Anda di halaman 1dari 15

TRANSFORMASI HADIS

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

STUDI HADIS

Dosen Pengampu :

Dr. Hj. Yuliharti, M.Ag

Muhammad Muftih Fashlih, M.Pd

DISUSUN OLEH KELOMPOK 10 :

CICI CAHYA (12110324381)

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah karena berkat Rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini dalam keadaan baik,meski penulis sadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi bahasa,penulisan dan penyusunan. Adapun
makalah ini menjelaskan tentang “TRANSFORMASI HADIS”

Penulis berharap agar apa yang tercantum dalam makalah ini, Bisa menjadi pelajaran
dan menambah wawasan baik bagi penulis maupun pembaca. Dalam penulisan makalah ini
jika ada hal-hal yang kurang dipahami dan kurang berkenan bagi para pembaca kami mohon
maaf. Karena kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang membangun.Kami harap demi
kesempuraan dan perbaikan berikutnya. Sekian dan Terima Kasih.

Pekanbaru, 15 Maret 2022

Penyusun,

Studi Hadis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................

1.1........................................................................................................................................Latar
Belakang Masalah..........................................................................................................
1.2........................................................................................................................................Rum
usan Masalah.................................................................................................................
1.3........................................................................................................................................Tuju
an ..................................................................................................................................
1.4........................................................................................................................................Hipo
tesisi...............................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................

2.1. Pengertian Transformasi Hadits (Tahammul wa Ada’ al-Hadits)...............................

2.2. Metode Transformasi Hadits.......................................................................................

BAB III PENUTUP.............................................................................................................

KESIMPULAN...................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis adalah persoalan otentisitas dan
reliabilitas hadis. Keraguan sebagian muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas
kedua setelah al-Qur’an tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas
sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan
dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan
bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari
kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang.
Posisi hadis sebagai sumber otoritas Islam yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah
oleh umat Islam terlalu penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan
politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga
sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memehami wahyu Allah. Ia juga
sebagai sumber sejarah masa awal Islam.

1.2. Rumusan Masalah


a. Apakah definisi metode ?
b. Apakah definisi transformasi
c. Apakah definisi hadis ?
d. Apa sajakah metode-metode yang digunakan dalam mentransformasi hadis ?

1.3. Tujuan
Makalah ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut :
Untuk menjadi pendorong bagi kami bahwa betapa pentingnya “STUDI HADIS” ini untuk
kami pelajari sehingga dapat menjadikan kepribadian yang baik. Namun bukan berarti kita
harus menjadi orang yang sempurna, karena setiap manusia tentu memiliki banyak
kekurangan.
1.4. Hipotesis
 Mengetahui pengertian dari metodologi;
 Mengetahui definisi transformasi;
 Mengetahui definisi hadis;
 Mengetahui dan memahami metode-metode yang digunakan dalam mentransformasikan
hadis.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Transformasi Hadits (Tahammul wa Ada’ al-Hadits)

Dalam konteks ini, transformasi hadits diartikan sebagai periwayatan hadits. Namun
istilah ini digunakan dengan alasan bahwa didalamnya tidak hanya mengandung aktifitas
periwayatan, tetapi mencakup proses penerimaan hadits (tahammu al-Hadits), dan
periwayatan hadits ( ada’ al-hadits) sekaligus.

Kata Tahammul merupakan bentuk mashdar dari kata tahammala, tahammulan yang
secara etimologi berarti menerima. Sedangkan menurut pengertian istilah, yang dimaksud
dengan tahammul adalah penjelasan mengenai cara-cara para periwayat dalam mengambil
atau menerima hadits dari gurunya.

Sedangkan kata ada’ merupakan isim mashdar dari adda, yuaddi, ada’an, yang secra
etimologis berarti menyampaikan atau menunaikan. Sedangkan menurut istilah ada’ al-
hadits adalah penjelasan mengenai cara-cara menyampaikan hadits yang diterima oleh para
periwayat hadits dari syaikh atau gurunya.

