Anda di halaman 1dari 14

BENTUK PENAFSIRAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah Ulum Al qur’an II

Dosen pembimbing : Prof. Dr. H. Nashruddin Baidan

Disusun oleh:

Laily Salsabila (181111005)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

2019

KATA PENGANTAR

1
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
serta sehat wal’afiat yang dengan inilah kita dapat diberi kekuatan,kemudahan serta
kelancaran dalam menyelesaikan makalah yang diberi judul “Bentuk Penafsiran ” guna
memenuhi tugas UAS mata kuliah ‘Ulumul Quran Lanjut’ yang insya allah dapat
member manfaat bagi lainnya.

Shalawat serta salam tak lupa kita haturkan kepada baginda padang pasir kita
Nabi Muhammad SAW yang mana beliaulah yang telah membawa kita kepada zaman
yang telah terang benderang ini dengan banyak nya ilmu dari zaman kebodohan yang
gelap akan ilmu.

Penulis juga berterimakasih kepada dosen pengampu Prof.Dr.H. Nashruddin


Baidan dan teman-teman kelas yang telah membantu dalam penulisan makalah ini yang
bisa dikatakan jauh dari kata sempurna karena masih kurangnya pengetahuan yang
kami punya. Sehingga penulis memerlukan saran dan kritikan membangun demi
kesempurnaan makalah ini

Sukoharjo, 14 Mei 2019

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… ii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. iii

2
BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang …………………………………………………… 1


B. Rumusan Masalah ………………………………………………. 1
C. Tujuan ………………………………………………………… 1

BAB II : PEMBAHASAN

A. Tafsir bi Ma’tsur …………………………………………………… 2


B. Tafsir bi ar-Ra’yi …………………………………………………… 6

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ………………………………………………………….. 11

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 12

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar bagi umat islam yang bersifat abadi.
al-Qur’an juga sebagai pedoman hidup manusia dari Allah . Didalamnya
menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan. Dengan segala
keistimewaan al-Qur’an inilah dapat memecahkan berbagai persoalan-persoalan
kemanusiaan di berbagai aspek kehidupan. al-Qur’an yang dijadikan landasan oleh
manusia selalu relevan sepanjang zaman. Dengan demikian, al-Qur’an bersifat aktual
di setiap waktu dan tempat.
Maka dengan keagungan dan kemuliaan al-Qur’an inilah umat islam dapat
menjadikannya segala pedoman dalam menjalani kehidupan serta mengetahui pesan-
pesan yang dikandungnya. Peran mufassir sangatlah diperlukan dalam ilmu
pemahaman dan penafsirannya yang benar pada ayat demi ayat al-Qur’an. Sehingga
mufassir dapat membantu menyampaikan maksud al-Qur’an melalui penafsirannya
yang benar kepada umat islam yang masih haus akan ilmu agama.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari tafsir bi Ma’tsur ?
2. Apa saja macam-macam tafsir bi Ma’tsur?
3. Apa pengertian dari tafsir bi ar-Ra’yi?
4. Apa saja macam-macam dengan tafsir bi ar-Ra’yi?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian tafsir bi Ma’tsur
2. Mengetahui macam-macam tafsir bi Ma’tsur
3. Mengetahui tafsir bi ar-Ra’yi
4. Mengetahui tafsir bi ar-Ra’yi

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tafsir bi Ma’tsur ( bi al-Riwayah)


