Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SYADZ AL-HADITS DAN ILAL AL-HADITS PADA MATAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah: Ulumul Matan Hadits
Dosen Pengampu: Tsalis Muttaqin, LC., M.S.I.

Disusun Oleh:
Muhammad Saddam Fachri Ridlo (201111002)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2021
Pendahuluan

Kaidah kesahihan matan hadis yang dikemukakan oleh para ulama ada yang

bersifat global, seperti yang dikemukakan oleh; alKhatib al-Bagdadi; Ajjaj al-Khatib;

dan Ibn Qayyim al-Jawzi. Ada yang terinci, seperti yang oleh Mustafa al-Siba’i dan

Salahuddin al-Adlabi. Kaidah yang dikemukakan oleh masing-masing ulama tersebut,

masih perlu pembahasan lebih lanjut, karena kaidah yang masih bersifat global, selain

tidak memasukkan kaidah yang penting, seperti; kerancuan bahasa; kerancuan

kandungan hadis tersebut dan bertentangan dengan sejarah, juga belum tuntas.

Menurut Syuhudi Ismail, tidak semua matan hadis yang kandungannya bertentangan

dengan ayat Al-Qur’an yang muhkam, atau bertentangan dengan hadis yang

mutawatir atau bertentangan dengan hadis ahad yang lebih kuat, sebagaimana

dikemukakan al-Baqdadî secara otomatis matan hadis tersebut ditolak (palsu), boleh

jadi hadis tersebut berkedudukan sebagai hadis mansukh. 1 Kaidah yang

dikemukakan secara rinci, seperti yang dikemukakan Mustafa al-Siba’i, tampaknya

masih tumpang tindih. Selain itu, terdapat pula kriteria yang sulit diukur dan bahkan

mengundang penilaian yang subjektif, seperti butir yang menyatakan hadis yang

diriwayatkan karena dorongan emosional periwayat. Ahmad Amin dan Ibn Khaldun

berpendapat bahwa ulama hadis lebih menitikberatkan penelitiannya terhadap sanad

daripada matan hadis. 2 Abdul Muin al-Bahai lebih tegas menyatakan bahwa ulama

hadis hanya meneliti sanad tidak meneliti matan3. Mustafa al-Siba’i, Muhammad Abu

Syuhbah dan Nur al-Din Itr menyatakan kritikus hadis tidak hanya meneliti sanad

tetapi mereka juga meneliti matan. Kaidah yang terkait dengan matan adalah terhindar

dari syadz dan terhindar dari ‘illat. 4 Banyak kasus yang menjadi kontroversi di

kalangan ulama. Satu pihak menyatakan, hadis tersebut berkualitas sahih, pihak lain

menyatakan sebaliknya. Penolakan itu lebih disebabkan penolakan matan hadis. Hal
ini berarti kaidah ghair syudzudz sebagai kaedah kesahihan matan hadis masih perlu

telaah kritis. Sedangkan Ilmu ‘ilal al-hadīth merupakan disiplin ilmu yang mengkaji

hadits dan bernilai strategis dalam rangkaian ilmu-ilmu hadits yang lain. Tulisan ini

adalah kajian diskriptif yang bertujuan menguraikan dan memposisikan Ilmu ‘ilal al-

hadīth bagi pengembangan studi hadits kedepan, karena minimnya apresiasi pengkaji

hadits pada umumnya terhadap eksistensi dan keberlangsungan ilmu ini.

Pengertian ganjil (Syadz)

Pengertian syadz dari segi etimologi atau dari segi bahasa ialah syadz berasal

dari kata syadzda-yasudzu-syadzdzan yang bermakna ganjil, tidak sama dengan

mayoritas, tersendiri dari kelompoknya, atau bertentangan dengan kaidah. Sedangkan

syadz dari segi terminologi, terdapat beberapa pengertian. Antara lain:

“Hadits yang diriwayatkan orang makbul menyalahi periwayatan yang lebih utama

darinya.”