Dapat disimpulkan bahwa pengertian transformasi hadits adalah penjelasan mengenai cara-
cara menerima atau mendapatkan hadits dan bagaimana cara menyampaikannya.1

2.2. Metode Transformasi Hadis

Sebelumnya kita telah menyimak bagaimana Nabi mengajarkan hadis da sunnahnya,


dan bagaimana hal itu diterima oleh sahabat. Para sahabat sebagai muslim yang langsung
dibimbing oleh Nabi mempunyai hak istimewa dan tugas khusus untuk menyebarluaskan
ajaran Nabi. Namun, diperjalanan masa berikutnya, sebagaimana halnya hadits tersebar
merakyat di persada dunia muslim. Pengumpulan dan pengkodifian hadits menuntut

1
Dra.Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. hlm. 64
pengembaraan yang lebih intensif,. Oleh karena itu mesti dimunculkan metode baru dalam
belajar mengajar hadits.
Ada 8 metode yang digunakan untuk proses trransformasi hadits:

2.2.1. Metode al-Sama`;

Cara ini mencakup bentuk berikut ini: yaitu seorang guru membaca hadits didepan muridnya
membaca dari buku-buku, tanya-jawab, dan dikte.
a) Membaca Hadits Secara Lisan yang Dilakukan Oleh Guru

Praktik ini mulai dikesampingkan atau ditinggalkan sejak paruh kedua. Walaupun
demikian, praktik ini tetap dipakai cukup lama. Biasanya, para murid hidup bersama dengan
sang guru cukup lama, sampai mereka dipercayai untuk menjadi penulis dari hadits sang
guru. Terkadang, mereka ini disebut Rawi atau Shahib Al-Hadits. Walaupun pertemuan
dengan guru dilaksanakan secara regular untuk mengajarkan hadits, namun hanya sejumlah
kecil hadits- hadits yang diajarkan dalam satu kali pertemuan, sekitar ¾ hadits.