1. Pengertian Tafsir bi Ma’tsur
Tafsir bi Ma’sur ialah tafsir yang berdasarkan pada al-Qur’an atau
riwayat yang shahih sesuai urutan yang telah disebutkan di muka dalam
syarat-syarat mufassir. 1. Sebagaimana dijelaskan Al-Farmawy, Tafsir bi
Ma’sur ini disebut pula bi al-Riwayah adalah penafasiran al-Qur’an
berdasarkan al-Qur’an sendiri, penjelasan Rasul, penjelasan para sahabat
melalui ijtihad, dan aqwal tabi’in.2. Tafsir bil-ma’tsur adalah metode
penafsiran yang harus diikuti dan dijadikan hujjah dalam menafsirkan al-
Qur’an, karena ia merupakan cara yang paling aman dalam memahami kitab
Allah.3
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diambil garis besar bahwa
Tafsir bi Ma’sur makna secara etimologi adalah jejak, peninggalan, bekas atau
warisan. Sedangkan secara terminologi yaitu menafsirkan al-Qur’an melalui
riwayat atau peninggalan Nabi. Para sahabat menerima dan meriwayatkan
tafsir dari Nabi saw secara musyafahat ( dari mulut ke mulut ), demikian pula
generasi berikutnya, sampai datang masa tadwin ( pembukuan) ilmu-ilmu
islam, termasuk tafsir sekitar abad ke-3 H yang dinukil dari pendahulu umat.
Tentu dari segi hukum, tafsir ini sah-sah saja karena berdasarkan riwayat atau
ceritanya, namun apabila tidak di seleksi riwayatnya maka tafsir bi
Ma’surmenjadi rusak.
2. Macam-Macam Tafsir bi Ma’tsur
Berdasarkan definisi tersebut, dari sumber buku lain ada empat otoritas
yang menjadi sumber penafsiran bi al Ma’sur , yaitu:

1
Manna Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006) , hal 434
2
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an. . (Bandung: Pustaka Setia. 2009), hal 182
3
Manna Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006) , hal 438

5
a. al-Qur’an sendiri yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap al-
Qur’an. Penafsiran ayat dengan ayat al-Qur’an yang lain, contohnya yaitu4:
1). Penafsiran kata ‫ق‬ ِ َّ‫ ٱلط‬pada ayat pertama dari surat ath-Thari dengan
ِ ‫ار‬
ُ‫( ٱلنَّ ۡج ُم ٱلثَّاقِب‬QS. ath-Thariq[86]: 1-3) .
2). Demikian juga terdapat dalam firman Allah pada QS.al-Fatihah[1]: 7

‫ص ٰ َرطَ ٱلَّ ِذينَ أَ ۡن َعمۡ تَ َعلَ ۡي ِهم‬


ِ
“Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat “
Yang ditafsirkan dengan firman Allah dalam QS. an-Nisa[4]:69 ;
ٓ
‫ينَ َو َحسُنَ أُوْ ٰلَئِكَ َرفِ ٗيقا‬ َّ ٰ ‫أَ ۡن َع َم ٱهَّلل ُ َعلَ ۡي ِهم ِّمنَ ٱلنَّبِ ۧ‍يِّنَ َوٱلصِّ دِّيقِينَ َوٱل ُّشهَدَٓا ِء َوٱل‬
ۚ ‫صلِ ِح‬
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat
oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati
syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya.”
3). Firman Allah dalam QS. al-Maidah [5]: 1
‫أُ ِحلَّ ۡت لَ ُكم بَ ِهي َمةُ ٱأۡل َ ۡن ٰ َع ِم إِاَّل َما ي ُۡتلَ ٰى َعلَ ۡي ُكم‬
“Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu”

Yang kemudian ada penjelasan mengenai pengecualian makanan yang


diharamkan pada ayat lain yang menjelaskan pada QS. al-Maidah [5] :
3

Šَ ‫ير َو َمٓا أُ ِه َّل لِغ َۡي ِر ٱهَّلل ِ بِِۦه َو ۡٱل ُم ۡنخَ نِقَةُ َو ۡٱل َم ۡوقُو َذةُ َو ۡٱل ُمت ََرد‬
‫ِّي‬ ۡ ۡ
ِ ‫ُح ِّر َم ۡت َعلَ ۡي ُك ُم ٱل َم ۡيتَةُ َوٱل َّد ُم َولَ ۡح ُم ٱل ِخ‬
ِ ‫نز‬
‫ب‬
ِ ‫ص‬ ُ ُّ‫يحةُ َو َمٓا أَ َك َل ٱل َّسبُ ُع إِاَّل َما َذ َّك ۡيتُمۡ َو َما ُذبِ َح َعلَى ٱلن‬ َ ‫َوٱلنَّ ِط‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali
yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala”

b. Hadits Nabi yang berfungsi sebagai penjelas ( mubayyin) dari al-Qur’an.


