Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TAFSIR TEMATIK IV

Perceraian Bagian 2 : Khulu’


Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Tematik IV
Dosen Pengampu : Ali Hamdan, MA, Ph.D

Disusun Oleh: Kelompok 10

Naura Rihadah Al Aisy (210204110020)

Agiel Nailul Mauliddyah (210204110074)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah salah satu pokok yang utama untuk mengatur kehidupan rumah
tangga dan turunan, yang juga adalah merupakan susunan masyarakat kecil dan nantinya akan
menjadi anggota dalam masyarakat yang luas. Tujuan perkawinan tidak bisa terlepas dari
keberadaan manusia sebagai khalifah Allah di mayapada yang bertugas untuk memakmurkan
bumi dalam rangka pengabdian kepadaNya. Di antara tujuan perkawinan itu adalah untuk
memenuhi tuntutan hajat tabi’at kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang.
Atau yang diistilahkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.1

Seandainya dalam pergaulan antara suami istri itu tidak dapat terealisasi dengan baik,
maka pergaulan keduanya menjadikan sebab perpisahan antara satu sama lainnya dengan kata
lain akan terjadi perceraian. Disebabkan ketiadaan kesepakatan antara suami dan isteri, maka
dengan keadilan Allah SWT. Dibukakanlah suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yakni
dengan talak atau perceraian. Dan dalam hukum Islam, talak atau perceraian terjadi karena
terjadinya khulu’, zhihar, ila dan li’an.2

Perceraian atau talak adalah putusnya hubungan perkawinan suami dan isteri baik
dengan jalan talak, fasakh, maupun khulu’, sehingga haram kembali hubungan seksual
keduanya sebelum rujuk atau akad nikah baru dalam suatu perkawinan yang sah di depan
pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu dalam
tulisan ini akan dibahas tentang konsep khulu’dalam perspektif hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Khulu’?
2. Apa saja dasar hukum yang berbicara tentang khulu’?
3. Apa saja rukun dan syarat khulu’?

1
Tim Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam DEPAG RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: t.tp, 2001), hlm. 14.
2
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 220.
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengertian Khulu’
2. Mengetahui dasar hukum diperbolehkannya khulu’
3. Mengetahui rukun dan syarat-syarat khulu’
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ayat Berkaitan dengan Khulu’

Q.S. Al-Baqarah ayat 187

ٌ َ‫اس لَ ُك ْم َوأَ ْنت ُ ْم ِلب‬


‫اس لَ ُه َّن‬ ٌ َ‫ه َُّن ِلب‬
mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.

 Asbab an-Nuzl

Abu Ishaq meriwayatkan dari Al-Barra ibnu Azib, tersebutlah sahabat Rasulullah Saw.
bila seseorang dari mereka puasa, lalu ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak boleh makan
sampai keesokan malamnya di waktu yang sama. Sesungguhnya Qais ibnu Sirman dari
kalangan Ansar sedang melaksanakan puasa. Pada siang harinya ia bekerja di lahannya. Ketika
waktu berbuka telah tiba, ia datang kepada istrinya dan mengatakan, "Apakah kamu
mempunyai makanan?" Si istri menjawab, "Tidak, tetapi aku akan pergi dahulu untuk
mencarikannya buatmu." Ternyata Qais sangat lelah hingga ia tertidur. Ketika istrinya datang,
si istri melihatnya telah tidur; maka ia berkata, "Alangkah kecewanya engkau, ternyata engkau
tertidur." Ketika keesokan harinya, tepat di siang hari Qais pingsan, lalu hal itu diceritakan
kepada Nabi Saw. Kemudian turunlah ayat ini, yaitu: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari
puasa bercampur dengan istri-istri kalian, —sampai dengan firman-Nya— dan makan
minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah:
187) Maka mereka amat gembira dengan turunnya ayat ini.

 Penafsiran

Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, dan
Muqatil ibnu Hayyan, makna yang dimaksud ialah 'mereka adalah ketenangan bagi kalian,
dan kalian pun adalah ketenangan bagi mereka'.

Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, maksud ayat ialah 'mereka adalah selimut bagi kalian dan
kalian pun adalah selimut bagi mereka'.

Q.S. Al-Baqarah ayat 229

َّ َ‫فَإِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أَ ََّّل يُ ِقي َما ُحدُود‬


ْ َ‫َّللاِ فَ ََل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما فِي َما ا ْفتَد‬
‫ت ِب ِه‬
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya.

 Asbab an-Nuzl

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ishaq, telah
menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari
ayahnya, bahwa ada seorang lelaki berkata kepada istrinya, "Aku tidak akan menceraikanmu
selama-lamanya, dan tidak akan pula memberimu tempat selama-lamanya." Si istri bertanya,
"Bagaimana caranya bisa demikian?" Lelaki (si suami) menjawab, "Aku akan menceraikanmu;
dan apabila masa idahmu akan habis, maka aku merujukmu kembali." Lalu si istri datang
kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan kepadanya hal tersebut. Maka Allah menurunkan
firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah 229)

 Penafsiran

‫( فَإ ِ ْن خِ ْفت ُ ْم‬Jika kamu khawatir)

Kalimat ini ditujukan bagi para pemimpin, hakim, atau orang yang menjadi penengah
antara suami istri untuk memperbaiki hubungan keduanya.

‫( أ َ ََّّل يُقِي َما ُحد ُودَ اللَّـ ِه‬bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah)

Yakni yang berupa pergaulan yang baik dan ketaatan.

ْ َ‫علَ ْي ِه َما فِي َما ا ْفتَد‬


‫ت بِ ِۦه‬ َ ‫( ۗ فَ ََل ُجنَا َح‬maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya)

Yakni apabila keduanya takut tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah tersebut
maka dibolehkan bagi isteri untuk menebus dirinya dengan cara memberikan sebagian harta
yang bisa diterima oleh suami agar bisa mentalaknya. Dan ini dinamakan dengan Khul’u. maka
boleh bagi suami untuk mengambil harta tersebut untuk kemudian mentalaknya apabila sang
suami memang tidak memaksa sang istri atau memberi kamadharatan kepadanya. 3

Khulu’ dalam Hadits Nabi SAW.

3
“Surat Al-Baqarah Ayat 229 Arab, Latin, Terjemah Dan Tafsir | Baca Di TafsirWeb,” tafsirweb.com, accessed
November 14, 2023, https://tafsirweb.com/871-surat-al-baqarah-ayat-229.html.
‫س ََل ِم‬ ِ ْ ‫ِين َولَ ِكنِي أَك َْرهُ ا ْلكُ ْف َر فِي‬
ْ ‫اْل‬ ٍ ‫ق َو ََل د‬ ٍ ‫ب فِي ُخ ْل‬ ُ ِ‫ْس َما أَ ْعت‬ ٍ ‫َّللاِ ثَابِتُ ْبنُ قَي‬
‫سو َل ه‬ ُ ‫ يَا َر‬: ْ‫فَقَالَت‬
‫ ا ْقبَ ْل ا ْل َحدِي َقةَ َو َط ِل ْق َها تَ ْط ِليقَة‬:َ‫ نَعَ ْم قَال‬: ْ‫ان َحدِيقَتَهُ قَا َلت‬
َ ‫ ُك ْف َر‬:‫علَ ْي ِه أَ ْي‬ َ ‫أَتَ ُرد‬
َ ‫ِين‬
“Istri Qais menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah, aku tak mencela perangai maupun
agama Tsabit bin Qais, namun aku tidak mau kufur dalam Islam.’ Maksudnya, kufur nikmat.
Rasulullah SAW menjawab, ‘Apakah engkau mau mengembalikan kebun dari Tsabit?’ Istri
Qais menjawab, ‘Mau.’ Kemudian, beliau berkata kepada Tsabit, ‘Terimalah kebun itu lalu
talaklah dia dengan talak tebusan.”