b) Membaca dari Buku-buku


Membaca yang dilakukan oleh guru dari buku hasil karyanya sendiri yang telah
terpilih atau sang guru membaca buku hasil karya sang murid (untuk mengecek
kebenarannya).
Metode seperti ini sering menjebak guru yang tidak mempelajari hadis dengan
hafalan. Banyak diantara para murid dan kaum terpelajar yang nakal. Mereka menyisipkan
tambahan hadits kedalam hadits yang ia dapatkan dari guru, dan kemudian menyerahkannya
kepada guru untuk dibaca untuk mengetahui dan menguji keabsahan bunyi, ilmu dan
hafalannya. Guru yang gagal untuk mengidentifikasikan bagian tambahan yang disisipkan,
maka dianggap tidak tsiqah dan tidak bisa dipercaya.
c) Tanya-Jawab
Dalam metode ini, murid biasanya bagian tertentu dari hadits, sementara guru
membacakannya secara utuh.
d) Dikte Hadits
Diluar dikte yang dilakukan oleh Nabi dan sebagian kecil sahabat, mungkin sahabat
Wathilah bin Asqa` (wafat 83 H) adalah orang pertama yang menyelenggarakan kelas untuk
dikte. Metode ini tidak banyak mendapat dukungan diawal masa Islam, karena dalam cara ini
seorang murid bisa mendapatkan jumlah hadits yang banyak dalam waktu yang relatif singkat
tanpa banyak mengeluarkan jerih payah. Kelihatannya Al-Zuhri lah orang pertama yang
menyimpang dari sikap ini. Sekitar akhir abad pertama, kita temukan beliau mendiktekan
hadits- haditsnya; sebuah metode yang beliau terapkan sejak masa tuanya.
Ada sahabat tertentu yang terlalu ekstrim menolak penguunaan metode dikte dan
tidak memperbolehkan menulisnya. Sementara ada juga yang tidak mau meriwayatkan hadits
sampai para siswa mencatatnya terlebih dahulu. Bahkan banyak diantara meraka yang
menolak mendiktekan hadits, jika para murid menggunakan papan tulis yang tulisan-tulisan
haditsnya dapat terhapus. Sebagian lainnya mencatat hadits setelah daya hafalannya
melemah. Masih banyak yang terbiasa mempelajari hadits dengan cara menhafal diluar
kepala. Sejak abad kedua, disamping metode membaca biasa dari buku, metode dikte mulai
digunakan. Terkadang kelas regular diadakan untuk maksud ini.
Ada dua metode yang digunakan untuk dikte; baik dari buku atupun dari hafalan.
Dalam kasus tertentu, para siswa menolak untuk menulis hadits yang didektekan dari hafalan.
Tampaknya, saat itu begitu mode untuk menumpukkan kepercayaan kepada daya ingatan dan
hafalan dalam meriwayatkan dan mendikteka hadits. Barangkali hal itu merupakan suatu
prestise dan reputasi. Praktik ini berakibat kepada kesalahan-kesalahan yang berkaitang
dengan kondisi hafalan yang konstan. Para guru harus meninggalkan buku-buku mereka
untuk menyegarkan hafalan-hafalan mereka. Dalam sejumlah kasus, disaat mereka tidak
yakin, para guru tidak berani mendiktekan.
Banyaknya jumlah audiensi pada pendiktean memunculkan tipe kerja baru untuk
seseorang yang disebut Mustamli. Mereka biasanya mengulangi kata-kata syaikh dengan
suara yang keras agar terdengar oleh para pendengar.
Mengingat tidak semua murid dapat menulis dengan cepat, maka murid yang cepat
menulisnya ditunjuk untuk menulis hadits, sementara yang lain menyaksikan bagaimana
menulis, agar jangan sampai terjadi kekeliruan. Kemudian murid lainnya meminjam buku
tersebut atau menyalinnya dalam pengawasan pemiliknya. Dalam kajian seperti ini, pelajaran
secara tertulia atau warraqun ditemukan untuk tujuan penyalinan yang kemudian membantu
mencetaknya dalam sejumlah buku.
Terlihat bahwa para ahli hadits sadar akan pentingnya revisi setelah penyalinan. Oleh
sebab itu, kita menemukan para pakar tersebut menganjurkan murid-muridnya secara mantap,
bahkan membantu mereka dalam merevisi setelah penyalinan selesai.2

2.2.2. Metode al-`Qira`ah;


Yaitu seorang murid membacakan hadits (yang didapatkan dari gurunya yang lain) di depan
gurunya atau orang-orang tertentu yang disebut seorang qari`, dan murid lainnya

2
Khatib Baghdadi, Kifayah, hlm. 237, dikutip dari buku Metodologi Kritik Hadits oleh Muhammad Mustafa
Azami,M.A.,Ph.D
membandingkan hadits tersebut dengan isi hadits mereka atau hanya sekadar
mendengarkannya secara cemat, kemudian mereka menyalin dari

buku-buku tersebut. keasingan terminology ini dapat berakibat kepada kesalah-


pengertian, bahkan kepada orang Arab sendiri.
`Ardh merupakan praktik yang sangat umum semenjak awal abad kedua Hijriah.
Dalam masalah ini, salinan hadits dapat dibuat oleh para guru sendiri, sebagaimana halnya
banyak diantara guru-guru yang mempunyai sekretaris pribadi, katib atau warraq, atau dapat
juga dikerjakan oleh para murid yang menyalin secara langsung dari salinan aslinya. Dalam
penyalinan, mereka biasanya membuat sebuah tanda melingkar pada akhir setiap hadits 3
Kapan saja seorang murid habis membaca sebuah hadits, dia selalu memberi sebuah tanda
dalam sebuah lingkaran atau ditempat lainnya untuk menunjukkan bahwa hadits tersebut
sudah dibaca didepan guru.
Ketika sebuah hadits telah dibaca lebih dari sekali oleh murid, mereka kemudian
menambahkan catatan tambahan untuk setiap bacaan. Terkadang para ahli membaca buku
yang sama berkali-kali.