Penafsiran al-Qur’an dengan sunnah Misalnya, QS. al-An’am [6]: 82
ٓ
َ ِ‫وا َولَمۡ يَ ۡلبِس ُٓو ْا إِي ٰ َمنَهُم بِظُ ۡل ٍم أُوْ ٰلَئ‬
َ‫ك لَهُ ُم ٱأۡل َمۡ نُ َوهُم ُّم ۡهتَ ُدون‬ ْ ُ‫ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬

4
Quraish Shihab. Kaidah Tafsir. .(Tangerang: Lentera Hati . 2012) hal, 350

6
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.”
Ketika ayat ini diturunkan , orang mendapatkan kesulitan dalam
memahami dan menangkap maksudnya. Maka dari itu, mereka
menanyakan hal tersebut pada Nabi Muhammad saw. Beliau
menafsirkan bahwa kata ‫ ظُ ۡل ٍم‬adalah dzalim atau penganiayaan disini
adalah kemusyrikan, yang sejalan dengan firman Allah dalam QS.
Luqman[3]:13

‫يم‬ٞ ‫ك لَظُ ۡل ٌم َع ِظ‬


َ ‫إِ َّن ٱل ِّش ۡر‬
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar".
Sehingga tidak ada seorang pun yang berbuat zalim kepada
dirinya dirinya. Pada hakikatnya enafsiran al-Qur’an dengan sunnah
Nabi, merupakan metode tafsirnya paling tinggi kualitasnya. Maka
dari itu, metode inilah yang mestinya diterima. Metode pertama
karena hanya Allah yang Maha Mengetahui tafsirnya. Serta pada
metode kedua ini, metode bersandarkan pada maksud ayat kepada
manusia yang kemudian diperjelaskan dari Nabi Muhammad saw,
seperti yang diisyaratkan dalam QS. an-Nahl[16]:44:

ۡ
ِ َّ‫ ُِر َوأَنزَ لنَٓا إِلَ ۡيكَ ٱل ِّذ ۡك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬Šۗ ‫ٱلزب‬
َ‫ُم يَتَفَ َّكرُون‬Šۡ‫اس َما نُ ِّز َل إِلَ ۡي ِهمۡ َولَ َعلَّه‬ ِ َ‫بِ ۡٱلبَيِّ ٰن‬
ُّ ‫ت َو‬
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan”.

c. Tafsir al-Qur’an dengan penjelasan perkataan sahabat


Bagian ketiga ini tetap menjadi pembahasan yang juga layak diterima

karena para sahabat hidup dengan Rasul dan menangkap makna

sesungguhnya. Selain itu, mereka juga menyaksikan saat turunnya wahyu

dan penuh perhatian-perhatian terhadap persoalan yang berkaitan dengan

7
wahyu, mereka memiliki ketenangan dan kesempurnaan jiwa serta sifat-

sifat yang terpuji, kemampuan yang tinggi, kelancaran dan kefasihan

berbicara dan kemampuan lainnya. Mereka mempunyai kualifikasi yang

tinggi dalam hal kebenaran dan kesempurnaan memahami kalam Allah

SWT.

Mereka juga mempunyai kesadaran yang lebih tinggi dalam

menangkap rahasia al-Qur’an disbanding dengan orang lain.Hal ini karena

mereka menyaksikan turunnya wahyu dan kejadian saat itu. Contoh ayat

yang ditafsirkan oleh sahabat adalah :

