Anda di halaman 1dari 20

Nama : Hunafa Ulfitriyah

NIM : 21200110000020
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Majid Khan, M.Ag
Dr. Romlah Abu Bakar Askar, M.A

MATA KULIAH; STUDI HADITS


Pola Penugasan:
Bagaimana anda menilai keadilan dan kedhabithan perawi Hadis yang anda takhrij dalam al-
Jarh dan Ta`dil?

A. Pengertian Jarh Wa Ta’dil


Tajrih atau jarah dalam pengertian bahasa, “Melukai tubuh ataupun yang
lain dengan menggunakan benda tajam, pisau, pedang, dan sebagainya.”. Luka
yang disebabkan kena pisau dan sebagainya dinamakan jurh. Dan diartikan
pula jarah dengan: memaki dan menistai, baik dimuka atau dibelakang.
Dalam perkembangan ilmu hadis, para ulama mengkalisifikasikan ilmu ini
menjadi dua cabang, yaitu ilmu dirayah dan ilmu riwayah. Khusus untuk
mengetahui perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi maka kajiannya
termasuk dalam bidang ilmu Rijal al-Hadis.1
Dalam pembahasan lebih lanjut, dari cabang ilmu ini muncul ilmu al-Jarh
wa al-Ta’dil dan ilmu Tarikh al-Ruwah,2 yaitu ilmu-ilmu yang membahas
tentang kredibilitasnya, integritas pribadi dan kapasitas intelektual para perawi
serta sejarah hidup (biografi)nya yang berkaitan dengan usaha mereka dalam
meriwayatkan hadis.
Kata al-Jarh secara harfiah berarti cacat atau luka (melukaitubuh atau
lainnya dengan benda tajam).Selain itu juga berarti memakaiatau menista atau
menjelek-jelekan (baik secara berhadapan langsungmaupun dari
belakang).3Menurut terminologi kata al-Jarhmengandung makna jelas sifat-
sifat yang merusak keadilan seorangperawi atau menodai hafalan dan
kedhabitannya yang gilirannya

1
Subhi al-Shaleh, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, Dar „ilm alMalayin, Beirut, 1988, hlm. 110.
2
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuh wa Musthalahuh, Dar al-Fikr, Beirut, 1989,
hlm. 253.
3
Louis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam, Dar al-Fikr, Beirut, 1987, hlm. 86.
menggugurkan riwayatnya atau melemahkannya atau membuatnyatertolak. 4
Makna al-Jarh yang lain yaitu mensifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang
menyebabkan lemah atau ditolaknya hadis yang riwayatkannya. 5
Dr. Shubhi Ash-Shalih memberikan definisi „Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta‟dil,
yaitu berikut: Adakah ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa
yang datang dari keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka atau yang
memuji mereka dengan menggunakan kata-kata khusus. Jadi, ilmu ini
membahas tentang nilai cacat (al-jarh) atau adilnya (at-ta‟dil) seorang perawi
dengan menggunakan ungkapan kata-kata tertentu da memiliki hierarki
tertentu.6
Menurut Nuruddin Atar, ilmu al-Jarh yaitu ilmu yang mempelajari cacat
para perawi seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Sedangkan lawanal-Jarh
adalah al-Ta’dil. Secara bahasa al-Ta’dil berarti al-taswiyah(menyamakan),
sedangkan menurut istilah berarti membersihkan danmensucikan perawi dan
menetapkan bahwa ia adil dan dhabit. Contoh kalimat yang dipakai untuk
menyatakan keadilan seseorang seperti :‫(فالْ ضاتع‬si anu adalah orang dhabit)

‫( فالْ أ ً ثً إٌاض‬si anu adalahorang yang paling terpercaya), atau‫( فالْ دجح‬si
anu dapat menjadi
hujjah).7
Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil yang dikenal juga dengan istilah ilmu Mizan al-
Rijal dalam literatur Barat sering disebut dengan istilah Diparaging and
Declaring Trutsworty,8 yang mengandung pengertian :

‫ُ تأٌفاظ‬ٍٙ‫ ٌز ّو‬ٚ‫ُ أ‬ّٕٙ‫ُ ِ ّّا ٌش‬ٙٔ‫سض فً شأ‬ٚ ‫اج ِٓ دٍث ِا‬ٚ‫عٍُ ٌثذث عٓ اٌش‬
‫صح‬ٛ‫ِخص‬

(Ilmu yang membahas tentang perawi, baik yang dapat mencacatkan(menodai)

4
Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., hlm. 260.
5
Muhammad Adib Shaleh, Lamhat fi Ushul al-Hadits, Maktab alIslamiy, Beirut, 1399 H, hlm. 326.
6
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 95.
7
Nur al-Din „Atar, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, Dar al-Fikr, 1979, hlm. 92.
8
GHA. Juynboll, Muslim Tradition, Studies in Cronology Preponance and Authorship of Early Hadith,
Canbridge University Press, New York, tt, hlm. 264.
ataupun yang membersihkan mereka dengan ungkapanlafadz-
lafadztertentu).”9

