Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN YURIDIS TENTANG CERAI GUGAT

PADA PENGADILAN AGAMA MAJENE


“Kajian Putusan No. 2/Pdt.G/2017/PA.Mj”

ANDI MUHAMMAD AQSHA

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penyelesaian perkara cerai
gugat dan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya
perkara cerai gugat pada Pengadilan Agama Majene. Penelitian ini dilaksanakan
di kantor Pengadilan Agama Majene dengan menggunakan metode wawancara
langsung dengan beberapa hakim setempat juga dilakukan studi kepustakaan
dengan menelaah beberapa tulisan yang berhubungan dengan topik pembahasan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) berdasarkan ketentuan Pasal 73 ayat
(1) telah menetapkan secara permanen bahwa dalam perkara cerai gugat, yang
bertindak dan berkedudukan sebagai Penggugat adalah “Istri”. Pada pihak lain,
“Suami” ditempatkan sebagai pihak Tergugat. (2) Gugatan diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman “Penggugat/Istri”.
(3) Gugatan perceraian memperbolehkan digabung bersamaan sekaligus dengan
gugat penguasaan anak, nafkah, dan pembagian harta bersama. (4) Faktor
terjadinya cerai gugat pada Pengadilan Agama Majene yaitu : faktor moral,
meninggalkan kewajiban, terus menerus berselisih.

KATA KUNCI : Cerai, Penggugat, Hukum.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tiada perkawinan yang hendak diakhiri dengan perceraian. Setiap
pasangan tentunya menginginkan kehidupan perkawinannya akan berlangsung
lama bahkan lebih lama dari kehidupan mereka sendiri di dunia ini. Sebagaimana
tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-
Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Kita semua berharap
idealnya dapat menjadikan rumah sebagai tempat berteduh yang penuh
kerukunan, dan tempat berlindung dari dunia luar. Ketika perkawinan telah
berubah menjadi ajang pertikaian, rumah tidak lagi menjadi bersahabat. Beberapa
individu akan meninggalkan perkawinan itu untuk mencari kedamaian, karenanya
sangat penting mencari jalan untuk mengakhiri pertengkaran yang
berkepanjangan, sebelum perkawinan menjadi begitu rapuh, sehingga tidak dapat
diteruskan. Ketika sebuah perkawinan harus menghadapi masa-masa sulit yang
dapat dielakkan lagi, perceraian bisa menjadi pilihan terbaik cukup menyakitkan.
Dalam tatanan kehidupan masyarakat dan bernegara masalah perkawinan
bukanlah semata mata urusan pribadi saja, akan tetapi sudah menjadi urusan
pemerintah. Sebab keterkaitan dan dampak yang muncul dari masalah perkawinan
dalam suatu masyarakat adalah sangat luas, oleh karena itu sudah merupakan
suatu kewajiban bagi pemerintah untuk menetapkan aturan-aturan hukum di
bidang perkawinan. Mengingat arti penting dari perkawinan maka Indonesia
sebagai Negara hukum yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 membentuk beberapa aturan hukum yang mengatur tentang perkawinan
yaitu adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, diikuti
dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974.
Perceraian sendiri adalah sebuah proses yang tidak menyenangkan.
Seringkali terjadi, pasangan menghindari proses ini kendati perkawinan mereka
sudah berakhir, mereka mengabaikannya dan meneruskan hidup seolah tidak
pernah terjadi masalah. Mereka berusaha untuk tetap mempertahankan
perkawinannya sekalipun dalam perkawinan itu tidak ada kebahagiaan. Dengan
berbagai alasan mereka berusaha untuk menghindari perceraian. Apalagi jika
kedua pasangan itu telah memiliki anak. Mereka sekuat mungkin berusaha
mempertahankan perkawinan, walaupun pada dasarnya perkawinan mereka telah
gagal untuk dipertahankan.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Menurut Kamal Muchtar, ”Perceraian” dalam istilah fiqih disebut
“Talak” atau “Furqah”. “Talak” berarti “membuka ikatan”, “membatalkan
perjanjian”. “Furqah” berarti “bercerai”, lawan dari “berkumpul”. Kemudian
kedua perkataan dijadikan istilah oleh ahli-ahli fiqih yang berarti : perceraian
antara suami istri.
Perkataan “Talak” dan “Furqah” dalam istilah fiqih mempunyai arti yang
umum dan arti yang khusus. Arti yang umum, ialah segala macam bentuk
perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang telah ditetapkan oleh hakim dan
perceraian yang jatuh dengan sendirinya seperti perceraian yang disebabkan
meninggalnya salah seorang dari suami atau istri. Arti khusus ialah perceraian
yang dijatuhkan oleh suami saja.
Perkataan “Talak” oleh ahli fiqih yang dahulu lebih banyak diartikan
dengan arti yang umum daripada arti yang khusus. Hal ini dapat dilihat pada
kitab-kitab fiqih yang lama yang menyebut “bab perceraian” dengan “Kitaabut
Thalaq”. Para ahli fiqih yang sekarang lebih banyak mengartikan “Talak” dengan
arti yang khusus dari arti yang umum. Perkataan “Furqah” lebih banyak diartikan
dengan arti yang umum dari yang khusus.
Pada uraian selanjutnya kedua arti dari “Talak” yaitu arti umum dan arti
khusus dipakai disesuaikan dengan masalah yang sedang dibicarakan.
2. Pengertian Cerai Gugat
Cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam UUP dan PP 9/1975
adalah gugatan yang diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya ke pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 40 UUP jo.
Pasal 20 ayat [1] PP 9/1975).
Dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai
gugat berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam
UUP dan PP 9/1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami
atau istri, mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan
oleh istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang
berbunyi :
”Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan
Agama,. Yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali
isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.”
Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan
sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 133 ayat [2]
KHI).
Gugatan cerai, dalam bahasa Arab disebut Al-Khulu (ُ‫ع‬B‫) ال ُخ ْل‬. Kata Al-
Khulu (ُ‫ ) ال ُخ ْلع‬dengan didhommahkan hurup kha’nya dan disukunkan huruf Lam-
ِ ْ‫) ُخ ْل ُع ْالشو‬. Maknanya melepas pakaian. Lalu digunakan
nya, berasal dari kata (‫ب‬
untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari
ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman.
‫ه َُّن لِبَاسٌ لَ ُك ْم َوَأ ْنتُ ْم لِبَاسٌ لَه َُّن‬
“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”
[Al-Baqarah : 187].
Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam
banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-
Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri
dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada
suaminya [1]. Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah
perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya,
atau selainnya dengan lafazh yang khusus.”
HUKUM AL-KHULU’
Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
‫ دُو َد‬Bُ‫ا ح‬BB‫َواَل يَ ِحلُّ لَ ُك ْم َأ ْن تَْأ ُخ ُذوا ِم َّما آتَ ْيتُ ُموه َُّن َش ْيًئا ِإاَّل َأ ْن يَخَافَا َأاَّل يُقِي َما ُحدُو َد هَّللا ِ ۖ فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل يُقِي َم‬
َ‫َت بِ ِه ۗ تِ ْلكَ حُ دُو ُد هَّللا ِ فَاَل تَ ْعتَدُوهَا ۚ َو َم ْن يَتَ َع َّد ُحدُو َد هَّللا ِ فَُأو ٰلَِئكَ هُ ُم الظَّالِ ُمون‬
ْ ‫هَّللا ِ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما فِي َما ا ْفتَد‬
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-
isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.
Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’
[Al-Baqarah : 229]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas


Radhiyallahu ‘anhuma.
‫ُول هَّللا َماَأنقِ ُم َعلَى‬َ ‫ت يَا َرس‬ ْ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَال‬ َ ‫س ِإلَى النَّبِ ِّي‬ ٍ ‫ت ام َرَأةُ ثَابِت ب ِْن قَيْس ْب ِن َش َّما‬ ْ ‫َجا َء‬
ْ َ‫ال‬Bَ‫هُ فَق‬Bَ‫ ِه َح ِديقَت‬B‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَتَ ُر ِّد ْينَ َعلَ ْي‬
‫ت نَ َع ْم‬ َ ِ ‫ق ِإالَّ َأنِّي َأخَافُ ْال ُك ْف َر فَقَا َل َرسُوهَّللا‬
ِ ُ‫ت فِي ِدي ٍْن َوالَ ُخل‬ٍ ِ‫ثَاب‬
َ َ‫ت َعلَ ْي ِه َوَأ َم َرهُ فَف‬
‫ارقَهَا‬ ْ ‫فَ َر َّد‬
“Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam
agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya
kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun
menceraikannya” [HR Al-Bukhari]
Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ pada masalah tersebut,
sebagaimana dinukilkan Ibnu Qudamah [3], Ibnu Taimiyyah [4], Al-Hafizh Ibnu
Hajar [5], Asy-Syaukani [6], dan Syaikh Abdullah Al-Basam [7], Muhammad bin
Ali Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma tentang syari’at Al-Khulu,
kecuali seorang tabi’in bernama Bakr bin Abdillah Al-Muzani… dan telah terjadi
ijma’ setelah beliau tentang pensyariatannya.
B. Metode Penelitian
1. Wawancara (interview)
Adalah penelitian lapangan dilakukan dengan wawancara langsung kepada
para hakim dan Pegawai Pengadilan Agama Majene serta para pihak yang
berperkara guna mendapatkan data yang diperlukan.
2. Observasi
Adalah suatu penelitian yang dilakukan secara langsung terhadap objek
atau masalah yang akan diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Gambaran Umum Instansi Pengadilan Agama Majene
1. Sejarah Dan Dasar Hukum
Jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, sistem
peradilan Islam di Indonesia sudah lama berjalan bahkan dapat dikatakan seusia
dengan masuknya Islam di Indonesia terutama untuk pelaksanaan syari'at Islam
menyangkut ibadah, muamalah, kewarisan termasuk perkawinan dan perceraian.
Pada kerajaan-kerajaan yang termasuk wilayah Pitu Ulunna Salu Pitu
Ba'bana Binanga, setiap raja (Mara'dia sebutan Mandar) didampingi oleh seorang
ahli agama yang bertugas memberi petunjuk di bidang keagamaan kepada
masyarakat dengan gelar Kadhi (Puangkali sebutan Mandar), tugas-tugas
kekadhian tersebut masih terus berjalan hingga terbentuk dan berjalannya secara
efektif Pengadilan Agama, termasuk di Kabupaten Majene.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar Jawa-Madura,
maka pembentukan dan realisasi di daerah Sulawesi Selatan dimulai pada tahun
1958 dan akhirnya Pengadilan Agama Majene pertama kali berdiri dan berkantor
di Gedung Assamalewuang Majene pada Tahun 1964, kemudian pada Tahun
1977 melakukan aktivitas dan berkantor di Kolong Rumah Warga Indo Sumang.
Pada Tahun 1979, Pengadilan Agama Majene secara resmi mempunyai bangunan
sendiri sebagai balai sidang, yang merupakan gedung lama Pengadilan Agama
Majene, saat ini dijadikan Gedung Mess Pengadilan Agama Majene, berada di
Samping Kantor Polres Kab. Majene. Dan terakhir pada Tahun 2012 telah berdiri
Gedung Kantor Baru yang letaknya sekitar ± 300 meter dari gedung lama.
a. Struktur Organisasi
Struktur Organisasi (susunan) Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan,
Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita.
1. Pimpinan Pengadilan Agama Majene dipimpin oleh seorang Ketua, Munawar,
S.H.,M.H. dan seorang Wakil Ketua, Dewiati,S.H.,M.H.
2. Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
3. Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin
oleh seorang Panitera.
4. Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh 3
(orang) Panitera Muda yaitu Panitera Muda Permohonan, Panitera Muda Gugatan,
