Anda di halaman 1dari 3

Ruang Lingkup Ahlussunnah wal Jama'ah

Sebagaimana halnya Khawarij, Mu'tazilah, dan Syi'ah, Ahlusunnah wal Jama'ah merupakan salah satu
aliran atau paham teologi yang ikut mewarnai sejarah perkembangan agama Islam. Ia datang di tengahtengah dinamika kehidupan umat untuk ikut ambil bagian dalam memberikan solusi atas berbagai
persoalan yang dihadapi, khususnya yang berkenaan dengan permasalahan ikhtilfiyyah dalam akidah dan
keyakinan.[1]
Kalau pada awalnya Ahlussunnah wal Jama'ah muncul sebagai reaksi terhadap Syiah, ia dalam
perkembangannya juga merespon Mu'tazilah. Bahkan kemunculan Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai
aliran terjadi di masa Mu'tazilah mencapai kejayaannya.
Sebagaimana diketahui, Mu'tazilah mencapai puncak kejayaannya pada saat Daulah Abasiyah berada di
bawah pemerintahan Khalifah al-Ma'mun, al-Mu'tashim, dan al-Watsiq (813 M - 847 M). Kejayaan ini
diawali dengan dijadikannya Mu'tazilah oleh Khalifah al-Ma'mun sebagai mazhab resmi yang dianut
negara. Agaknya, pada masa itulah usaha penyebaran ajaran-ajaran Mu'tazilah yang dijalankan oleh 3 ribu
pengikut Wasil bin 'Atha semenjak tahun 718 M mulai menemukan hasilnya hingga Mu'tazilah
memperoleh pengaruh dalam masyarakat Islam.
Paham Mu'tazilah mengajarkan bahwa al-Quran tidak bersifat qadm, tetapi baru (hadts) dan diciptakan
(makhlq). Dalam pandangan mereka, meng-qadm-kan al-Quran berarti meyakini adanya sesuatu yang
qadm selain Tuhan, dan itu sama saja dengan menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan adalah perbuatan
syirik, dan syirik merupakan dosa terbesar yang tidak akan diampuni Tuhan.
Al-Ma'mun sebagai khalifah menetapkan bahwa orang syirik tidak dapat menempati posisi penting dalam
pemerintahan. Oleh karenanya, dia kemudian menginstruksikan kepada Gubernurnya untuk menjadikan
Mu'tazilah sebagai Paham yang harus dianut oleh para pemuka masyarakat melalui sebuah kebijakan yang
dikenal dengan mihnah (inquisition). Kebijakan ini diaplikasikan dengan menerapkan 'fit and proper test'
yang bersifat subyektif, guna melihat apakah seseorang, yang akan diangkat sebagai pejabat, berpaham
Mu'tazilah atau tidak.
Ahmad ibn Hanbal telah tampil sebagai orang yang menolak paham Mu'tazilah, dan mengembalikan ajaran
Islam pada apa yang terkandung dalam sunnah sehingga dia kemudian dikenal sebagai imam
Ahlussunnah. Meskipun harus berhadapan dengan tiga penguasa Daulah Abasiyah secara berturut-turut,
Ibn Hanbal tetap mempertahankan keyakinannya, sehingga ia menjadi orang yang berpengaruh dan
mendapat pengikut yang terus bertambah.
Kenyataan ini membuat Khalifah al-Mu'tashim dan al-Watsiq tidak berani menjatuhkan hukuman mati
kepada Ahmad Ibnu Hanbal, karena hal itu dalam pandangan mereka akan sangat berpotensi bagi
timbulnya kekacauan. Di masa kekhalifahan al-Mutawakkil, putra al-Mu'tashim, pengaruh ibn Hanbal
yang berpegang teguh pada sunnah dan tradisi terus menguat, sementara pengaruh Mu'tazilah menurun di
tengah-tengah masyarakat. Pada Puncaknya, al-Mutawakkil membatalkan aliran Mu'tazilah sebagai
mazhab resmi negara (848 M), dan berakhirlah riwayat mihnah dalam perjalanan sejarah Daulah
Abbasiyah.
Dengan dasar kenyataan sejarah itulah Tasy Kubra Zadah menyatakan bahwa aliran Ahlussunnah wal
Jama'ah telah muncul atas keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asy'ari untuk membentuk aliran teologi
baru yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri, setelah menjadi pengikut aliran Mu'tazilah selama
40 tahun.[2]
Dari sinilah term Ahlussunnah wal Jama'ah yang dibawa oleh Ibn Hanbal menjadi identik dengan
Asy'ariyah dan Maturidiyah, mengingat Abu al-Hasan al-Asy'ari yang menyandarkan teologi barunya pada
ajaran yang dibawa oleh Ibn Hanbal, tidak merumuskan ajaran Ibnu Hanbal secara lebih sistematis.
Dijelaskan bahwa pada saat berdiri di depan publik untuk memproklamirkan teologi barunya, Abu alHasan al-Asy'ari mengatakan bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan yang dianutnya adalah

