Anda di halaman 1dari 7

Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadist

Kelompok : 11 ( sebelas )
Jurusan/Kelas : PGMI 1-C
Dosen Pengampu : Muhammad Sofyan, M.Pd.,M.Hum.
Nama Anggota : Maula Dwi Anjani ( 1222090092 )
Mega Nurul Aulia ( 1222090093 )
M. Dias Adhipramana ( 1222090097 )

Pengertian, objek dan lafadz-lafadz jarh wa ta’dil

A. Pengertian Jarh wa ta'dil

Menurut bahasa al jarh berarti luka, cela atau cacat. Menurut istilah, al
jarh adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi,
seperti pada keadilan dan ke-dhabitannya. Sedangkan makna at-ta'dil
menurut bahasa berarti at-taswiyah (menyamakan). Adapun menurut istilah
at-ta'dil berarti lawan dari Al jarh, yaitu:

Artinya: "Lawan dari Al jarh, yakni pembersihan atau penyucian perawi


dan menetapkan bahwa ia adil atau dhabit."

Adapun ulama lain mendefinisikan jarh wa ta'dil yaitu :

Artinya: "Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi yang

dapat menunjukkan keadaan mereka, dengan ungkapan atau lafadz”

1
Muhammad ajjaj al-Khathib mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu
jarh wa ta'dil adalah "suatu yang membahas hal-ihwal para rawi dari segi
diterima atau ditolak periwayatannya."

Ilmu ini digunakan untuk menetapkan keadaan periwayatan seorang perawi


yang dapat diterima atau ditolak. Apabila seorang rawi dinyatakan "jarh" oleh
para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak.
Sebaliknya, apabila dipuji, hadistnya dapat diterima, sepanjang persyaratan
lainnya terpenuhi. Jadi "jarh" menyatakan rawi itu cacat, sedangkan ta'dil
menyatakan rawi itu adil.

B. Objek jarh wa ta'dil


Untuk mgetahui lebih mendalam kajian ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil maka
harus mengetahui terlebih dahulu objeknya dilihat dari periwayat hadist dan
kritikus hadist, baik dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektualnya, dan
metode periwayatan.
1. Periwayat hadist
Menurut ulama' seorang rawi dapat diterima riwayatnya apabila dapat
memenuhi syarat sebagai berikut:
a). Orang islam yang berakal
b). Telah sampai umur (baligh)
c). Bersih dari sebab yang memfasiqkan
d). Bersih dari muru'ah
e). Seorang yang berhati-hati tidak lengah
f). Hafal dan faham apa yang diriwayatkan (dabith).[3]
2. Kritikus periwayat hadist
Krtikus hadist atau orang yang ingin men-ta'dil-kan atau men-takhrij-kan
haruslah memiliki syarat-syarat tertentu, agar tidak hanya bisa melihat
kecacatan orang lain melainkan juga harus bersih dari cacat tersebut. Berikut
adalah syarat kritikus hadist:
a). Berilmu pengetahuan (agama isam, hadist, bahasa arab dll)
b). Taqwa (memelihara dari muru'ah)

2
c). Wara' (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, Syubhat, dosat-
dosa kecil)
d). Jujur
e). Menjauhi fanatik golongan
f). Mengetahui sebab-sebab untuk men-taˊdhil-kan dan men-tahrij-kan
g). Tsiqah (terpercaya) mewakili karakter periwayat yang adil (terjaga
kapasitas dirinya)
h). Dabith (terpelihara kualitas intelektualnya).
3. Metode untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan dua ketetapan
Pertama, dengan kepopuleran dikalangan para ahli ilmu bahwa ia dekenal
sebagai seorang yang adil atau biasa disebut dengan (bisy-syuhrah)
Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan
sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula orang yang di-
ta'dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
Kecacatan seorang rawi juga dapat diketahui dengan dua ketetapan
Pertama, berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam celanya (aib).
Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai seorang yang fasik atau pendusta
dikalangan masyarakat, tidak perlu dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu
sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
Kedua, berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah
memenuhi sebab-sebab ia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang
Muhadditsin, sedangkan menurut para fuqaha, sekurang-kurangnya harus di-
tarjih oleh dua orang laki-laki.