Panitera Muda Hukum. Disamping itu Panitera juga dibantu oleh beberapa orang
Panitera Pengganti dan beberapa orang Jurusita/Jurusita Pengganti.
5. Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin
oleh seorang Sekretaris.
6. Dalam melaksanakan tugasnya Sekretaris dibantu oleh 3 (orang) Kaur/Kasubag
yaitu Kasubag/Kaur Kepegawaian, Kasubag/Kaur Keuangan, Kasubag/Kaur
Umum.
b. Kompetensi Absolut
Kompetensi Peradilan Agama diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009, yaitu :
A. PERKAWINAN, antara lain :
1. Izin Poligami
2. Pencegahan Perkawinan
3. Penolakan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
4. Pembatalan Perkawinan
5. Kelalaian Atas Kewajiban Suami / Istri
6. Cerai Talak
7. Cerai Gugat
8. Harta Bersama
9. Penguasaan Anak / Hadhanah
10. Nafkah Anak oleh Ibu Karena Ayah tidak Mampu
11. Hak-hak Bekas Istri / Kewajiban Bekas Suami
12. Pengesahan Anak / Pengangkatan Anak
13. Pencabutan Kekuasaan Orang Tua
14. Perwalian
15. Pencabutan Kekuasaan Wali
16. Penunjukan Orang Lain Sebagai Wali oleh Pengadilan
17. Ganti Rugi Terhadap Wali
18. Asal Usul Anak
19. Penolakan Kawin Campuran
20. Itsbath Nikah
21. Izin Kawin
22. Dispensasi Kawin
23. Wali Adhal
B. EKONOMI SYARI'AH
a. Bank Syariah
b. Lembaga Keuangan Mikro Syari'ah
c. Asuransi Syari'ah
d. Reasuransi Syari'ah
e. Reksa Dana Syari'ah
f. Obligasi Syari'ah
g. Sekuritas Syari'ah
h. Pembiayaan Syari'ah
i. Pegadaian Syari'ah
j. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari'ah
k. Bisnis Syari'ah
C. KEWARISAN
D. WASIAT
E. HIBAH
F. WAKAF
G. ZAKAT/INFAQ/SHADAQAH
H. P3HP / Penetapan Ahli Waris
I. Lain-lain
c. Kompetensi Relatif
Kompetensi Relatif Pengadilan Agama Majene menyangkut wilayah
hukum meliputi wilayah hukum pemerintah daerah Kabupaten Majene yaitu
terdiri dari 8 Kecamatan, dengan keterangan sebagai berikut :
1. Kecamatan Banggae
2. Kecamatan Banggae Timur
3. Kecamatan Pamboang
4. Kecamatan Sendana
5. Kecamatan Tammero’do Sendana
6. Kecamatan Tubo Sendana
7. Kecamatan Malunda
8. Kecamatan Ulumanda.
1. Tugas Pokok Pengadilan Agama Majene
Tugas pokok Pengadilan Agama Majene adalah memeriksa, memutus,
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama yang ada di
wilyah yurisdiksi Kabupaten Majene, antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Ekonomi Syariahyang dilakukan
berdasarkan hukum Islam serta Wakaf dan Shadaqah, sebagaimana diatur dalam
Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
kemudian diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009.
2. Fungsi Pengadilan Agama Majene
Untuk melaksanakan tugas pokok,Pengadilan Agama Majene mempunyai
fungsi sebagai berikut :
a. Memberikan pelayanan teknis yudisial dan administrasi kepaniteraan bagi
perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi.
b. Memberikan pelayanan di bidang administrasi perkara Banding, Kasasi dan
Peninjauan Kembali serta administrasi perkara lainnya.
c. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan
Pengadilan Agama (Umum, Kepegawaian dan Keuangan).
d. Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan pertolongan pembagian harta
peninggalan di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam serta
waarmeking Akta Keahliwarisandibawah tangan untuk pengambilan
deposito/tabungan, pensiunan dan sebagainya.
e. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum Islam
kepada Instansi pemerintah dan Daerah hukumnya, apabila diminta.
f. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya dalam pembinaan hukum agama
seperti persidangan kesaksian rukyat hilal, pelayanan riset/penelitian,
penyebaran informasi hukum, nasehat mengenai perbedaan penentuan arah
kiblat dan penentuan waktu sholat dan sebagainya.

