Anda di halaman 1dari 29

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Tentang Ihalaq, Khuluq, dan
Fasakh ini. Shalawat serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan
kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini.
Dan semoga kita termasuk dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga selesainya
makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat
bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya dapat
memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan,
baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang dipaparkan.
Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh sebab itu,
kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang bersifat
membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.

Samahani, 16 Agustus 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 2


A. Talak ................................................................................................................ 2
B. Fasakh .............................................................................................................. 9
C. Khulu’ .............................................................................................................. 14

BAB III PENUTUP ............................................................................................ 26


A. Kesimpulan ...................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhir-akhir ini sering terlihat di televisi, seorang isteri mengajukan gugat cerai
terhadap suaminya. Berita tersebut semakin hangat, karena si penggugat yang sering
diekspos di media televisi adalah figure atau artis-artis terkenal. Gugat cerai tersebut ada
yang berhasil, yaitu jatuhnya talak, atau karena keahlian hakim dan pengacara, gugat cerai
urung dilanjutkan, sehingga rumah tangga mereka terselamatkan.
Padahal mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan adalah dalam rangka
melaksanakan perintah Allah s.w.t. sebagaimana banyak dikutip dalam setiap undangan
walimahan (resepsi pernikahan), yaitu termaktub dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang
berbunyi: “Dan di antara tanda-tandaNya bahwa Dia menciptakan jodoh untuknya dari
dirimu (bangsamu) supaya kamu bersenang- senang kepadanya, dan Dia mengadakan
sesama kamu kasih saying dan rahmat. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-
tanda bagi orang yang berfikir”.
Berdasarkan ayat ini pula, maka tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk
membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa-rahmah. Bisa jadi, karena mereka sudah tidak
dapat mempertahankan keluarga yang sakinah, mawaddah wa-rahmah, maka salah satu
pihak menggunakan haknya, baik suami atau isteri untuk mengajukan gugatan cerai,
padahal dalam Islam, cerai memang dihalalkan Allah, namun sangat dibenci olehNya
(“Sesungguhnya perbuatan yang boleh, tetapi sangat dibenci Allah adalah talak”, hadits
riwayat

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Talak
1. Pengertian Talak
Menurut bahasa Arab, kata talak bermakna “pelepasan atau penguraian tali
pengikat.” Sedangkan menurut istilah hukum islam berarti :
a. Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi keterikatannya dengan
menggunakan ucapan tertentu
b. Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubbungan suami istri
c. Melepaskan ikatan akad perkawinan dengan mengucapkan talak atau yang
sepadan dengan itu.
Dalam Bab XVI pasal 117 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menjelaskan
bahwa talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.[2]
Ada beberapa macam pengertian talak menurut Ulama, sebagai berikut
a. Menurut Ulama madzhab Hanafi dan Hanbali mengatakan bahwa talak
adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang akan
datang dengan lafal yang khusus.
b. Menurut Ulama madzhab Syafi’i, talak adalah pelepasan akad nikah dengan
lafal talak atau yang semakna dengan itu (kata-kata percerian)
c. Menurut Ulama madzhab Maliki, talak adalah suatu sifat hukum yang
menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.[3]
Jadi, talak artinya melepas ikatan pernikahan dengan ucapan talak atau
perkataan lain yang maksudnya sama dengan talak. Yang dimaksud dengan
melepas tali pernikahan ialah memutuskan ikatan pernikahan yang dulu diikat
oleh akad (ijab dan qabul), sehingga status suami istri di antara keduanya menjadi
hilang. Termasuk juga hilangnya hak dan kewajiban antara keduannya.[4]

