Anda di halaman 1dari 12

PROSES TAHAMM-UL AL-HADITS WA ADA`UHU

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadist
Dosen Pengampu :

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadist

Dosen Pembimbing : Abdullah Ma’ruf, MA.

Disusun Oleh:

1. HASYIM MUHTADI (1119175)


2. ZULFIAN FAHRURROZI (1119114)

SEKOLAH TINGGI AGMA ISLAM PATI


JURUSAN TARBIYAH
PRODI PAI
Tahun ajaran 2020/2021

1
2
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani
sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam ciptaan-Nya. Sholawat dan salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada teladan kita Muhammad SAW yang telah menunjukkan
kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna dan menjadi rahmat bagi
seluruh alam.
Kami sangat bersyukur karna telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas mata
kulia Ulumul Hadist dengan judul Proses Tahamm-ul Al-hadist Wa Ada’uhu. Disamping itu,
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga
terselesaikannya makalah ini.
Akhir kata, kami memahami jika makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka kritik
dan sarn sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya-karya kami di waktu-waktu mendatang.

Pati, 15 Oktober 2020

Penulis

3
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................3
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................4
C. Tujuan..............................................................................................................................................4
BAB II.........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
A. Pengertian Proses Tahmmul Wa Al-Ada’ Al-Hadist...................................................................5
B. Komponen-Komponen Dalam Proses Tahammul Wa Al-Ada’ Al-Hadist...................................5
C. Metode-Metode Yang Digunakan Tahammul Wa Al-Ada’ Al-Hadist.........................................6
BAB III......................................................................................................................................................11
PENUTUP.................................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................12

4
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah telah memeberikan epada umat Nabi Muhammad Saw, para pendahulu
selalu menjaga Al-Qur’an dan Al-Hadist Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur,
amanah, dan memegang janji sebagian diantara mereka menghancurkan perhatiannya
terhadap Al-Qur’an dan ilmunya yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya
membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Seseorang yang teah mempelajari hadist
dengan sungguh-sungguh dengan cara yang benar memiliki beberapa kode etik yang
harus dia jaga dan dia pelihara, baik ketika masih menjadi pelajar itu sendiri atau ketika
dai sudah mengajarkannya kepada orang lain kelak. Di dalam ilmu hadist hal ini dikenal
dengan istilah at tahammul wal ada’.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang al-ada’ wa tahammul al-
hadist meliputi arti proses tahmmul wa al-Ada’ al-Hadist, komponen-komponen penting
yang ada dalam proses tersebut, serta metode-metode yang digunakan tahmmul wa al-
Ada’ al-Hadist.

B. Rumusan Masalah
a. Apakah arti proses tahmmul wa al-Ada’ al-Hadist?
b. Apakah komponen-komponen dalam proses tahmmul wa al-Ada’ al-Hadist?
c. Apakah metode-metode yang digunakan tahmmul wa al-Ada’ al-Hadist?

C. Tujuan
a. Untuk mengetahui arti proses tahmmul wa al-Ada’ al-Hadist.
b. Untuk mengetahui komponen-komponen dalam proses tahmmul wa al-Ada’ al-
Hadist.
c. Untuk mengetahui metode-metode yang digunakan tahmmul wa al-Ada’ al-Hadist.

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Proses Tahmmul Wa Al-Ada’ Al-Hadist
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madly tahmmala (-‫تحمل‬
‫يتحمل‬-‫ )تحمال‬yang berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan
menerima. Berarti tahammul al-hadist menurut bahasa adalah menerima hadist atau
menanggung. Sedangkan tahammul al-hadist menurt istlah ulama ahli hadist,
sebagaimana tertulis dalam kitab tafsir mustholah hadist adalah:1
‫ معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ‬: ‫التحمل‬
“ Tahammul artinya menerima hadist dan mengambilnya dari para syekh atau guru.”
Sedangkan pengertian ada’ al-hadist menurut bahasa, adalah masdar dari:
‫أداء‬-‫يأدى‬-‫أدي‬
‫الشيى إلى المرسل إليه‬
ٔ ‫ايصال‬
“menyampaikan sesuatu pada orang yang dikirim kepadanya”.
Sedangkan ada’ al-hadist menurut istilah adalah:
‫ رواية الحديث وإعطأوه الطالب‬: ‫االداء‬
“meriwayatkan hadist dan memberikannya pada para murid”2
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadist kepada murid,
atau proses mereportasekan hadist setelah ia menerimanya dari seorang guru.