C. Lafadz-lafadz jarh wa ta'dil

Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan itu


bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawy, lafadz-
lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidz Ad-Dzahaby dan Al-

3
Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6
tingkatan, yaitu sebagai berikut:
a. Tingkatan pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam
keadilan, dengan menggunakan lafadz-lafadz af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain
yang mengandug pengertian sejenis:
1) Orang yang paling tsiqah ( ْ‫)َأوْ ثَ ُق النَّاس‬
2) Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya (ً‫اس ِح ْفظًا َو َعدَالَة‬ ُ َ‫)َأ ْثب‬
ِ َّ‫ت الن‬
3) Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya (‫)ِإلَ ْي ِه ْال ُم ْنتَهَى فِى الثّبت‬
4) Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah (‫)ثَقَةُ فَ َو َق الثَّقَ ِة‬
b. Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat
yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan
itu selafadz (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya:
1) Orang yang teguh (lagi) teguh (‫ُت ثُب ُْت‬
ٌ ‫)ثُب‬

2) Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah (‫)ثِقَةٌ ثِقَ ْة‬


3) Orang yang ahli (lagi) pandai dalam berargumen (hujjah) (‫) ُح َّجةٌ ُح َّج ْة‬
4) Orang yang teguh (lagi) tsiqah (‫ُت ثِقَّ ْة‬
ٌ ‫)ثُب‬

5) Orang yang kuat ingatannya dan ahli berargumen (hujjah) (‫) َحافِظٌ ُح َّج ْة‬
6) Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya (‫ضابِطٌ ُم ْتقِن‬
َ ).
c. Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafadz yang
mengandung arti ‘kuat ingatan’, misalnya:
1) ٌ ‫)ثُب‬
Orang yang teguh (hati dan lidahnya), (‫ُت‬
2) Orang yang meyakinkan (ilmunya), (‫) ُم ْتقِ ٌن‬
3) Orang yang tsiqah (ٌ‫)ثِقَة‬
4) Orang yang hafidh (kuat hafalannya), (ٌ‫) َحافِظ‬
5) Orang yang hujjah (ٌ‫) ُح َّجة‬.
d. Tingkatan keempat, menunujkkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan
lafadz yangtidak mengandung arti ‘kuat ingatan dan adil’ (tsiqah), misalnya:
1) ٌ ْ‫)ص ُدو‬
Orang yang sangat jujur (‫ق‬ َ
2) Orang yang dapat memegang amanat (‫) َمْأ ُموْ ٌن‬
3) َ ‫)اَل بَْأ‬.
Orang yang tidak cacat (ْ‫س بِه‬
e. Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui ke-
dhabit-an, misalnya:

4
1) Orang yang berstatus jujur (‫) َم ِحلُّهُ الصِّ ْد ُق‬
2) Orang yang baik hadisnya (‫) َجيِّ ُد ْال َح ِديْث‬
3) Orang yang bagus hadisnya (‫) َح َسنُ ْال َح ِديْث‬
4) Orang yang haditsnya berdekatan dengan hadis-hadis orang lain yang tsiqah (
‫اربُ ْال َح ِديْث‬
ِ َ‫) ُمق‬.
f. Tingkatan keenam, menunujukka arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat
tersebut di atas yang diikuti dengan lafadz “Insya Alla”, atau lafadz tersebut di-
tashir-kan (pengecilan arti), atau lafadz itu dikaitkan dengan suatu pengharapan,
misalnya:
1) Orang yang jujur, insya Allah (‫ق ِإ ْن َشا َء هللا‬
ٌ ْ‫ص ُدو‬
ُ )
2) َ ‫)فُاَل ٌن َأرْ جُوْ بَِأ َّن اَل بَْأ‬
Orang yang diharapkan tidak memiliki cacat (‫س بِه‬
3) Orang yang sedikit kesalehannya (‫)فُاَل ٌن صويلح‬
4) Orang yang di harapkan diterima hadisnya (ُ‫)فُاَل ٌن َم ْقبُوْ ل َح ِد ْيثُه‬

Para ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi


yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai
hujjah. Adapun hadits-hadits para rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima
dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh
hadits periwayat lain.

