ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penyelesaian perkara cerai
gugat dan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya
perkara cerai gugat pada Pengadilan Agama Majene. Penelitian ini dilaksanakan
di kantor Pengadilan Agama Majene dengan menggunakan metode wawancara
langsung dengan beberapa hakim setempat juga dilakukan studi kepustakaan
dengan menelaah beberapa tulisan yang berhubungan dengan topik pembahasan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) berdasarkan ketentuan Pasal 73 ayat
(1) telah menetapkan secara permanen bahwa dalam perkara cerai gugat, yang
bertindak dan berkedudukan sebagai Penggugat adalah “Istri”. Pada pihak lain,
“Suami” ditempatkan sebagai pihak Tergugat. (2) Gugatan diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman “Penggugat/Istri”.
(3) Gugatan perceraian memperbolehkan digabung bersamaan sekaligus dengan
gugat penguasaan anak, nafkah, dan pembagian harta bersama. (4) Faktor
terjadinya cerai gugat pada Pengadilan Agama Majene yaitu : faktor moral,
meninggalkan kewajiban, terus menerus berselisih.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tiada perkawinan yang hendak diakhiri dengan perceraian. Setiap
pasangan tentunya menginginkan kehidupan perkawinannya akan berlangsung
lama bahkan lebih lama dari kehidupan mereka sendiri di dunia ini. Sebagaimana
tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-
Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Kita semua berharap
idealnya dapat menjadikan rumah sebagai tempat berteduh yang penuh
kerukunan, dan tempat berlindung dari dunia luar. Ketika perkawinan telah
berubah menjadi ajang pertikaian, rumah tidak lagi menjadi bersahabat. Beberapa
individu akan meninggalkan perkawinan itu untuk mencari kedamaian, karenanya
sangat penting mencari jalan untuk mengakhiri pertengkaran yang
berkepanjangan, sebelum perkawinan menjadi begitu rapuh, sehingga tidak dapat
diteruskan. Ketika sebuah perkawinan harus menghadapi masa-masa sulit yang
dapat dielakkan lagi, perceraian bisa menjadi pilihan terbaik cukup menyakitkan.
Dalam tatanan kehidupan masyarakat dan bernegara masalah perkawinan
bukanlah semata mata urusan pribadi saja, akan tetapi sudah menjadi urusan
pemerintah. Sebab keterkaitan dan dampak yang muncul dari masalah perkawinan
dalam suatu masyarakat adalah sangat luas, oleh karena itu sudah merupakan
suatu kewajiban bagi pemerintah untuk menetapkan aturan-aturan hukum di
bidang perkawinan. Mengingat arti penting dari perkawinan maka Indonesia
sebagai Negara hukum yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 membentuk beberapa aturan hukum yang mengatur tentang perkawinan
yaitu adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, diikuti
dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974.
Perceraian sendiri adalah sebuah proses yang tidak menyenangkan.
Seringkali terjadi, pasangan menghindari proses ini kendati perkawinan mereka
sudah berakhir, mereka mengabaikannya dan meneruskan hidup seolah tidak
pernah terjadi masalah. Mereka berusaha untuk tetap mempertahankan
perkawinannya sekalipun dalam perkawinan itu tidak ada kebahagiaan. Dengan
berbagai alasan mereka berusaha untuk menghindari perceraian. Apalagi jika
kedua pasangan itu telah memiliki anak. Mereka sekuat mungkin berusaha
mempertahankan perkawinan, walaupun pada dasarnya perkawinan mereka telah
gagal untuk dipertahankan.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Menurut Kamal Muchtar, ”Perceraian” dalam istilah fiqih disebut
“Talak” atau “Furqah”. “Talak” berarti “membuka ikatan”, “membatalkan
perjanjian”. “Furqah” berarti “bercerai”, lawan dari “berkumpul”. Kemudian
kedua perkataan dijadikan istilah oleh ahli-ahli fiqih yang berarti : perceraian
antara suami istri.
Perkataan “Talak” dan “Furqah” dalam istilah fiqih mempunyai arti yang
umum dan arti yang khusus. Arti yang umum, ialah segala macam bentuk
perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang telah ditetapkan oleh hakim dan
perceraian yang jatuh dengan sendirinya seperti perceraian yang disebabkan
meninggalnya salah seorang dari suami atau istri. Arti khusus ialah perceraian
yang dijatuhkan oleh suami saja.
Perkataan “Talak” oleh ahli fiqih yang dahulu lebih banyak diartikan
dengan arti yang umum daripada arti yang khusus. Hal ini dapat dilihat pada
kitab-kitab fiqih yang lama yang menyebut “bab perceraian” dengan “Kitaabut
Thalaq”. Para ahli fiqih yang sekarang lebih banyak mengartikan “Talak” dengan
arti yang khusus dari arti yang umum. Perkataan “Furqah” lebih banyak diartikan
dengan arti yang umum dari yang khusus.
Pada uraian selanjutnya kedua arti dari “Talak” yaitu arti umum dan arti
khusus dipakai disesuaikan dengan masalah yang sedang dibicarakan.