Orang makbul berarti adil dhabith, adil berarti orang yang konsisten dalam

beragama, sedangkan makna dhabith ialah orang yang kuat daya ingatnya. Orang

yang lebih utama artinya ialah lebih utama dari segi dhabith-nya atau lebih utama dari

segi yang lain sehingga menambah keunggulannya. Pendapat An-Nawawi dalam

Taqrib An-Nawawi memaparkan tiga pendapat, sebagai berikut:

a. Yang pertama, Imam Asy-Syafi’i (w. 204 h/820 m) dan ulama Hijaz memberikan

definisi:

“Hadits yang diriwayatkan oleh tsiqah, tetapi menyalahi atau bertentangan dengan

periwayatan orang banyak. Tidak dinamakan orang tsiqah orang yang meriwayatkan

sesuatu yang tidak diriwayatkan oleh orang tsiqah lainnya.”

b. Al-Khalili (w. 446 H) dan Hufadz memebrikan definisi:


“Hadits yang hanya memiliki satu sanad dan terjadi keganjilan pada seorang tsiqah

atau pada orang lain yang tidak tsiqah. Keganjilan yang terjadi pada orang yang

tidak tsiqah ditinggalkan, sedangkan keganjilan pada orang tsiqah dihentikan dan

tidak dapat dijadikan hujah.”

c. Al-Hakim (w. 405 H/1014 M) memberikan definisi:

“Suatu hadits yang diriwayatkan oleh satu tsiqah dan tidak ada tsiqah lainnya yang

menyertai (mutabi’).”

Dari pendapat yang telah penulis sebutkan di atas, pendapat Imam As-Syafi’i

yang banyak diikuti oleh mayoritas atau jumhur ulama ahli hadits. Syadz berbeda

dengan mu’allal. Mua’allal terhenti pada ‘illah. Dengan begitu maka syadz ialah

tersendirinya orang tsiqah dalam periwayatan yang tidak memiliki kesamaan dengan

orang tsiqah yang lainnya, atau dapat dikatakan sebagai minoritas diantara mayoritas.

Pendapat ini lebih khusus daripada pendapat Al-Khalili.

HUKUM SYADZ

Hukum syadz tergantung terhadap bentuk syadz-nya. Hal tersebut dikarenakan bentuk

dari syadz beragam. Ada saatnya karena periwayatan orang yang tsiqah (memiliki

sifat adil dan dhabith yang kredibel) menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqah.

Berikut ada beberapa ragam hadits syadz:

a. Hadits dari seseorang yang tsiqah, namun menyalahi orang yang lebih tsiqah

darinya disebut syadz. Lawannya ialah mahfudz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh

orang yang lebih tsiqah.

b. Jika hadits hanya memiliki satu sanad kemudian diriwayatkan dari orang yang adil

dan dhabith, maka hukum dari hadits tersebut ialah shahih. Apabila periwayat kurang

dhabith, maka hadits tersebut hasan.


c. Apabila hadits dengan satu sanad diriwayatkan oleh yang lemah atau tidak tsiqah,

dan sekaligus bertentangan dengan periwayat yang tsiqah, maka hadits tersebut

tertolak dan disebut hadits munkar.

Batasan syadz sebagai kaidah keshahihan matan hadis Kaidah kesahihan sanad

yang dirumuskan oleh ulama telah meliputi kaidah kesahihan sanad dan matan. Ulama

mutaqaddimin tampaknya tidak lagi membuat kaidah khusus untuk matan hadis.

Sementara ulama mutaakhkhirin berusaha membuat secara khusus kaidah-kaidah

yang berkaitan dengan matan, meskipun kaidah tersebut dikaitkan dengan hadis

mawdhu (palsu). Sebagian pakar hadis menyatakan, “tampaknya kaidah kesahihan

matan belum akurat. Syuhudi menyatakan bahwa illat dan syadz adalah kaidah dari

naqd al-matn. Kalau terhindar dari ‘illah dan terhindar dari syadz sebagai kaidah

mayor kesahihan matan hadis, maka yang dimaksud dalam kaidah tersebut adalah

terhindar dari kerusakan lafal, terhindar dari kerusakan makna. Dapat dikatakan

bahwa terhindar dari kerusakan lafal masuk dalam kategori ‘illah sedangkan

terhindar dari kerusakan makna masuk kategori syadz.