berpegang teguh pada al-Qur'an, sunnah Rasulullah Saw., atsar sahabat, perkataan tabi'in, pembela hadits,
dan terhadap apa yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal. Akan tetapi, meskipun al-Asy'ari mendasarkan
teologinya pada Ahmad ibn Hanbal, ia dalam bidang fikih tetap berpegang pada mazhab Syafi'i.[3]
Ibn Taimiyah dalam Muwafaqt Shahh al-Manql li al-Sharh al-Ma'ql menjelaskan bahwa ketika keluar
dari mazhab Mu'tazilah, al-Asy'ari menempuh cara Ibn Kullab. Dia membela sunnah dan hadis, serta
menyandarkan
pendapat-pendapatnya pada Ahmad ibn Hanbal. Semua ini diungkapkan secara tegas dalam buku-buku
karanganya, seperti al-Ibnah, al-Mujz, dan al-Maqlt. Lebih dari itu, al-Asy'ari juga bergaul dengan
para pembela sunnah dan para teolog pengikut mazhab Hanbali, seperti ibn 'Aqil dan Abu al-Faraj alJawzi. Dari merekalah al-Asy'ari belajar dan mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Ahmad ibn Hanbal.
[4]
Kalau apa yang diajarkan oleh ibnu Hanbal itu berpegang teguh terhadap sunnah dan tradisi, Mu'tazilah
tidak mau berpegang teguh kepada sunnah dan tradisi itu. Sikap Mu'tazilah ini bukan karena mereka tidak
percaya, tetapi lebih
disebabkan oleh keraguan terhadap keaslian sunnah dan tradisi tersebut. Sejalan dengan itu, ajaran-ajaran
yang dibawanya juga lebih bersifat rasional dan filosofis, sehingga paham Mu'tazilah tidak bisa diikuti oleh
masyarakat awam.
Paham Mu'tazilah, karenanya, tetap menjadi paham minoritas, meski ditopang oleh kekuasaan, sementara
pada sisi lain, Ahlussunnah wal jama'ah memperoleh respon yang sangat positif dari mayoritas khalayak.
Kedua faktor inilah yang sering disebut sebagai awal munculnya istilah Ahlussunnah wal Jama'ah, yaitu,
golongan yang berpegang pada sunnah dan merupakan golongan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan
Mu'tazilah yang bersifat minoritas dan tidak berpegang teguh terhadap sunnah.
Secara substantif, Ahlussunnah wal Jama'ah itu meliputi tiga aspek Islam, yakni aspek akidah, fikih dan
akhlak. Meskipun diskursus para ulama sering hanya membicarakan aspek akidah dan syari'ah (fiqh), hal
itu bukan berarti tidak ada aspek akhlak. Menurut pandangan ini, pengalaman (practice) dari dua aspek
(yang disebut pertama) itu mengandung aspek akhlak atau tashawuf (tashawwuf).
Seperti disepakati oleh para ulama penulis, aspek yang paling krusial di dalam paham Ahlussunnah wal
Jama'ah adalah aspek akidah. Aspek ini krusial, karena pada saat Mu'tazilah dijadikan sebagai paham
keagamaan resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, di mana telah terjadi kasus mihnah (inquisition)
yang cukup menimbulkan keresahan umat Islam. Imam al-Asy'ari saat itu telah tampil untuk mengoreksi
kebijakan pemerintah tadi dan sekaligus mengkonter teologi Mu'tazilah, yang dalam beberapa hal dianggap
bid'ah atau menyimpang.
Pemikiran-pemikiran teologi Islam yang disampaikan Imam al-Asy'ari ternyata diterima secara positif oleh
masyarakat Islam, sehingga kemudian terbentuk kelompok Asy'ariyah (pengikut al-Asy'ari). Cikal bakal ini
akhirnya
terinstitusi dalam bentuk mazhab al-Asy'ari.
Aspek kedua dalam paham Ahlussunnah wal Jama'ah adalah syari'ah atau fikih, yakni paham keagamaan
yang berhubungan dengan ibadah dan mu'malah. Yang dimaksud dengan ibadah adalah tuntutan formal
yang berhubungan dengan tata cara seorang hamba berhadapan dengan Tuhan, seperti shalat, zakat, haji,
dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan mu'malah adalah bentuk ibadah yang bersifat sosial,
menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia secara horisontal, misalnya dalam hal jual beli,
pidana perdata, sosial politik, dan
sebagainya. Yang pertama disebut habl min Allh (hubungan manusia dengan Allah), dan yang kedua
disebut habl min al-ns (hubungan manusia dengan manusia).