2. Hukum Talak
Talak merupakan hak suami dalam arti istri tidak bisa melepaskan diri dari
ikatan pernikahan kalau tidak dijatuhkan talak oleh suami. Walaupun suami
diberikan hak untuk menjatuhkan talak, dalam ajaran islam tidak membenarkan
suami menggunakan haknya dengan semena-mena dan gegabah dalam
2
memutuskan talak, apalagi kalau hanya menuruti hawa nafsunya saja. Menurut
para ulama Syafi’iah dan Hambaliyah hukum asal dari talak ialah makruh. Hal ini
berdasarkan hadist Rasulullah berikut ini.
‫َع ِن اْبِن ُع َم َر َرِض َي ُهللا َع ْنُهَم ا َع ِن الَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َٔاْبَغُض اْلَح اَل ِل ِع ْنَد ِهللا َع َّز َو َج َّل الَطاَل َق‬
Artinya: “Dari Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: ‘Perbuatan halal yang paling
dibenci Allah adalah perceraian’.”(HR Abu Daud dan Hakim)
Sedangkan para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pada dasarnya talak itu
merupakan perbuatan yang haram, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw
berikut:
‫َلَع َن ُهللا ُك َّل َذ َّواٍق ِم ْطاَل ٍق‬
Artinya : “Allah mengutuk orang yang kawin (menikah) hanya maksud mencicipi
dan sering mencerai Istri.”[5]
Dari pendapat-pendapat di atas bisa disimpulkan hukum talak dibagi menjadi:
a. Talak Menjadi Wajib : Talak menjadi wajib apabila yang menjatuhkan
adalah wali hakim yang menjadi penengah di antara suami dan istri.
Penyebab jatuhnya talak ini dikarenakan tidak ada jalan terbaik untuk
perbaikan hubungan tersebut kecuali talak, karena tidak mungkin disatukn
kembali. Dan talak adalah satu-satunya jalan keluar.
b. Talak Menjadi Haram : Talak menjadi haram yaitu jika talak dijatuhkan
dengan alasan yang tidak benar atau karena alasan yang tidak syar’i.
c. Talak Menjadi Sunnah : Hukum talak menjadi sunnah apabila istri
menggabaikan kewajibannya terhadap suami. Dan bisa juga disebabkan
karena istri tidak taat terhadap perintah dan larangan Allah Swt. Karena istri
sudah termasuk merusak moral dirinya, padahal suaminya sudah berusaha
memperbaiki dan mengingatkan istri. Menurut Imam Ahmad tidak pantas
seorang suami mempertahankan istri yang seperti itu, karena hal tersebut
akan mempengaruhi keimanan suami dan mempengaruhi keharmonisan
rumah tangga. Tetapi menurut Ibnu Qadamah menyatakan bahwa talak
terhadap istri yang demikian wajib di talak.[6]
Dalil dibolehkannya talak adalah firman Allah Swt surah al-Baqarah [2]: 229
serta surah at-Thalaq [65]: 1,
‫الَّطاَل ُق َم َّرَتاِن َفِإْمَس اٌك ِبَم ْعُروٍف َأْو َتْس ِريٌح ِبِإْح َس ان‬
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
3
‫َيا َأُّيَها الَّنِبُّي ِإَذ ا َطَّلْقُتُم الِّنَس اَء َفَطِّلُقوُهَّن ِلِع َّد ِتِهَّن‬
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu Maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar).”
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau pernah menalak
istrinya dan istrinya dalam keadaan haid, itu dilakukan di masa Nabi saw. Lalu
‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu menanyakan masalah ini kepada
Rasulullah saw. Beliaukemudian bersabda:
‫ ُثَّم ِإْن َش اَء َأْمَس َك َبْعُد َو ِإْن َش اَء َطَّلَق َقْبَل َأْن‬، ‫ ُثَّم َتْطُهَر‬، ‫ ُثَّم ِلُيْمِس ْك َها َح َّتى َتْطُهَر ُثَّم َتِح يَض‬، ‫ُم ْر ُه َفْلُيَر اِج ْع َها‬
‫ َفِتْلَك اْلِع َّد ُة اَّلِتى َأَم َر ُهَّللا َأْن ُتَطَّلَق َلَها الِّنَس اُء‬، ‫َيَم َّس‬
“Hendaklah ia merujuk istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci
kemudian haid hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya,
maka ia boleh menalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah
iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah swt.”[7]

3. Rukun dan Syarat Talak


Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak. Adapun
rukunnya yaitu:
a. Suami
Suami adalah seorang yang memiliki hak talak dan berhak
menjatuhkan talak. Suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri
sendiri, tidak dijatuhkan kepada istri orang lain. Untuk sahnya talak, suami
yang menjatuhkan talak disyaratkan:
1) Berakal sehat; suami yang gila, hilang akal karena sakit atau rusak
syaraf tidak sah menjatuhkan talak
2) Baligh
3) Atas kemauan sendiri; hal ini dimaksud bahwa kehendak menjatuhkan
talak tersebut bukan dipaksa orang lain, orang yang dipaksa melakukan
talak maka talaknya tidak sah
b. Istri
Istri tidak memiliki hak talak, tetapi istri boleh meminta atau memohon
kepada suami untuk ditalak. Syarat istri yang ditalak adalah:
1) Istri masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami

4
2) Kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan akad perkawinan
yang sah
c. Sighat Talak
Sighat talak adalah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap
istrinya yang menunjukkan talak baik itu shahrih (jelas) maupun kinayah
(sindiran), berupa ucapan/lisan, isyarat (bagi suami tuna wicara), ataupun
dengan perantara orang lain (yang dapat dipercaya). Jika suami dalam
keadaan marah, lalu memukul istri dan memulangkan ke rumah orang
tuanya, menyerahkan barang-barangnya tanpa disertai pernyataan talak,
maka hal itu bukan talak.
d. Qasdu (sengaja)
Qasdu artinya dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh
yang mengucapkannya benar-benar talak. Jadi, jika salah ucap yang
dimaksudkan tidak untuk talak, dipandang tidak jatuh talak. Misalkan, sikap
suami ingin mengucapkan “salak” keliru “talak” maka itu tidak dianggap
jatuh.[8]
e. Wilayah
Wilayah yaitu suami mempunyai wewenang menjatuhkan talak.[9]
4. Macam-macam Talak
Talak memiliki banyak macamnya, dibawah ini merupakan macam-macam
talak yang dilihat dari beberapa segi. Diantaranya yaitu:
a. Talak Ditinjau Dari Segi Jumlah
1) Talak satu. Adalah talak yang pertama kali dijatuhkan oleh suami
kepada istrinya dan hanya dengan satu talak.
2) Talak dua. Adalah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya
yang kedua kali atau untuk yang pertama kalinya tetapi dengan dua
talak sekaligus. contohnya: aku talak kamu dengan talak dua.
3) Talak tiga. Adalah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya
untuk yang ketiga kalinya. atau untuk yang pertama kalinya tetapi
langsung talak tiga. contohnya suami berkata: aku talak kamu dengan
talak tiga.
Dalam hal menjatuhkan talak dua dan talak tiga para ulama fiqih
berbeda pendapat. Ada yang berpendapat sah dan ada pula yang berpendapat
tidak sah. Misalnya, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan Syaukani
5
mengatakan bahwa talak dua atau talak tiga yang dijatuhkan sekaligus oleh
suami kepada istri tidak sah walaupun itu dijatuhkan sama dengan talak satu.
Bahkan ulama lain seperti Zhahiriyah berbeda pendapat bahwa talak dua
atau talak tiga sekaligus tidaklah sah, sehingga satu talak pun tidak jatuh
atau sama dengan tidak menjatuhkan talak.
b. Talak Ditinjau Dari Segi Boleh Tidaknya Bekas Suami Untuk Rujuk
1) Talak Raj’i
Yang dimaksud dengan talak raj’i yaitu talak yang boleh
dirujuk kembali mantan istri oleh mantan suaminya selama masa iddah
atau sebelum masa iddahnya berakhir. Yang termasuk talak raj’i yaitu
talak satu dan talak dua. DR. Asy-Syiba’iy menyatakan bahwa talak
raj’i adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya, apabila suami
ingin rujuk kembali maka tidak melakukan akad nikah lagi, tidak
memerlukan mahar dan tidak memerlukan saksi.
‫الَّطاَل ُق َم َّرَتاِن ۖ َفِإْمَس اٌك ِبَم ْعُروٍف َأْو َتْس ِريٌح ِبِإْح َس ان‬
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik.” (QS Al-Baqarah 229)
2) Talak Ba’in
Yang dimaksud dengan talak ba’in yaitu talak yang dijatuhkan
suami dan mantan suami tidak boleh meminta rujuk kembali kecuali
dengan melakukan akad nikah lagi dengan semua syarat dan rukunnya.
Talak ba’in ada dua macam yaitu talak ba’in shughra dan talak bain
kubra.
 Talak Ba’in Shughra adalah talak yang menghilangkan
kepemilikan mantan suami terhadap mantan istri, tetapi tidak
menghilangkan kebolehan mantan suami untuk rujuk dengan
melakukan akad nikah ulang. yang termasuk talak ba’in shughra
antara lain talak yang belum bercampur, khuluk, talak satu dan
talak dua tetapi masa iddahnya sudah habis.
 Talak Ba’in Kubra adalah talak tiga dimana mantan suami tidak
boleh rujuk kembali, terkecuali jika mantan istrinya pernah