Batasan syadz sebagai kaidah kesahihan matan hadis pembahasannya meliputi:

a. Bentuk kerusakan makna suatu matan hadis adalah berupa perlawanan makna (al-

mukhalaf) terhadap dalil-dalil yang lebih kuat.

b. Bentuk perlawanan makna tersebut tidak dapat dikompromikan.

c. Matan hadis yang mengandung perlawanan tersebut tidak ada mutabi’nya.

d. Yang menjadi penyebab timbulnya kerusakan makna tersebut adalah: ziyadah,

naqsy, dan rakakah al-lafz.

Contoh Syadz pada Matan


Berikut ialah hadits dari Abu Dawud dan At-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin

Zayyad dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah secara marfu’. rasulullah

SAW bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian sholat dua rakaat fajar, hendaklah berbaring miring

pada sisi kanan.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Al-Baihaqi berkata bahwa periwayatan Abdul Wahab bin Zayyad adalah

syadz karena menyalahi mayoritas periwayat yang meriwayatkan dari segi perbuatan

Nabi, bukan sabda beliau. Di samping itu, Abdul Wahab terpisah dari periwayat yang

tsiqah. Sementara itu, beriku hadits serupa yang berasal dari Aisyah, ia berkata:

“Nabi ketika melaksanakan shalat dua rakaat fajar, beliau berbaring miring pada sisi

kanan.” (HR. A;-Bukhari, Muslim, dan lain-lain).

Demikian juga dengan hadits melalui Ibnu Wahab yang sampai kepada

Abdullah bin Zaid mengenai sifat Rasulullah:

“bahwasannya beliau menyapu kepalanya dengan air yang bukan kelebihan dari

tangannya.” (HR. Muslim)

Sementara itu periwayatan dari Al-Baihaqi dari Abdullah bin Zaid

mengatakan:

“Bahwasannya Nabi mengambil air untuk kedua telinganya, bukan air yang diambil

untuk kepalanya.” (HR. Al-Baihaqi)

Periwayatan Al-Baihaqi itu adalah syadz, karena periwayatan Ibnu Wahb,

meskipun tsiqah tetap menyalahi periwayatan jumhur ulama dan Imam Muslim yang

lebih tsiqah.

Pengertian ‘Ilal pada Hadits


‘ilal bermakna cacat dalam bahasa Arab. Kata ini berasal dari bentuk jamak

dari kata ilah yang berarti penyakit, memiliki mutsytarak yaitu maradh. Dengan

begitu maka hadits muallal adalah hadits yang terkena illah atau penyakit. Sebagian

ulama menyebutnya hadits ma’lul. Penyakit ini membuat hadits melemah sehingga

turun kualitasnya. Menurut istilah ‘ilal adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat

cacat pada hadits, sementara secara lahir tidak tampak adanya cacat tersebut. Cacat

pada hadits tersebut tersembunyi dan tidak dapat dilihat secara lahiriyah. Cacat pada

hadits ini tidak dapat diketahui kecuali oleh para ahli peneliti hadits. Illah dapat

disebabkan oleh kebohongan periwayat, terlupa, dan hafalan yang kurang baik atau

kurang dhabith.

Mempelajari ilmu ‘ilal hadits ialah untuk mengetahui periwayat yang memiliki

illah di dalamnya. Terlepas dari itu, dapat diketahui pula bentuk illah dan letaknya

apakah terletak pada sanad atau matan.

Tempat Terjadinya ‘Illah

Imam An-Nawawi mengatakan bahwasannya terjadinya illah pada segi jalur

periwayatan lebih sering terjadi daripada illah yang ditemukan pada isi hadist.

Kendati demikian perlu diketahui bahwasannya illah yang terjadi pada sanad

terkadang juga akan membuat illah pada matan, seperti illah mursal dan mauquf.

