Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH ULUMUL HADIS

TAHAMMUL WAL ADA’AL- HADIS

DOSEN PENGAMPU ; BAPAK AHMAD ZUMARO

KELOMPOK 10

RIAN ADI PRANATA 2201011069

RIDHO AZIZ ALFAREZI 2201011070

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI METRO

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi allah subahanahu wata’ala yang mana telah melimpahkan riski kepada
kita semua sehingga kita di berikan kesehatan dan juga nikmat bertholabul ilmi.sehingga kita
dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “TAHAMMUL WAL ADA’AL- HADIS”.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah ulumul hadis,
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, terutama kepada kami tim penyusun. Tak lupa kami haturkan terima kasih kepada
dosen pembimbing mata kuliah ulumul hadis yang mana telah membimbing kami hingga dapat
menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
masih sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Terimakasih
Metro, 10 Februari 2023

Kelompok 10

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGHANTAR....................................................................................................

DAFTAR ISI......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................

A. Latar Belakang..............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................

A. Pengertian dan Syarat Tahammul Wa Ada..................................................................

BAB III PENUTUP...........................................................................................................

A. KESIMPULAN............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menentukan sebuah sumber hukum jika tidak di temukan nya dalam Al-qur’an maka di carinya
melalui hadist. Dan menentukan sebuah hadis tidak lah sembarangan harus jelas dari
siapa,matan,sanad,dan perawi. Thammul wa ada merupakan salah satu cara untk menentukan
kualitas kesahihan sebuah hadist dilihat dari keterkaitan nya 1. Hadis merupakan masdar tashrī’
Islam kedua setelah alQur’ān yang dihadirkan sebagai salah satu petunjuk bagi umat Islam,
dalam menjalankan tuntunan agamanya. Keberadaan hadis menjadi penting dan sebagai bayān
al-Qur’ān ketika tidak ditemukan penjelasan yang rinci dalam suatu persoalan. Namun,
kehadiran hadis banyak dipersoalkan,karena berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya,
yang semuanya menjadi penentu boleh atau tidaknya suatu hadis untuk dijadikan hujjah. Hal ini
yang menyebabkan ijtihad para ulama hadis bisa melahirkan dua komponen ilmu dalam
mempelajari, memahami, menganalisa dan mengamalkan hadis Nabi SAW, yaitu yang dikenal
dengan Ilmu Riwayah dan Ilmu Dirayah Hadis2.

Permasalahan dalam proses tata cara penerimaan dan penyampaian hadith yang dikenal
dengan istilah al-Tahammul wa alAdā’ merupakan obyek kajian Ilmu Hadith Dirayah karena
berupa suatu sistem analitik yang bisa menentukan kualitas sebuah hadith yang terkait dengan
orang yang meriwayatkannya.

Dalam makalah ini penulis akan mendeskripsikan tentang pengertian al-Tahammul wa al-
Adā’, bagaimana metode dan implikasinya terhadap persambungan sanad sebagai salah satu
bidang cakupan penentu kevalidan sebuah hadith.

1
BAHTSUNA 3, 2021, 185–99.
2
Muhammad Alwi Al maliki, “ilmu al hadis terjemahan Adnan Qahhar,” yogyakarta pustaka pelajar, 2009, hal 39.