6
menikah dengan laki-laki lain dan sudah digaulinya, lalu
diceraikan oleh suaminya yang kedua. Allah Swt berfirman.
‫َفِإْن َطَّلَقَها َفاَل َتِح ُّل َلُه ِم ْن َبْعُد َح َّتٰى َتْنِكَح َز ْو ًجا َغْيَر ُهۗ َفِإْن َطَّلَقَها َفاَل ُجَناَح َع َلْيِهَم ا َأْن‬
‫َيَتَر اَجَع ا ِإْن َظَّنا َأْن ُيِقيَم ا ُح ُد وَد ِهَّللاۗ َوِتْلَك ُح ُدوُد ِهَّللا ُيَبِّيُنَها ِلَقْو ٍم َيْع َلُم وَن‬
Artinya: “Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia
menikah dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami
pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada
orang-orang yang berpengetahuan.” (QS Al-Baqarah :230)
3) Talak Ditinjau Dari Segi Keadaan Istri
1) Talak Sunny : Talak sunny yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada
istrinya yang pernah dicampurinya dan pada waktu itu keadaan istri
dalam keadaan suci dan pada waktu suci belum dicampurinya, sedang
hamil dan jelas kehamilannya.
2) Talak Bid’iy : Talak bid’iy yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada
istri yang pernah dicampurinya dan pada saat itu keadaan istri sedang
haid .Dan dalam keadaan suci tetapi pada waktu suci tersebut sudah
dicampuri.
3) Talak La Sunny Wala Bid’iy (bukan talak sunny dan talak bid’iy) yaitu
talak yang dijatuhkan suami dengan keadaan istri belum pernah
dicampuri dan belum pernah haid karena masih kecil atau sudah
berhenti haid (menopause)
4) Talak Ditinjau Dari Segi Tegas Atau Tidaknya Kata-kata Yang
Digunakan
1) Talak Sharih yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas
dan tegas, dipahami atau dimaksud sebagai talak pada saat dijatuhkan.
2) Talak Kinayah yaitu talak yang menggunakan kata-kata sindiran atau
samar-samar yang ditujukan untuk menjatuhkan talak.

7
5) Talak Ditinjau Dari Segi Langsung Atau Tidaknya Menjatuhkan Talak
1) Talak Muallaq. Yaitu talak yang dikaitkan dengan syarat tertentu. talak
ini jatuh apabila syarat yang disebutkan suami terwujud. Misalnya
suami mengatakan, “Engkau tertalak apabila meninggalkan shalat”,
Maka bila istri benar-benar istri tidak shalat jatuhlah talak.
2) Talak Ghairu Muallaq. Yaitu talak yang tidak dikaitkan dengan suatu
syarat tertentu, misalnya suami berkata, “Sekarang juga engkau aku
talak”.
6) Talak Ditinjau Dari Segi Cara Suami Menyampaikan Talak
1) Talak dengan ucapan yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada
istrinya dengan ucapan lisan dihadapan istrinya dan istrinya mendengar
langsung ucapan suami.
2) Talak dengan tulisan yaitu talak yang disampaikan oleh suami dalam
bentuk tulisan, kemudian istrinya membaca dan memahami isinya.
3) Talak dengan isyarat yaitu talak disampaikan dengan menggunakan
isyarat oleh suami yang tidak bisa bicara (tuna wicara), sepanjang
isyarat itu jelas dan benar untuk yang dimaksudkan untuk talak,
sementara istrinya memahami isyarat tersebut.
4) Talak dengan utusan yaitu talak yang dijatuhkan suami melalui
perantara orang lain yang dipercaya untuk menyampaikan maksud
bahwa suaminya mentalak dirinya.[10]

