Anda di halaman 1dari 20

‫السالم عليكم ورحمة هللا‬

‫وبركاته‬
UNIVERSITAS DJUANDA BOGOR
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
Prodi: Manajamen Pendidikan
Islam
Mata kuliah:
ULUMUL HADITS
BY
SYAMSUDDIN ALI NASUTION, MA, PhD
IX – ILMU JARH WA TA’DIL
Pengantar
• Ketika Rasulullah saw wafat, beliau tidak meninggalkan
harta kekayaan, tetapi dia mewariskan dua perkara
penting bagi ummat Islam, sebagaimana tersebut dalam
sabdanya:
ْ
‫القران و سنة رسوله‬ ,‫• تركت فيكم ْامرين ما ان تمسكتم بهما لن تضلوا ْابدا‬
• Aku tinggalkan kepada kamu dua perkara, selama kamu
berpegang teguh kepada keduanya, maka kamu tidak
akan sesat selama-lamanya, Alquran dan Sunnah
Rasulullah saw.
• Alquran sebagai kalam Allah swt telah terjamin kemurnian
dan keabsahannya. Sedangkan Sunnah Rasulullah saw
tidak semuanya berpredikat mutawatir, sehingga tidak
semua sabda Rasulullah itu bias diterima, karena belum
tentu setiap kalimat hadits itu berasal dari Rasulullah saw.
Sebagai umat Islam, kita sudah tahu bahwa hadits
merupakan sumber kedua setelah Alqur’an, sehingga
hadits sangat diperlukan untuk memperjelas ayat-ayat
Alqur’an yang belum jelas maknanya, atau membuat
hukum yang tidak terdapat dalam Alquran. Oleh karena itu
hadits atau sunnah Nabi SAW mempunyai kedudukan
yang penting sebagai sumber ajaran Islam, selain Alqur’an.
• Proses penulisan sunnah atau hadits Rasulullah berlangsung
setelah Nabi SAW wafat hingga 200 tahun setelahnya. Dalam rentang
waktu yang panjang itu, kemungkinan terjadi pemalsuan dan
perubahan yang sangat besar, serta bisa menimbulkan berbagai hal
yang dapat menjadikan para periwayat hadits menyalahi apa yang
sebenarnya berasal dari Nabi SAW. Oleh karena itu, muncullah ilmu
yang berkaitan dengan hadits atau biasa disebut dengan istilah ‘Ulumul
Hadits.

• Dari berbagai macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadits,


terdapat satu cabang ilmu yang membahas tentang keadaan perawi
dari segi celaan dan pujian, yaitu diberinama Ilmu al-Jarh wa
Ta’dil. Dari ilmu ini, kita dapat mengetahui komentar-komentar para
pengkritik hadits tentang keadaan setiap perawi, apakah diterima
(maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantinya bisa ditentukan
status dan derajat hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut.
• Seandainya ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil ini tidak dipelajari dengan
serius, maka paling tidak, akan memunculkan penilaian bahwa
seluruh orang yang meriwayatkan hadits itu dinilai sama. Padahal,
perjalanan hadits sejak Rasulullah SAW sampai kepada periode
pembukuan hadits telah mengalami perjalanan yang begitu panjang
dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu.
• Setelah Rasulullah SAW wafat, kemurnian sebuah hadits perlu
mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian
atau pergolakan di bidang politik, ekonomi dan masalah-masalah lain
yang banyak mereka kaitkan dengan hadits. Akibatnya, mereka
meriwayatkan suatu hadits yang disandarkan kepada Rasulullah
SAW, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka
buat untuk kepentingan golongannya. Jika tidak mengetahui benar
atau salah sebuah riwayat, maka kita akan mencampuradukkan
antara hadits yang benar-benar dari Rasulullah SAW dan hadits yang
palsu (maudhu’).
•  
Definisi Ilmu Al-Jarh wa Ta’dil

