STUDI HADIS
Dosen Pengampu :
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah karena berkat Rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini dalam keadaan baik,meski penulis sadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi bahasa,penulisan dan penyusunan. Adapun
makalah ini menjelaskan tentang “TRANSFORMASI HADIS”
Penulis berharap agar apa yang tercantum dalam makalah ini, Bisa menjadi pelajaran
dan menambah wawasan baik bagi penulis maupun pembaca. Dalam penulisan makalah ini
jika ada hal-hal yang kurang dipahami dan kurang berkenan bagi para pembaca kami mohon
maaf. Karena kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang membangun.Kami harap demi
kesempuraan dan perbaikan berikutnya. Sekian dan Terima Kasih.
Penyusun,
Studi Hadis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................
1.1........................................................................................................................................Latar
Belakang Masalah..........................................................................................................
1.2........................................................................................................................................Rum
usan Masalah.................................................................................................................
1.3........................................................................................................................................Tuju
an ..................................................................................................................................
1.4........................................................................................................................................Hipo
tesisi...............................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................
KESIMPULAN...................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
Makalah ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut :
Untuk menjadi pendorong bagi kami bahwa betapa pentingnya “STUDI HADIS” ini untuk
kami pelajari sehingga dapat menjadikan kepribadian yang baik. Namun bukan berarti kita
harus menjadi orang yang sempurna, karena setiap manusia tentu memiliki banyak
kekurangan.
1.4. Hipotesis
Mengetahui pengertian dari metodologi;
Mengetahui definisi transformasi;
Mengetahui definisi hadis;
Mengetahui dan memahami metode-metode yang digunakan dalam mentransformasikan
hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam konteks ini, transformasi hadits diartikan sebagai periwayatan hadits. Namun
istilah ini digunakan dengan alasan bahwa didalamnya tidak hanya mengandung aktifitas
periwayatan, tetapi mencakup proses penerimaan hadits (tahammu al-Hadits), dan
periwayatan hadits ( ada’ al-hadits) sekaligus.
Kata Tahammul merupakan bentuk mashdar dari kata tahammala, tahammulan yang
secara etimologi berarti menerima. Sedangkan menurut pengertian istilah, yang dimaksud
dengan tahammul adalah penjelasan mengenai cara-cara para periwayat dalam mengambil
atau menerima hadits dari gurunya.
Sedangkan kata ada’ merupakan isim mashdar dari adda, yuaddi, ada’an, yang secra
etimologis berarti menyampaikan atau menunaikan. Sedangkan menurut istilah ada’ al-
hadits adalah penjelasan mengenai cara-cara menyampaikan hadits yang diterima oleh para
periwayat hadits dari syaikh atau gurunya.
Dapat disimpulkan bahwa pengertian transformasi hadits adalah penjelasan mengenai cara-
cara menerima atau mendapatkan hadits dan bagaimana cara menyampaikannya.1
1
Dra.Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. hlm. 64
pengembaraan yang lebih intensif,. Oleh karena itu mesti dimunculkan metode baru dalam
belajar mengajar hadits.
Ada 8 metode yang digunakan untuk proses trransformasi hadits:
Cara ini mencakup bentuk berikut ini: yaitu seorang guru membaca hadits didepan muridnya
membaca dari buku-buku, tanya-jawab, dan dikte.
a) Membaca Hadits Secara Lisan yang Dilakukan Oleh Guru
Praktik ini mulai dikesampingkan atau ditinggalkan sejak paruh kedua. Walaupun
demikian, praktik ini tetap dipakai cukup lama. Biasanya, para murid hidup bersama dengan
sang guru cukup lama, sampai mereka dipercayai untuk menjadi penulis dari hadits sang
guru. Terkadang, mereka ini disebut Rawi atau Shahib Al-Hadits. Walaupun pertemuan
dengan guru dilaksanakan secara regular untuk mengajarkan hadits, namun hanya sejumlah
kecil hadits- hadits yang diajarkan dalam satu kali pertemuan, sekitar ¾ hadits.
2
Khatib Baghdadi, Kifayah, hlm. 237, dikutip dari buku Metodologi Kritik Hadits oleh Muhammad Mustafa
Azami,M.A.,Ph.D
membandingkan hadits tersebut dengan isi hadits mereka atau hanya sekadar
mendengarkannya secara cemat, kemudian mereka menyalin dari
Yaitu pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan sebuah
buku hadits tanpa membaca hadits tersebut satu persatu.
Dalam terminologi hadits, ijazah bermakna memberikan izin kepada seseorang untuk
meriwayatkan sebuah hadits atau sebuah buku di bawah pengawasan seorang ahli tertentu
yang telah memberikan izin tersebut, tanpa perlu membacakan buku tersebut kepadanya.