2.2.3. Metode al-ijazah;

Yaitu pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan sebuah
buku hadits tanpa membaca hadits tersebut satu persatu.
Dalam terminologi hadits, ijazah bermakna memberikan izin kepada seseorang untuk
meriwayatkan sebuah hadits atau sebuah buku di bawah pengawasan seorang ahli tertentu
yang telah memberikan izin tersebut, tanpa perlu membacakan buku tersebut kepadanya.
Ada beberapa bentuk yang berbeda dari sistem ijazah. Sampai abad ketiga, sukar
ditemukan suatu indikasi sistem ijazah, tetapi metode ini dipakai cukup luas. Ada perbedaan
opini tentang keabsahan metode ini. Metode ini dalam kasus tertentu menyajikan satu bentuk
penyelamatan terhadap teks.

3
Untuk lebih detail, lihat Azami, Studies. Hlm 284, dikutip dari buku Metodologi Kritik Hadits oleh Muhammad
Mustafa Azami,M.A.,Ph.D
Adapun model-model metodenya adalah:4

Pertama, model pengijazahan seorang guru kepada seseorang atau beberapa orang
tertentu dari muridnya dengan kitab tertentu pula. Seperti ungkapan:” Aku ijazahkan
kepadamu kitab Fulan”,

Kedua, model pengijazahan hadis dari seorang guru kepada murid tertentu, namun
hadist atau kitab yang diijazahkan itu tidak tertentu(tidak jelas). Ungkapan konkret model
ini antara lain:” Aku ijazahkan kepadamu atau kepada kalian untuk meriwayatkan hadist
yang telah aku riwayatkan kepadamu”.

Ketiga, model pengijazahan seorang guru yang ditujukan untuk kalangan umum,
seperti ungkapan seorang guru: “Aku member ijazah epada seluruh kaum muslimin ayau
kepada semua orang yang semasa denganku, dan lail-lain)

Keempat, model pengijazahan dari seorang guru kepada orang yang majhul dengan
hadist yang majhul pula. Artinya bahwa model pengijazahan ini mengambil bentuk
konkret pemberian ijin dari seorang guru untuk meriwayatkannya suatu hadist kepada
seseorang yang berdomisili ditempat tertentu misalnya, namun ditempat tersebut ternyata
terdapat beberapa nama yang serupa. Untuk lebih jelasnya seperti ungkapan:” Aku
mengizinkan kepada Muhammad Ibn Khalid al- Dimasyqi” (padahal disana terdapat
banyak orang yang memiliki kesamaan nama dengan Muhammad Ibn Khalid).

Kelima, model pengijazahan yang ditujukan kepada seseorang yang tidak atau belum
ada, seperti pengijazahan kepada anak yang belum lahir. Contoh bentuk konkretnya
adalah:” Aku ijazahkan kepadamu dan kepada anak(dalam kandunganku)”.

Keenam, model pengijazahan seorang guru kepada muridnya, namun yang


diijazahkan tersebut adalah hadis yang belum pernah didengar. Seperti ungkapkan:” aku
memberi ijazah ;kepadamu untuk meriwayatkan hadis yang akan aku dengar”

Ketujuh, model pengijazahan yang diungkapkan secara majazi seperti ungkapan:”


Aku mengzinkan ijazahku kepadamu”.

4
Al-`Iraqi, Al-Taqyid wa al-idhah, dikutp dari buku “Kajian Kritis Ilmu Hadis” oleh Dra.Hj.Umi Sumbulah,M.Ag
hlm. 71.
2.2.4. Metode al-Munawalah;
Yaitu seorang guru memberikan sebuah materi tertulis kepada seseorang untuk
meriwayatkannya. Ketika seseorang memberikan sebuah manuskrip kepada seorang murid
sejauh dengan otoritas untuk meriwayatkannya, sebagaimana Zuhri (51-124 H) memberikan
manuskripnya kepada sejumlah ahli, seperti Al-Tsawti, Al-Awza`I dan Ubaydillah bin
Umar.5 Cara ini bukanlah suatu praktik yang umum dipakai diawal masa kelahiran Islam.