B. Komponen-Komponen Dalam Proses Tahammul Wa Al-Ada’ Al-Hadist.


Dalam sebuah hadits terdapat komponen-komponen yang terpenting, yaitu :
1. Mu’addi
Mu’addi merupaan bentuk isim fa’il dari lafadz “‫ودى‬kkk‫“ ادى – ي‬yang berarti
mencetuskan. Dan Mu’addi berarti orang yang mencetuskan atau meriwayatkan
hadits kepada orang lain.
2. Al-Ada’
Al-Ada’ merupakan bentuk isim masdar dari lafadz “ ‫ أداء‬- ‫ودي‬kk‫ “ أدى – ي‬yang
berarti proses menyampaikan atau meriwayatkan sebuah hadits kepada orag lain.

1
Mahmud Thohan, 1985, Mushtholah Hadist, Songgopuro, haramain, hlm. 156
2
Ibid : hlm. 156

6
3. Matan
Kata mata menurut bahasa berarti unggung jalan, atau tanah yang keras dan tinggi
( ‫) ماصلب وارتفاع من العرض‬. Secara terminologis, matan berarti materi yang berupa
sabda, perbuatan, atau taqrir yang terletak setelah sanad yang terakhir. 3Namun
ketika didasarkan kembali pada paparan hadits, maka pengertian matan
mengalami sedikit modifikasi. Matan tidak hanya terdiri dari pembicaraan yang
ttik terakhir sanad, matan bukan hanya inti pesan nabi SAW, jiks hadits bersifat
qouliyyah. Matan mencakup sumber hadits (Mashdar Al- Hadits) dan inti pesanna
(tharf Al-Hadist). Disinilah terkadang terjadi kesalah kaprahan penyebutan hadits,
padahal yang dimaksud adalah inti pesan hadits.4
4. Shigah Ar-Riwayah
Shigah Ar-Riwayah atau metode periwayatan hadits adalah jalan untuk menerima
hadits atau mendapatkan dari guru. Adapun yang dimaksud dengan shigah Al-
Ada’ (bentuk penyampaian hadits) adalah lafaz-lafaz yang digunakan oleh ahli
hadits dalam meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid-muridnya,
contoh : “sami’tu…” (aku telah mendengar) atau “haddatsani…” (telah bercerita
kepadaku).5
5. Mutahammil
Mutahammil adalah fi’il dari lafaz “tahammala- yatahammalu“ yang berarti
orang yang mendengar dan meriwayatkan hadits.
6. Tahammul
Tahammul adalah isim mashdar dari lafadz “ ‫ تحمال‬- ‫ل‬k‫ “ تحمل – يتحم‬yang berarti
proses mendengar dan menyampaikan hadits kepada orang lain.

C. Metode-Metode Yang Digunakan Tahammul Wa Al-Ada’ Al-Hadist.


Para ulama ahli hadist menggolongkan metode(sighat tahammul wa ada’ al-hadits)
menerima suatu periwayatan hadist, menjadi delapan macam, yaitu:6
1. Sama’

3
Mahmud Al-Thahhan, Al-Taisir Musthalah Al-Hadits, (Cet. VII; Riadh: Maktabah Ma’arif, 1985), hal. 31.
4
Dr. Ikhrom, ‘Ulum Al-Hadits, (Semarang : UINPress, 2015), hal. 81-83
5
Ktab Syaikh Manna al-Qaththan berjudul “Mabahats Fi Ulumul Hadist”, hal. 165-168.
6
H. Mudasir, ilmu Hadis, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999. Cet. I.hlm.85