Ulama kritikus hadits menjelaskan bahwa ada empat hal yang berkaitan

dengan illah:

a. Sanad yang bersifat bersambung dan bersandar pada Nabi, tetapi terputus

sehingga hanya bersandar pada sahabat Nabi.

b. Sanad yang tampak bersambung dan bersandar pada Nabi, akan tetapi faktanya

hanya bersandar pada tabi’in.


c. Terjadi kerancuan pada matan hadits, dikarenakan bercampur dengan matan

hadits lain.

d. Terjadi kesalahn penyebutan nama periwayat yang memiliki kemiripan dengan

periwayat yang berbeda kualitas.

Illah yang dimaksud di sini ialah satu hadits shahih secara keseluruhan.

Dengan begitu diperlukan ketelitian dan kecermatan dalam penelitian agar hadits yang

bersangkutan tampak berkualitas shahih. Cara menelitinya dengan hadits yang

bertema sama dari berbagai sanad melalui metode takhrij, setelah diteliti antara satu

riwayat dengan riwayat lain, maka dengan begitu dapat diketahui keganjilan yang

terjadi pada hadits. Hal tersebut disebut komparasi hadits. Baik komparasi antar sanad

maupun antar matan hadits.

'Illat yang terdapat pada matan itu tidak sebanyak 'illat yang terdapat pada sanad.

Sebagian contoh hadits yang ber-'illat pada matannya ialah hadits yang diriwayatkan

oleh Ibrahim bin Thuhman: Hadis Abdullah Ibn Mas'ud 15 ‫ وما منا إال‬,‫الطرية من الشرال‬

‫ ولكن اهلل يذهب بالتوكل‬Hadits Ibrahim bin Thuhman yang bersanad Hisyam bin Hisan,

Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah r.a. dan yang bersanad Suhail bin Abu

Shalih, Abu Shalih dari Abu Hurairah r.a. (nomor I) adalah bahwa ber-'illat (ma'lul)

pada matan-nya. Sebab menurut Abu Hatim Ar-Razy bahwa kalimat "Tsumma

liyaghtarifa sampai dengan maq 'adatahu" itu adalah perkataan Ibrahim sendi'ri. la

menyambung perkataan itu pada akhir matan hadits, sehingga orangorang yang

menerima hadits daripadanya tidak dapat membedakan apakah kalimat itu matan

hadits yang sebenarnya atau tambajian daripadanya. Akan tetapi setelah kita

membandingkannya dengan matan hadits riwayat Bukhary yang bersanad 'Abdullah

bin Yusuf, Malik, Abuz-Zinad, al-A'raj dari Abu Hurairah r.a. (nomor II) dan hadits
At-Turmudzy yang diriwayatkan melalui sanad-sanad AlWalid, Al-Auza'iy, Az-

Z»hry, Sa'id ibn al-Musayyab dari Abu Hurairah r.a. (nomor III), maka tahulah kita

bahwa kalimat "Tsumma liyaghtarifa" dan seterusnya itu bukan sabda Rasulullah saw.

Perkataan seorang rawi yang disisipkan pada suatu matan hadits disebut Idr aj.

Sebagian ketentuan idraj ini ialah apa-bila seorang rawi yang menyisipkan itu

menjelaskan bahwa sisipan atau tambahan itu untuk menjelaskan matan hadits, maka

yang demikian itu tidaklah merupakan 'illat yang dapat mencacatkan matan hadits.

Akan tetapi apabila rawi tersebut mengatakan bahwa kata-kata yang diriwayatkan itu

adalah matan hadits, maka idraj tersebut menyebabkan cacatnya matan hadits. Contoh

lain hadits yang ber-'illat pada matannya ialah hadits Muslim yang bersanad al-

Auza'iy, dari Qatadah secara kita-bah (surat-menyurat) yang mewartakan bahwa Anas

bin Malik mengatakan: "Aku bersalat di belakang Rasulullah saw., Abu Bakar r.a.,

'Umar r.a. dan 'Utsman r.a. Mereka memulai dengan mem baca hamdalah, tanpa

mengucapkan basmalah, baik di awal bacaan maupun di akhirnya." Hadits tersebut

oleh para Muhadditsin dipandang sebagai hadits yang ma'lul. Mereka yang

mengatakan ma'lul antara lain AsySyafi'iy, Ad-Daruquthny, Al-Baihaqy, dan Ibnu

'Abdil-Barr. Menurut pengarang Al-Tadrib, hadits tersebut mempu-nyai 9 'illat.