Tujuan ilmu ini mengetahui sifat atau nilai keadailan, kecacatan dan atau
ke-dhabith-an (kekuatan daya ingat) seorang perawi hadist. Jika sifatnya adil
dan dhabith maka hadistnya dapat di terima sebagai hadist yang shahih dan jika
cacat, tidak ada keadilan dan ke-dhabit-an maka hadistnya tertolak.10
Ibnu Adi (w. 365 H) dalam mukadimah Al-Kamil menjelaskan nilai
keadilan para ahli hadis sejak masa sahabat. Di antara sahabat yang
menyebutkan sifat dan keadaan para perawi hadist adalahIbu Abbas, Ubadah
bin Shamit, dan Anas bin Malik. Dan di antara tabi‟in adalah Asy-Sya‟bi, Ibnu
Sirin, dan Sa‟ad bin Al-Musayyab sedikit sekali di antara mereka yang
digolongkan cacat (tajrih) dalam keadilan. Pada abad kedua Hijriyah, mulailah
terdapat para perawi yang dhaif. Pada masa tabi‟in yaitu sekitar tahun 150 H,
bangkitlah para ulama untuk mengungkapkan para perawi yang adil (ta‟dil) dan
cacat (tajrih) di antara mereka adalah Yahya bin Sa‟id Al-Qathan dan
Abdurrahman Al-Mahdi.11
Ilmu jarh wa al-ta‟dil ini digunakan untuk menetapkan apakah periwayatan
seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila
seorang rawi‟ dijarh‟ oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatan
harus ditolak.Sebaliknya, bila dipuji maka hadistnya bisa diterima selama
syarat-syarat yang lain dipenuhi.12
Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang
dilakukannya, biasanya dikategorikan ke dalam lingkup perbuatan: bid‟ah,
yakni melakukan tindakan tercela atau di luar ketentuan syari‟ah: mukhafalah,
yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah; ghalath, yakni
banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadist. jahalat al hal, yakni
tidak diketahui identirasnya secara jelas dan lengkap. Dan da „wat al-inqitha;
yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.

9
Abd al-Maujud, al-Jarh wa al-Ta’dil, Dar al-Salafiyah, Kairo, 1988, hlm.17.
10
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 95.
11
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 96.
12
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm. 32.
Adapun informasi jarh dan ta‟dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui
dua jalan, yaitu:13
a. Popularitas para rawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal
sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai „aib. Bagi yang sudah
terkenal di kalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu
lagi diperbincangkan keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal
dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b. Berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang
rawi yang adil menta‟dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal
keadilannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang
gelar adil dan periwayatnnya bisa diterima. Begitu juga dengan rawi yang di-
tarjih. Bila seorang rawi yang adil telah mentajrihnya maka periwayatannya
menjadi tidak bisa diterima.
Sementara orang yang melakukan ta‟dil dan tarjih harus memenuhi syarat,
sebagai berikut: berilmu pengetahuan, taqwa, wara‟, jujur, menjauhi sifat
fanatic terhadap golongan dan mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta‟dil
ini.14

Kaidah men-jarh Merupakan syarat yang harus dimiliki oleh seorang


mujarri yang merupakan syarat-syarat yang harus ada dalam Jarh-nya itu
sendiri lafal-lafal jarh dan maratib- serta ketentuan hukum Hadits yang ada ada
pada tiap-tiap martabat yang ditempatinya maksud kaidah me-ta‟dil Rawi
adalah kaidah yang berkaitan dengan syarat-syarat Mu‟addil, syarat-syarat
ta‟dil lafal lafal ta'dil beserta muratibnya, berdasarkan martabat ta‟dil yang
ditempatinya

Selain itu termasuk pada kaidah Jarh wa ta'dil ini adalah kaidah yang
berkaitan dengan ta'arudhnya ucapan seorang imam yang satu itu sendiri.

Sebagai bandingan, Di bawah ini ini dikemukakan pengertian Jar wa ta'dil


lainnya, sebagai berikut15:

a. Ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk men-jarh.

13
Ibid., hlm. 33.
14
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm. 33.
15
Abdurrahma da Ela Sumara, Metode Kritik Hadist, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 58.
b. Jarh ialah menyipati seorang Rawi dengan merendahkan periwayatannya,
Atau mendhaifkannya, menolaknya. sedangkan takdir, maksudnya
menyifati Rawi dengan menerima periwayatannya.
c. Ilmu yang menerangkan tentang hal catatan-catatan yang dihadapkan
kepada para Rawi dan tentang pen-ta‟dilannya dengan memakai kata-kata
yang khusus dan tentang martabat martabat dari kata-kata itu.

Dari pengertian di atas, jelaslah kiranya, bahwa seorang Rawi tak akan
luput dari catatan catatan prestasi akademik dan dan moral nya dalam sejarah
sehingga dapat dipertimbangkan diterima atau ditolak riwayatnya.

Dalam kerangka jarh wa ta'dil, maka para perawi Hadis adalah mereka
yang memiliki persyaratan berikut16:

a) Islam
Persyaratan utama bagi orang yang meriwayatkan hadits harus seorang
muslim. riwayat orang kafir tidak boleh diterima karena orang kafir akan
tetap berdaya upaya menipu kaum muslimin dan membohonginya dengan
berbagai macam cara dan usaha. sungguh banyak ayat Alquran dan ia
memperingatkan umat Islam mengenai keadaan hati orang kafir antara lain
sebagai berikut. Alquran surah Albaqarah ayat 120
b) Balig
Orang yang meriwayatkan hadis disaratkan dewasa karena dengan
kedewasaan ini seseorang akan mendapat taklif, tuntutan. orang yang sudah
dewasa akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang perkataan dan
perbuatannya. diambil dari hadis rasulullah yang artinya akan diangkat
pena dari tiga hal: orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia
balig dan orang gila sampai ia sembuh.
c) Adil
Dimaksud dengan adil ialah sifat yang dimiliki orang yang meriwayatkan
hadis itu selalu mendorong untuk berbuat Taqwa secara terus menerus
selalu terpelihara kehormatan pribadinya.dengan sifat ini ia akan menjadi
terpercaya. orang adil akan selalu menjauhi segala macam dosa baik dosa

16
Abdurrahma da Ela Sumara, Op.Cit, hlm. 59-61.
besar maupun dosa kecil bahkan akan memiliki sifat muru'ah yang tinggi
seseorang akan terpelihara dirinya dari perbuatan yang Menurut ketentuan
agama boleh dilakukan, tetapi perbuatan ini bila dilakukan kan oleh orang-
orang tertentu dalam hal ini orang yang meriwayatkan hadits akan
menyebabkan keajaiban seperti minum sambil berdiri atau sambil berjalan.
d) Dhabit
Ialah kuat hafalan dan daya tangkapnya ketika belajar habis dan dapat
memelihara dalam bentuk tulisan bila diperlukan.sawi dinyatakan memiliki
sifat ini bila ia dapat belajar menerima hadis dengan baik dan dapat
menyampaikan sebagaimana Ia menerimanya. ahli hadis membagi dhabit
ini pada dua bagian, yaitu dlabth kitab (terpelihara tulisannya) dan dlabth
shard (terpelihara hafalan)

