Disusun Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah: Ulumul Matan Hadits
Dosen Pengampu: Tsalis Muttaqin, LC., M.S.I.
Disusun Oleh:
Muhammad Saddam Fachri Ridlo (201111002)
Kaidah kesahihan matan hadis yang dikemukakan oleh para ulama ada yang
bersifat global, seperti yang dikemukakan oleh; alKhatib al-Bagdadi; Ajjaj al-Khatib;
dan Ibn Qayyim al-Jawzi. Ada yang terinci, seperti yang oleh Mustafa al-Siba’i dan
masih perlu pembahasan lebih lanjut, karena kaidah yang masih bersifat global, selain
kandungan hadis tersebut dan bertentangan dengan sejarah, juga belum tuntas.
Menurut Syuhudi Ismail, tidak semua matan hadis yang kandungannya bertentangan
dengan ayat Al-Qur’an yang muhkam, atau bertentangan dengan hadis yang
mutawatir atau bertentangan dengan hadis ahad yang lebih kuat, sebagaimana
dikemukakan al-Baqdadî secara otomatis matan hadis tersebut ditolak (palsu), boleh
masih tumpang tindih. Selain itu, terdapat pula kriteria yang sulit diukur dan bahkan
mengundang penilaian yang subjektif, seperti butir yang menyatakan hadis yang
diriwayatkan karena dorongan emosional periwayat. Ahmad Amin dan Ibn Khaldun
daripada matan hadis. 2 Abdul Muin al-Bahai lebih tegas menyatakan bahwa ulama
hadis hanya meneliti sanad tidak meneliti matan3. Mustafa al-Siba’i, Muhammad Abu
Syuhbah dan Nur al-Din Itr menyatakan kritikus hadis tidak hanya meneliti sanad
tetapi mereka juga meneliti matan. Kaidah yang terkait dengan matan adalah terhindar
dari syadz dan terhindar dari ‘illat. 4 Banyak kasus yang menjadi kontroversi di
kalangan ulama. Satu pihak menyatakan, hadis tersebut berkualitas sahih, pihak lain
menyatakan sebaliknya. Penolakan itu lebih disebabkan penolakan matan hadis. Hal
ini berarti kaidah ghair syudzudz sebagai kaedah kesahihan matan hadis masih perlu
telaah kritis. Sedangkan Ilmu ‘ilal al-hadīth merupakan disiplin ilmu yang mengkaji
hadits dan bernilai strategis dalam rangkaian ilmu-ilmu hadits yang lain. Tulisan ini
adalah kajian diskriptif yang bertujuan menguraikan dan memposisikan Ilmu ‘ilal al-
hadīth bagi pengembangan studi hadits kedepan, karena minimnya apresiasi pengkaji
Pengertian syadz dari segi etimologi atau dari segi bahasa ialah syadz berasal
“Hadits yang diriwayatkan orang makbul menyalahi periwayatan yang lebih utama
darinya.”
Orang makbul berarti adil dhabith, adil berarti orang yang konsisten dalam
beragama, sedangkan makna dhabith ialah orang yang kuat daya ingatnya. Orang
yang lebih utama artinya ialah lebih utama dari segi dhabith-nya atau lebih utama dari
a. Yang pertama, Imam Asy-Syafi’i (w. 204 h/820 m) dan ulama Hijaz memberikan
definisi:
“Hadits yang diriwayatkan oleh tsiqah, tetapi menyalahi atau bertentangan dengan
periwayatan orang banyak. Tidak dinamakan orang tsiqah orang yang meriwayatkan
atau pada orang lain yang tidak tsiqah. Keganjilan yang terjadi pada orang yang
tidak tsiqah ditinggalkan, sedangkan keganjilan pada orang tsiqah dihentikan dan
“Suatu hadits yang diriwayatkan oleh satu tsiqah dan tidak ada tsiqah lainnya yang
menyertai (mutabi’).”
Dari pendapat yang telah penulis sebutkan di atas, pendapat Imam As-Syafi’i
yang banyak diikuti oleh mayoritas atau jumhur ulama ahli hadits. Syadz berbeda
dengan mu’allal. Mua’allal terhenti pada ‘illah. Dengan begitu maka syadz ialah
tersendirinya orang tsiqah dalam periwayatan yang tidak memiliki kesamaan dengan
orang tsiqah yang lainnya, atau dapat dikatakan sebagai minoritas diantara mayoritas.