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN SYARAT TAHAMMUL WA ADA


Menurut terminology tahammul adalah adalah menerima dan mendengar sesuatu
periwayatan hadis dari seorang guru dengan mnggunakan beberapa cara atau metode tertentu. 3
Dan Al - ada secara etimology adalah yaitu bentuk masdar dari idda yuaddin adaaan maknanya
ialah menyampaikan atau melaksanaka 4. Sedangkan Al – ada secara terminology yaitu sebuah
proses menyampikn atau meriwayatkan hadis dari seorang guru ke seorang lain nya.5
Syarat kelayakan penerima dan penyampaian hadis, para muhadditin memperselisihkan
tentng sah atau tidaknya anak yang belum dewasa,orang yang masih dlam kekafiran dan rawi
yang masih dalam mkedaan fasik,disaat ia menerima hadis dari baginda nabi Muhammad saw
untuk meriwayatkan sebuah hadis6. Perbedaan syarat ukura usia dari perawi yang masih anak
anak untuk mendengarkan riwayat hadist sebagi berikut;
1. Umur minimal nya 5 tahun. Al-qadi ‘ilyad menetapkan batas minimal 5 tahun, karena pada usia
ini anak sudah mampu menghafalkan sesuatu yang di dengar dan mengingat ingat sesuatu yang
di hafal. Pendapat ini didasarkan hadis riwayat Bukari dri muhamma bin al rabi’ “Saya ingat
Nabi SAW meludahkan air yang diambilnya dari timba ke mukaku, sedang pada saat itu saya
berusia 5 tahun.”7
2. Kegiatan mendengar oleh anak-anak itu bisa absah jika ia sudah bisa membedakan antara sapi
dan himār. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Hafiz bin Mūsa bin Hārūn al-Hammāl.
3. Ada juga yang mengatakan bahwa keabsahan mendengarkan hadith bagi anak-anak jika ia telah
memahami isi pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah masuk usia
tamyiz8.
Terjadinya perbedaan pendapat tentang ke-tamyiz-an anak tidak terlepas dari kondisi yang
mempengaruhi dirinya dan bukan berdasarkan pada usianya, melainkan berdasarkan pada tingkat
kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan
3
Ahmad Warsson Munawwir, “kamus al munawir;arab indonesia,” surabaya pustaka progresif,1997, 1997, hal
297.
4
Warson, “kamus al munawwir,” t.t., hal 14.
5
Mudasir, “Ilmu Hadith,” t.t.
6
Fatchur Rahman, “Mustalah al hadith,” Bandung;PT Raja Grafindo Persada,2006, 2006, hal 21.
7
mudasir, “ilmu hadist,” Bandung;CV Pustaka Setia 1999,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, 1999, hal 181.
8
Mudasir, “Imu Hadist,” t.t.

v
benar serta adanya kemampuan menghapal dengan baik. Hal ini karena bisa saja anak dalam usia
tertentu dengan situasi dan kondisi yang mempengaruhinya, dia sudah mumayyiz, sementara
anak yang lain pada usia yang sama dengan situasi dan kondisi yang memepengaruhinya, dia
belum mumayyiz. Mengenai penerimaan hadith bagi orang kafir dan orang fasiq, jumhūr al-
Muhaddithīn menganggap sah, asalkan hadith tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat
mereka telah masuk Islam dan bertaubat. Alasan yang dikemukakan mereka adalah hadith Jubair
bin Mut’im: “Bahwa ia telah mendengar Nabi Muhammad membaca surat al-Thūr pada salat
maghrib.” Jubair mendengar sabda Rasulullah SAW tersebut, ketika ia tiba di Madinah untuk
penyeleseian urusan tawanan perang Badar, dalam keadaan masih kafir. Akhirnya ia masuk
Islam. Imam Ibn Hajar menerima riwayat orang fasiq dengan dalil qiyas. “Bāb al-awlā”, artinya
kalau penerimaan riwayat orang kafir yang kemudian disampaikannya setelah memeluk agama
Islam dapat diterima, apalagi penerimaan orang fasiq yang disampaikan setelah taubat dan diakui
sebagai orang yang adil, tentu lebih dapat diterima. Penerimaan riwayat orang gila yang
diriwayatkan setelah sehat tetap tidak dapat diterima, lantaran diwaktu ia gila, hilanglah
kesadarannya, hingga tidak lagi dikatakan sebagai orang yang dābit 9. Adapun orang yang
menyampaikan (al-adā’) hadith harus memenuhi sharat sebagai berikut:
1. Islam. Hadith yang diriwayatkan oleh non Islam tidak dapat diterima.
2. Baligh dan berakal sehat. Hadith yang diriwayatkan oleh orang yang tidak mukallaf tidak
dapat diterima.
3. al-’Adālah. Yang dimaksud dengan persharatan ini adalah sifat yang melekat pada
seorang periwayat hadist sehingga ia selalu setia terhadap Islam. Orang ini tidak mau
melakukan dosa besar, dan selalu menjaga diri sedapat mungkin tidak melakukan dosa
kecil.
4. al-Dabt. Dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat, baik ketika menerima pelajaran
hadith maupun menyampaikannya. Sudah barang tentu, orang seperti ini mempunyai
hafalan yang kuat, pintar, dan tidak pelupa.10 Menurut analisa penulis, kriteria diatas
merupakan penentu diterima tidaknya riwayat hadith yang mereka sampaikan. Salah satu
sharat tidak terpenuhi maka gugurlah ia sebagai perawi hadith. Meskipun kegiatan
menerima hadith di kalangan anak-anak masih diperbolehkan tetapi dalam
menyampaikan atau meriwayatkan hadith mereka belum bisa diterima. Dengan kata lain,
9
Rahman, “mustalah Al hadist,” t.t.
10
Muhammad Alwi Al maliki, “ilmu al hadis terjemahan Adnan Qahhar.”