3. Visi dan Misi


Visi adalah suatu gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan
yang diinginkan untuk mewujudkan tercapainya tugas pokok dan fungsi
Pengadilan Agama Majene. Visi Pengadilan Agama Majene mengacu pada Visi
Mahkamah Agung RI yang dicanangkan untuk tahun 2010-2035 adalah sebagai
berikut :
"TERWUJUDNYA PENGADILAN AGAMA MAJENE YANG
AGUNG"
Visi Pengadilan Agama Majene tersebut diharapkan dapat memotivasi
seluruh pegawai Pengadilan Agama Majene dalam menjalankan aktivitas. Bahwa
untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi Pengadilan Agama Majene ditetapkan
sebagai berikut adalah :
1. Mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan dan
transparasi.
2. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Aparatur Peradilan dalam rangka
peningkatan pelayanan pada masyarakat.
3. Melaksanakan pengawasan dan pembinaan yang efektif dan efisien.
4. Melaksanakan tertib administrasi dan manajemen peradilan yang efektif
dan efisien.
5. Mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana peradilan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Dalam kaitan tersebut, di Pengadilan Agama Majene dalam kurun waktu 6
(enam) tahun terakhir ini sejak Januari 2010 sampai Desember 2015 telah
dapat diselesaikan perkara yang diajukan kepadanya sebagai berikut :

Tabel. 1
Keadaan Perkara yang diterima dan diputus
Tahun 2010-2015
Perkara
No. Tahun Persentase
Diterima Diputus
1 2010 139 131 94,24%
2 2011 136 128 94,12%
3 2012 187 169 90,37%
4 2013 226 213 94,25%
5 2014 407 396 97,30%
6 2015 584 572 97,95%