HUKUM SYADZ
Hukum syadz tergantung terhadap bentuk syadz-nya. Hal tersebut dikarenakan bentuk
dari syadz beragam. Ada saatnya karena periwayatan orang yang tsiqah (memiliki
sifat adil dan dhabith yang kredibel) menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqah.
a. Hadits dari seseorang yang tsiqah, namun menyalahi orang yang lebih tsiqah
darinya disebut syadz. Lawannya ialah mahfudz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
b. Jika hadits hanya memiliki satu sanad kemudian diriwayatkan dari orang yang adil
dan dhabith, maka hukum dari hadits tersebut ialah shahih. Apabila periwayat kurang
dan sekaligus bertentangan dengan periwayat yang tsiqah, maka hadits tersebut
Batasan syadz sebagai kaidah keshahihan matan hadis Kaidah kesahihan sanad
yang dirumuskan oleh ulama telah meliputi kaidah kesahihan sanad dan matan. Ulama
mutaqaddimin tampaknya tidak lagi membuat kaidah khusus untuk matan hadis.
yang berkaitan dengan matan, meskipun kaidah tersebut dikaitkan dengan hadis
matan belum akurat. Syuhudi menyatakan bahwa illat dan syadz adalah kaidah dari
naqd al-matn. Kalau terhindar dari ‘illah dan terhindar dari syadz sebagai kaidah
mayor kesahihan matan hadis, maka yang dimaksud dalam kaidah tersebut adalah
terhindar dari kerusakan lafal, terhindar dari kerusakan makna. Dapat dikatakan
bahwa terhindar dari kerusakan lafal masuk dalam kategori ‘illah sedangkan
a. Bentuk kerusakan makna suatu matan hadis adalah berupa perlawanan makna (al-
Zayyad dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah secara marfu’. rasulullah
SAW bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian sholat dua rakaat fajar, hendaklah berbaring miring
syadz karena menyalahi mayoritas periwayat yang meriwayatkan dari segi perbuatan
Nabi, bukan sabda beliau. Di samping itu, Abdul Wahab terpisah dari periwayat yang
tsiqah. Sementara itu, beriku hadits serupa yang berasal dari Aisyah, ia berkata:
“Nabi ketika melaksanakan shalat dua rakaat fajar, beliau berbaring miring pada sisi
Demikian juga dengan hadits melalui Ibnu Wahab yang sampai kepada
“bahwasannya beliau menyapu kepalanya dengan air yang bukan kelebihan dari
mengatakan:
“Bahwasannya Nabi mengambil air untuk kedua telinganya, bukan air yang diambil
meskipun tsiqah tetap menyalahi periwayatan jumhur ulama dan Imam Muslim yang
lebih tsiqah.
dari kata ilah yang berarti penyakit, memiliki mutsytarak yaitu maradh. Dengan
begitu maka hadits muallal adalah hadits yang terkena illah atau penyakit. Sebagian
ulama menyebutnya hadits ma’lul. Penyakit ini membuat hadits melemah sehingga
turun kualitasnya. Menurut istilah ‘ilal adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat
cacat pada hadits, sementara secara lahir tidak tampak adanya cacat tersebut. Cacat
pada hadits tersebut tersembunyi dan tidak dapat dilihat secara lahiriyah. Cacat pada
hadits ini tidak dapat diketahui kecuali oleh para ahli peneliti hadits. Illah dapat
disebabkan oleh kebohongan periwayat, terlupa, dan hafalan yang kurang baik atau
kurang dhabith.
Mempelajari ilmu ‘ilal hadits ialah untuk mengetahui periwayat yang memiliki
illah di dalamnya. Terlepas dari itu, dapat diketahui pula bentuk illah dan letaknya
periwayatan lebih sering terjadi daripada illah yang ditemukan pada isi hadist.
Kendati demikian perlu diketahui bahwasannya illah yang terjadi pada sanad
terkadang juga akan membuat illah pada matan, seperti illah mursal dan mauquf.
Ulama kritikus hadits menjelaskan bahwa ada empat hal yang berkaitan
dengan illah:
a. Sanad yang bersifat bersambung dan bersandar pada Nabi, tetapi terputus
b. Sanad yang tampak bersambung dan bersandar pada Nabi, akan tetapi faktanya
hadits lain.
Illah yang dimaksud di sini ialah satu hadits shahih secara keseluruhan.
Dengan begitu diperlukan ketelitian dan kecermatan dalam penelitian agar hadits yang
bertema sama dari berbagai sanad melalui metode takhrij, setelah diteliti antara satu
riwayat dengan riwayat lain, maka dengan begitu dapat diketahui keganjilan yang
terjadi pada hadits. Hal tersebut disebut komparasi hadits. Baik komparasi antar sanad
'Illat yang terdapat pada matan itu tidak sebanyak 'illat yang terdapat pada sanad.