Ada beberapa bentuk yang berbeda dari sistem ijazah. Sampai abad ketiga, sukar
ditemukan suatu indikasi sistem ijazah, tetapi metode ini dipakai cukup luas. Ada perbedaan
opini tentang keabsahan metode ini. Metode ini dalam kasus tertentu menyajikan satu bentuk
penyelamatan terhadap teks.
3
Untuk lebih detail, lihat Azami, Studies. Hlm 284, dikutip dari buku Metodologi Kritik Hadits oleh Muhammad
Mustafa Azami,M.A.,Ph.D
Adapun model-model metodenya adalah:4
Pertama, model pengijazahan seorang guru kepada seseorang atau beberapa orang
tertentu dari muridnya dengan kitab tertentu pula. Seperti ungkapan:” Aku ijazahkan
kepadamu kitab Fulan”,
Kedua, model pengijazahan hadis dari seorang guru kepada murid tertentu, namun
hadist atau kitab yang diijazahkan itu tidak tertentu(tidak jelas). Ungkapan konkret model
ini antara lain:” Aku ijazahkan kepadamu atau kepada kalian untuk meriwayatkan hadist
yang telah aku riwayatkan kepadamu”.
Ketiga, model pengijazahan seorang guru yang ditujukan untuk kalangan umum,
seperti ungkapan seorang guru: “Aku member ijazah epada seluruh kaum muslimin ayau
kepada semua orang yang semasa denganku, dan lail-lain)
Keempat, model pengijazahan dari seorang guru kepada orang yang majhul dengan
hadist yang majhul pula. Artinya bahwa model pengijazahan ini mengambil bentuk
konkret pemberian ijin dari seorang guru untuk meriwayatkannya suatu hadist kepada
seseorang yang berdomisili ditempat tertentu misalnya, namun ditempat tersebut ternyata
terdapat beberapa nama yang serupa. Untuk lebih jelasnya seperti ungkapan:” Aku
mengizinkan kepada Muhammad Ibn Khalid al- Dimasyqi” (padahal disana terdapat
banyak orang yang memiliki kesamaan nama dengan Muhammad Ibn Khalid).
Kelima, model pengijazahan yang ditujukan kepada seseorang yang tidak atau belum
ada, seperti pengijazahan kepada anak yang belum lahir. Contoh bentuk konkretnya
adalah:” Aku ijazahkan kepadamu dan kepada anak(dalam kandunganku)”.
4
Al-`Iraqi, Al-Taqyid wa al-idhah, dikutp dari buku “Kajian Kritis Ilmu Hadis” oleh Dra.Hj.Umi Sumbulah,M.Ag
hlm. 71.
2.2.4. Metode al-Munawalah;
Yaitu seorang guru memberikan sebuah materi tertulis kepada seseorang untuk
meriwayatkannya. Ketika seseorang memberikan sebuah manuskrip kepada seorang murid
sejauh dengan otoritas untuk meriwayatkannya, sebagaimana Zuhri (51-124 H) memberikan
manuskripnya kepada sejumlah ahli, seperti Al-Tsawti, Al-Awza`I dan Ubaydillah bin
Umar.5 Cara ini bukanlah suatu praktik yang umum dipakai diawal masa kelahiran Islam.
Periwayatan dengan metode al- munawalah ini ada dua macam: Pertama, al-
munawalah yang disertai dengan al- ijazah yang kemudian untuk konkretnya adalah seorang
guru menyerahkan kitabnya kepada muridnya, namun juga ada pernyataan agar hadis- hadis
yang termuat didalam kitab tersebut diriwayatkan, seperti ungkapan seorang guru:” ini
adalah(hadis) riwayat dari si Fulan, maka riwayatkanlah (hadis- hadis tersebut) dengan sanad
dariku”. Kedua, al- munawalah yang tidak disertai ijazah, seperti ungkapan seorang guru
tatkala menyerahkan tulisannya, kepada muridnya sambil berkata:” Ini adalah (hadis)
riwayatku”. Para ulama menerima tipologi pertama, karena didalamnya disebutkan secara
jelas kerelaan seorang guru jika hadis yang diberikan kepada muridnya itu untuk
diriwayatkan lagi.
5
Op. Cit. Azami, hlmn. 88-93, dikutip dari buku Metodologi Kritik Hadits oleh Muhammad Mustafa
Azami,M.A.,Ph.D
Disamping beberapa sahabat, sejumlah ahli hadits menulisnya, dan mengirimkannya
kepada murid-murid mereka.6 Secara umum ulama hadis mengakui kebenaran periwayatan
hadis dengan metode al- mukatabah ini, baik disertai maupun tidak disertai ijazah.