• Secara etimologi, kata jarh berasal dari bahasa


Arab, merupakan masdar dari kata jaraha-
yajrahu-jarhan (‫رحا‬.‫ج‬ – ‫جرح‬..‫ي‬ – ‫رح‬$‫)ج‬ yang
berati “melukai”. Keadaan luka dalam hal ini
dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka
terkena senjata tajam, ataupun berkaitan dengan
non fisik, misalnya luka hati karena kata-kata
kasar yang dilontarkan oleh seseorang. Apabila
kata jaraha (‫رح‬$‫ )ج‬dipakai oleh hakim pengadilan
yang ditujukan kepada masalah kesaksian, maka
kata tersebut mempunyai arti “menggugurkan
keabsahan saksi”.
• Sementara menurut istilah ilmu hadits, kata al-
jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi periwayat
yang tidak adil, atau yang buruk di bidang hafalannya
dan kecermatannya, yang keadaan itu menyebabkan
gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan
oleh periwayat tersebut. Sebagian ulama
menyamakan penggunaan kata al-jarh dan tajrih;
dan sebagian ulama lagi membedakan penggunaan
kedua kata itu. Mereka yang membedakan beralasan
bahwa kata al-jarh berkonotasi tidak mencari-cari
ketercelaan seseorang; namun ketercelaan memang
telah tampak pada diri seseorang itu. Sedangkan at-
tajrih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan
mengungkap sifat-sifat tercela seseorang.
• Adapun kata at-ta’dil, asal katanya adalah masdar dari
kata kerja ‘addala-yu’addilu-ta’dilan (‫ديال‬.‫ع‬...‫ت‬ – ‫ ّدل‬.‫ع‬..‫ي‬ – ‫ ّدل‬$‫)ع‬,
artinya mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh
seseorang. Menurut istilah ilmu hadits, kata at-
ta’dil mempunyai arti mengungkap sifat-sifat bersih
yang ada pada periwayat, sehingga dengan demikian
tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan
karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima.
• Pakar Ulumul Hadits menyebutkan bahwa Ilmu Jarh wa Ta’dil:
. ‫هو العلم الذي يبحث في احوال الرواة من حيث قبول روايتهم او ردها‬
• Yaitu suatu ilmu yang membahas hal ihwal para perawi
dari aspek diterima atau ditolak periwayatannya.
Tujuan Pokok Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil

• Adapun tujuan pokok dalam mempelajari al-jarh


wa ta’dil adalah sebagai berikut:
• 1.   Untuk menghukumi/mengetahui status perawi
hadits
• 2.   Untuk mengetahui kedudukan hadits /
martabat hadits, karena tidak mungkin mengetahui
status suatu hadits tanpa mengetahui kaidah
ilmu al-jarh wa ta’dil
• 3.   Mengetahui syarat-syarat perawi
yang maqbul. Bagaimana keadilannya, ke-dlabitan-
nya serta perkara yang berkaitan dengannya.
• 
Tingkatan lafazh ta’dil

•Terdapat beberapat tingkatan dalam lafazh Ta’dil, dan secara


berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada
yang terendah, yaitu dengan menggunakan lafal-lafal sebagai
berikut.

,ِ َّ‫لن‬$$‫بط ا‬$$‫ أ ض‬,‫لنَّاس‬$$‫قا‬$$$‫أو ث‬


ِ $ َ‫ ن‬$ُ‫ه‬$ َ‫يسل‬$$‫اس ل‬
• Pertama,  ‫ظ ْي ٌر‬
•(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan
baginya),

•Kedua,  $ِ ‫ َأ ْو َعْن ِم ْثلِه‬$ُ‫ل َع ْنه‬$$‫ْأ‬ ٌ َ $$$‫ُف‬


َ ‫الن‬
ُ ‫س‬$$‫ َي‬$‫ال‬
•(si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan
lagi keadilannya),

•Ketiga, ٌ‫حفِظ‬
َ ‫َ ٌة‬$‫ق‬$$$‫ِث‬ ‫ن‬, ٌ ‫َ ٌة َمْأ ُم ْو‬$‫ق‬$$$‫ ِث‬,‫َ ٌة‬$‫ق‬$$$‫قَ ٌة ِث‬$$$‫ِث‬
•(terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi
mempunyai kekuatan hafalan yang baik)
‫ابطثبت‬$$‫دلض‬$‫ع‬
•Keempat, ,  ,‫افظ‬$‫دلح‬$‫ ع‬,$‫مام‬$‫ إ‬,‫ن حجة‬, ‫متق‬
(kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)

•Kelima, , ‫صدو‬$$‫ق‬ $‫ه‬$$$‫أسب‬$$$‫ ب‬$‫ن ال‬, ‫مأمو‬


(benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya
menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke-
dabitannya.
• 