َ‫ب َويَقُولُون‬ ِ ۖ ‫ة َسا ِد ُسهُمۡ َك ۡلبُهُمۡ َر ۡج ۢ َما بِ ۡٱلغ َۡي‬ٞ ‫ُم َك ۡلبُهُمۡ َويَقُولُونَ َخمۡ َس‬Šۡ‫ة رَّابِ ُعه‬ٞ َ‫َسيَقُولُونَ ثَ ٰلَث‬
ٗ‫ار فِي ِهمۡ إِاَّل ِم َرٓاء‬ ۗٞ ِ‫ُم َك ۡلبُهُمۡۚ قُل َّرب ِّٓي أَ ۡعلَ ُم بِ ِع َّدتِ ِهم َّما يَ ۡعلَ ُمهُمۡ إِاَّل قَل‬Šۡ‫ة َوثَا ِمنُه‬ٞ ‫َس ۡب َع‬
ِ ‫يل فَاَل تُ َم‬
ِ ‫ٰظَ ِه ٗرا َواَل ت َۡست َۡف‬
‫ت فِي ِهم ِّم ۡنهُمۡ أَ َح ٗدا‬
“Katakanlah: "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada
orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit". Karena itu
janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali
pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka
(pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka.”5
d. Penjelas tabi’in yang dianggap bertemu langsung dengan sahabat.
Belum terdapat alasan yang pasti akan penafsiran tabi’in dijadikan
salah satu sumber tafsir bi Ma’sur. Padahal dalam menafsirkan al-Qur’an,
mereka tidak hanyaberlandaskan pada riwayat yang diterimanya dari sahabat,
melainkan juga terkadang memasukkan ide-ide mereka.
Dengan kata lain, mereka juga melakukan ijtihadi dan memberikan
interpretasi sendiri terhadap al-Quran. Selain itu, para tabi’in berbeda dengan
sahabat, mereka tidak mendengar langsung dari Nabi dan tidak menyaksikan
langsung situasi dan kondisi ketika al-Qur’an turun. Maka dari itu, sumber
penafsiran al-Qur’an ni al Ma’sur masih menjadi perdebatan pro dan kontra
di kalangan ulama.

3. Kitab-kitab tafsir bi Ma’tsur yang terkenal

5
Ali Mufron, Pengantar Ilmu Tafsir dan Qur’an. (Yogyakarta: Aura pustaka. 2014), hal 311

8
Diantara kitab-kitab yang dipandang menggunakan bentuk tafsir bi Ma’tsur
adalah sebagai berikut6:

a. Jami ‘Al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, karya Ibnu Jarir Ath-Thabari.


b. Anwar At-Tanzil, karya Al-Baidhawi
c. Ad-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur, karya Jalal Ad-Din
As-suyuti
d. Tanwir Al-Miqbas fi Tafsir Ibnu Abbas, karya Fairuz Zabadi
e. Tafsir al-Qur’an Al- Adzim, karya Ibnu Katsir
f. Al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz oleh Ibn ‘Atiyah, dan
g. Tafsir Ibn ‘Abbas.

Berdasarkan kategori kitab-kitab tafsir diatas adalah dengan


pertimbangan bahwa isinya mengandung tafsir bi al-Ma’tsur secara umum. Ini
mengingat bahwa sulitnya mencari sebuah kitab tafsir yang murni
menggunakan bentuk bil-Ma’tsur. Kendati demikian, kitab-kitab tafsir diatas
juga ada yang menggunakan bentuk ar-Ra’yi meskipun tidak begitu dominan.

B. Tafsir Bi al-Ra’yi

1. Pengertian Tafsir al-Ra’yi


Ra’yi secara etimologi yaitu keyakinan, analogi, dan ijtihad. Sedangkan
secara terminologi, Tafsir bi ra’yi ialah tafsir yang didalamnya menjelaskan
maknanya atau maksudnya, dimana seorang mufassir hanya berpegang pada
pemahamannya sendiri, serta menarik kesimpulan yang dilandaskan pada logika. 7

Dengan demikian dapat diambil garis besarnya bahwa tafsir bi Ra’yi yaitu
menafsirkan al-Qur’an melalui pemikiran trilogy ilmiah yang terbagi menjadi rasional
(tidak berdasarkan rasional) , objektif ( tidak ada kepemihakan), dan argumentatif
(pendapat yang didasari argument yang kuat). Pemikiran triloly ini memiliki peran
yang penting. Apabila konsep trilogy ilmiah ini diterapkan, maka tafsirnya dapat
terhindar dari berbagai kesalahan.

Salah satu sebab yang kemunculan Tafsir bi ar-Ra’yi adalah semakin


berkembangnya ilmu-ilmu keislaman seiring dengan disiplin ilmu yang beragam.
Selain itu,juga dipicu oleh hasil interaksi umat islam dengan peradaban Yunani yang
6
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an. . (Bandung: Pustaka Setia. 2009), hal 322
7
Manna Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006) , hal 440

9
banyak menggunakan akal.8 Oleh sebab itu, didalam tafsir bi Ra’yi lebih cenderung
pada peranan akal manusia yang dominan.