Berdasarkan ayat dan hadits di atas, para ulama bersepakat akan kebolehan khulu’
terutama di saat ada alasan kuat yang diajukan oleh istri. Bahkan, sebagian ulama
membolehkan khulu’ walau tanpa sebab namun disertai dengan makruh dengan dalil bahwa
Rasulullah SAW pun tidak menelisik lebih jauh alasan istri Qais mengajukan khulu’.

B. Pengertian khulu'

Khulu’ menurut bahasa, dari kata ‫ ُخ ْلعًا‬- ‫ يَ ْخلَ ُع‬- ‫ َخلَ َع‬yang berarti melepaskan atau
menanggalkan pakaian, atau ‫ش ْي ُء َخ َلعًا‬
َّ ‫ بِ َم ْعنَي َخ َل َع ال‬yang berarti menanggalkan ia akan sesuatu.4
Diistilahkan dengan melepaskan pakaian sebab al-Qur’an memberikan nama bagi suami
sebagai pakaian istri, sebaliknya istri sebagai pakaian suami, sebagaimana tertera dalam surat
al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:

َ ‫علَ ْيكُ ْم َو‬


‫عفَا‬ َ ‫سكُ ْم فَت‬
َ ‫َاب‬ َ ُ‫َّللاُ اَنهكُ ْم كُ ْنت ُ ْم ت َ ْخت َان ُ ْونَ ا َ ْنف‬ َ ۗ ‫اس له ُهنه‬
‫ع ِل َم ه‬ ٌ َ‫اس لهكُ ْم َوا َ ْنت ُ ْم ِلب‬ َ ِ‫ث ا ِٰلى ن‬
ٌ َ‫س ۤا ِٕىكُ ْم ۗ هُنه لِب‬ ُ َ‫الرف‬ ِ َ‫اُحِ هل لَكُ ْم لَ ْيلَة‬
‫الصيَ ِام ه‬
ِِۖ ‫س َو ِد مِ نَ ا ْل َف‬
‫جْر‬ ْ ‫اَلبْيَضُ مِ َن ا ْل َخ ْي ِط ا ْ ََل‬ َ ْ ُ‫َّللاُ لَكُ ْم ۗ َوكُل ُ ْوا َواش َْربُ ْوا َحت هى يَتَبَيه َن لَكُ ُم ا ْل َخ ْيط‬
‫ش ُر ْوهُنه َوا ْبتَغ ُ ْوا َما كَت ََب ه‬ ِ ‫ع ْنكُ ْم ۚ فَا ْل ٰـنَ بَا‬
َ
ٰ
‫اس‬ ‫ش ُر ْوهُنه َواَنْت ُ ْم ٰع ِكف ُ ْو َۙنَ فِى ا ْل َم ٰس ِج ِد ۗ تِ ْلكَ ُحد ُْو ُد ه‬
‫َّللاِ فَ ََل ت َ ْق َرب ُ ْوه َۗا كَذ ِلكَ يُبَ ِي ُن ه‬
ِ ‫َّللا ُ ٰا ٰيت ِٖه لِلنه‬ ِ ‫ث ُ هم اَتِ ُّموا‬
ِ ‫الصيَا َم اِلَى الهيْ ۚ ِل َو ََل تُبَا‬
‫لَعَله ُه ْم يَتهق ُ ْو َن‬
Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah
pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak
dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan
minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri
mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu

4
A.W. Munawwir, Al-Munawwir: Kamus arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 361.
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka
bertakwa.

Khulu’ menurut istilah, ialah menebus isteri akan dirinya kepada suaminya dengan
hartanya, maka tertalaklah dirinya.5 Dan maksud khulu’ yang dikehendaki menurut ahli fikih
adalah permintaan isteri kepada suaminya untuk menceraikan dirinya dari ikatan perkawinan
dengan disertai pembayaran ’iwadh, berupa uang atau barang kepada suami dari pihak isteri
sebagai imbalan penjatuhan talaknya.