vi
boleh menerima hadith diwaktu belum baligh dan diriwayatkannya pada waktu sudah
baligh dan riwayat hadithnya bisa diterima. Hal ini memiliki relevansi dengan
periwayatan hadith yang dilakukan oleh seseorang yang kafir ataupun fasiq di waktu
menerima atau mendengar hadith ia belum masuk Islam dan menyampaikannya ketika
sudah taubat dan masuk Islam, maka hadithnya pun juga bisa diterima kecuali riwayatnya
orang yang gila.

B. SYARAT PERAWI
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis 11
Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadis
dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.
Karena hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai kepada kita melalui jalur para
perawi, maka mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui ke-shahih-an atau tidaknya suatu
hadis. Karena itu pula, para ulama hadis amat memperhatikan para perawi. Mereka telah
membuat berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini
menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadis, lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas
metode yang mereka miliki.
1. Syarat-Syarat Perawi
a) Muslim
Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan mengerti
akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadis atau khabar yang berkaitan dengan hukum-
hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan
memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam sendiri
hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadis, bukan ketika membawa atau
menanggungnya.
Ada sahabat yang mendengar hadis ketika mereka masih belum memeluk Islam. Ketika
mereka sudah masuk Islam, mereka meriwayatkan hadis yang diterima atau didengarnya
ketika masih belum Islam. Contohnya sebagaimana yang telah berlaku kepada Jubair bin
Matam. Beliau telah meriwayatkan hadis yang didengarnya ketika masih belum memeluk

11
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal 120

vii
Islam. Hadisnya ialah berkenaan perbuatan Nabi SAW yang membaca surah al-Thur ketika
sholat maghrib.12
b) Berakal
Menurut para ahli hadis, berakal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk
membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadis, seseorang
harus telah memasuki usia akil baligh. Sahabat yang paling banyak menerima riwayat,
yang mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan
Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada
waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.13
c) Al-dhabtu (dhabit).
Dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat, baik ketika menerima pelajaran hadis maupun
menyampaikannya. Sudah barang tentu, orang seperti ini mempunyai hafalan yang kuat, pintar,
dan tidak pelupa. Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadis yang dia riwayatkan ternyata cocok
dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, telilti dan terpercaya. tetapi itu tidak
harus mengenai keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadis yang mereka riwayatkan
masih dapat didamaikan. Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadis yang
mereka riwayatkan, maka kecermatanya masih diragukan.14
Allah akan menghargai orang yang bersikap cermat dalam periwayatan hadis, merekalah orang
yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja. Hadis shahih diketahui
bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan banyak
mendengar.15
d) Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan agama, yang
bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi
memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala
yang diperintahkan kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari
kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya,
serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa

12
Asmawi Ehsan, Ilmu Hadith, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka), hlm.84-85
13
Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-kifayah., hlm. 54
14
Salah Muhammad Muhammad Uwayd., Taqrib Al-tadrib . (Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989) hal 110
15
Al Hakim al Naisaburi, Ma’rifah Ulum al-Hadist. (Bandung: Nuansa Cendekia, 2006), hal 59

viii
dapat menjaga dan mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi
agamanya dan hadisnya diakui kejujurannya”16
Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi. Jika masalah
kebersihan, baru dapat diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi ini baik laki laki maupun saksi
perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil terhadap
dirinya sendiri.

16
Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah .hal 80

ix

Anda mungkin juga menyukai