Seputar mengenai Tafsir bi Ra’yi ini nampaknya dalam penerimaan


penggunaan tafsir ini, para ulama terbagi menjadi dua golongan pendapat,
diantaranya:

Pertama, kelompok yang melarang. Ulama yang menolak menggunakam tafsir


bi Ra’yi ini mengemukakan argumentasinya sebagai berikut:9

1. Menafsirkan al-Qur’am berdasarkan Ra’yi berarti membicarakan firman Allah


tanpa dasar pengetahuan. Sehingga hasil penafsirannya hanya bersifat perkiraan
semata. Allah berfirman dalam QS. al-Isra[17]:36
ٓ
‍ُٔŠُٔۡ ‫ص َر َو ۡٱلفُؤَا َد ُكلُّ أُوْ ٰلَئِكَ َكانَ ع َۡنهُ َم‬
‫سواٗل‬ َ َ‫س لَكَ بِ ِهۦ ِع ۡل ۚ ٌم إِ َّن ٱلسَّمۡ َع َو ۡٱلب‬
َ ‫َواَل ت َۡقفُ َما لَ ۡي‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.”
2. Yang berhak menjelaskan al-Qur;an adalah Nabi Muhammad saw, berdasarkan
firman Allah QS. an-Nahl[16]: 44.
ۡ
ِ َّ‫ٱلزب ۗ ُِر َوأَنزَ لنَٓا إِلَ ۡيكَ ٱل ِّذ ۡك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬
َ‫اس َما نُ ِّز َل إِلَ ۡي ِهمۡ َولَ َعلَّهُمۡ يَتَفَ َّكرُون‬ ِ َ‫بِ ۡٱلبَيِّ ٰن‬
ُّ ‫ت َو‬
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu
Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,”
3. Sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat dan para tabi’in untuk berhati-hati
dalam berbicara mengenai penafsiran al-Qur’an.

Kedua, kelompok yang memperbolehkan , Mereka mengemukakan argumentasinya


sebagai berikut:

1. Didalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat ayat yang menyerukan untuk


mendalami kandungan-kandungan al-Qur’an . seperti dalam firman Allah dalam
QS. Muhammad[47]:24

ٍ ‫أَفَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ۡٱلقُ ۡر َءانَ أَمۡ َعلَ ٰى قُلُو‬


‫ب أَ ۡقفَالُهَٓا‬

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?”

Serta dalam QS. An-Nisa [4]: 83


8
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an. . (Bandung: Pustaka Setia. 2009), hal 182
9
ibid. hal 189

10
.…‫ َولَ ۡو َر ُّدوهُ إِلَى ٱل َّرسُو ِل َوإِلَ ٰ ٓى أُوْ لِي ٱأۡل َمۡ ِر ِم ۡنهُمۡ لَ َعلِ َمهُ ٱلَّ ِذينَ يَ ۡست َۢنبِطُونَهۥُ ِم ۡنهُم‬..…

“ Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)”.

Berdasarkan ayat diatas, menurut mereka ayat pertama secara jelas


menyeru untuk merenungkan dan memikirkan al-Qur’an. Sedangkan pada ayat
kedua bermaksud bahwa didalam al-Qur’an terdapat maksud yang bisa
ditangkap secara pemikiran akal dari hasil ijtihad bersama.

2. Para sahabat sudah biasa berbeda argument mengenai penafsiran suatu ayat
karena mereka menafsirkan dengan Ra’yinya. Mengenai hal tersebut, para
ulama sepakat untuk membatasi dari penggunaan tafsir bi Ra’yi ini, yaitu dapat
diterima selama menghindari hal-hal berikiut ini:10
a. Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu
ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu
b. Mencoba menafsirkan ayat yang maknanya hanya diketahui Allah semata.
c. Menafsirkan ayat dengan disertai hawa nafsu dna sikap subjekrifitas
d. Menafsirkan ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan
menjadikan faham mazhab tersebut sebagai dasar. Serta penafsirannya
mengikuti mazhab tersebut
e. Menafsirkan ayat dengan memastikan bahwa makna yang dimaksud Allah
tanpa didukung dalil atau hujjah.