Imam Malik menyatakan kan sebagai berikut; “Tidak boleh diterima Ilmu aku
(hadist) Dari empat kelompok orang dan mudah diterima dari selainnya). 17
a) Jangan diterima ilmu dari orang yang diketahui kebodohannya, padahal Ia
meriwayatkan hadis,
b) Jangan diterima dari orang Pendusta, sekalipun ia tak berkeinginan berdosa
kepada Rasulullah SAW
c) Tidak diterima pula dari pelaku hawa nafsu yang ia mengajak kepada
hawa nafsunya
d) Tidak diterima pula dari seorang Syekh yang walaupun ia seorang ahli
ibadah yang memiliki keutamaan Jika ia tak mengetahui dan memahami
apa yang diriwayatkannya.

Menurut Ibnu Katsir hadis bisa diterima bila diriwayatkan oleh orang yang
mempunyai sifat berikut: 18

“Tsiqat” serta Dabit ketika meriwayatkan hadis Muslim serta berakal dan
baligh serta selamat dari sebab-sebab yang menimbulkan kefasikan dan
tercelanya Muru‟ah.dengan demikian ia dituntut sadar, tidak lalai serta hafal
ketika ia menyampaikan hafalannya dan ia faham atas makna dari hadis yang
disampaikannya.

17
Abdurrahma da Ela Sumara, Op.Cit,, hlm. 61.
18
Abdurrahma da Ela Sumara ,Ibid., hlm. 62.
Ilmu al-Jarh wa al-ta‟dil ini muncul bersamaan dengan munculnya
periwayatan hadis, karena untuk mengetahui hadist shahih harus didahului
dengan mengetahui periwayaran, mengetahui pendapat krikitus periwayatan
tentang jujur tidaknya periwayatan sehingga memungkinkan dapat
membedakan hadist yang dapat diterima dan ditolak. Karena itu, para ulama
hadistmengkaji tentang para periwayatan hadist, mengikuti kehidupan ilmiah
mereka, mengetahui seluruh hal ihwal mereka, menelaaah dengan cermat
sehingga diketahui para periwayatan yang sangat kuat hafalannya, yang
dhabith, yang lebih lama berguru pada seseorang, dan sebagainya.19

Dalam melakukan al-jarh dan al-ta‟dil, para ulama hadist menempuh beberapa
metode berikut:20
1) Bersikap amanah dan menjelaskan para periwayatan apa adanya,
2) Bersifat mendetail dalam mengkaji dan menghukumi keberadaan periwayatan
3) Menerapkan etika dalam melakukan penilaian negative (men-tajrih)
4) Dalam men-ta‟dil dilakukan secara global dan dalam men-tajrih dilakukan
secara terperinci.

B. Latar Belakang Terjadinya


Menurut T.M. Hasbi As-Shiddiqie21, Sekurang- kurangnya ada tujuh
periode perkembangan hadis, yaitu:

1. Masa turun wahyu; masa ini selama 23 tahun, yaitu tahun kedelapan
sebelum Hijriah sampai tahun kesebelas Hijriah. Masa ini masa
pembentukkan Tasyri Islami ( Hukum Islam ), yaitu sejak awal kenabian
sampai beliau wafat.
2. Masa Khulafaur Rasyidin; lamanya 29 tahun, yaitu tahun kesebelas Hijriah
sampai tahun empat puluh Hijriah. masa ini terkenal dengan masa
pembatasan dan penyidikitan riwayat.
3. Masa perkembangan riwayat dan perlawanan ke kota-kota untuk memberi
hadis. masa ini lamanya enam puluh tahun, yaitu mulai tahun empat puluh
Hijriah sampai tahun seratus Hijriah.

19
Idri, Studi Hadist, (Jakarta: Kecana, 2010), hlm. 71.
20
Ibid.
21
T.M Hasbi As-Shiddiqie, Pkok-Pokok Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967) hlm. 22.
4. Masa pembukuan hadis, yaitu dari permulaan abad ke dua Hijriah sampai
akhirnya, lamanya kurang lebih seratus tahun, yaitu dari tahun seratus
Hijriah sampai kurang lebih tahun dua ratus Hijriah
5. masa pen-tashih-an hadis, menyaringnya dan menafisnya, yaitu sejak abad
ketiga Hijriah sampai akhirnya. lamanya kurang lebih seratus tahun.
6. Masa menafis dan menyaring kitab-kitab hadis; lamanya kira-kira tiga
setengah abad, yaitu mulai abad ke-4 sampai tahun 656 Hijriyah.
7. massa membuat Syarah dan menyusun kitab kitab takhrij, mengumpulkan
hadis hukum dan menyusunnya dalam kitab kitab Jami; sejak tahun 656
Hijriyah sampai sekarang.

Masing-masing periode tersebut di atas mempunyai ciri khas sendiri-sendiri,


sebagaimana yang akan diterangkan dari ciri-ciri periode tersebut hanya dari
periode pertama sampai periode ke-3 karena pada periode itulah banyak faktor
yang melatarbelakangi perkembangan ilmu jarh wa ta'dil lebih-lebih pada
periode ketiga.