Periwayatan dengan metode al- munawalah ini ada dua macam: Pertama, al-
munawalah yang disertai dengan al- ijazah yang kemudian untuk konkretnya adalah seorang
guru menyerahkan kitabnya kepada muridnya, namun juga ada pernyataan agar hadis- hadis
yang termuat didalam kitab tersebut diriwayatkan, seperti ungkapan seorang guru:” ini
adalah(hadis) riwayat dari si Fulan, maka riwayatkanlah (hadis- hadis tersebut) dengan sanad
dariku”. Kedua, al- munawalah yang tidak disertai ijazah, seperti ungkapan seorang guru
tatkala menyerahkan tulisannya, kepada muridnya sambil berkata:” Ini adalah (hadis)
riwayatku”. Para ulama menerima tipologi pertama, karena didalamnya disebutkan secara
jelas kerelaan seorang guru jika hadis yang diberikan kepada muridnya itu untuk
diriwayatkan lagi.

2.2.5. Metode al-Kitabah (korespondensi);


Yaitu seorang guru menuliskan rangkaian hadits untuk seseorang. Yang dimaksudkan
dengan sistem ini adalah menulis hadits kemudian diberikan kepada orang lain untuk
diriwayatkan. Dalam terminology modern, cara ini dapat dinamakan belajar dengan metode
korespondensi. Metode ini dimulai sejak awal-awal lahirnya Islam dan dapat diasumsikan
abahwa cara ini digunakan pertama kali. Surat-surat kenegaraan khulafaur rasyidin memuat
sejumlah hadits yang diriwayatkan oleh para ahli hadits.

5
Op. Cit. Azami, hlmn. 88-93, dikutip dari buku Metodologi Kritik Hadits oleh Muhammad Mustafa
Azami,M.A.,Ph.D
Disamping beberapa sahabat, sejumlah ahli hadits menulisnya, dan mengirimkannya
kepada murid-murid mereka.6 Secara umum ulama hadis mengakui kebenaran periwayatan
hadis dengan metode al- mukatabah ini, baik disertai maupun tidak disertai ijazah.

2.2.6. Metode al-I`lam (memberikan informasi tentang hadits);


Yaitu memberikan informasi kepada sseseorang bahwa ia memberikan izin untuk
meriwayatkan materi hadits tertentu dibawah bimbingan para ahli hadits. Beberapa orang ahli
membenarkan metode periwayatan seperti ini, sementara yang lainnya menolak. Manfaat
metode ini adalah bahwa orang kedua harus menemukan salinan asli yang memuat sertifikat
dan nama orang yang memberikan perizinan tersebut.

Para ulama berbeda pendapat. Kelompok pertama yang diwakili Ibn Salah menyatakan
bahwa: periwayatan dengan metode tersebut tidak dibenarkan. Alasan yang dikemukakan
mengapa seorang guru tidak memberikan kewenangan kepada muridnya untuk meriwayatkan
hadis atau kitab hadis yang diumumkan tersebut, mengadung implikasi pemikiran bahwa di
dalam kitab tidak secara bebas diriwayatkan begitu saja.

6
Ibid, hlmn. 41-42, dikutip dari buku Metodologi Kritik Hadits oleh Muhammad Mustafa Azami,M.A.,Ph.D
Sedangkan kelompok kedua, cenderung menerima hadist yang diriwayatkan dengan
metode tersebut. Karen al- i’ lam ini disertai suatu isyarat dan penunjukan secara jelas dan
tegas terhadap sebuah kitab hadist dan hadist yang telah benar- benar ia dengar dari seseorang
kelompok yang tergolong memihak pendapat kedua ini adalah al- Ramahurmuzi penyusun
buku al- Fashil bayn al- Rawi wa al- Wai mayoritas muhadditsin, fuquha’ dan ulama ushul.7

2.2.7. Metode al-Washiyah;


Yaitu seorang guru (syaikhul hadits) mewariskan buku-buku haditsnya kepada
seseorang dibawah bimbingan dan kewenangan orang yang memberikan washiyyah tersebut.
sebagai contoh Abu Qilabah ( wafat 104 H) yang mewariskan buku-buku haditsnya kepada
Ayyub Al-Sakhtiyani.8 Kemudian pendapat bentuk al- Washiyyah ini disangkal oleh Ibn-
Shalah sendiri karena periwayatannya hadis dalam bentuk al- Washiyyah ini justru sangat
jauh berbeda dengan bentuk al- I’ lam.