Sumber Data : Data Sekunder Pengadilan Agama Majene Tahun 2010-2015


Dari table tersebut diatas, tampak bahwa pada tahun 2015 menduduki tempat
paling tinggi perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama Majene dengan
persentase 97,95% dari perkara yang masuk 584 perkara, kemudian pada tahun
2014 sebanyak 407 perkara yang masuk dan yang diputus sebanyak 396 perkara
atau 97,30%, kemudian tahun 2013 dengan perkara yang masuk sebanyak 226
perkara dan yang diputus sebanyak 213 perkara atau 94,25%, disusul tahun 2012
degan perkara yang diterima sebanyak 187 dan perkara yang diputus 169 perkara
atau 90,37%, disusul tahun 2011 dengan perkara yang diterima sebanyak 136 dan
perkara yang diputus 128 perkara atau 94,12%, dan yang terakhir pada tahun 2010
dengan perkara yang diterima sebanyak 139 dan yang diputus 131 atau 94,24%.

Tabel 2
Perincian Jenis Perkara Yang Diterima Pengadilan Agama Majene
Tahun 2010-2015
Tahun
No. Jenis Perkara
2010 2011 2012 2013 2014 2015
A PERKAWINAN
1. Izin Poligami - - - - 1 1
2. Pencegahan Perkawinan - - - - - -
3. Penolakan Perkawinan oleh PPN - - - - - -
4. Pembatalan Perkawinan - - - - - -
5. Kelalaian Atas Kewajiban Suami/Istri - - - - - -
6. Cerai Talak 29 38 42 46 38 50
7. Cerai Gugat 75 65 83 86 100 121
8. Harta Bersama - - 2 - - 3
9. Penguasaan Anak/Hadhanah - 1 - - - -
10. Nafkah Anak Oleh Ibu Karena Ayah - - - - - -
Tidak Mampu
11. Hak-Hak Bekas Istri/Kewajiban Bekas - - - - - -
Suami - - - 4 1 2
12. Pengesahan Anak/Pengangkatan Anak - - - - - -
13. Pencabutan Kekuasaan Orang Tua - - - - - 1
14. Perwalian - - - - - -
15. Pencabutan Kekuasaan Wali - - - - - -
16. Penunjukan Orang Lain Sebagai Wali
Oleh Pengadilan - - - - - -
17. Ganti Rugi Terhadap Wali - - - - - -
18. Asal Usul Anak - - - - - -
19. Penolakan Kawin Campur 24 21 29 68 240 374
20. Itsbat Nikah - - - - - -
21. Izin Kawin 2 4 15 12 18 19
22. Dispensasi Kawin 2 - 1 3 1 1
23. Wali Adhol - 2 2 2 3 1
KEWARISAN - - - - - -
WASIAT - - - - - -
B HIBAH - 1 - - - -
C WAKAF - - - - - -
D ZAKAT/INFAQ/SHODAQOH - - - - - -
E P3HP/Penetapan Ahli Waris 7 4 13 5 5 10
F Lain-lain - - - - - 1
G
H
JUMLAH 139 136 187 226 407 584

Sumber Data : Data Sekunder Pengadilan Agama Majene Tahun 2010-2015


B. Proses Penyelesaian Perkara Cerai Gugat Pada Pengadilan Agama
Majene

1. Tata Cara Pemeriksaan Cerai Gugat

Bentuk perceraian lain yang diatur dalam Undang-Undang ialah bentuk


“Cerai Gugat”. Bentuk cerai gugat diatur dalam Bab IV, Bagian Kedua, Paragraf
3. Pada dasarnya proses pemeriksaan perkara cerai gugat tidak banyak berbeda
dengan cerai talak. Oleh karena itu, dalam uraian mengenai cerai gugat, hanya
membahas hal-hal yang berlainan dengan cerai talak. Sepanjang hal-hal yang
sama tidak akan diulang lagi. Misalnya tentang hal yang berkenaan dengan
pengiriman salinan dan pemberian akta cerai adalah sama seperti apa yang sudah
dijelaskan pada cerai talak.