1. Masa turun Wahyu

Pada periode pertama hanya rasulullah yang menjadi pusat perhatian umat
Islam, baik mengenai lisan ataupun perbuatannya, Rasulullah menerangkan
dan meragakan hukum-hukum Islam kepada para sahabat waktu berada di
rumah di masjid, pada waktu hadir ( tidak berpergian), Safar atau di
tempat mana saja tatkala ada kesempatan.22

a. Al- Tadarruj fi al-ta‟lim ( pengajar secara bertahap)


b. Mayadinu ta‟lim ( Medan pengajaran)
c. Al-Tanwi‟wa al-taghyir ( variasi waktu)
d. Tathbiq al-‟ilmi ( penerapan ilmu)
e. Husn al-Tarbiyah wa al-Ta‟lim ( Keluwesan dalam mendidik dan
mengajar)
f. Muru‟ah al-mustawiah al-mukhtalifah ( memelihara kebersamaan dari
masyarakat yang heterogen)
g. Al-Taisir wa‟adam tasydid (memudahkan dan tidak bertindak kasar)

22
Abdurrahma da Ela Sumara, Metode Kritik Hadist, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 70.
h. Ta‟lim al-nisa (mengajar kaum perempuan)23

2. Masa Khulafaur Rasyidin

a. Masa Abu Bakar dan Umar


Sepeninggal Rasulullah para sahabat secara aklamasi memilih Abu
Bakar sebagai khalifah yang pertama; walaupun sebelumnya tampak
seperti ada perebutan kepemimpinan Anta Muhajirin dan Ansar. pada
masa beliau ini ini yang diutamakan dipelajari dan disebarluaskan
adalah Alquran; sedangkan mengena hadis tidak menjadi pengajaran
khusus sebagaimana Al-Qur‟an.
Hadis waktu itu hanya diketahui dan dipelajari oleh kalangan
tertentu, dan orang-orang yang mendalaminya sangat terbatas; dalam
hal ini pun baru diajarkan dan diketahui oleh para sahabat lain bila ada
keperluan. Abu Bakar melakukan hal ini dalam rangka menggalakkan
Al-Qur‟an sebagai pedoman tasyri yang pertama dan utama.Di samping
itu mengingat sabda Rasulullah yang menyuruh bertindak hati-hati
dalam meriwayatkan hadis, sebagaimana sabdanya, “Cukuplah
seseorang itu berdosa jika mengabarkan setiap apa yang didengarnya.”
Kebijaksanaan Abu Bakar ini dilanjutkan pula oleh khalifah kedua,
Umar bin Al-Khaththab. Dua Khalifah tersebut tidak menyebarluaskan
hadis, tidak lain agar Al-Qur‟an tetap menjadi sumber ajaran utama.
walaupun demikian, kedua khalifah itu menerima hadis dari sahabat
lain pada waktu-waktu tertentu. Namun, dalam menerima riwayatnya
disertai dengan beberapa persyaratan, sebagai contoh akan terungkap
dalam kasus-kasus berikut ini.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai Khalifah Abu Bakar selalu
menerima persyaratan tertentu dalam periwayatan hadis.persyaratan
yang dimintanya berupa penyaksian dari sahabat lain. umar selalu
meminta bayyinah (keterangan) dari orang lain yang meriwayatkan
hadis.24

23
M. Al-Ajjaj Al-Khatib, Ushul al-Hadist, (Beirut: Darul Fike, 1975), hlm. 57-66.
24
Abdurrahma da Ela Sumara, Op.Cit, hlm. 76-77.
b. Masa Utsman dan Ali bin Abi Thalib

Tatkala tampuk pemerintahan Dipegang oleh Utsman bin Affan dan


setelah wafatnya dilanjutkan oleh Ali Bin Abi Thalib, periwayatan
hadis tidak seketat kedua khalifah sebelumnya. Walaupun ada
diriwayatkan bahwa Ali pernah melakukan sumpah kepada ada
membawa hadits. Pada masa ini bepergian dari satu kota ke kota lain
dalam rangka saling tukar menukar pengetahuan dan mencari informasi
tentang hadis banyak dilakukan oleh sahabat dan tabiin besar, lebih-
lebih perlawatan yang dilakukan oleh sahabat kecil dan tabiin besar
yang berusaha mengumpulkan hadis dari sahabat besar.25

1. Masa perkembangan riwayat


Pada masa ketiga yaitu masa perkembangan riwayat dan perawatan ahli
hadis dari satu kota ke kota lain untuk mencari dan mengumpulkan hadits
melebihi masa-masa sebelumnya. dalam suatu riwayat, diterangkan bahwa
Abu Ayyub al-anshari dari Madinah pergi ke Mesir untuk menemui uqbah
bin Amir. perjalanannya ini dalam rangka meyakinkan sebuah hadis yang
menerangkan tentang balasan seseorang yang pernah menutupi kesulitan
saudaranya di dunia ini Allah akan menutupi kesulitannya pula di akhirat
kelak.26
Adapun kelompok yang mempertahankan eksistensinya dengan
mengatasnamakan Rasulullah atau menampilkan sama sekali keberadaan
hadis tertentu antara lain sebagai berikut:
Pertama, golongan pembela Ali bin Abi Tholib, yang kemudian
menamakan dirinya dengan golongan Syi'ah. Kedua, golongan Jumhur
yang sebenarnya banyak yang netral, tetapi mengikuti kemanapun dan
kepada pemerintah yang ada pada waktu itu tidak menentang secara terang-
terangan Golongan ini disebut ahli Sunnah Wal Jamaah. Ketiga, golongan
khawarij, yaitu golongan yang menentang kebijaksanaan Ali dan
muawiyah. Keempat, kelompok yang menanamkan dirinya kaum murji'ah
yang tidak menyetujui cara berpikir kawat yang mengkafirkan orang

25
Abdurrahma da Ela Sumara, Op.Cit, hlm. 78.
26
Abdurrahma da Ela Sumara ,Ibid., hlm. 79.
berdosa besar. Kelima, adalah kaum mu'tazilah yang menganggap kasih
kepada pelaku dosa besar.
Sebab-sebab orang membuat Hadits palsu, yang antara lain sebagai
berikut27:
1) Perbedaan pandangan politik
2) Kaum zindiq
3) Ta‟ashub kebangsaan, Kabila, bahasa, negara, dan Imam mazhab
4) Pendongeng dan orator
5) Perbedaan Fiqih dan kalam (teologi)
6) Orang yang mencintai kebaikan, tetapi tidak melengkapi dirinya dengan
pengetahuan agama.