5. Hikmah dan Akibat Talak


Seharusnya jalan untuk bercarai itu diberikan kepada pasangan suami istri dan
jangan ditutup sama sekali karena akan mengakibatkan bahaya. Suami istri yang
terus terpaksa bersatu, justru akan bertambah tidak baik.[11]
Adapun hikmah talak, yaitu:
a. Menjernihkan kehidupan bekas suami dan istri yang semula keruh
b. Menghilangkan kesengsaraan bagi kedua belah pihak; jika diantara suami
istri sudah tidak ada kecocokan lagi dan sering terjadi pertengkaran yang
akan menimbulkan bahaya, maka talak sebagai jalan tengah agar tidak lagi
merasa sengsara.[12]
Selain ada hikmahnya, talak juga ada akibatnya. Sebagai akibat dari talak
yaitu terputusnya hubungan suami istri dan hukum-hukum ikatan lainnya bagi
8
mereka. Bagi suami maupun istri tetap memiliki kewajiban dan hak. Menurut
ketentuan Bab XVII pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, akibat talak adalah
sebagai berikut:
a. Memberikan mut’ah kepada bekas istrinya baik berupa uang ataupun benda
kecuali bekas istrinya tersebut qobla al dukhul
b. Memberi nafkah, tempat tinggal dan pakaian kepada istri selama masa iddah
kecuali dijatuhi talak ba’in atau tidak hamil
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qobla
al dukhul
d. Memberikan biaya hadianah kepada anak yang belum berumur 21 tahun.[13]

6. Ketentuan Talak dalam Kompilasi Hukum Islam

B. Fasakh
1. Pengertian Fasakh
Fasakh disebut juga dengan batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan.
Yang dimaksud dengan menfasakh nikah adalah membatalkan atau memutuskan
ikatan hubungan antara suami dan istri.
Menurut Amin Syarifuddin, fasakh berarti putusnya perkawinan atas kehendak
hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau
pada isteri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu
dilanjutkan.[15]

9
Hikmah boleh dilakukannya fasakh itu adalah memberikan kemaslahatan
kepada umat manusia yang sedang dan telah menempuh hidup berumah tangga.
Dalam masa perkawinan itu mungkin ditemukan hal-hal yang tidak
memungkinkan keduanya mencapai tujuan perkawinan, yaitu
kehidupan mawaddah, warahmah, dan sakinah, atau perkawinan ituakan merusak
hubungan antara keduanya. Atau dalam masa perkawinannya itu ternyata bahwa
keduanya mestinya tidak mungkin melakukan perkawinan, namun kenyataannya
telah terjadi. Hal-hal yang memungkinkan mereka keluar dari kemelut itu adalah
perceraian.[16]
Salah satu bentuk terjadinya fasakh adalah adanya pertengkaran antara suami istri
yang tidak mungkin didamaikan. Bentuk ini disebut dengan syiqaq. Ketentuan
tentang syiqaq dapat ditemukan dalam firman Allah pada surat An-Nisa’ ayat 35:

Artinya: “Jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka


kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah member taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”.[17]

2. Syarat-Syarat Fasakh
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung
akad nikah, atau kerena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan
kelangsungan perkawinan. Berikut adalah penjabarannya:[18]
a. Fasakh (batalnya perkawinan), karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi
ketika akad nikah.
1) Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara
kandung atau saudara sesusuan pihak suami,
2) Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah
atau datuknya. Kemudian setelah dewasa, ia berhak memutuskan untuk
meneruskan atau mengakhiri perkawinannya.

10
b. Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad.
1) Bila salah seorang dari suami istri murtad atau keluar dari agama islam
dan tidak mau kembali sama sekali ke agama Islam,
2) Jika suami yang tadinya kafir masuk islam, tetapi istri masih tetap
dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal
(Fasakh).

3. Sebab-sebab Terjadinya Fasakh (batalnya perkawinan):


a. Karena ada balak (penyakit belang kulit)
b. Karena gila
c. Karena Kusta
d. Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC, dan lain sebagainya.
e. Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat
maksud perkawinan( bersetubuh).
f. Karena ‘Anah (zakar laki-laki impoten, tidak hidup untuk jima’) sehingga
tidak dapat mencapai apa yang dimaksudkan dengan nikah.
Disamping itu, fasakh bisa terjadi oleh sebab-sebab berikut:[19]
a. Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan
jodohnya, umpamanya : Budak dengan merdeka, orang pezina dengan orang
terpelihara dan sebagainya.
b. Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberi belanja
sedangkan istrinya tidak rela.
c. Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi yang
dapat dipercaya, sehingga ia tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik
pakaian yang sederhana, tempat ataupun maskawinnya belum dibayarkannya
sebelum campur.

4. Dasar Hukum Fasakh


Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak disuruh dan
tidak pula dilarang; namun bila melihat kepada keadaan dan bentuk tertentu
hukumnya sesuai dengan keadaan dan bentuk tertentu.[20] Yang dimaksud keadaan
tertentu di atas adalah terdapatnya beberapa factor yang membolehkan untuk
melakukan fasakh, diantaranya: syiqaq (pertengkaran antara suami istri yang tidak
11
mungkin didamaikan), fasakh karena cacat, fasakh karena ketidakmampuan suami
memberi nafkah, fasakh karena suami meninggalkan tempat tetapnya dan pergi
entah kemanadalam jangka waktu yang sudah lama, dan fasakh karena melanggar
perjanjian dalam perkawinan. Terdapat beberapa hadits yang dijadikan tempat
berpijaknya dasar hukum fasakh dalam perkawinan,namun pada makalah ini,
penulis hanya mengutip satu hadits yang diriwayat oleh H.R Ahmad, yaitu:
‫عن جميل بن زيد بن كعب أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم تزوج إمرأة من بني غفار فلما دخل عليها‬
‫فوضع ثوبه وقعد على الفراش أبصر بكشجها بياضا فنحاز عن الفراش ثم قال خذى عليك ثيابك ولم يأخذ‬
}‫ {رواه أحمد‬.‫مما أتاها شيئا‬
Dari jamil bin Zaid bin Ka’ab r.a bahwasannya Rosulullah SAW pernah menikahi
seorang perempuan bani gafar, maka tatkala ia akan bersetubuh dan perempuan
itu telah yang meletakkan kainnya, dan ia duduk di atas pelaminan, kelihatannya
putih (balak) dilambungnya lalu ia berpaling (pergi dari pelaminan itu) seraya
berkata, “ambillah kain engkau, tutupilah badan engkau, dan beliau telah
mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.” (HR.
Ahmad).[21]