7
As-Sima’(mendengar), yaitu seorang guru membaca hadist baik dari
hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk
imla’ ataupun yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat
tertinggi. Ada juga yang berpendapat, bahwa mendengar dari seorang guru
disertai dengan menuliskan darinya leih tinggi dari pada mendengar saja. Sebab
sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang murid menulis darinya.
Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada
kebenaran. Dan menurut M.M. Azami metode as-sama’ memiiki beberapa bentuk
penyampaian.
Cara as-sama’ ini tinggi nilainya,sebab lebih meyakinkan tentang terjdinya
pengungkapan riwayat.
2. Qira’ah
Yaitu periwayatan hadits dengan cara seorang murid membacakan hadits
kepada guru. Periwayatan tersebut biasanya disebut dengan istilah al-arad.
Disebut al-arad, karena seorang rawi menyuguhkan bacaan hadistnya kepada
guru, dan guru mendengarkan bacaan tersebut. Bisa jadi bacaan berasal dari
hafalan atau buku perawi, dan sang guru mengikuti bacaan tersebut dengan
hafalannya, memegang kitabnya sendiri, atau memgang kitab orang lain.
3. Ijazah
Yakni pemberian izin dari seseorang kepaa orang lain, untuk
meriwayatkan hadits dari padanya, atau kitab kepada seseorag atau orang-orang
tertentu, sekalopun sang murid tidak membacakan kepada sang gurunya atau tidak
mendengar bacaan gurunya, seperti: ‫نى‬kk‫روي ع‬kk‫ك أن ن‬kk‫زت ل‬kk‫( اج‬aku mengijinkan
kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku).
Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa kriteri
dan syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa seorang ahli hadits
harus mengenal betul apa yang akan diijazahkannya, naskah yan ada pada muris
harus dibandingkan dengan naskah aslinya sampai benar-benar sama dan yang
meminta ijazah ahli ilmu dan telah memiliki posisi dalam hak keilmuan, sehingga
tidak akan terjadi peletakan ilmu tidak pada tempat atau ahlinya. Ada riwayat
yang mengukuhkan hal ini dari sebagian besar ulama mutaqaddimin, semuanya

8
memperblekan mengamalkan ijazah dan menyingkirkan segala sesuatu yang
menghalanginya. Menurut ulama mutaqaddimin ijazah hanya diperbolehkan bagi
kalangan tertentu dari para pengikut hadits yang berstatus tsiqat, dan hadits yang
diijazahkan juga tidak lebih dari beberapa hadits, atau jiz’ atau kitab.
a) Adapun macam-macam ijazah, yaitu:Ijazah fi mu’ayyin li mu’ayyanin.
b) Ijazah fi gairi mu’ayyanin li mu’ayyanin.
c) Ijazah gairi mu’ayyin bi gairi mu’ayyanin.
4. Munawalah
Yakni seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau
salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.
Al-Munawalah adadua macam:
a. Al-Munawalah yang disertai ijazah secara mutlaq. Seperti jika seorang syaikh
memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadanya, “ini
riwayatku dari si fulan, maka riwaatakanlah dariku”. Kemudian buku tersebut
dibiarkan bersamanya untuk dimiliki ataupun dipinjamkan atau disalin. Maka
diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti in, dan tingkatannya lebih rendah
daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
b. Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh
memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : “ini
adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan bedasarkan
pendapat yang shahih.7
5. Al-Kitabah
Yaitu: seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain
menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir
di situ. Kitabah ada 2 macam :
a. Kitabah yang disertai dengan ijazah , seperti perkataan syaikh, “Aku
ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal
denganya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya
sama kuat dengan munawalah yang disertai ijazah.