Sebagian contoh hadits yang ber-'illat pada matannya ialah hadits yang diriwayatkan
oleh Ibrahim bin Thuhman: Hadis Abdullah Ibn Mas'ud 15 وما منا إال,الطرية من الشرال
ولكن اهلل يذهب بالتوكلHadits Ibrahim bin Thuhman yang bersanad Hisyam bin Hisan,
Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah r.a. dan yang bersanad Suhail bin Abu
Shalih, Abu Shalih dari Abu Hurairah r.a. (nomor I) adalah bahwa ber-'illat (ma'lul)
pada matan-nya. Sebab menurut Abu Hatim Ar-Razy bahwa kalimat "Tsumma
liyaghtarifa sampai dengan maq 'adatahu" itu adalah perkataan Ibrahim sendi'ri. la
menyambung perkataan itu pada akhir matan hadits, sehingga orangorang yang
menerima hadits daripadanya tidak dapat membedakan apakah kalimat itu matan
hadits yang sebenarnya atau tambajian daripadanya. Akan tetapi setelah kita
bin Yusuf, Malik, Abuz-Zinad, al-A'raj dari Abu Hurairah r.a. (nomor II) dan hadits
At-Turmudzy yang diriwayatkan melalui sanad-sanad AlWalid, Al-Auza'iy, Az-
Z»hry, Sa'id ibn al-Musayyab dari Abu Hurairah r.a. (nomor III), maka tahulah kita
bahwa kalimat "Tsumma liyaghtarifa" dan seterusnya itu bukan sabda Rasulullah saw.
Perkataan seorang rawi yang disisipkan pada suatu matan hadits disebut Idr aj.
Sebagian ketentuan idraj ini ialah apa-bila seorang rawi yang menyisipkan itu
menjelaskan bahwa sisipan atau tambahan itu untuk menjelaskan matan hadits, maka
yang demikian itu tidaklah merupakan 'illat yang dapat mencacatkan matan hadits.
Akan tetapi apabila rawi tersebut mengatakan bahwa kata-kata yang diriwayatkan itu
adalah matan hadits, maka idraj tersebut menyebabkan cacatnya matan hadits. Contoh
lain hadits yang ber-'illat pada matannya ialah hadits Muslim yang bersanad al-
Auza'iy, dari Qatadah secara kita-bah (surat-menyurat) yang mewartakan bahwa Anas
bin Malik mengatakan: "Aku bersalat di belakang Rasulullah saw., Abu Bakar r.a.,
'Umar r.a. dan 'Utsman r.a. Mereka memulai dengan mem baca hamdalah, tanpa
oleh para Muhadditsin dipandang sebagai hadits yang ma'lul. Mereka yang
Yakni: (1) tnu-khalafah (berlawanan dengan ri-wayat para hafidh dan kebanyakan
guru yang lemah), (4) kitabah (secara tulisan = surat-menyurat), (5) jahalatul-katib
(penulis tidak diketahui identitasnya), (6) idlthirab (kacau) - fi lafdhihi, (7) idraj (ada
sisipan dari rawinya), adanya mukhalafah dari kedua orang temannya, yang
meriwayatkan hadits itu dan (9) mukhalafah dengan periwayatan orang banyak yang
Penutup
Uraian-uraian sebelumnya dapat dirangkum dalam beberapa poin terkait telaah
mengenai syadz sebagai kaidah kesahihan matan hadis sebagai berikut: Bentuk
kerusakan makna suatu matan hadis adalah berupa perlawanan makna (al-mukhalaf)
terhadap dalil-dalil yang lebih kuat; Bentuk perlawanan makna tersebut tidak dapat
mutabi’nya. Sedangkan Ilmu ‘ilal al-hadīth memiliki kedudukan yang tinggi dalam
‘ulūm al-hadith. Para ulama’ menganggap penting ilmu ini, karena berkaitan erat
dengan ke-ṣahih-an hadith. Jika kemuliaan sebuah ilmu diukur dari kemanfaatannya,
maka ilmu ‘ilal al-hadīth adalah ilmu yang paling mulia karena banyak manfaat yang
diperoleh darinya. Ilmu ‘ilal al-hadīth memiliki peran yang sangat strategis dalam
dengan menembus jalur sanad matan yang sahih. Ilmu ini dapat mengawal
keotentikan hadith-hadith Nabi yang diyakini sebagai otoritas sumber ajaran Islam
yang kedua setelah al-Qur’an. Ilmu ‘ilal al-hadīth telah diaplikasikan baik oleh para
sahabat Nabi, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu, seperti Abu Bakar al-
Ṣiddiq, Umar Ibn al-Khattab, dan telah dibahas dan diaplikasikan pula oleh ulama-
Mutaakhkhirīn. Para ulama’ telah memberikan perhatian khusus terhadap ilmu ‘ilal
al-hadīth , karena ilmu ini merupakan denyut nadinya ilmu hadith. Ilmu ini tidak
dapat dipelajari dan diaplikasikan kecuali oleh orang yang oleh Allah dianugerahkan
pemahaman yang mendalam, hafalan yang luas, pengetahuan yang sempurna tentang
tingkatan-tingkatan para perawi dan kemampuan yang kuat dalam meneliti sanad
matan. Para ulama telah menggarisbawahi bahwa ‘ilal al-hadīth tidak perlu
ditunjukkan kepada orang awam, karena pengetahuan orang awam tidak mampu
1. Rahmin Talib Husain, Urgensi Ilmu ‘Ilal Al-Hadīth, Vol. 11 No. 1 Januari
2017
2. Mahsyar Idris, Telaah Kritis Terhadap Syaz Sebagai Unsur Kaedah Kesahihan