5. Konsekwensi Hukum Fasakh


Akibat hukum yang ditimbulkan akibat putusnya perkawinan secara fasakh
adalah suami tidak boleh ruju’ kepada mantan istrinya selama istrinya masih
menjalani masa iddah, hal ini disebabkan karena perceraian yang terjadi secara
fasakh ini berstatus ba’in sughra. Apabila mantan suami dan mantan istri
berkeinginan untuk melanjutkan perkawinannya kembali, mereka harus
melakukan akad nikah yang baru, baik dalam waktu mantan istri sedang dalam
masa iddah maupun setelahnya.
Akibat yang lain dari fasakh itu adalah tidak mengurangi bilangan thalaq. Hal
ini menunjukkan bahwa hak si suami untuk men-thalaq istrinya maksimal adalah
tiga kali, maka tidaklah berkurang dengan adanya fasakh. Dalam bahasa
sederhana, fasakh boleh terjadi bekali-kali tanpa batas. [22] Pada dasarnya fasakh itu
dilakukan oleh hakim atas permintaan dari suami atau dari istri. Namun
adakalanya fasakh itu terjadi dengan sendirinya tanpa memerlukan hakim, seperti
suami istri ketahuan senasab atau sepersusuan.[23]

12
6. Konsekwensi Hukum Setelah Terjadi Fasakh
Akibat hukum yang ditimbulkan setelah terjadi fasakh adalah hukum
thalaq ba’in sughra, dimana si suami boleh melanjutkan perkawinannya kembali
dengan mantan istrinya dengan akad nikah yang baru tanpa memerulukan
muhallil, baik dalam masa iddah si istri maupun tidak.
Sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa setelah terjadinya pemutusan perkawinan secara fasakh, maka tidak dikenai
hukum thalaq raj’i dan tidak pula dikenai thalaq bid’iy. hal ini disebabkan karena
apabila thalaq raj’i, si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa
melakukan nikah yang baru, sedangkan pada fasakh, si suami boleh kembali
dengan mantan istrinya harus dengan akad yang baru.
Begitu pula halnya dengan thalaq bid’iy, yaituthalaq yang dijatuhkan ketika
istri dalam keadaan berhadats, hal ini sebenarnya adalah hal yang dilarang dalam
agama Islam, sehingga apabila hal ini terjadi maka wajib hukumnya bagi suami
untuk ruju’ kembali dengan istrinya. Sedangkan pada fasakh, tidak adanya
ketentuan yang demikian, karena fasakh memerlukan akad baru dalam hal
melanjutkan ikatan perkawinan antara suami dan mantan istrinya.

7. Perbedaan Talak dan Fasakh


No. TALAK FASAKH

1. Talak ialah pembubaran ikatan Fasakh bererti memutuskan


perkawinan dengan lafal talak . pernikahan tanpa menjatuhkan talak,
2. Perceraian boleh dilakukan dengan Sedangkan pembubaran perkawinan
lafal sharih (jelas) dan secara fasakh hanya boleh
lafaz kinayah(sindiran), begitu juga diputuskan oleh hakim di
perceraian boleh dilakukan dengan mahkamah.
talak raj’i atau talak ba’in.
3. Berpisahnya suami istri akibat Adapun fasakh, baik karena hal-hal
talak tidak mengakhiri ikatan suami yang datang belakangan ataupun
istri secara seketika. Karena dalam karena adanya syarat-syarat yang
talak ada talak ba’in dan talak raj’i , tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri
talak raj’i tidak mengakhiri ikatan ikatan pernikahan seketika itu.

13
suami istri dengan seketika. Sedangkan
talak ba’in mengakhirinya seketika itu
juga.
4. Pisahnya suami isrtri yang diakibatkan Sedangkan pisah suami istrri karena
talak dapat mengurangi bilangan talak fasakh, hal ini tidak berarti
itu sendiri. Jika suami menalak mengurangi bilangan talak,
isterinya dengan talak raj’i kemudian meskipun terjadinya fasakh
kembali pada masa iddahnya, atau karena khiyar baligh, kemudian
akad lagi setelah habis masa iddahnya kedua suami istri tersebut menikah
dengan akad baru, maka perbuatan dengan akad baru lagi, maka suami
terhitung satu talak, yang berarti ia tetap mempunyai kesempatan tiga
masih ada kesempatan dua kali talak kali talak.
lagi.
PERBEDAAN DARI SEGI HAKIKAT
Talak (kecuali talak ba’in kubra) Fasakh adalah pembatalan akad dari
adalah pengakhiran akad tanpa kesan segi asasnya, dan berkaitan bagi
menghilangkan kebolehan (hak) untuk menghilangkan hukum yang timbul
melakukan hubungan (kembali). karenanya.
PERBEDAAN KARENA PENGARUHNYA.
Penjatuhan talak akan mengurangi Peristiwa fasakh tidak mengurangi
jumlah bilangan yang ada pada suami. bilangan-bilangan talak yang
dimiliki suami;

C. Khulu
1. Pengertian Khulu'
Khulu' adalah perceraian yang timbul atas kemauan istri dengan
mengembalikan mahar kepada suaminya. Khuluk disebut juga dengan thalaq
tebus. Terkait dengan khuluk, Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat
229:

Artinya:“...Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat


menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak dosa bagi keduanya mengadakan