Kemudian, tingkatan dan lafadz-lafadz untuk men-tajrih rawi-rawi, yaitu;


a. Menunjukkan kepada kecacatan yang sangat kepada rawi dengan menggunakan
lafadz-lafadz yang berbentuk afalut tafhdil atau ungkapan yang lain (seperti sighat
muballagah) yang mengandung pengertian yang sejenisnnya dengan itu, misalnya:
1) Orang yang paling dusta (‫ض َع النَّاْس‬
َ ْ‫)اَو‬
2) Orang yang paling bohong ( ْ‫)اَ ْك َذبُ النَّاس‬
3) Orang yang paling top kebohongannya (‫)اِلَ ْي ِه ْال ُم ْنتَقَى فِى ْال َوضْ ِع‬
b. Menunjukkan kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk sighat
muballagah, misalnya:
1) Orang yang pembohong ( ُ‫) َك َّذاب‬
2) ٌ ‫) َوضَّا‬
Orang yang pendusta (‫ع‬
3) Orang yang penipu ( ْ‫) َدجَّال‬
c. Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong atau yang lainnya, misalnya:
1) ِ ‫)فُاَل ٌن ِمتَّهَ ٌم بِاْل َك ْذ‬
Orang yang dituduh bohong (‫ب‬
5
2) Orang yang dituduh dusta (‫)اَوْ ُمتَّ ِه ٌم بِ ْال َوضْ ِع‬
3) ْ َّ‫)فُاَل نُ فِ ْي ِه الن‬
Orang yang perlu diteliti (‫ظ ُر‬
4) Orang yang gugur (ٌ‫)فُالَ ٌن َساقِط‬
5) Orang yang hadisnya telah hilang (‫)فُاَل ٌن َذا ِهبُ ْال َح ِديْث‬
6) ُ ْ‫)فُاَل ٌن َم ْترُو‬
Orang yang ditinggalkan hadisnya (‫ك الِ َح ِديْث‬
d. Menunjukkan kepada kelemahan yang sangat, misalnya:
1) Orang yang dilempar hadisnya (‫ْث‬ ْ ‫) ُم‬
ُ ‫ط َر ُح ْال َح ِدي‬
2) Orang yang lemah (‫ْف‬ َ ‫)فُاَل ٌن‬
ٌ ‫ض ِعي‬
3) Orang yang ditolak hadisnya (‫)فُاَل ٌن َمرْ ُدوْ ٌد ْال َح ِديْث‬
e. Menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya,
misalnya:
1) Orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya (‫)فُاَل ٌن اَل يُحْ تَجُّ بِ ِه‬
2) Orang yang tidak dikenai identitasnya (‫)فُاَل ٌن َمجْ هُوْ ٌل‬
3) Orang yang mungkar hadisnya (‫)فُاَل ٌن ًم ْن َك ٌر ْال َح ِديْث‬
4) Orang yang kacau hadisnya (‫)فُاَل ٌن ُمضْ طَ ِربُ ْال َح ِديْث‬
5) Orang yang banyak menduga-duga (‫)فُاَل ٌن َوا ٍه‬
f. Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tapi sifat itu
berdekatan dengan adil, misalnya:
1) Orang yang didla'ifkan hadisnya (ُ‫ضعِّفَ َح ِد ْيثَه‬
ُ )
2) Orang yang diperbincangkan (‫)فُاَل ٌن ُمقَا ٌل فِ ْي ِه‬
3) ٌ ‫)فُاَل ٌن فِ ْي ِه خ َْل‬
Orang yang disingkiri (‫ف‬
4) Orang yang lunak (‫)فُاَل ٌن لَيَّن‬
5) Orang yang tidak dapat digunakan hujjah hadisnya (‫س بِ ْال ُح َّج ْة‬
َ ِ‫)فُاَل ٌن لَي‬
6) Orang yang tidak kuat (‫ْس بِ ْالقَ ِوى‬
َ ‫)فُاَل ٌن لَي‬
Orang yang ditarjih menurut tingkatan pertama sampai dengan tingkatan keempat
haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang ditarjih
menurut tingkatan-tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat dipakai
sebagai i’itibar (tempat membandingkan).

6
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Mustofa. 2012. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia.

(https://greenpendidikan.blogspot.com/2018/07/ilmu-al-jarh-
wa-al-tadil.html?m=1, 2018)

Anda mungkin juga menyukai