Yakni: (1) tnu-khalafah (berlawanan dengan ri-wayat para hafidh dan kebanyakan

Muhadditsin, (2) inqitha' (ada keguguran sanad), (3) tadlis-taswiyah (menggugurkan

guru yang lemah), (4) kitabah (secara tulisan = surat-menyurat), (5) jahalatul-katib

(penulis tidak diketahui identitasnya), (6) idlthirab (kacau) - fi lafdhihi, (7) idraj (ada

sisipan dari rawinya), adanya mukhalafah dari kedua orang temannya, yang

meriwayatkan hadits itu dan (9) mukhalafah dengan periwayatan orang banyak yang

mencapai kriteria mutawatir.

Penutup
Uraian-uraian sebelumnya dapat dirangkum dalam beberapa poin terkait telaah

mengenai syadz sebagai kaidah kesahihan matan hadis sebagai berikut: Bentuk

kerusakan makna suatu matan hadis adalah berupa perlawanan makna (al-mukhalaf)

terhadap dalil-dalil yang lebih kuat; Bentuk perlawanan makna tersebut tidak dapat

dikompromikan; Matan hadis yang mengandung perlawanan tersebut tidak ada

mutabi’nya. Sedangkan Ilmu ‘ilal al-hadīth memiliki kedudukan yang tinggi dalam

‘ulūm al-hadith. Para ulama’ menganggap penting ilmu ini, karena berkaitan erat

dengan ke-ṣahih-an hadith. Jika kemuliaan sebuah ilmu diukur dari kemanfaatannya,

maka ilmu ‘ilal al-hadīth adalah ilmu yang paling mulia karena banyak manfaat yang

diperoleh darinya. Ilmu ‘ilal al-hadīth memiliki peran yang sangat strategis dalam

mendeteksi dan menoropong cacat-cacat yang tersembunyi pada sebuah hadith

dengan menembus jalur sanad matan yang sahih. Ilmu ini dapat mengawal

keotentikan hadith-hadith Nabi yang diyakini sebagai otoritas sumber ajaran Islam

yang kedua setelah al-Qur’an. Ilmu ‘ilal al-hadīth telah diaplikasikan baik oleh para

sahabat Nabi, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu, seperti Abu Bakar al-

Ṣiddiq, Umar Ibn al-Khattab, dan telah dibahas dan diaplikasikan pula oleh ulama-

ulama sesudah mereka, baik kalangan ulama’ Mutaqaddimīn maupun ulama’

Mutaakhkhirīn. Para ulama’ telah memberikan perhatian khusus terhadap ilmu ‘ilal

al-hadīth , karena ilmu ini merupakan denyut nadinya ilmu hadith. Ilmu ini tidak

dapat dipelajari dan diaplikasikan kecuali oleh orang yang oleh Allah dianugerahkan

pemahaman yang mendalam, hafalan yang luas, pengetahuan yang sempurna tentang

tingkatan-tingkatan para perawi dan kemampuan yang kuat dalam meneliti sanad

matan. Para ulama telah menggarisbawahi bahwa ‘ilal al-hadīth tidak perlu

ditunjukkan kepada orang awam, karena pengetahuan orang awam tidak mampu

menjangkaunya. Adapun menunjukkan illah.


REFERENSI

1. Rahmin Talib Husain, Urgensi Ilmu ‘Ilal Al-Hadīth, Vol. 11 No. 1 Januari

2017

2. Mahsyar Idris, Telaah Kritis Terhadap Syaz Sebagai Unsur Kaedah Kesahihan

Matan Hadis Tahdis Volume 6 Nomor 2 Tahun 2015

3. ABDUL MAJID KHON, TAKHRIJ DAN METODE MEMAHAMI HADIS

Anda mungkin juga menyukai