C. Tingkatan al-Jarh dan Ta`dil


Berikut tingkatan lafal pe-tarih-a bagi Rawi, sebagai berikut28:

1. Menunjuk keterlaluan si Rawi dalam cacatnya. hal hal ini digambarkan


dengan shigat af‟al al-tafdhil atau ungkapan lain yang menunjuk arti
sejenis.
Contoh: ‫ضع إٌاس‬ٚ‫أ‬
2. Menunjuk sangat dalam kecacatannya. hal ini biasanya digambarkan dalam
shigat mubalaghah.
Contoh: ‫وزاب‬
3. Menunjuk pada tuduhan dusta dan lain sebagainya.
Contoh: ‫ُ تاٌىزاب‬ٙ‫فالْ ِت‬
4. Menunjuk pada sangat dalam cacatnya atau lemahnya.
Contoh: ‫ِطشح اٌذذٌث‬
5. Menunjuk pada lemah dan kacaunya hafalan Rawi.
Contoh: ‫ي‬ٛٙ‫فالْ ِج‬
6. Menunjuk kelemahan Rawi dengan sifat yang berdekatan dengan adil.
Contoh: ٗ‫ضعف دذٌث‬
Namun menurut Ibnu Abi Hatim, beliau membagi tingkat tajrih atas 4
tingkatan sebagai berikut29:

27
Abdurrahma da Ela Sumara, Op.Cit,, hlm. 80.
28
Abdurrahma da Ela Sumara, Ibid.,hlm. 152-153.
1. Hadisnya ditulis dan diperhatikan sebagai bahan hai jika berada pada
tingkat layyin al-hadits
2. Penulisannya berada pada tingkat pertama (dengan tidak di i‟tibari) jika
lafalnya laysa bi al-qawwi
3. Hadisnya tidak dibuang melainkan hanya sebagai bahan i‟tibar Jika
lafalnya dhaif al-hadist
4. Jika lafalnya matruk al-hadist, atau dzahib al-hadist atau kadzdzab maka
hadisya gugur dan tidak boleh ditulis.

Adapun tingkatan ta‟dil menurut Ibnu Hajar sebagai berikut30:


1. Segala sesuatu yang menggunakan martabat keadilan yang lebih tinggi. Hal
ini biasanya nya dengan menggunakan Af‟al mubalaghah.
Contoh: ‫عذاال‬ٚ ‫أثثت إٌاس دفضا‬
2. Memperkuat ke-tsiqat-an Rawi dengan mengulang-ulang lafal yang sama
atau semakna dengannya.
Contoh: ‫ثثت ثثت‬
3. Menunjuk keadilan dengan lafal yang mengandung arti kuat Ingatan.
Contoh: ‫ثثت‬
4. Menunjuk ke-tsiqat-an, tetapi dengan lafal yang tidak mengandung arti
tsiqat.
Contoh: ِْٛ‫ِأ‬
5. Menunjukkan kejujuran Rawi, tetapi tidak terpahamkan adanya
kedhabithan.
Contoh: ‫ِذٍٗ اٌصذق‬
6. Menunjukkan arti mendekati cacat, biasanya dengan menambahkan lafal “
Insya Allah”, atau dengan kan mentashgirkan, atau dengan
mengaitkannya pada suatu pengharapan.
Contoh: ‫ق إْ شاء هللا‬ٚ‫صذ‬

Sedangkan tingkatan ta'dil menurut Ibnu Abi Hatim sebagai berikut31:

1. Hadis yang bisa dipakai hujjah jika rawinya menduduki tingkat tsiqat atau
mutqin dan tsabt
29
Abdurrahma da Ela Sumara, Op.Cit, hlm. 153.
30
Abdurrahma da Ela Sumara, Ibid.,hlm. 158-159.
31
Abdurrahma da Ela Sumara, Metode Kritik Hadist, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 160.
2. Hadisnya boleh dituliskan, namun tetap harus diperhatikan jika tingkatan
rawinya shaduq, atau mahalluhu al-shidq, la ba‟sa bih
3. Hadisnya dituliskan dan diperhatikan jika tingkatan rawinya berada pada
tingkat syaikh. tingkat ini lebih rendah sedikit dari tingkat kedua.
Haditsnya Dituliskan untuk menjadi bahan i‟tibar jika tingkatannya Shalih al-
hadist