2. Pengertian Cerai Gugat
Cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam UUP dan PP 9/1975
adalah gugatan yang diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya ke pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 40 UUP jo.
Pasal 20 ayat [1] PP 9/1975).
Dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai
gugat berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam
UUP dan PP 9/1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami
atau istri, mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan
oleh istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang
berbunyi :
”Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan
Agama,. Yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali
isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.”
Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan
sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 133 ayat [2]
KHI).
Gugatan cerai, dalam bahasa Arab disebut Al-Khulu (ُعB) ال ُخ ْل. Kata Al-
Khulu (ُ ) ال ُخ ْلعdengan didhommahkan hurup kha’nya dan disukunkan huruf Lam-
ِ ْ) ُخ ْل ُع ْالشو. Maknanya melepas pakaian. Lalu digunakan
nya, berasal dari kata (ب
untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari
ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman.
ه َُّن لِبَاسٌ لَ ُك ْم َوَأ ْنتُ ْم لِبَاسٌ لَه َُّن
“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”
[Al-Baqarah : 187].
Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam
banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-
Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri
dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada
suaminya [1]. Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah
perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya,
atau selainnya dengan lafazh yang khusus.”
HUKUM AL-KHULU’
Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
دُو َدBُا حBBَواَل يَ ِحلُّ لَ ُك ْم َأ ْن تَْأ ُخ ُذوا ِم َّما آتَ ْيتُ ُموه َُّن َش ْيًئا ِإاَّل َأ ْن يَخَافَا َأاَّل يُقِي َما ُحدُو َد هَّللا ِ ۖ فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل يُقِي َم
ََت بِ ِه ۗ تِ ْلكَ حُ دُو ُد هَّللا ِ فَاَل تَ ْعتَدُوهَا ۚ َو َم ْن يَتَ َع َّد ُحدُو َد هَّللا ِ فَُأو ٰلَِئكَ هُ ُم الظَّالِ ُمون
ْ هَّللا ِ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما فِي َما ا ْفتَد
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-
isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.
Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’
[Al-Baqarah : 229]
Tabel. 1
Keadaan Perkara yang diterima dan diputus
Tahun 2010-2015
Perkara
No. Tahun Persentase
Diterima Diputus
1 2010 139 131 94,24%
2 2011 136 128 94,12%
3 2012 187 169 90,37%
4 2013 226 213 94,25%
5 2014 407 396 97,30%
6 2015 584 572 97,95%
Tabel 2
Perincian Jenis Perkara Yang Diterima Pengadilan Agama Majene
Tahun 2010-2015
Tahun
No. Jenis Perkara
2010 2011 2012 2013 2014 2015
A PERKAWINAN
1. Izin Poligami - - - - 1 1
2. Pencegahan Perkawinan - - - - - -
3. Penolakan Perkawinan oleh PPN - - - - - -
4. Pembatalan Perkawinan - - - - - -
5. Kelalaian Atas Kewajiban Suami/Istri - - - - - -
6. Cerai Talak 29 38 42 46 38 50
7. Cerai Gugat 75 65 83 86 100 121
8. Harta Bersama - - 2 - - 3
9. Penguasaan Anak/Hadhanah - 1 - - - -
10. Nafkah Anak Oleh Ibu Karena Ayah - - - - - -
Tidak Mampu
11. Hak-Hak Bekas Istri/Kewajiban Bekas - - - - - -
Suami - - - 4 1 2
12. Pengesahan Anak/Pengangkatan Anak - - - - - -
13. Pencabutan Kekuasaan Orang Tua - - - - - 1
14. Perwalian - - - - - -
15. Pencabutan Kekuasaan Wali - - - - - -
16. Penunjukan Orang Lain Sebagai Wali
Oleh Pengadilan - - - - - -
17. Ganti Rugi Terhadap Wali - - - - - -
18. Asal Usul Anak - - - - - -
19. Penolakan Kawin Campur 24 21 29 68 240 374
20. Itsbat Nikah - - - - - -
21. Izin Kawin 2 4 15 12 18 19
22. Dispensasi Kawin 2 - 1 3 1 1
23. Wali Adhol - 2 2 2 3 1
KEWARISAN - - - - - -
WASIAT - - - - - -
B HIBAH - 1 - - - -
C WAKAF - - - - - -
D ZAKAT/INFAQ/SHODAQOH - - - - - -
E P3HP/Penetapan Ahli Waris 7 4 13 5 5 10
F Lain-lain - - - - - 1
G
H
JUMLAH 139 136 187 226 407 584
3. Ekonomi
Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini memaksa kedua
pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,
sehingga seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap
pasangan berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki
pekerjaan.
4. Pernikahan Tidak Dilandasi Rasa Cinta
Untuk kasus yang satu ini biasanya terjadi karena faktor tuntutan orang
tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan pasangan yang sudah
ditentukan, sehingga setelah menjalani bahtera rumah tangga sering kali
pasangan tersebut tidak mengalami kecocokan.