a. Penggugat Istri, Tergugat Suami


Pasal 73 ayat (1) telah menetapkan secara permanen bahwa dalam
perkara cerai gugat, yang bertindak dan berkedudukan sebagai Penggugat
adalah “Istri”. Pada pihak lain, “Suami” ditempatkan sebagai pihak
Tergugat. Dengan demikian, masing-masing telah mempunyai jalur
tertentu dalam upaya menuntut perceraian. Jalur suami melalui upaya cerai
talak dan jalur istri melalui upaya cerai gugat.
b. Kompetensi Relatif Perkara Cerai Gugat
Mengenai Pengadilan Agama mana yang kompeten memeriksa
perkara cerai gugat diatur dalam Pasal 73. Dalam Pasal ini telah ditentukan
aturan pokok dan aturan tambahan kompetensi relative mengadili perkara
cerai gugat.
- Aturan pokok : gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman “Penggugat”. Ketentuan ini
merupakan kebalikan dan pengecualian dari asas umum actor sequitur
forum rei yang mengajarkan “gugat diajukan di pengadilan termpat
kediaman tergugat,” sebagaimana yang ditentukan dalam aturan pokok
Pasal118 HIR atau Pasal 142 RBG. Juga asas itu yang ditetapkan
sebagai aturan pokok dalam Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989 dalam
perkara cerai talak.
- Aturan tambahan : kompetensi relatif menyimpang dari aturan pokok
dalam hal ada keadaan tertentu. Apabila ada keadaan-keadaan tertentu
sebagaimana yang ditentukan Undang-Undang kompetensi relatif
mengadili perkara cerai gugat beralih dari Pengadilan Agama yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat ke Pengadilan
Agama lain sesuai dengan hal yang mengikuti keadaan tersebut.
c. Formulasi Gugatan Cerai Gugat
Seperti yang sudah disinggung, perkara cerai gugat adalah perkara
yang bersifat contentiosa. Yakni perkara yang mengandung sengketa
perkawinan antara istri sebagai penggugat dan suami sebagai tergugat.
Oleh karena itu, segala ketentuan yang diperbolehkan hukum acara dalam
berperkara secara partai, berlaku sepenuhnya dalam formulasi gugatan
perceraian. Apalagi jika gugatan cerai gugat dihubungkan dengan Pasal
86, yang memperbolehkan gugatan perceraian digabung bersamaan
sekaligus dengan gugat penguasaan anak, nafkah, dan pembagian harta
bersama, seluruh hal-hal yang berkenaan dengan gugat provisi, CB dan
petitum yang meminta putusan dapat dijalankan lebih dulu, dapat
dirumuskan dalam surat gugatan.
d. Asas Pemeriksaan Cerai Gugat
Berbicara mengenai asas pemeriksaan cerai gugat pada prinsipnya
tunduk sepenuhnya kepada tata tertib yang diatur dalam hukum acara
perdata, dalam hal ini HIR atau RBG. Namun demikian, khusus untuk
perkara perceraian, UU No. 7 Tahun 1989 ada mengatur asas tersendiri
dalam hal-hal yang tertentu. Sepanjang hal-hal yang tertentu itulah yang
akan dibicarakan secara ringkas. Akan tetapi, jika hal tertentu yang diatur
dalam Undang-Undang ini diperhatikan, tampaknya hanya merupakan
ulangan dari ketentuan yang terdapat pada Pasal-Pasal PP No. 9 Tahun
1975. Ambil contoh mengenai tata cara memeriksa perkara perceraian atas
alasan salah satu pihak dijatuhi hukuman pidana 5 tahun atau lebih yang
diatur dalam Pasal 74 UU No. 7 Tahun 1989. Isi dan rumusannya sama
dengan apa yang dicantumkan dalam Pasal 35 PP No. 9 Tahun 1975.
Memang ada tambahan hal tertentu yang tidak diatur dalam PP No. 9
Tahun 1975. Tambahan ini dirumuskan dalam Pasal 75 dan 76 yang
berkenaan dengan tata cara pemeriksaan berkenaan dengan perkara
perceraian yang didasarkan atas alasan cacat badan dan syiqaq.

Asas umum pemeriksaan perkara cerai gugat yaitu :

a. Pemeriksaan dilakukan oleh majelis hakim


b. Pemeriksaan dilakukan dalam siding tertutup
c. Pemeriksaan 30 hari dari tanggal pendaftaran gugatan
d. Pemeriksaan disidang pengadilan dihadiri suami istri atau wakil yang
mendapat kuasa khusus dari mereka
e. Upaya mendamaikan diusahakan selama proses pemeriksaan
berlangsung.