2.2.8. Metode al-Wajadah;

Seseorang menemukan sejumlah buku-buku hadits yang tertulis oleh seseorang yang
tidak dikenal namanya. Corak seperti ini sering ditemukan dalam bentuk manuskrip di sebuah
perpustakaan atau di tempat lainnya. Cara ini tidak diakui keberadaannya dalam mengajarkan
hadits. Menurut standar ahli hadits (muhadditsin), seseorang harus menggariskan secara
eksplisit bahwa informasi yang dia paparkan harus diambil dari buku orang tertentu. ada
beberapa referensi buku sebagai refleksi metode ini di awal periode Isam. Sebagai contoh
adalah buku Sa`ad bin Ubadah (wafat 15 H)9

7
Al- Iraqi, Al Taqyid wa ai- Idhah, 198 dikutip dari buku Kajian Kritis Ilmu Hadis oleh Dr.Hj. Umi Sumbulah,M.Ag.
halamn 75
8
Ibid., hlmn. 63, dikutip dari buku Metodologi Kritik Hadits oleh Muhammad Mustafa Azami,M.A.,Ph.D
9
Op. Cit., Azami, hlmn. 63, dikutip dari buku Metodologi Kritik Hadits oleh Muhammad Mustafa
Azami,M.A.,Ph.D
BAB III

PENUTUPAN

KESIMPULAN

Di masa sahabat, hanya metode pertama yang dipakaui secara umum, sedangkan metode
lainnya nyaris dilupakan. Para murid tinggal berdekatan dengan gurunya sepanjang waktu,
sebagai pelayan guru dan ilmu. Manakala para murid sudah mendapatkan sejumlah hadits,
mereka menulis dan menghafalkannya. Al-Zuhri berkomentar, “Orang-orang biasanya
duduk-duduk melingkar dekat Ibnu Umar, namun tak seorangpun yang berani bertanya
kepada beliau. Kami biasanya mendatangi Ibnu Musayyab tanpa menayakan sesuatu kepad
beliau, sampai ada orang baru dan mengajukan pertanyaan kepadanya. Pertanyaan sebagai
prolog yang mendorong beliau untuk menyampaikan hadits kepada kami, atau beliau sendiri
yang mulai menyampaikan hadits tersebut.”10 Sesaat kemudian, metode pertama dan kedua
mulai merakyat. Sudah cukup banyak perbincangan tentang apakah cara pertama lebih baik
dibandingkan dengan cara kedua atau sebaliknya. Merujuk kepada kebanyakan para ahli
hadits, kedua metode tersebut sejajar. Thahawi (wafat 328 H) menulis sebuah buku kecil
tentang masalah ini, yang menerangkan bahwa kedua metode itu sama. Terminologi yang
berbeda dipakai dalam meriwayatkan hadits untuk menunjukkan metode apa yang telah
digunakan dalam mepelajari hadits.seseorang tidak diberi wewenag untuk menggunakan
sejumlah hadits dalam kehidupan ilmiahnya, kalau dia tidak menerapkan salah satu dari
delapan metode yang telah disebutkan diatas. Hanya saja, para ahli hadits tidak mengakui
keberadaan metode yang terakhir.

10
Ibid., hlmn 284, dikutip dari buku Metodologi Kritik Hadits oleh Muhammad Mustafa Azami,M.A.,Ph.D
DAFTAR PUSTAKA

Sumbulalah, M.Ag., Dr.Hj.Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadist. Malang: UIN Press.
2010

Sulaiman, Prof.Dr.H. M. Noor. Study Hadis. PL : Gaung Persada Press Jakarta.


Februari, 2008

Azami,MA, Ph.D.,Muhammad Mustafa. Metodologi Kritik Hadis. Terbitan :


American Trust Publication, 1997

Anda mungkin juga menyukai