Selama mufassir bi Ra’yi dapat menghindari hal ini dengan disertai niat
ikhlas karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya
dapat dikatakan rasional. Namun, sebaliknya jika tidak dapat menghindari
kelima hal tersebut maka penafsirannya ditolak dan tidak dapat diterima
karena menyimpang dari persyaratan yang telah disepakati.

2. Macam-,Macam Penafsiran bi-Ra’yi


Tafsir bi Ra’yi dibagi dalam dua kategori, tafsir yang terpuji(mahmudah) dan
tafsir yang tercela(madzmumah). Penjelasannya sebagai berikut11:

10
ibid hal 192
11
Thameem Ushama , Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Riora Cipta. 2000) hal 15

11
a. Terpuji (mahmudah)
Tafsir yang terpuji ialah tafsir al-Qur’an yang didasarkan dari ijtihadi
yang jauh dari kebodohan dan penyimpangan. Selain itu tafsir ini tergantung
pada metodologi yang tepat dalam memahami al-Qur’an
b. Tercela (madzmumah)
Tafsir yang tercela ialah tafsir al-Qur’an tanpa didasari dengan
pengetahuan yang benar. Jadi, tafsir ini hanya didasarkan kepada keinginan
seseorang dengan mengabaikan peraturan dan persyaratan tata bahasa serta
kaidah-kaidah hukum islam. Selain itu penjelasan dari kalamullah atas dasar
pikiran atau aliran yang sesat dan penuh dengan bid’ah atau inovasi yang
menyimpang.

Berdasarkan macam-macam tafsir ar-Ra’yi tersebut, dapat diketahui


yaitu jika seorang mufassir tidak menguasai kaidah-kaidah bahasa dan prinsip-
prinsipnya. Maka bisa saja terjadi pemahaman, penerjemah dan penafsiran salah
yang mengakibatkan kesesatan.

Adapun sumber-sumber utama dari tafsir yang tercela ini, seperti yang
disebutkan oleh Al-Zarkasyi terdapat empat sumber utamanya.

Sebagaimana dikemukakan oleh Thameem Ushama dalam bukunya


Metodologi Tafsir al-Qur’an , yaitu12:

a. Cerita tentang rasul, meskipun cerita tersebut lemah dan palsu


b. Kecenderungan kepada perkataan para sahabat
c. Kecenderungan kepada bahasa, karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
Arab
d. Menganggap fenomena-fenomena itu sesuai dengan pemahaman orang-
orang Arab.

3. Kitab-kitab tafsir ar-Ra’yi yang terkenal dan dapat dipercaya antara lain 13:
a. Mafatih al-Ghaib, karya Fakhr Ar-Razi.
b. Al Bahr al-Muhit, karya Ibn Hayyan.

12
ibid. Hal 16
13
Ali Mufron, Pengantar Ilmu Tafsir dan Qur’an. (Yogyakarta: Aura pustaka. 2014), hal 325

12
c. Al Kasysyaf’An Haqa’iq al-Tanzil wa ‘Uyun a;-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wilm,
karya al-Zamakhsyari.
d. Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Takwil, karya Al-Baidhawi.
e. Madarak At-Tanzil wa Haqa’iq at-Takwil , karya An-Nasafi.
f. Luhab At-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, karya Al-Khazim.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kajian ilmu tafsir bi Ma’tsur dan tafsir bi ar-Ra’yi ini sangat penting dalam
menafsirkan ayat-yat al-Qur’an. Apabila ilmu penafsiran tidak dipahami dan
dikuasai maka hasil penafsirannya dapat keliru bahkan menyesatkan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Quraish Shihab. 2012. Kaidah Tafsir .(Tangerang: Lentera Hati)


Rosihon Anwar. 2009. Pengantar Ulumul Qor’an. (Bandung: Pustaka Setia)
Manna ‘Al-Qaththan. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an . (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar)
Ali Mufron. 2014. Pengantar Ilmu Tafsir dan Qur’an. (Yogyakarta: Aura pustaka)
Nashruddin Baidan. 2005. Wawawan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Thameem Ushama. 2000. Metodologi Tafsir Al-Qur’an. (Jakarta: Riora Cipta)

14

Anda mungkin juga menyukai