D. Lafaz-lafaz Untuk Menta’dil


1. Menggunakan lafadz af’al al-tafdhil
.ِٕٗ ‫ ال أثثت‬،‫ى فً اٌتثثٍت‬ٙ‫ق اٌثمح إٌٍٗ إٌّت‬ٛ‫ ف‬،‫ أثثت إٌاس‬،‫ثك إٌاس‬ٚ‫أ‬
2. Memperkuat ke-tsiqah-an perawi engan menyebutkan sifat-sifat yang
menunjukan keadilan dan kedhabithani-nya atau kalimat yangsemakna
dengannya seperti :
.ِْٛ‫ ثمح ِأ‬،‫ دافع دجح‬،‫ ثثت ثمح‬،‫ دجح دجح‬،‫ ثثت ثثت‬،‫ثمح ثمح‬
3. Menunjukan keadilan dengan lafaz yang mengandung arti kuat
seperti :
.‫ ضاتط‬،‫ دافع‬،‫ دجح‬،‫ ثثت‬،‫ثمح‬
4. Menunjukakan keadilan dan kedhabitan tetapi dengan lafaz yang
tidak kuat ingatan dan tsiqah, seperti :
.‫ خٍاس‬،ٗ‫ ال تأس ت‬،ِْٛ‫ ِأ‬،‫ق‬ٚ‫صذ‬
5. Menunjukakan kejujuran perawi, akan tetapi tidak dipastikan
kedhabithannya, seperti :
.‫صط شٍخ‬ٚ ،‫ ِماسب‬،‫ جٍذ اٌذذٌث‬،ٕٗ‫ع‬ٚ‫ سد‬،‫ ِذٍٗ اٌصذق‬،‫صاٌخ اٌذذٌث‬
6. Menunjukan arti yang mendekati cacat, tetapi diikuti dengan lafaz
insya Allah, atau kalimat yang semakna dengannya, seperti :
.‫ي‬ٛ‫ ِمث‬،ٗ‫ أْ ال تأس ت‬ٛ‫ أسج‬،‫ق إْ شاء هللا‬ٚ‫صذ‬
Dari ungkapan yang menunjukan keadilan seorang perawiseperti yang
tersebut di atas, dapat ditarik pengertian bahwa orangyang di anggap adil itu
disilustrasikan sebagai orang yang sangat dapatdipercaya, kuat hafalan, kuat
ingatan, berlakuk benr minimal nya dipercaya sebagai orang yang benar, sifat
adil pada seorang perawi ditunjukan oleh indikator-indikator sebagai berikut :
1. Popularitas seorang perawi dikalangan ulama hadis.
2. Penilaian bersifat kritikus hadis yang mengungkapkan kelebihandan
kekurangan yang terdapat pada diri perawi hadis secaraobjektif.
3. Penetapan kaedah al-jarh wa al Ta`dil yang ditempuh bila parakritikus
hadis tidak sepakat tentang para perawi tertetu.32
Konsep adil dalam istilah ilmu hadis mempunyai konotasi yang positif
terhadap integritas pribadi seorang perawi. Namun integritas pribadi itu meski
didukung oleh kapasitas yang intelektual yang sering di sebut denmgan istilah
dhabit , yang mempunyai ciri-ciri antara lain :
1. Perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah diterimanya.
2. Perawi itu hafal dengan baik riwayat yang diterimanya.
3. Perawi itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya
dengan baik kapan saja ia kehendaki atau samapai saat ia
menyampaikan iwayat tersebut kepada orang lain.33
Untuk membuktikan bahwa seorang itu dhabit, maka harus terpenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Ke-dhabitan-nya diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
2. Ke-dhabitan-nya diketahui berdasarkan kesesuain riwayatnyadengan
riwayat yang disampaikan oleh perawi lain yang juga telahdikenal
kedhabithan-nya.34

E. Lafaz-lafaz Untuk Mentajrih


1. Mununjukan sangat keterlaluan cacatnya perawi yangmenggunakan lafaz
yang berbentuk Af`al al-Tafdhil atau yangsemakna dengannya seperti
ungkapan kalimat :
.‫ضع‬ٌٛ‫ى فً ا‬ٙ‫ سوٓ اٌىزب إٌٍٗ إٌّت‬،‫ ٍِٕع اٌىزب‬،‫ضع إٌاس‬ٚ‫ أ‬،‫أوزب إٌاس‬
2. Mununjukakan kondikasi yang sangat cacat dengan mengunakanlafaz
sighat al Mubalaghah seperti :
‫ضّاع‬ٚ ،‫ د ّجاي‬،‫وزّاب‬