14
bayaran yang diberikan oleh pihak istri untuk menebus dirinya.”(QS. Al
Baqarah : 229)
2. Rukun Khulu'
Adapun rukun khulu' sebagai berikut :
a. Suami yang baligh, berakal dan dengan kemauannya.
b. Istri yang dalam kekuasaan suami. Maksudnya istri tersebut belum dithalaq
suami yang menyebabkannya tidak boleh dirujuk.
c. Ucapan yang menunjukkan khuluk.
d. Bayaran yaitu suatu yang boleh dijadikan mahar.
e. Orang yang membayar belum menggunakan hartanya, baik istri maupun
orang lain.[24]

3. Syarat-Syarat Khulu’
Syarat masing-masing rukun khulu’ adalah sebagai berikut.
a. Syarat untuk Suami
Khulu’ sah dilakukan oleh setiap suami yang sah melakukan talak.
Yaitu orang baligh, berakal, dan atas keinginan sendiri karena khulu’ sama
dengan talak. Suami merupakan rukun khulu’, bukan syarat. Jadi, khulu’
yang dilakukan anak kecil, orang gila, dan orang yang dipaksa tidak sah,
seperti tidak sahnya talak mereka. Adapun khulu’ orang yang transaksinya
dicekal akibat bodoh maka hukumnya tetap sah, baik seizin wali maupun
tidak, asal dengan mahar mitsil atau kurang dari itu. Dia wajib memberikan
kompensasi kepada si wali sebagaimana hartanya yang lain. Jika istri
menyerahkan kompensasi kepada orang yang bodoh tanpa izin walinya -
utang- maka dia belum bebas dan wali bisa menarik uang itu darinya. Jika
wali langsung mengambil kompensasi itu dari orang bodoh yang di bawah
perwaliannya maka si wanita bebas.
b. Syarat Penerima Kompensasi
Penerima kompensasi, baik penerima atau pemohon khulu’, atau orang
lain yang menerima khulu’, agar khulu’nya sah, disyaratkan harus bebas
melakukan transaksi harta. Artinya, dia harus mukallaf dan tidak dicekal hak
transaksinya. Pencekalan ini karena empat sebab yaitu bodoh, sakit, masih
kecil, dan gila. Jadi, khulu’ yang dilakukan wanita bodoh (safah) tidak sah.
Ketika wanita bodoh mengeluarkan pernyataan sanggup memberikan
15
kompensasi sebagai imbalan penyelesaian masalah, khulu’nya batal dan
jatuhlah talak raj’i.
Wali tidak diperkenankan mengkhulu’kan wanita yang mempunyai
anak kecil maupun mengkhulu’kan anak kecil perempuan yang kekurangan
harta. Alasan kasus pertama karena talak hanya sah dilakukan oleh suami,
sedangkan alasan kasus kedua sebab khulu’ merupakan murni kondisi
darurat, sehingga wali tidak mempunyai wewenang untuk melakukannya.
Khulu’ wanita sakit menjelang kematiannya tetap sah sebab dia berhak
memanfaatkan hartanya untuk kemaslahatan dirinya. Ini berbeda dengan
wanita bodoh. Seperti keabsahan orang sakit menjelang mati untuk
memperistri gadis dengan mahar mitsil tanpa ada hajat. Dia tidak boleh
memberikan sepertiga hartanya, kecuali lebih sedikit dari mahar mitsil.
Sebab, pemberian itu harus lebih sedikit dari mahar mitsil. Dia seperti
berwasiat kepada orang lain. Berbeda dengan mahar mitsil dan harta kurang
dari itu, maka dihitung dari modal.
Jika suami mengkhulu’ wanita bodoh (yang dicekal transaksinya
karena bodoh) setelah berhubungan seksual dengan kata “khulu”‘ misalnya
berkata, “Aku mengkhulu’mu dengan kompensasi seribu,” atau, “Aku
menalakmu dengan kompensasi seribu,” lalu istrinya menerima, maka dia
tertalak raj’i. Sementara penyebutan kompensasi itu tidak berkonsekuensi
hukum. Sebab, wanita bodoh tidak termasuk orang yang berhak menerima
itu, meskipun walinya memberi izin. Wali tidak boleh membelanjakan harta
wanita tersebut dalam kondisi seperti ini.
c. Syarat Kemaluan
Kemaluan Istri adalah milik suami. Jadi, tidak sah khulu’ terhadap
selain istri. Menurut pendapat yang azhar, seorang suami sah mengkhulu’
istri yang ditalak raj’i, sebab dia berstatus sebagai istri dalam sejumlah
ketentuan hukum. Namun seorang suami tidak sah mengkhulu’ istri yang
tertalak ba’in karena dia tidak memiliki hak atas kemaluan wanita tersebut.
Demikian sesuai ijma’ sahabat.
Khulu’ ditangguhkan dalam kondisi murtadnya kedua suami istri atau
salah satunya; juga dalam kasus Islamnya salah seorang suami istri paganis
setelah berhubungan seksual.
d. Syarat Kompensasi
16
Kompensasi dalam khulu’ sah, baik dalam jumlah sedikit maupun
banyak, baik diutang, berupa benda, maupun berupa manfaat, sebab Allah
SWT berfirman, “Maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus)
diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya,” (QS. al-Baqarah [2]: 229). Di
samping itu khulu’ merupakan akad atas manfaat kemaluan, jadi boleh
dengan kompensasi yang ditentukan, seperti halnya maskawin. Segala
sesuatu yang boleh dijadikan maskawin juga boleh dijadikan kompensasi
dalam khulu’. Namun, ada dua pengecualian dari kemutlakan kata “manfaat”
ini.
Pertama, khulu’ dengan kompensasi berupa si suami membebaskan
tempat tinggal istrinya. Dalam kasus ini, talak pun jatuh. Suami tidak boleh
mengganti dengan kompensasi lain sebab mengusir mantan istri dari rumah
adalah haram. Istri berhak memperoleh tempat tinggal dan juga mahar
mitsil. Kedua, khulu’ dengan kompensasi mengajar al-Qur’an. Khulu’
seperti ini tidak sah sebab tidak mudah mewujudkannya.
Untuk sesuatu yang dipakai kompensasi, disyaratkan harus memenuhi
syarat-syarat harga dalam jual beli, yakni memiliki nilai, diketahui besarnya,
dan bisa diserahterimakan. Seandainya seseorang melakukan khulu’ dengan
kompensasi sesuatu yang tidak diketahui, seperti satu dari dua barang, atau
khamr yang dimaklumi, atau hal lain yang tidak bisa dimiliki, atau dengan
sesuatu yang tidak mungkin diserahterimakan, maka istrinya tertalak ba’in
dengan kompensasi mahar mitsil. Sebab, mahar mitsillah yang dimaksud
ketika kompensasi rusak. Maksudnya, seandainya seseorang melakukan
khulu’ dengan kompensasi berupa sesuatu yang tidak diketahui atau khamr,
maka istrinya tertalak ba’in dengan kompensasi senilai mahar mitsil.
Yang dimaksud “khamr” di sini adalah suatu najis yang sudah
dipahami. Jika ia bukan najis yang sudah dipahami seperti darah, maka
jatuhlah talak raj’i sebab kata itu tidak memiliki makna apa pun.
Khulu’ orang kafir dengan kompensasi sesuatu yang bersifat
nonmateriil hukumnya sah, sebagaimana dalam pernikahan mereka. Jika dia
masuk Islam setelah menerima seluruh kompensasi, dia tidak berhak
menerima apa pun dari mantan istri. Jika dia belum menerima apa pun
darinya, maka dia berhak atas mahar mitsil; atau setelah menerima sebagian
kompensasi, maka wajib ada pembagian yang adil baginya.
17
Jika suami mengkhulu’ istri dengan kompensasi benda, seperti barang
perniagaan, lalu barang tersebut rusak sebelum diserahkan, atau ternyata
menjadi hak milik selain istri, atau cacat lalu dikembalikan, atau tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku lalu dikembalikan, maka dia mengambil
mahar mitsil.
Kompensasi khulu’ bagi istri adalah layaknya maskawin bagi suami,
dalam arti sebagai tanggungan akad.
Apabila seorang suami berkata kepada istrinya, “Jika kamu
membebaskan aku dari maskawinmu atau dari utangmu, kamu orang yang
ditalak.” Lalu jika dia membebaskan suaminya tanpa mengetahui hal itu,
maka dia tidak tertalak sebab pembebasan di sini tidak sah, sehingga tidak
ditemukan sesuatu yang ditaklik oleh talak.
Perlu diperhatikan. Pembebasan bagi satu pihak itu berarti pemilikan,
sedangkan bagi pihak yang dibebaskan berarti pengguguran. Karena itu,
pihak pertama disyaratkan harus tahu, sedang pihak kedua tidak. Hal ini
selama masalahnya tidak berkembang menjadi pertentangan suami. Jika
terjadi pertentangan, keduanya sama-sama disyaratkan harus mengetahui.

