
semua tulisan dikerjakan dengan tangan. Sebagian Ulama’ mewajibakan adanya bukti
atas sebuah tulisan. Adapun sebagian Ulama’ yang lain menyatakan bahwa bukti itu
cukup dari pengetahuan dari orang yang mendapatkan tulisan; bahwa tulisan itu asli
hasil dari gurunya. Karena tulisan tangan itu berbeda dari satu orang dengan orang
lain. Pendapat kedua ini adalah pendapat yang shahih menurut Dr. Mahmud at-
Thahhan.

6. I’lamu as-Syeikh at-Thalib Atau Pemberitahuan Guru Kepada Murid


Hukum Riwayat: Ada dua pendapat, yaitu:
a) Boleh: Sebagaimana dikatakan oleh Banyak Ahli hadis dan Fiqih. Seperti Ibnu
Juraij, Ibnu as-Shabbagh as-Syafi’I, Abu al-Abbas al-Walid bin Bakr al-Maliky.
b) Tidak boleh: Ini pendapat yang dianggap shahih oleh Dr. Mahmud at-Thahhahan,
karena menurut beliau seorang guru mengabarkan kepada muridnya atas sebuah
riwayat tanpa disertai ijazah, itu menandakan adanya suatu cela dalam hadis.
7. al-Washiyah Atau Wasiat

Al-washiyyah adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam


masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang
diriwayatkannya. Adapun hukum riwayat hadis dengan metode ini ada dua pendapat:

a) Boleh: Ini adalah pendapat Ulama’ terdahulu. Tetapi pendapat ini tidak benar.
Sebagaimana diungkapan, an-Nawawi (w. 676 H) yang dinukil oleh as-Suyuthi
(w. 911 H), al-Qadhi Iyadh (w. 544 H), dan oleh Ulama’ saat ini, Dr. Mahmud at-
Thahhan.
b) Tidak boleh: Ini adalah pendapat yang shahih oleh para Ulama’ ahli hadis.
8. al-Wijadah Atau Menemukan

Sedangkan cara terakhir adalah al-wijadah. Al-wijadah adalah seorang rawi


menemukan hadis yang ditulis oleh seseorang yang tidak seperiode, atau seperiode
namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar
langsung hadis tersebut dari penulisnya

Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang


memperbolehkan dan tidak. Sedangkan pendapat yang shahih adalah tidak
membolehkan riwayat dengan wijadah, karena ada inqitha’ sanad. Bahkan jika

10
seorang rawi ketahuan hanya mendapati tulisan hadis seseorang, lalu dengan sengaja
meriwayatkannya dengan shighat yang mengindikasikan bertemu atau mendengar
secara langsung, misal “haddatsana” atau “akhbarana”, maka bisa saja rawi itu
dianggap mudallis, dan hadisnya tidak akan diterima.

D. SYARAT SAH TRANSFORMASI

Setelah mengenal ragam model transformasi, bagian ini mengulas syarat transformasi,
baik pada penyampai maupun penerima.

1. Syarat Penyampai

Agar hadis yang disampaikan dapat diterima, maka seorang perawi


disyaratkan: adil dan dhabit. Ketika ada syarat yang tidak terpenuhi, maka itu
berdampak pada kualitas hadisnya Islam dan baligh menjadi syarat bagi
penyampai hadis. Islam dan baligh pada dasarnya termasuk dalam kriteria
adil, karena adil adalah: islam, baligh, selamat dari keburukan dan kefasikan.

2. Syarat Penerima

Sedangkan penerima hadis ketika dia mendapatkan hadis hanya


disyaratkan tamyiz atau cukup umur. Dia tidak disyaratkan sebagai muslim
saat menerima, asalkan saat menyampaikan dia sudah muslim. Dia juga tidak
disyaratkan baligh saat menerima, asalkan ketika menyampaikan dia sudah
baligh.

Ulama berbeda pendapat berapa umur minimal seorang perawi dapat


menerima hadis. Ada yang berpendapat minimal umur lima tahun. Ada pula
yang berpendapat umur tamyiz, yakni saat dia sudah mampu membedakan
dan memahami apa yang dia dengar, serta menjawab pertanyaan saat ditanya.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Tahammul Wa Ada’


adalah kegiatan menyampaikan riwayat hadis beserta sanad dan matannya. Dalam
penyampaian dan penerimaan hadis terdapat jenis-jenis transformasi hadis, status
transformasi hadis, dan syarat sah transformasi hadis.

B. Saran

Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami. Dan menjadikan Makalah ini sebagai
sarana yang dapat mendorong para mahasiswa berfikir aktif dan kreatif. Bagi para
pembaca jika ingin menambah wawasan dan mengetahui lebih jauh, maka penulis
mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku lainnya yang
berkaitan bab Tahammul Wa Ada'.

12
DAFTAR PUSTAKA

Beadie Ahmad Busyroel Basyar Ilmu Hadist dan Takhrij Berbasis Aplikasi . Malang :
Maknawi (CV Maknawi,Anggota IKAPI), 2021.

www.rumahfiqih.com. Tahammul dan Ada. Diakses pada tanggal 27 Juni 2023, dari
https://www.rumahfiqih.com/z.php?id=27#:~:text=Secara%20terminologi%20taham
mul%20adalah%20mengambil,kepada%20orang%20yang%20dikirim%20kepadanya.

www.rumahfiqih.com. Penjelasan Lebih Rinci Tahammul dan Ada. Diakses pada tanggal 27
Juni 2023, dari https://www.rumahfiqih.com/z.php?id=30.

13

Anda mungkin juga menyukai