32
Muhammad Syuhudi Ismail, op. cit., hlm. 134.
33
Muhammad Syuhudi Ismail Ibid., hlm. 135-136.
34
Khudariy Beyk, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Beirut, tt, hlm. 217.
3. Menunjukan tuduhan dusta atau kalimat yang semakna denganya seperti
ungkapan :
‫ ال‬،ٗ‫ ال ٌعتثش ت‬،‫ صالط‬،‫ ٘اٌه‬،‫ ر٘ة‬،‫ن اٌذذٌث‬ٚ‫ ِتش‬،‫ضع‬ٌٛ‫ُ تا‬ٙ‫ ِت‬،‫ُ تاٌىزب‬ٙ‫ِت‬
.ِْٛ‫ غٍش ِأ‬،‫ غٍش ثمح‬،‫ ٌٍش تثمح‬،ٗ‫ٌعتثش دذٌث‬
4. Mununjukan kuatnya kelemahan perawi dengan kalimat :
،ٗ‫ا دذٌث‬ٚ‫ سد‬،ٖ‫ا‬ٚ ,ٗ‫ أسَ ت‬،‫ن اٌذذٌث‬ٚ‫ ِتش‬،‫ن‬ٚ‫ ِتش‬،‫ي شٍأ‬ٚ‫ ال ٌضا‬،‫ضعٍف جذا‬
.‫ ٌٍش تشٍئ‬،‫د اٌذذٌث‬ٚ‫ِشد‬
5. Menunjukan kelemahan dan kekacauan hafalan perawi, yangdiungkapkan
dengan kalimat :
.‫ي‬ٛٙ‫ ِج‬،‫ دذٌثٗ ِضطشب‬،‫ ِضطشب اٌذذٌث‬،‫ ِٕىش اٌذذٌث‬،ٖٛ‫ ضعف‬،‫ضعٍف‬
6. Mensifati perawi dengan sifat-sifat yang menunjukan kelemahanyatetapi
sifat itu berdekatan dengan sifat adil yaitu :
،‫ صىئ اٌذفع‬،‫ ضعف‬،ٗ‫ ضعف فً دذٌث‬،‫ ضعف أً٘ اٌذذٌث‬،‫ج‬ٛ‫ ٌٍش تاٌم‬،ٌٍٓ
‫ ٌٍش‬،‫ ٌٍش تذ ّجح‬،ٍٗ‫ إختٍف ف‬،‫ فٍٗ خٍف‬،‫ٌعشف‬ٚ ‫ ٌٕىش‬،‫ فً دذٌثٗ ِماي‬،ٍٗ‫ِماي ف‬
.ٗ‫ أْ ال تأس ت‬ٛ‫ أسج‬،‫ ٌٍش تاٌعثذ‬،ٓ‫تاٌّت‬
Lafaz-lafaz yang dipakai untuk mentajrih perawi sebagaimanayang
dikemukan di atas, mengisyaratkan bahwa seseorang perawi itudianggap cacat
apabila ia pernah berdusta, membuat hadis palsu, sangat jahat, diragukan
kredibilitasnya, dianggap pendusta, lemahingatannya, dan diragukan kapasitas
intelektualnya karena tidakdikenal di kalangan perawi hadis dan kata-katanya
tidak bisadipegangi. Namun ada seorang perawi yang kredibilitasnya,
integritas
pribadidan kapasitas intelektualnya diperselisihan di antara ahli ilmuhadis, di
mana ada ulama yang menganggapnya cacat, maka terhadap hal ini
penyelesaiannya masih diperselisihannya, yaitu :
1. Munurut Jumhur Ulama jarh harus didahuluka dari ta`dil
secaramutlak, walaupn jumlah mu`adhilnyalebih banyak dari jarih.
2. Ta`dil harus didahulukan dari jarh, karena seba yang dgunakanuntuk
mentarjih bukanlah sebab-sebab yang dapat mencacatkan,sedangkan
mu`addhil sudah pasti tidak sembarangan dalam menta`dil.
3. Mendahulukan ta`dilkan jumalah mu`addil lebih banyak dari
jumlahjarih karena jumlah yang banyak dapatmemperkuat
pendapatnya.
4. Masih tetap dalam perbedaan pendapat selama belum ditemukanhal-hal
yang mencacatkannya.
Menurut hemat penuls, penilaian terhadap perawi yang
masihdiperselisihkan kredibilirtasnya dan kapasitas intelektualnya
mestilahdiutamakan penilaian terhadap kredibilitas dan integritas
pribadinya.Bila dalam kehidupan sehari-hari ia terlihat taat beribadah, baik,
jujurdan tidak pernah melakukan dosa besar meskipun kurang kuathafalannya
atau diragukan kapasitas intelektualnya maka ia dinilai adil.Sedangkan orang
yang diakui kapasitas intelektualnya, namun
diragukan krebilitasnya dan integritas pribadinya. Dengan mengacukepada
ketentuan diatas maka penulis menambah kedekatan kepadAllah dan tidak
guna benpengaruh posit terhadap perikehidupannyamaka kecerdasanya itu
tidak bermamfaat. Cara lain yaitu denganmembandingkan aspek mana yang
lebih dominan pada diri seorang ,apakah asfek jarh atau ta`dil. Jika aspek jarh
leih dominan maka iadianggap cacat, namun baik aspek ta`dil lebih dominal
maka dianggapadil.
Islam sangat menjunjung tinggi harkat dam martabat manusiaserta
engajarkan umar islam menjaga nama baik orang lainsebagaimana ia enjaga
nama baiknya sendiri. Namun demikian, khususdalam rangka memelihara
kemurnian sunnah rasul dan menjaga dariusaha dari pemalsuan, maka islam
embenarkan untuk membicarakankeburukan atau kebaikan para perawi hadis
dal hal in bahkan tergolongdalan kategori nasehat wajib. Jumhur ulama
sepakat memboleh jarh
dan tidak termasuk ghibah (menggunjing)yang diharamkan.Kesepakatan ini
berdasarkan kaedah ”Suatu khabar yang tidak wajibditerima kecuali dari
orang-orang jujur, berakal, dan amanah terhadapapa yang
disampaikan.”35Dengan demikian, jarh ditunjukan kepadaorang yang tidak
jujur dalam meriwayatkannya hadis.Untuk melakukan penilaian jarh atau adil.
Seorang itu meskimemiliki beberapa syarat seperti ilmu taqwa, wara`jujur

35
Abd al-Hadiy, Ilmu al Jarh wa Ta`dil, Jami`ah al-Azhar, Kairo, 1980, hlm. 46-47.
tidak termasukorang yang cacat, tidak bersifat fanatisme yang bertentangan
denganperawi lain, dan mengetahui sebab-sebab munculnya jarh dan ta`dil.
Jarh dan ta`dil dapat diketahui dua cara : yaitu, termashur sebagaiorang
yang adil atau cacat, atau ada dua orang yang membersikannamanya, atau
menjelek-jelekan pribadinya.36
Adapun orang yang berhak untuk mentarjih atau men ta`dilperawi terdapat
perbedaan sebagai berikut:
1. Minimal dua orang baik dalam soal syahad (kesaksian) maupun dalam
soal riwayat. Demikian menurut endapat fugaha` Madinahdan lain-
lain.
2. Cukup seorang saja dalam hal riwayat, bukan dalam soal
syahadakarena bilangan tidak menjadi syarat dalam penerimaan
hadis,berarti tidak dapat pula disyaratkan dalam men-tarjih atau
menta`dil perawi.
3. Cukup seorang saja, baik dalam hal riwayat maupun syahada.37
Apabila orang yang mentarjih atau menta`dikan itu sudah
diakuikredibilitasnya dam kapasitas intelektualnya, tanpa ada unsurfanatisme
dan tendensi pribadi maka penilaian jarh dan ta`dil dapatdilakukan oleh
seorang saja, namun bila hal tidak memungkinkanbahwa penilaiannya
berdasarkan pandangan masyarakat secarakolektif, sehingga penilaian dapat
diakui secara mutawatir.

