Anda di halaman 1dari 7

Pengertian Moderasi Beragama

 Bahasa Latin moderâtio = kesedangan (tidak kelebihan dan tidak


kekurangan)
 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yakni
1) pengurangan kekerasan, dan
2) penghindaran keekstreman.
 Bahasa inggris sebagai Islamic Moderation.

Moderasi Islam adalah sebuah pandangan atau sikap yang selalu berusaha mengambil
posisi tengah dari dua sikap yang berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu
dari kedua sikap yang dimaksud tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap
seseorang.
Sementara dalam bahasa Arab, kata moderasi biasa diistilahkan dengan washat atau
washatiyah; orangnya disebut wasit.
1) Penengah, pengantara (misalnya dalam perdagangan, bisnis, dan sebagainya),
2) Pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih, dan
3) Pemimpin di pertandingan.
menurut pakar bahasa arab, kata tersebut merupakan “segala yang baik sesuai
objeknya”. Dalam sebuah ungkapan bahasa Arab disebutkan ‫مجاوز لخذ االعتدال‬
(sebaik-baik segala sesuatu adalah yang berada di tengah-tengah)

Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa Inggris, moderation, yang artinya
adalah sikap sedang atau sikap tidak berlebihan. Jika dikatakan orang itu bersikap
moderat berarti ia wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrim. Misalnya dermawan
yaitu sikap di antara kikir dan boros, pemberani yaitu sikap di antara penakut dan
nekat, dan lain-lain
Konsep washathiyyah dalam beberapa literatur keislaman ditafsirkan secara
be– ragam oleh para ahli. Menurut al-Salabi kata wasathiyyah memiliki banyak arti.
Pertama, dari akar kata wasth, berupa dharaf, yang berarti baina (antara). Kedua, dari
akar kata wasatha, yang mengandung banyak arti, di antaranya: (1) berupa isim (kata
benda) yang mengandung pengertian antara dua ujung; (2) berupa sifat yang
bermakna (khiyar) terpilih, terutama, terbaik; (3) wasath yang bermakna al-‘adl atau
adil; (4) wasath juga bisa bermakna sesuatu yang berada di antara yang baik (jayyid)
dan yang buruk (radi’).
Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang
antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik
beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan
tengah dalam praktik beragama ini niscaya akan menghindarkan kita dari sikap
ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Seperti telah
diisyaratkan sebelumnya, moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua
kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultra-konservatif atau ekstrem kanan di satu
sisi, dan liberal atau ekstrem kiri di sisi lain.
Moderasi beragama adalah kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di
tingkat lokal, nasional, maupun global. Pilihan pada moderasi dengan menolak
ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi
terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masing-
masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima
perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat
multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan,
melainkan keharusan.

1. Islam Agama Moderat dan Toleran


Secara umum ajaran Islam bercirikan moderat (washat) dalam aqidah, ibadah,
akhlaq, dan muamalah.ciri ini disebut dalam Al-Qur’an sebagai as shiratal mustaqim
(jalan lurus/kebenaran) yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al
maghduub alaihim) dan yang sesat (adh-dhaalin) karena mereka melakukan banyak
penyimpangan. Kelompok orang yang dimurkai tersebut dipahami sebagai kelompok
Yahudi karena mereka telah menyimpang dari jalan lurus dengan membunuh para
nabi dan berlebihan dalam mengharamkan sebala sesuatu. Sedangkan orang yang
sesat dipahami sebagai kelompok Nasrani karena mereka berlebohan sampai
memperyuhankan nabi. Islam berada di tengah di antara sikap yang berlebihan itu,
sehingga dalam al-Quran diberi sifat sebagai ummatan washatan sebagaimana firman
Allah swt dalam QS al-Baqarah ayat 143:
ۤ َ ِ‫َو َك ٰذل‬
‫ا‬FF‫ ِه ْيدًا ۗ َو َم‬F‫وْ ُل َعلَ ْي ُك ْم َش‬F‫َّس‬
ُ ‫وْ نَ الر‬FF‫اس َويَ ُك‬ ِ َّ‫هَدَا َء َعلَى الن‬F‫ ُش‬F‫وْ ا‬FFُ‫ك َج َع ْل ٰن ُك ْم اُ َّمةً َّو َسطًا لِّتَ ُكوْ ن‬
ْ ‫ان‬FF‫ ۗ ِه َواِ ْن َك‬F‫وْ َل ِم َّم ْن يَّ ْنقَلِبُ ع َٰلى َعقِبَ ْي‬F‫َّس‬
‫َت‬ ُ ‫ ُع الر‬Fِ‫َج َع ْلنَا ْالقِ ْبلَةَ الَّتِ ْي ُك ْنتَ َعلَ ْيهَٓا اِاَّل لِنَ ْعلَ َم َم ْن يَّتَّب‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
‫َّح ْي ٌم‬
ِ ‫فر‬ ٌ ْ‫اس لَ َرءُو‬ ِ ُ‫لَ َكبِ ْي َرةً اِاَّل َعلَى الَّ ِذ ْينَ هَدَى ُ ۗ َو َما َكانَ ُ لِي‬
ِ َّ‫م ۗ اِ َّن َ بِالن‬Fْ ‫ض ْي َع اِ ْي َمانَ ُك‬
Artinya: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat)
kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan
kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk
oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh,
Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia

Dalam sebuah Hadis Nabi saw, ummatan washatan ditafsirkan dengan


ummatan udulan, jamak dari kata ‘adl yang berarti umat yang adil dan proporsional.
Karena umat Islam adalam umat yang adil, maka di tempat yang lain dalam Al-Quran
mereka disebut dengan khaira ummah, umat terbaik, seperti dalam QS Ali Imran (3)
ayat 110.
‫ ُل‬F‫ن َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َوتُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ ۗ َولَوْ ٰا َمنَ اَ ْه‬Fَ ْ‫ف َوتَ ْنهَو‬ ِ ْ‫اس تَْأ ُمرُوْ نَ بِ ْال َم ْعرُو‬ ِ َّ‫ت لِلن‬ ْ ‫ُك ْنتُ ْم َخ ْي َر اُ َّم ٍة اُ ْخ ِر َج‬
َ‫ن َواَ ْكثَ ُرهُ ُم ْال ٰف ِسقُوْ ن‬Fَ ْ‫ب لَ َكانَ خَ ْيرًا لَّهُ ْم ۗ ِم ْنهُ ُم ْال ُمْؤ ِمنُو‬ ِ ‫ْال ِك ٰت‬
Artinya: Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan
mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara
mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-
orang fasik.
Keterkaitan ini mengesankan bahwa sikap moderat adalah yang terbaik, sebaliknya
sikap yang berlebihan (al-ghuluw) terutama dalam keberagamaan menjadi tercela.
Sikap berlebihan dalam beragama ini menjadi penyebab rusaknya umat terdahulu
sebagaimana sabda Rasulullah saw saw yang berbunyi: “Jauhilah olehmu sikap
berlebihan dalam beragama, sesungguhnya sikap berlebihan telah membinasakan
umat sebelum kalian” (HR Ibnu Majah),
Sikap berlebihan dalam beragama ini seperti diungkapkakan oleh al-
Qaradhawi biasanya diikuti oleh sikap-sikap sebagai berikut:
a. Fanatisme terhadap satu pemahaman dan sulit menerima pandangan yang
berbeda
b. Pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti pandangan tertentu yang
biasanya sangat ketat dan keras
c. Suudzon (negative thinking) terhadap orang lain karena menganggap dirinya
yang paling benar
d. Menganggap orang lain yang tidak sepaham sebagai telah kafir sehingga halal
darahnya.
Sikap seperti ini bukan saja telah menjauhkan mereka dari sesama muslim dan
non muslim, bahkan juga menjauhkan mereka dari ajaran Islam itu sendiri yang
ajarannya sangat moderat dan toleran, terutama terhadap mereka yang berbeda, baik
keyakinan maupun pandangan keagamaan.
Adapun prinsip-prinsip moderasi beragama dalam Islam adalah sebagai
beikut:
a. Keadilan (‘Adalah). Kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini
pada mulanya berarti “sama”. Persamaaan tersebut sering dikaitkan dengan
hal-hal yang bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
“adil” diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada
kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang. ‘Persamaan” yang
merupakan makna asal kata “adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak
berpihak”, dan pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada yang
benar” karena baik yang benar ataupun yang salah sama-sama harus
memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut”
lagi “tidak sewenang-wenang.” Makna al-‘adl dalam beberapa tafsir, antan
lain: Menurut At-Tabari, al-‘adl adalah: Sesungguhnya Allah memerintahkan
tentang hal ini dan telah diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan adil,