Khulu’ adalah pemberian hak yang sama bagi wanita untuk melepaskan diri dari ikatan
perkawinan yang dianggap sudah tidak ada kemaslahatan sebagai imbalan hak talak yang
diberikan kepada laki-laki. Dimaksudkan untuk mencegah kesewenangan suami dengan hak
talaknya, dan menyadarkan suami bahwa istri pun mempunyai hak sama untuk mengakhiri
perkawinan. Artinya dalam situasi tertentu, istri yang sangat tersiksa akibat ulah suami atau
keadaan suami mempunyai hak menuntut cerai dengan imbalan sesuatu. Bahkan khulu’ dapat
dimintakan istri kepada suaminya akibat telah hilangnya perasaan cinta dari isteri kepada
suaminya walaupun suami tidak melakukan suatu perbuatan yang menyakiti isterinya. Hak
yang samanya juga dapat dilakukan suami terhadap istrinya, yaitu manakala suami memang
tidak mempunyai lagi perasaan cinta kepada istrinya dengan menjatuhkan talak.

Para ulama’ di antaranya Abdurrahman al-Jaziri memberikan definisi khulu’ yaitu


menurut masing-masing madzhab di antaranya;6

1. Golongan Hanafi mendefinisikan: “Khulu’ ialah menanggalkan ikatan pernikahan yang


diterima oleh istri dengan lafadz khulu’ atau yang semakna dengan itu.”
2. Golongan Syafi’i memberikan definisi khulu’: “Khulu’ menurut syara’ adalah lafadz
yang menunjukkan perceraian antara suami istri dengan tebusan yang harus memenuhi
persyaratan tertentu.”
3. Golongan Maliki memberikan definisi khulu’: “Khulu’ menurut syara’ adalah thalaq
dengan tebusan.”
4. Golongan Hanabillah mendefinisikan khulu’: “Khulu’ adalah suami menceraikan
istrinya dengan tebusan yang diambil oleh suami dari istrinya atau dari lainnya dengan
lafadz tertentu.”
C. Alasan di Perbolehkan dan yang Dilarang Melakukan Khulu’

5
Abu Mansur, Lisan el-Arab, (Kairo: Daar el-Hadist, 2003), III :182.
6
H. Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993, hlm. 150-151.
a) Alasan diperbolehkan khulu’
1. Suami murtad
2. Suami berbuat kekufuran atau kemusyrikan kepada Allah dengan berbagai
macam dan bentuknya dan telah disampaikan nasehat kepadanya agar bertaubat
darinya tapi tidak mendengar dan menerima.
3. Suami melarang dan menghalangi isteri untuk melaksanakan kewajiban-
kewajiban agama, seperti kewajiban shalat lima waktu, kewajiban zakat,
memakai hijab syar’i,menuntut ilmu syar’i yang hukumnya fardhu ‘ain.
4. Suami berakidah dan bermanhaj sesat dan menyesatkan dari agama Allah yang
lurus dan haq.
5. Suami bersikap kasar, keras dan berakhlak buruk.
6. Suami tidak mampu memberi nafkah wajib bagi istri.
7. Istri merasa benci dan sudah tidak nyaman hidup bersama suaminya, bukan
karena agama dan akhlaknya, tapi karena khawatir tidak bias memenuhi haknya.
b) Alasan khulu’ dilarang
1. Dari sisi suami. Apabila suami menyusahkan istri dan memutus hubungan
komunikasi dengannya atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan
sejenisnya agar sang istri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan
cerai.
2. Dari sisi istri. Apabila seorang istri meminta cerai padahal hubungan rumah
tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran serta tidak
ada alasan lain yang syar’i. 7
D. Syarat-syarat Khulu’

Untuk menenpuh suatu upaya hokum, subjek hukum dalam hal ini istri, harus benar-
benar mengerti dan menguasai tentang materi hukum yang diperkarakan. Sebelum menempuh
upaya hukum, maka istri harus mengetahui syarat-syarat khulu’ tersebut. Di samping istri,
suamipun harus mengetahuinya sehingga dapat menempuh upaya hukum khulu’ tersebut.
Adapun syarat-syarat khulu’ adalah sebagai berikut:

1. Kerelaan dan persetujuan


Para fuqaha’ telah sepakat, bahwa khulu’ dapat dilakukan berdasarkan kerelaan
dan persetujuan dari suami istri asal kerelaan dan persetujuan itu tidak berakibat

7
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, Cet.ke-2, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 1999).
kerugian dipihak yang lain (istri). Apabila suami tidak mengabulkan permintaan khulu’
istrinya, sedang pihak istri tetap merasa dirugikan haknya sebagai seorang istri, maka
dapat mengajukan gugatan untuk meminta cerai kepada pengadilan. Hakim hendaknya
member keputusan perceraian antara suami istri itu, apabila ada alat-alat bukti, alasan-
alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan oleh pihak istri. 8
2. Istri yang dapat di khulu’
Fuqaha sepakat bahwa istri yang dikhulu’ ialah istri yang mukallaf dan telah
terikat dengan akad nikah yang sah dengan suaminya. Adapun istri yang cakap boleh
mengadakan khulu’ untuk dirinya, sedangkan bagi hamba perempuan tidak boleh
mengadakan khulu’ untuk dirinya kecuali dengan minta izin kepada tuannya.
Disepakati pula istri yang safihah (bodoh) adalah bersama walinya, yakni bagi fuqaha’
yang menetapkan adanya pengampunan atasnya. 9
3. Iwadh
Uang tebusan atau iwadh adalah bagian yang urgen dan inti dari khulu’, karena
tanpa adanya iwadh maka khulu’ tidak akan terjadi, sehingga mayoritas ulama
menempatkan iwadh tersebut sebagai rukun yang tak boleh ketinggalan. 10 Iwadh atau
tebusan merupakan ciri khas dari perbuatan hukum khulu’. Selama iwadh belum
diberikan oleh pihak istri kepada suami, maka selama itu pula perceraiannya belum
terjadi. Setelah iwadh diserahkan oleh pihak istri kepada suami barulah terjadi
perceraian. Mengenai hal ini Imam Malik, Syafi’i dan golongan fuqaha’ berpendapat
bahwa seorang isteri boleh melakukan khulu’ dengan memberikan hartanya yang lebih
dari mahar yang pernah diterimanya saat pelaksanaan akad nikah dari suaminya, jika
kedurhakaan (nusyuz) datang dari pihaknya, atau memberikan yang sebanding dengan
mahar atau lebih sedikit.11
4. Waktu Menjatuhkan Khulu’
Fuqaha’ telah sepakat bahwa khulu’ boleh dijatuhkan pada masa haid, nifas dan
pada masa suci yang belum dicampuri atau yang telah dicampuri. 12 Dengan demikian
khulu’ dapat dijatuhkan kapan saja dan dimana saja. Rasulullah tidak menetapkan
waktu khusus sehubungan dengan khulu’ istri Tsabit bin Qais. Rasulullah juga tidak

8
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974. Hlm. 185.
9
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. M.A. Abdurrahman dan A.Haris Abdullah, (Semarang: as-Syifa, 1990),
hlm. 489.
10
Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 235.
11
Ibid, hlm. 491.
12
Kamal Muhtar, Op.Cit, hlm. 172..
bertanya dan membicarakan keadaan istrinya, maka dari itu khulu’ pada waktu suci dan
haid diperbolehkan.13
E. Rukun Khulu’

Adapun rukun khulu’ yang mesti dipenuhi adalah:

1. Suami
Suami yang menceraikan istrinya dalam bentuk khulu’ sebagaimana yang
berlaku dalam talak adalah seorang yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara
syara’ yaitu aqil baligh dan bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan
kesengajaan. 14 Syarat-syarat dari suami yang sah khulu’nya menurut seluruh mazhab,
kecuali Hanbali sepakat bahwa baligh dan berakal merupakan syarat dan wajib dipenuhi
oleh laki-laki yang melakukan khulu’. Mazhab Hanbali menyatakan bahwa khulu’ itu
sah apabila dilakukan oleh orang yang mumayyiz (telah mengerti sekalipun belum
baligh).
2. Istri
Khulu’ baru sah apabilayang diceraikan itu dalam status istri bukan calon istri
atau bekas istri yang telah dicerai ba’in atau istri yang telah di thalak raj’i yang sudah
masa iddahnya. Jumhur ulama sepakat bahwa wanita yang dapat menguasai dirinya
atau cakap maka boleh melakukan khulu’ bagi wanita yang safihah (bodoh) walinya
yang akan mengadakan khulu’nya. Sedangkan seorang hamba tidak boleh mengadakan
khulu’ untuk dirinya kecuali dengan izin tuannya. 15
3. Sighat atau ( Pernyataan Khulu’)
Pernyataan khulu’ sama dengan pernyataan akad nikah, yaitu terjadi dari ijab
dan qabul. Pernyataan boleh berbentuk ucapan, tulisan dan isyarat. Jika ada persetujuan
antara yang menebus dengan pihak suami yang ditebus thalaknya. Sighat atau kata-kata
khulu’. Lafaz khulu’ itu terbagi dua yaitu sharih dan kinayah. Khulu’ yang sharih itu
sendiri terdapat tiga lafaz yaitu:
a. Khala’ tuki (aku mengkhulu’mu)
b. Mufadah (tebusan)
c. Fasakhtu Nikahati, karena itulah yang menjadi hakikat dari khulu’ itu sendiri. 16

13
Maftuh Ahnan, Fiqih Wanita, (Surabaya: Terbit Terang, tt), hlm. 362.
14
19 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 234.
15
Ibnu Rusyd, Op.Cit, hlm. 55-56.
16
Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, Penerjemah M.Abdul Ghoffar, Judul asli “Fiqih al- Ushrah al-Muslimah”,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm. 319.
Selain itu didalam pendapat yang lebih shahih disebutkan bahwa jika kata- kata khulu’
dan mufadah (tebusan) itu dikaitkan dengan harta, maka kedua kata-kata itu termasuk lafaz
thalak yang shahih. Khulu’ juga dapat dilakukan dengan mneggunakan lafaz kiasan (kinayah)
misalnya “Saya lepas dan menjauhlah engkau dari sisiku”. Jika tidak dikaitkan kepada harta
maka kata-kata itu adalah kinayah bagi thalak, sebagaimana dalam kitab al-Raudhah.17

Hanafi mengatakan khulu’ boleh dilakukan dengan menggunakan redaksi jual beli,
misalnya suami mengatakan kepada istrinya, “saya beli itu.”Atau si suami mengatakan kepada
istrinya, belilah thalak (untukmu) dengan harga sekian, “lalu si isteri mengatakan, “baik, saya
terima tawaranmu.18 Adapun khulu’ menurut pendapat Fuqaha’ haruslah dengan kata-kata
khulu’ yang mengandung arti itu, seperti fida’ (tebusan), dan lain-lain. 19

4. Iwadh (tebusan)
Uang tebusan atau iwadh adalah bagian yang urgen dan inti dari khulu’, karena
tanpa adanya iwadh maka khulu’ tidak akan terjadi. Sehingga mayoritas ulama
menempatkan iwadh tersebut rukun yang tidak boleh ditinggalkan. 20 Khulu’ tidak sah
apabila tebusannya berupa benda seperti khamar, babi, bangkai dan darah karena
benda-benda tersebut tidak mempunyai nilai menurut pandangan syari’at Islam. 21 Yang
boleh dijadikan adalah benda yang tidak najis zatnya, manfaat, halal, bernilai atau jasa
yang dibenarkan oleg agama.Iwadh atau tebusan merupakan bagian yang urgen dan inti
dari khulu’, karena tanpa adanya iwadh maka khulu’ tidak akan terjadi. Sehingga
mayoritas ulama menempatkan iwadh tersebut sebagai rukun yang tidak boleh
ditinggalkan.22
5. Alasan untuk terjadinya Khulu’
Dalam al-Qur’an dan hadist terlihat alasan untuk terjadinya khulu’ yaitu istri
khawatir tidak akan mungkin melaksanakan tugasnya sebagai istri yang menyebabkan
dia tidak dapat menegakkah hukum Allah.
F. Hikmah Khulu’