F. Sebab-sebab yang Menjadi Perawi dikenakan Jarh dan Ta’dil


Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniseperti yang dikutip oleh Hasbi
AshShiddieqi (1968: 124) bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya
seorangperawi itu banyak, tetapi semuanyaberkisar di sekitar lima macam
sajayakni bid'ah, mukhalafh, ghalath, jahalah al hal, da'wa al-inqitha‟.
Bid'ah yaitu melakukan tindakan tercela di luar ketentuan syara'.Orang
yang disifti dengan bid'ah ada kalanya tergolong orang yang dikafrkan dan
adakalanya tergolong orang yang difasikkan.Mereka yang dianggap kafr adalah
golongan rafidah

36
Muhammad al-Ajjaj al-Khatib op. cit., hlm. 268-269.
37
Fachtur Rahman, op. cit., hlm. 71.
dan mereka yang dianggap fsiq ialah golongan yang mempunyai i'tikad
berlawanan dengan dasar syari'at.
Mukha/fat ialah menyalahi periwayatan orang yang lebib tsiqot.Mukhalaft
ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.Yang dimaksud dengan
ghalath ialah banyakkekeliruan dalam meriwayatkan.Jahalat al hal ialah tidak
dikenal identitasnya, mak1ud perawi yang blum dikenal identitasnya ialah
haditsnya tidakdapat diterima. Sedangkan d 'wa alinqitha' ialah diduga keras
sanadnya terputus, misalnya menda'wa perawimeutadliskan atau mengirsalkan
suatuhadits.
Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta'dik ini merupakan
pekerjaan yang rawan, karenamenyangkut nama baik dan kehormatan para
perewi yang akan menentukan diterima atau tidaknya sutuhadits, maka ulama
menetapkn kriteria tertentu bagi seorang yang melakulran jarh clan ta'dil yakni
haruslah orang tersebut 'alim, bertakwa, wara',jujur, belum pemah dijarh, tidak
fanatik terhadap sebagian perawi, mengetahui jarh dan
ta'dil.Apabilapersyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan
tidak dapat diterima.38

G. Para Pakar Dan Kitab Kitabnya


Tradisi dan men-tarjih dan men-ta`dil terhadap perwi hadisperawi hadis
sebenarnya sudah muncul sejak timbulnya periwayatanhadis di dunia Islam
yaitu sejak masa sahabat. Pada masa ini sahabatsudah membahas tentang jarh
dan ta`dil, di antaranya Ibn Abbas (68H), Ubaidillah Ibn Shamir (34 H), dan
Anas ibn Malik (93 H), Ibn Siri(110 H), dan Sa`id ibn al Musayyab (94 H), dan
Syu`bah ibn al Ajjaj(160H),dan Malik ibn Abbas (179 H), di mana mereka
memberi
penelaian terhadap para perawi hadis, baik dari aspek kecatatanmaupun
dariaspek kebaikan mereka. Namun pada masa ini masihsedikit orang dianggap
cacat, kerena kedekatan mereka dengansahabat.Perbincangan mereka seputar al
jarh wa ta`dil menjadi maraksetelah islam memasuki abad kedua. Yaitu
setelahberakhirnya masatabi`in. pada tahun 150 H gerakan ini dipelopori oleh :
Yahya ibn Sa`idal-Qaththan (189 H), Abdu al Rhama ibn Mahdi (198 H),

38
Drs. H.A. Djalil Afif, Al-Jarh Wa Al-Ta‟dil. Jurnal No.52/X/1995, hlm. 26
Sufyan ibn
Uyainah (198 H), kemudian diiukti oleh Yazid ibn Harun (198 H), AbuDhaud
al Thayalisa (204 H), Abdurrahman ibn Human (211H), Yahyaibn Ma`in
(233H).Al Jarh wa ta`dil terdiri dari cabang ilmu tersendri dandibukukan dan
pelopori oleh Yahya ibn Main yang terkenalsebagaiImam al Jarh wa al Ta`dil
pada masanya, kemudian diikuti olehahmad ibn Hanbal (241H), Muhammad
ibn Sa`ad (230H), Ali ibn alMahdin (234 H), Abu ibn Abi Syaibah (235H),
Abu Bakar ibn Abi
Syaibah (235H), Ishaq ibn Rahawaih (237H), dilanjutkan oleh al-Darimi
(255H), al-Bukhari (256H), al Ajaliy (261H), Muslim (261H), Abu Zur`ahibn
Ubaidillah ibn Abd Karim al Razi ( 264H), Abu al-Hattim al-Razi(277H), Abu
Dawud (275H), Baqi ibn Makhlad (279H), dan Abu Zur`ahal Dimasiqiy
(279H), perbincangan penilaian kritik sanad terusdilakukan oleh para ulama
hadis hingga pada masa Ibn Hajar alAsqalani (852H), kitab-kitab yang
membahas ial-jarh wa ta`dil sangatbanyak dan beraneka ragam di antaranya :
1. Kitab-kitab yang membahas tentang orang-orang yang tsiqah danghairi
tsiqah seperti kitab al-Thabaqah karya Muhammad ibn alZur`ah al
Zuhriyal Bashry (230H).
2. Kitab yang memuat orang-orang yang tsiqah saja, seperti kitab alTsiqah
saja, karya al-Ajlir (261H).
3. kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah saja, sepertikitab al-
Dhua`fa karya al-Bukhari (256H).
4. Kitab yang hanya mengungkap orang-orang yag sukamemanipulasi
hadis seperti kitab al-Tabyin karya Ibn Muhammadibn al-Halbiy
(841H).
5. kitab yang memuat nama, kuniahdan laqab (gelar) perawi hadisseperti
kitab yang dilarang oleh Ibn al-Jauzi (597H).
6. Kitab yang menerangkan penghafal hadis yang rusak ingatannya
setelah tua, seperti kitab alIgtibah Bima`rifati man rawa bi alistilakh,
karyaBurhan al-Din ibn al-Ajami (841H).39

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan seorang perawi yang


dianggap cacat antara lain karena ia pendusta, tertuduh dusta, fasikdan
39
TM.Hasbi al-Shiddiqiy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis, Bulan Bintang, Jakarta 1988, hlm. 157-
158.
penganut Bid`ah. Menyalahi riwayar orang-orang yang tsiqah sertatidak
dikenal pribadinya dikalangan ahli riwayat. Sedangkan faktorfaktor yang
menyebabkan seorang perawi di anggap adil antara lainkarena ia senantiasa
mengerjakan taqwa, menjaga Muru`ah harga diri,teguh memegang amanah
dan dapat dipercaya kuat ingatan dankedhabitannya tidak pernah melakukan
dosa besar. Apabila faktor-faktor di atas terdapat pada diri seseorang maka ia
dapat dianggapcacat atau adil.

Anda mungkin juga menyukai