5. Harapan Tidak Realistis
Berharap pasangan akan berubah setelah menikah. Hal ini berhubungan
dengan pemahaman masing-masing pihak terhadap pasangannya. Seringkali
perselisihan terjadi karena mengharapkan perubahan dari pasangan.
Padahal perilaku yang diprotes belum tentu membahayakan fisik
maupun mental pasangan. Pasangan suami istri perlu rela hati menurunkan
harapan atas perilaku pasangan yang tidak prinsip.
6. Power Dalam Perkawinan
Ada yang ingin suami pegang kendali, ada yang ingin istri yang
mengatur. Padahal ini hanyalah masalah kesepakatan. Terlihat tidak penting,
namun nyatanya bisa mengantar pasangan ke Pengadilan Agama.
7. Konflik Peran
Dalam perkawinan akan ada pembagian peran, seperti siapa yang
mengasuh anak, siapa yang mencari nafkah. Ini bisa jadi sumber pertentangan
dan menimbulkan ketidakpuasan antar suami istri. Terutama karena sekarang
banyak istri berkarir.
8. Cinta Meredup
Ada yang bilang daripada diberi perasaan jatuh cinta, lebih baik diberi
kekuatan menjaga cinta. Karena cinta itu perlu dipupuk agar terus menyala.
Pasangan yang sudah menikah, berapa tahun pun, perlu tetap membakar cinta,
salah satunya dengan mengungkapkan rasa sayang.
Biasanya orang bilang, “Ah sudah nikah, untuk apa aku menunjukkan
rasa cinta,” atau bilang, “Ah buat apalah mesra, seperti orang pacaran saja.”
Padahal jika satu dua tahun tanpa ekspresi, cinta bisa hambar.
9. Seks
Didalam melakukan hubungan seks dengan pasangan kerap kali pasangan
mengalami tidak puas dalam bersetubuh dengan pasangannya, sehingga
menimbulkan kejenuhan tiap melakukan hal tersebut, dan tentunya anda harus
mensiasati bagaimana pasangan anda mendapatkan kepuasan setiap melakukan
hubungan seks.
10. Affair (Orang Ketiga)
Adanya orang ketiga membuat sebuah perkawinan sulit dipertahankan.
Selain cinta yang membutakan, hal paling penting yang justru membuat
perkawinan bubar jalan adalah kepercayaan. Dalam sebuah perkawinan, rasa
saling percaya yang melahirkan rasa aman dan nyaman adalah tiang utama.
Begitu kepercayaan itu hilang, maka tidak ada lagi faktor penguat.
Sehingga pasangan yang sudah menikah perlu berpikir panjang sebelum
bermain api. Alasan “tidak melibatkan perasaan” ketika melakukan affair
adalah argumentasi “lima menitan”. Karena arah perasaan seringkali tidak
bisa ditebak.
Terkhusus perkara Nomor 2/Pdt.G/2017/PA.Mj yang menjadi bahan
penelitian, penyebab perceraiannya sebagai berikut :
a. Bahwa sejak akhir tahun 2014 antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi
perselisihan karena pada saat itu Penggugat dan Tergugat berada di Papua
sedang mengandung dan ingin pulang ke Malunda untuk melahirkan disana
namun Tergugat marah-marah dengan alasan kalau Tergugat belum memiliki
uang sewa kapal;
b. Bahwa Tergugat sering mengucapkan kata-kata hinaan seperti anjing/
mengucapkan kata-kata cerai / melakukan kekerasan fisik kepada Penggugat
ketika marah;
c. Bahwa puncak perselisihan / kemelut rumah tangga antara Penggugat dan
Tergugat terjadi pada pertengahan Januari 2016 dimana Penggugat dari pasar
belanja keperluan dapur namun sesampai di rumah, orang tua Tergugat
langsung marah-marah kepada Penggugat karena Penggugat meninggalkan
anak Penggugat dengan Tergugat sendiri di rumah sampai menangis, sehingga
Penggugat langsung menelpon Tergugat di tempat kerjanya untuk mengantar
Penggugat pulang ke rumah orang tuanya di Malunda namun Tergugat bahkan
marah-marah dan sampai mengatakan kepada Penggugat jikalau memang
Penggugat ingin pulang ke rumah orang tuanya pulang saja karena Tergugat
tidak mau mengantarnya akibatnya langsung meninggalkan Tergugat ke rumah
orang tuanya di malunda;
d. Bahwa Penggugat dengan Tergugat sudah berpisah tempat tinggal selama 1
Tahun;
e. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak pernah ada komunikasi dan
saling memperdulikan lagi selama 1 Tahun;
f. Bahwa Penggugat dengan Tergugat sudah pernah diupayakan untuk
dirukunkan oleh pihak keluarga Penggugat namun tidak berhasil;
A. Kesimpulan
B. Saran
http://www.almanhaj.or.id/2382-al-khulu-gugatan-cerai-dalam-
islam.html. Artikel diakses pada tanggal 18 September 2017.
Intruksi Presiden R.I No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Perundang-Undangan :