7
Ibid: hal. 156

9
b. Kitabah yang tidak diserati dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian
hadits untuk muridnya dan dikirim Tulsan itu kepadanya, tapi tidak
diperbolehkan untuk diriwayatkannya. Disni terdapat perselisihan hukum
meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain
memperbolehkannya jika dketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh
itu sendiri.
6. Al-I’lam (memberitahu)
Yaitu : seorang syaikh memberiahu seorang muridnya bahwa hadits ini
atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untk
meriwayatkan daripadanya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si
perawi berkata : A’lamanii syaikh (guru telah memberitahu kepadaku).
7. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : seorang syaikh mewasiatkan disaat mendekati ajalnya atau dalam
perjalanan, sebuah kitab yang ia wariskan kepada sang perawi.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan ;
aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin(si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah
kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku
dengan sebuah wasiat).8
8. Al-Wijaadah (medapat)
Yaitu: seorang perawi mendapat hadistatau kitab dengan tulisan seorang
syaikh dan ia mengenal syaok itu, sedang hadits-haditsnya tidak pernah
didengarkan atupun di tulis oleh si perawi.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan
wijaadah ini, si perawi berkata, “Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat uku
ini dengan tulisan si fulan), atau “qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca
buku ini dengan tulisan si fulan), kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
Dari beberapa proses penerimaan dan penyamian hadits di atas kita bisa
mengambil kesimpulan sebagai berkut. Bahwa ketika perawi mau menceriakan
sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia

8
Ibid : hal. 156

10
menerima hadits tersebut dengan beberapa istlah yang telah banyak dipakai para
ulama’ hadits. Sebgaimana berikut :
1) Jika proses tahammul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya
adalah :
2) Jika proses tahammul itu dengan menggunakan Qiroah, maka rowi yang
meriwayatkannya harus menggunakan kata :
3) Ketika proses tahammul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi
penyampainnya adalah :
4) Ketik prosesnya munawalah, maka redaksi yang diguakan adalah :
5) Ketika proses tahammul dengan khitabah (penulisan), maka redaksi yang
digunanakan adalah :
6) Ketika prosenya menggunakan pemberitahuan, maka redaksiyang digunakan
adalah :
7) Ketika proses tahammul menggunakan metode wasit, maka redaksi penyampain
mengunakan kata :
8) Ketika proses tahammul melalui metode wijaadah (penemuan sebuah manuskrip
atau buku), maka redaksi penyampainnya menggunakan kata : 9

9
http://ulumulhadits/./com

11
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madly tahmmala yang berarti
menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima.

Sedangkan ada’ al-hadist menurut istilah adalah


Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadist kepada murid, atau proses
mereportasekan hadist setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Mu’addi merupaan bentuk isim fa’il dari lafadz «‫ودى‬k‫» ادى – ي‬yang berarti mencetuskan. Dan
Mu’addi berarti orang yang mencetuskan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.

Ar-Riwayah

Shigah Ar-Riwayah atau metode periwayatan hadits adalah jalan untuk menerima hadits atau
mendapatkan dari guru. Adapun yang dimaksud dengan shigah Al-Ada’ adalah lafaz-lafaz yang
digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid-
muridnya, contoh : «sami’tu…» atau «haddatsani…» .
As-Sima’, yaitu seorang guru membaca hadist baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang
hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun yang lain. Menurut mayoritas ulama,
metode ini berada di peringkat tertinggi. Ada juga yang berpendapat, bahwa mendengar dari
seorang guru disertai dengan menuliskan darinya leih tinggi dari pada mendengar saja. Sebab
sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya
lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran. Dan menurut M.M. Azami
metode as-sama’ memiiki beberapa bentuk penyampaian.
Cara as-sama’ ini tinggi nilainya,sebab lebih meyakinkan tentang terjdinya pengungkapan
riwayat.
Yaitu periwayatan hadits dengan cara seorang murid membacakan hadits kepada guru.
Periwayatan tersebut biasanya disebut dengan istilah al-arad. Disebut al-arad, karena seorang
rawi menyuguhkan bacaan hadistnya kepada guru, dan guru mendengarkan bacaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

12

Anda mungkin juga menyukai