C. Faktor-Faktor Yang Menjadi Penyebab Terjadinya Perkara Cerai Gugat


Pada Pengadilan Agama Majene

Permasalhan didalam rumah tangga sering kali terjadi, mungkin memang


sudah menjadi bagian dalam lika-liku kehidupan didalam rumah tangga, dan dari
sini kita akan mengambil contoh yaitu kasus “Perceraian” yang kerap kali menjadi
masalah dalam rumah tangga. Kesetiaan dan kepercayaan dalam hal ini memang
menjadi faktor terpenting yang bisa membuat sebuah rumah tangga langgeng,
tetapi apakah hanya kedua faktor tersebut untuk mencegah sebuah perceraian?
Berikut adalah beberapa faktor yang sering kali terjadi :

1. Kesetiaan dan Kepercayaan


Didalam hal ini yang sering kali menjadi pasangan rumah tangga
bercerai, dalam hal ini baik pria ataupun wanita sering kali mengabaikan
peranan kesetiaan dan kepercayaan yang diberikan pada tiap pasangan, hingga
timbul sebuah perselingkuhan.
2. Komunikasi
Kurangnya kesempatan untuk melakukan komunikasi yang intens,
dengan kualitas yang baik. Bagi pasangan menikah, penting punya ruang dan
emosi untuk bisa saling curhat, mengungkapkan isi hati baik pujian, harapan,
kesenangan maupun kekesalan.
Kedua belah pihak perlu punya kesadaran dan niat penuh untuk
mendiskusikan persoalan dengan kepala dingin. Tujuan diskusi adalah mencari
jalan keluar, bukan sekedar meluapkan emosi.

3. Ekonomi
Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini memaksa kedua
pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,
sehingga seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap
pasangan berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki
pekerjaan.
4. Pernikahan Tidak Dilandasi Rasa Cinta
Untuk kasus yang satu ini biasanya terjadi karena faktor tuntutan orang
tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan pasangan yang sudah
ditentukan, sehingga setelah menjalani bahtera rumah tangga sering kali
pasangan tersebut tidak mengalami kecocokan.
5. Harapan Tidak Realistis
Berharap pasangan akan berubah setelah menikah. Hal ini berhubungan
dengan pemahaman masing-masing pihak terhadap pasangannya. Seringkali
perselisihan terjadi karena mengharapkan perubahan dari pasangan.
Padahal perilaku yang diprotes belum tentu membahayakan fisik
maupun mental pasangan. Pasangan suami istri perlu rela hati menurunkan
harapan atas perilaku pasangan yang tidak prinsip.
6. Power Dalam Perkawinan
Ada yang ingin suami pegang kendali, ada yang ingin istri yang
mengatur. Padahal ini hanyalah masalah kesepakatan. Terlihat tidak penting,
namun nyatanya bisa mengantar pasangan ke Pengadilan Agama.
7. Konflik Peran
Dalam perkawinan akan ada pembagian peran, seperti siapa yang
mengasuh anak, siapa yang mencari nafkah. Ini bisa jadi sumber pertentangan
dan menimbulkan ketidakpuasan antar suami istri. Terutama karena sekarang
banyak istri berkarir.
8. Cinta Meredup
Ada yang bilang daripada diberi perasaan jatuh cinta, lebih baik diberi
kekuatan menjaga cinta. Karena cinta itu perlu dipupuk agar terus menyala.
Pasangan yang sudah menikah, berapa tahun pun, perlu tetap membakar cinta,
salah satunya dengan mengungkapkan rasa sayang.
Biasanya orang bilang, “Ah sudah nikah, untuk apa aku menunjukkan
rasa cinta,” atau bilang, “Ah buat apalah mesra, seperti orang pacaran saja.”
Padahal jika satu dua tahun tanpa ekspresi, cinta bisa hambar.
9. Seks
Didalam melakukan hubungan seks dengan pasangan kerap kali pasangan
mengalami tidak puas dalam bersetubuh dengan pasangannya, sehingga
menimbulkan kejenuhan tiap melakukan hal tersebut, dan tentunya anda harus
mensiasati bagaimana pasangan anda mendapatkan kepuasan setiap melakukan
hubungan seks.
10. Affair (Orang Ketiga)
Adanya orang ketiga membuat sebuah perkawinan sulit dipertahankan.
Selain cinta yang membutakan, hal paling penting yang justru membuat
perkawinan bubar jalan adalah kepercayaan. Dalam sebuah perkawinan, rasa
saling percaya yang melahirkan rasa aman dan nyaman adalah tiang utama.
Begitu kepercayaan itu hilang, maka tidak ada lagi faktor penguat.
Sehingga pasangan yang sudah menikah perlu berpikir panjang sebelum
bermain api. Alasan “tidak melibatkan perasaan” ketika melakukan affair
adalah argumentasi “lima menitan”. Karena arah perasaan seringkali tidak
bisa ditebak.
Terkhusus perkara Nomor 2/Pdt.G/2017/PA.Mj yang menjadi bahan
penelitian, penyebab perceraiannya sebagai berikut :
a. Bahwa sejak akhir tahun 2014 antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi
perselisihan karena pada saat itu Penggugat dan Tergugat berada di Papua
sedang mengandung dan ingin pulang ke Malunda untuk melahirkan disana
namun Tergugat marah-marah dengan alasan kalau Tergugat belum memiliki
uang sewa kapal;
b. Bahwa Tergugat sering mengucapkan kata-kata hinaan seperti anjing/
mengucapkan kata-kata cerai / melakukan kekerasan fisik kepada Penggugat
ketika marah;
c. Bahwa puncak perselisihan / kemelut rumah tangga antara Penggugat dan
Tergugat terjadi pada pertengahan Januari 2016 dimana Penggugat dari pasar
belanja keperluan dapur namun sesampai di rumah, orang tua Tergugat
langsung marah-marah kepada Penggugat karena Penggugat meninggalkan
anak Penggugat dengan Tergugat sendiri di rumah sampai menangis, sehingga
Penggugat langsung menelpon Tergugat di tempat kerjanya untuk mengantar
Penggugat pulang ke rumah orang tuanya di Malunda namun Tergugat bahkan
marah-marah dan sampai mengatakan kepada Penggugat jikalau memang
Penggugat ingin pulang ke rumah orang tuanya pulang saja karena Tergugat
tidak mau mengantarnya akibatnya langsung meninggalkan Tergugat ke rumah
orang tuanya di malunda;
d. Bahwa Penggugat dengan Tergugat sudah berpisah tempat tinggal selama 1
Tahun;
e. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak pernah ada komunikasi dan
saling memperdulikan lagi selama 1 Tahun;
f. Bahwa Penggugat dengan Tergugat sudah pernah diupayakan untuk
dirukunkan oleh pihak keluarga Penggugat namun tidak berhasil;