Adapun hikmah disyari’atkan khulu’ adalah:

1. Menyelesaikan istri dari belenggu suami yang tidak baik

17
Ahmad Fuad Said, Op.Cit, hlm. 105.
18
Muhammad Jawad al-Mughniyah, Op.Cit, hlm. 463.
19
Sayid Sabiq, Loc.Cit.
20
25 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 235.
21
Abdurrahman al-Jaziri, Op.Cit,hlm. 406.
22
Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 235.
Khulu’ terjadi bias karena istri membenci suaminya yang memiliki akhlak tidak
baik. Apabila rumah tangga mereka dilanjutkan maka istri akan menderita. Maka untuk
lepas dari suami, Allah memberi jalan keluar yaitu dengan khulu’.
2. Menghindari dari mudharat (bahaya) atau ancaman rumah tangga yang tidak baik.
Pada masa Jahiliyah, wanita tidak mempunyai hak sama sekali bahkan bayi
perempuan yang lahir dikubur hidup-hidup disebabkan mereka menganggap itu sebagai
aib. Dengan datangnya Islam, semua hal itu dirubah wanita mempunyai kedudukan
yang terhormat memberikan perlindungan yang besar pada wanita. Apalagi bila suami
berlaku aniaya terhadap istri maka hal itu mengakibatkan istri boleh mengajukan
khulu’.
3. Penyelesaian yang baik dengan mengembalikan lagi harta suami yang pernah diberikan
pada istri.23
Selain dua hikmah diatas yang terpenting dari khulu’ adalah ia merupakan
solusi terbaik terhadap perselisihan yang terjadi didalam rumah tangga yaitu dengan
mengembalikan lagi harta suami yang pernah diberikan pada istri.

23
Ali Muhammad al-Jarjawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm. 53.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Menunjukkan bahwa Islam memberlakukan keadilan untuk wanita dalam ruang


lingkup rumah tangga, hal ini dibuktikan adanya hak khulu’ bagi wanita. Kebolehan khulu’ itu
adalah untuk menghindarkan si istri dari kesulitan dan kemudaratan yang dirasakannya bila
perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak si suami karena ia sudah mendapat iwadh dari
istrinya atas permintaan cerai dari istrinya itu.

Hukum khulu’ itu adalah tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan
suami istri. Apabila suami berhak melepaskan diri dari hubungan dengan istrinya
menggunakan cara thalaq, istri juga mempunyai hak dan kesempatan bercerai dari suaminya
dengan menggunakan cara khulu’. Hal ini didasarkan kepada pandangan fiqh bahwa perceraian
itu merupakan hak mutlak seorang suami yang tidak dimiliki oleh istrinya, kecuali dengan cara
lain atau alasan-alasan yang dibenarkan oleh syara'.
DAFTAR PUSTAKA

Ahnan, Maftuh, Fiqih Wanita, Surabaya: Terbit Terang, tt.

Al-Jarjawi, Ali Muhammad, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

Ayyub, Hasan, Fiqih Keluarga, Penerjemah M.Abdul Ghoffar, Judul asli “Fiqih al- Ushrah
al-Muslimah”, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm. 319.

Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2008.

H. Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993.

Mansur, Abu, Lisan el-Arab, Daar el-Hadist, Kairo, 2003.

Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Munawwir, A.W., Al-Munawwir: Kamus arab Indonesia, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997.

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Terj. M.A. Abdurrahman dan A.Haris Abdullah, Semarang:
as-Syifa, 1990.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.

Tim Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam DEPAG RI, Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia, t.tp, Jakarta, 2001.

tafsirweb.com. “Surat Al-Baqarah Ayat 229 Arab, Latin, Terjemah Dan Tafsir | Baca Di
TafsirWeb.” Accessed November 14, 2023. https://tafsirweb.com/871-surat-al-
baqarah-ayat-229.html.

Anda mungkin juga menyukai