Para ulama berbeda pendapat. Kelompok pertama yang diwakili Ibn Salah menyatakan
bahwa: periwayatan dengan metode tersebut tidak dibenarkan. Alasan yang dikemukakan
mengapa seorang guru tidak memberikan kewenangan kepada muridnya untuk meriwayatkan
hadis atau kitab hadis yang diumumkan tersebut, mengadung implikasi pemikiran bahwa di
dalam kitab tidak secara bebas diriwayatkan begitu saja.
6
Ibid, hlmn. 41-42, dikutip dari buku Metodologi Kritik Hadits oleh Muhammad Mustafa Azami,M.A.,Ph.D
Sedangkan kelompok kedua, cenderung menerima hadist yang diriwayatkan dengan
metode tersebut. Karen al- i’ lam ini disertai suatu isyarat dan penunjukan secara jelas dan
tegas terhadap sebuah kitab hadist dan hadist yang telah benar- benar ia dengar dari seseorang
kelompok yang tergolong memihak pendapat kedua ini adalah al- Ramahurmuzi penyusun
buku al- Fashil bayn al- Rawi wa al- Wai mayoritas muhadditsin, fuquha’ dan ulama ushul.7
Seseorang menemukan sejumlah buku-buku hadits yang tertulis oleh seseorang yang
tidak dikenal namanya. Corak seperti ini sering ditemukan dalam bentuk manuskrip di sebuah
perpustakaan atau di tempat lainnya. Cara ini tidak diakui keberadaannya dalam mengajarkan
hadits. Menurut standar ahli hadits (muhadditsin), seseorang harus menggariskan secara
eksplisit bahwa informasi yang dia paparkan harus diambil dari buku orang tertentu. ada
beberapa referensi buku sebagai refleksi metode ini di awal periode Isam. Sebagai contoh
adalah buku Sa`ad bin Ubadah (wafat 15 H)9
7
Al- Iraqi, Al Taqyid wa ai- Idhah, 198 dikutip dari buku Kajian Kritis Ilmu Hadis oleh Dr.Hj. Umi Sumbulah,M.Ag.
halamn 75
8
Ibid., hlmn. 63, dikutip dari buku Metodologi Kritik Hadits oleh Muhammad Mustafa Azami,M.A.,Ph.D
9
Op. Cit., Azami, hlmn. 63, dikutip dari buku Metodologi Kritik Hadits oleh Muhammad Mustafa
Azami,M.A.,Ph.D
BAB III
PENUTUPAN
KESIMPULAN
Di masa sahabat, hanya metode pertama yang dipakaui secara umum, sedangkan metode
lainnya nyaris dilupakan. Para murid tinggal berdekatan dengan gurunya sepanjang waktu,
sebagai pelayan guru dan ilmu. Manakala para murid sudah mendapatkan sejumlah hadits,
mereka menulis dan menghafalkannya. Al-Zuhri berkomentar, “Orang-orang biasanya
duduk-duduk melingkar dekat Ibnu Umar, namun tak seorangpun yang berani bertanya
kepada beliau. Kami biasanya mendatangi Ibnu Musayyab tanpa menayakan sesuatu kepad
beliau, sampai ada orang baru dan mengajukan pertanyaan kepadanya. Pertanyaan sebagai
prolog yang mendorong beliau untuk menyampaikan hadits kepada kami, atau beliau sendiri
yang mulai menyampaikan hadits tersebut.”10 Sesaat kemudian, metode pertama dan kedua
mulai merakyat. Sudah cukup banyak perbincangan tentang apakah cara pertama lebih baik
dibandingkan dengan cara kedua atau sebaliknya. Merujuk kepada kebanyakan para ahli
hadits, kedua metode tersebut sejajar. Thahawi (wafat 328 H) menulis sebuah buku kecil
tentang masalah ini, yang menerangkan bahwa kedua metode itu sama. Terminologi yang
berbeda dipakai dalam meriwayatkan hadits untuk menunjukkan metode apa yang telah
digunakan dalam mepelajari hadits.seseorang tidak diberi wewenag untuk menggunakan
sejumlah hadits dalam kehidupan ilmiahnya, kalau dia tidak menerapkan salah satu dari
delapan metode yang telah disebutkan diatas. Hanya saja, para ahli hadits tidak mengakui
keberadaan metode yang terakhir.
10
Ibid., hlmn 284, dikutip dari buku Metodologi Kritik Hadits oleh Muhammad Mustafa Azami,M.A.,Ph.D
DAFTAR PUSTAKA
Sumbulalah, M.Ag., Dr.Hj.Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadist. Malang: UIN Press.
2010