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang terkumpul dalam penelitian ini dapat


ditarik kesimpulan :

1. Permohonan cerai gugat diajukan kepada pengadilan yang daerah


hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (Istri). Pemeriksaan
perkara cerai gugat dilakukan dalam siding tertutup untuk umum, asas ini
diatur dalam Pasal 33 PP No. 9 Tahun 1975. Sidang pemeriksaan tertutup
untuk umum dalam perkara perceraian meliputi segala pemeriksaan,
termasuk pemeriksaan saksi-saksi. Fungsi hakim memeriksa dan memutus
serta membuat keputusan.
2. Faktor yang sering terjadi dalam permasalahan rumah tangga yaitu :
- Kesetiaan dan Kepercayaan
- Komunikasi
- Ekonomi
- Pernikahan Tidak Dilandasi Rasa Cinta
- Harapan Tidak Realistis
- ‘Power’ Dalam Perkawinan
- Konflik Peran
- Cinta Meredup
- Seks
- Affair (orang ketiga).

B. Saran

1. Dalam memeriksa dan memutus perkara cerai gugat seharusnya lembaga


peradilan agama lebih berhati-hati sebab jangan sampai putusan cerai
gugat tersebut dapat merugikan pihak-pihak tertentu dan untuk mencegah
terjadinya penyelundupan hukum.

2. Diharapkan kepada semua pihak yang terkait dalam memutus perkara,


alasan pengajuan cerai gugat yang dilayangkan oleh penggugat agar lebih
dicermati dan diteliti faktor-faktor penyebab ketidakmauannya dalam
meneruskan hubungan pernikahan. Karena bisa saja faktor
ketidakharmonisan dalam rumah tangga dikarenakan kesalahpahaman
diantara keduanya.
DAFTAR PUSTAKA

Al- Qur’an Al- Karim

H. Roihan A. Rasyid, : Hukum Acara Peradilan Agama. PT Raja Grafindo


Persada, Jakarta, 2006.

Abdul Manan, : Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan


Peradilan Agama. Jakarta : Kencana, 2006.

http://www.almanhaj.or.id/2382-al-khulu-gugatan-cerai-dalam-
islam.html. Artikel diakses pada tanggal 18 September 2017.

Intruksi Presiden R.I No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

Kamal Muchtar, : Asas-Asas Hukum Islam, Tentang Perkawinan. PT


Bulan Bintang. Jakarta, 2004.

M. Yahya Harahap, : Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan


Agama. Sinar Grafika. Jakarta, 2007.

Perundang-Undangan :

- Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

- Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

- Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.

Anda mungkin juga menyukai