yaitu al-insaf.
b. Keseimbangan (Tawazun). Tawazun atau seimbang dalam segala hal,
terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran
rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Alquran dan Hadis). Menyerasikan
sikap khidmat kepada Alloh swt dan khidmat kepada sesama manusia.
Prinsip moderasi di sini diwujudkan dalam bentuk kesimbangan positif dalam
semua segi baik segi keyakinan maupun praktik, baik materi ataupun
maknawi, keseimbangan duniwai ataupun ukhrawi, dan sebagainya. Islam
menyeimbangkan peranan wahyu Ilahi dengan akal manusia dan memberikan
ruang sendiri-sendiri bagi wahyu dan akal. Dalam kehidupan pribadi, Islam
mendorong terciptanya kesimbangan antara ruh dengan akal, antara akal
dengan hati, antara hak dengan kewajiban, dan lain sebagainya.
c. Toleransi (Tasamuh). Dalam kebahasan, tentunya bahasa Arab bahwa
tasamuh adalah yang paling umum digunakan dewasa ini untuk arti toleran.
Tasamuh berakar dari kata samhan yang memiliki arti mudah. kemudahan
atau memudahkan, Mu’jam Maqayis Al-Lughat menyebut bahwa kata
tasamuh secara harfiah berasal dari kata samhan yang memiliki arti
kemudahan dan memudahkan. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia
memaknai kata toleran sebagai berikut: bersifat atau bersikap menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya.) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri. Tolerasi hanya bisa diterapakan pada
ranah sosialis, upaya-upaya membangun toleransi melalui aspek teologis,
seperti doa dan ibadah bersama, adalah gagasan yang sudah muncul sejak era
jahiliah dan sejak itu pula telah ditolak oleh Alquran melalui surat Al-Kafirun.
Sementara itu menurut al-Qaradhawi, sikap hidup moderat dalam beragama
itu bercirikan antara lain:
a. Memahami agama secara menyeluruh (komprehensif), seimbang (tawazun)
dan mendalam.
b. Memahami realitas kehidupan secara baik.
c. Memahami prinsip-prinsip syariat (maqashid asy-syariah) dan tidak
jumud/mandeg pada tataran lahir.
d. Memahami etika berbeda pendapat dengan kelompok-kelompok lain yang
seagama, bahkan yang luar agama, dengan senantiasa mengedepankan kerja
sama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran terhadap hal-hal
yang diperselisihkan.
e. Menggabungkan antara yang lama (al-ashalah) dan yang baru (al-mu’asarah)
f. Menjaga keseimbangan antara yang tsawabit (konsep yang tetap) dan
mughayyirat (konsep yang bisa berubah karena tempat dan waktu)
g. Menampilkan norma-norma sosial dan politik dalam Islam, seperti prinsip
kebebasan, keadilan sosial, syura dan hak asasi manusia.

A. PERILAKU YANG MENCERMINKAN KERUKUNAN


perilaku-perikaku positif dalam berinteraksi dengan sesama manusia
1. Menjaga kebersamaan dan tali silaturahmi
2. Bersikap rendah hati terhadap sesama
3. Mengakui dan menghormati setiap perbedaan yang ada di sekitar kita
4. Menjaga perasaan orang lain agar tidak tersakiti atas apa yang kita
ucapkan dan lakukan
5. Memaafkan orang yang melakukan kesalahan kepada kita

Anda mungkin juga menyukai