4. Besarnya Tebusan khulu'


Tebusan khulu’ bisa berupa pengembalian mahar –sebagian atau seluruhnya-
dan bisa jugaharta tertentu yang sudah disepakati suami istri dalam salah satu
hadisyang diriwayatkan Ibnu Abbas r.a. dijelaskan bahwaistri Tsabit bin Qais
mengadu kepada Rasulullah Saw. ihwal keinginannyaberpisah dari suaminya.
Maka Rasulullah bertanya kepadanya apakah diarela mengembalikan kebun yang
dulu dijadikan mahar untuknya kepada sabit? dan kala istri Tsabit menyatakan
setuju, maka Rasul pun bersabda kepada Tsabit:
“ Terimalah kebunnya, dan thalaqlah ia satu kali thalaq.” (HR. An-Nasai)
Adapun terkait besar kecilnya tebusan khulu’, para ulama berselisih pendapat:
a. Pendapat jumhur ulama: Tidak ada batasan jumlah dalam tebusan khulu’.
Dalil yang
b. mereka jadikan sandaran terkait masalah ini adalah ϐirman Allah dalam surat
albaqarrah ayat 229 sebagaimana tersebut di atas
c. Pendapat sebagian ulama: Tebusan khulu’ tidak boleh melebihi mas kawin
yang pernah diberikan suami.
18
5. Perwakilan dalam Khulu’
Suami istri boleh mewakilkan khulu’, mengingat khulu’ merupakan akad
pertukaran seperti jual beli. Apabila suami berkata kepada wakilnya, “Khulu’lah
dia dengan kompensasi seratus,” misalnya, maka wakilnya tidak boleh
mengurangi angka tersebut, sebab. itu tidak diizinkan. Jika suami memutlakkan
izin kepada wakilnya, misalnya, “Khulu’lah dia dengan kompensasi harta” atau
dia diam saja, maka wakil tidak boleh menentukan kompensasi kurang dari mahar
mitsil, sebab mahar mitsil itulah yang dimaksud. Wakil boleh meminta
kompensasi lebih dari mahar mitsil, baik dari benda sejenis maupun bukan. Jika
wakil menetapkan kompensasi kurang dari seratus (dalam kasus pertama) dan
kurang dari mahar mitsil (dalam kasus kedua) dengan selisih yang cukup
mencolok -yang nilainya adanya persengketaan. Ini seperti tidak sahnya jual beli
yang dilakukan oleh para wakil.
Kasus pengurangan kompensasi khulu’ bisa dianalogikan dengan mahar yang
besarnya telah ditentukan (atau mahar mitsil), dalam kasus orang yang
mengkhulu’ dengan kompensasi yang ditangguhkan, atau dengan selain mata uang
yang berlaku di suatu negara.
Apabila seorang istri berkata kepada wakilnya, “Lakukanlah khulu’ dengan
kompensasi 1000 dirham,” misalnya lalu dia mengikuti ucapan tersebut, maka
khulu’nya sah sebab khulu’ seperti yang diperintahkan telah terjadi. Demikian
halnya jika dia mengkhulu’ dengan kompensasi kurang dari 1000 dirham.
Apabila wakilnya menambahkan kompensasi yang telah ditentukan oleh si
istri, misalnya dia berkata, “Aku mengkhulu’ dia dengan kompensasi dua ribu
yang diambil dari hartanya dengan perwakilan,” maka dia tertalak ba’in dan wajib
mengeluarkan mahar mitsil karena kompensasi yang ditentukan telah rusak akibat
tindakan wakil (penambahan) yang tidak diizinkan.
Jika wakil menyandarkan khulu’ pada dirinya sendiri -yaitu khulu’ lewat pria
lain di luar suami istri- maka hukumnya sah. Dia wajib mengeluarkan hartanya
sendiri sebagai kompensasi, sedang si istri tidak dikenai kewajiban apa pun.
Sebab, penyandaran wakil pada dirinya sendiri merupakan penyimpangan
perwakilan dan bentuk kelaliman wakil.