•Keenam, $$$‫هللا‬ ‫اء‬$$‫نش‬$‫دوقإ‬$$‫ ص‬,‫ويلح‬$$‫ب ص‬$


, ‫لصوا‬$$‫بعيد منا‬$$$‫يسب‬$$‫ ل‬,‫خ‬$‫ي‬$ ‫ش‬
(syeikh, tidak jauh dari benar, agak baik, semoga benar). Lafal-
lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati
jarh.
•Para ulama Hadits menyatakan
keshahihan sanad dengan empat
pertama dari tingkatan lafal ta’dil di
atas. Sementara untuk tingkatan kelima
dan keenam yang tidak menunjukkan
kedabitan seorang perawi, baru dapat
diterima Hadisnya apabila
ada sanad lain sebagai penguatnya.
Tingkatan lafadz al-Jarh.

• Berikut ini disebutkan secara berurutan


tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling
berat jarh-nya, sampai kepada yang paling
ringan jarh-nya.
• Pertama, menggunakan lafadz yang menunjukan
kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya
dengan kata-kata:‫كذب‬
  ‫ل‬$$‫ركنا‬  ،‫لناس‬$$‫كذبا‬$‫أ‬ 
• (Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal
yang dipergunakan pada peringkat ini
menunjukkan jarh yang bersangatan.
• Kedua, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa
perawi memang sering berdusta namun tidak separah
tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: ‫ب‬$
, ‫ذا‬$‫ك‬
‫وضاع‬ (pendusta, pengada-ada)  meskipun lafal yang
dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah),
tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
•  
• Ketiga, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa
perawi dituduh berdusta. Lafadz yang digunakan misalnya:

َ ‫ لَي‬,ٌ‫ ُم ْتر ُْوك‬,‫ك‬


• ‫ْس‬ َ ‫ق ْال َح ِدي‬
ٌ ِ‫ هَال‬,‫ْث‬ ِ ‫ يَس‬,‫ ُمتَّهَ ٌم بِ ْال َوضْ ِع‬,‫ب‬
ُ ‫ْر‬ ِ ‫ُمتَّهَ ٌم بِ ْال َك ِذ‬
‫بِثِقَ ٍة‬
• (tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis,
celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat).
• Keempat, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa
hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:

• ُ‫ الَ يُ ْكتَبُ َح ِد ْيثُه‬,‫ْس بِ َش ْي ٍء‬


َ ‫ لَي‬,‫ْف ِج ًّدا‬ َ ,ُ‫ طُ ِر َح َح ِد ْيثُه‬,ُ‫ُر َّد َح ِد ْيثُه‬
ٌ ‫ض ِعي‬
• (ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak
ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
 
• Kelima, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa
perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak
yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:

ُ‫ ُمضْ طَّ ِرب‬  ‫ْف‬ َ ،ُ‫ض َّعفُ ْوه‬


ٌ ‫ض ِعي‬ ِ ‫ْال َح ِد ْي‬
َ ،‫ الَيُحْ تَ ُج بِ ِه‬،‫ث‬
• (goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama
hadis melemahkannya, dia lemah).
 
• Keenam, mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan
perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan
misalnya:

• ‫ أوثق منه‬,‫ فيه ضعيف‬،‫ ليس بحجة‬,‫ فيه مقا ل‬,‫ ليس بذلك القوي‬ 
• (tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak
termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari
padanya).

• Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya


memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang
memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada
hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah
karena tingkat kedaifannya adalah ringan.
     
• Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan
pekerjaan yang rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan
para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits,
maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang
melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:
1.Haruslah orang tersebut ‘âlim (berilmu
pengetahuan),
2.Bertaqwa,
3.Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan
maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan
makruhat-makruhat),
4.Jujur,
5.Belum pernah dijarh,
6.Menjauhi fanatik golongan,
7.Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan
dan untuk men-tajrihkan.
• Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak
terpenuhi maka periwayatan tidak diterima.
• Demikian pertemuan kita hari ini, semoga
kamu dapat memahaminya dan menambah
wawasan tentangnya dengan membaca dan
mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan
mata kulian ini.
• Demikian, Assalamu alaikum wr. wb.

Anda mungkin juga menyukai