Para ulama telah sepakat bahwa aspek syari'ah Ahlussunnah wal Jama'ah ini bersumber dari empat
mazhab besar dalam Islam, yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Menurut mereka, Ahlussunnah wal
Jama'ah bersumber pada empat mazhab besar ini karena paham akidah mereka sejalan dengan paham
akidah mazhab Ahlussunnah wal Jama'ah.
Imam Asy'ari sendiri sebagai pelopor Ahlussunnah wal Jama'ah adalah penganut mazhab Imam Syafi'i,
sementara al-Maturidi adalah penganut mazhab Imam Hanafi di bidang syari'ah atau fikih. Ahlussunnah
wal Jama'ah juga bersumber pada Imam Maliki karena ia adalah pelopor pembanding ahl al-ra'y (orang
yang "mendewakan"
akal) dari kalangan ulama Irak, di mana manhaj berpikirnya adalah taqdm al-nashsh ala al-'aql
(mendahulukan apa yang tertulis dari Qur'an dari pada akal). Demikian juga mazhab Hanbali dijadikan
rujukan karena Imam Hanbali
banyak dijelaskan oleh literatur Islam sebagai ulama yang dalam paham akidahnya secara garis besar,
terutama dalam masalah-masalah sentral yang menjadi kecenderungan polemik di antara ulama kalam,
sejalan dengan paham ketiga ulama pendiri mazhab lainnya.
Aspek ketiga dari paham keagamaan Ahlussunnah wal Jama'ah adalah akhlak atau tashawuf, yang dalam
banyak hal difokuskan kepada wacana akhlak Imam al-Ghazali, Yazid al-Bustami dan Junaid al-Baghdadi,
serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Aspek ketiga ini, dalam diskursus Islam dinilai penting, karena
mencerminkan faktor ihsn dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedangkan Islam
menggambarkan syari'ah, dan ihsn menggambarkan kesempurnaan Iman dan Islam dalam diri
seseorang.
Iman itu ibarat akar, Islam ibarat pohon dan ihsn ibarat buah yang dihasilkan oleh sebuah pohon. Artinya,
manusia sempurna adalah manusia yang di samping bermanfaat untuk dirinya, karena dia sendiri kuat,
juga memberi manfaat kepada yang lain (ini sering disebut dengan three principles of human life). Kalau
manusia memiliki keyakinan atau kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari'at fikih, maka hal itu ibarat
ada akar tetapi tidak ada pohonnya, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang
tidak akan menghasilkan buah jika kurang berarti atau kurang bermanfaat bagi kehidupan (bukan sama
sekali tidak ada manfaatnya), atau dengan kata lain, kurang sempurna. Jadi, aspek ini juga terkait dengan
aspek yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya
dengan keberadaan aspek yang pertama dan kedua untuk membentuk manusia menjadi insn kmil atau
the perfect man.

Anda mungkin juga menyukai