19
Apabila wakil memutlakkan khulu’, misalnya dia tidak menyandarkannya
pada diri sendiri tidak pula kepada istri, tapi meniatkan hal itu untuk istri, maka
menurut pendapat yangazhar, si istri dikenai kewajiban memberikan kompensasi
yang telah dia tentukan sebab dia telah menyanggupinya. Wakil pun wajib
memberikan tambahan karena istri tidak akan ridha dengan jumlah kompensasi
yang lebih besar dari nilai yang telah dia tentukan.
a. Sifat Wakil
Suami boleh mewakilkan khulu’, meskipun dari wanita muslimah
kepada kafir dzimmi (yang bersikap kooperatif kepada pemerintah Islam)
atau kepada orang yang dicekal transaksinya karena bodoh, meskipun
walinya tidak mengizinkan. Sebab dalam hal ini wakil tidak dikaitkan
dengan perjanjian. Namun, penerimaan kompensasi tidak boleh diwakilkan
kepada orang yang dicekal transaksinya karena bodoh, sebab dia tidak
mumpuni untuk masalah itu. Jika dia mewakilkan hal itu kepadanya dan dia
menerima, berarti suami telah menghamburkan hartanya. Sementara istri
yang mengajukan khulu’ tetap terbebas dari ikatan pernikahan dengan
pemberian kompensasi tersebut.
Menurut pendapat yang ashah, perwakilan suami kepada seorang
perempuan untuk mengkhulu’ istrinya atau menalaknya hukumnya sah. Hal
ini karena perempuan itu sah menalak dirinya sendiri dalam kasus ketika
suami menyerahkan hak talak kepadanya.
Apabila suami istri bersamaan mewakilkan khulu’ kepada seorang pria
maka pria itu hanya mewakili salah satu pihak (maksudnya, mana saja yang
dia kehendaki). Pihak yang lain diwakili oleh salah satu suami istri atau
wakilnya. Wakil ini tidak boleh mewakili dua belah pihak, seperti halnya
dalam jual beli dan lainnya.
b. Syarat Shighat dalam Khulu’
Redaksi khulu’ ada yang sharih ada pula yang kinayah. Khulu’ yang
sharih tidak memerlukan niat. Sebaliknya, khulu’ kinayah membutuhkan
niat. Shighat khulu’ yang sharih adalah dengan kata “khulu”‘ seperti, “Aku
mengkhulu’mu dengan kompensasi seribu,” atau kata “tebusan” seperti,
“Aku menebusmu dengan nilai sekian,” dan kata “talak” misalnya, “Kamu
orang yang ditalak dengan kompensasi seribu.” Demikian pula pernyataan
suami, “Jika kamu memberiku seribu maka kamu orang yang ditalak,” lalu
20
istrinya langsung memberi seribu maka dia tertalak ba’in. Begitu juga seperti
pernyataan istri, “Talaklah aku dengan kompensasi seribu,” lalu suaminya
berkata, “Kamu orang yang ditalak,” maka istri wajib memberikan seribu.
Apabila kata in (jika) diganti dengan mata dan kalimat taklik talak
lainnya maka khulu’ tidak disayaratkan harus segera. Namun disyaratkan
harus ada kesesuaian antara ijab dan qabul. Seandainya suami berkata
kepada istrinya, “Aku menalakmu dengan kompensasi seribu” lalu dia
menerima dengan kompensasi dua ribu, pernyataan ini tidak berkonsekuensi
hukum apa pun. Khulu’ yang menggunakan kata “khulu”‘ dan semisalnya
merupakan talak sharih, bukan fasakh. Apabila kata “khulu”‘ digunakan
tanpa menyebutkan besarnya kompensasi, menurut pendapat yang ashah,
suami wajib menerima mahar mitsil.
c. Shighat Khulu’ Kinayah
Khulu’ juga sah dilakukan dengan sejumlah bentuk talak kinayah yang
dibarengi niat talak. la juga sah menggunakan bahasa non-Arab, asal
mengindikasikan makna khulu’. Apabila suami berkata kepada istrinya,
“Aku menjual dirimu dengan harga sekian, seribu,” misalnya, lalu istrinya
langsung menjawab, “Aku beli,” atau “Aku terima,” atau kata semisalnya,
maka ini termasuk khulu’ kinayah.
Jika suami memulai khulu’ dengan kalimat pertukaran seperti, “Aku
menalakmu” atau “Aku mengkhulu’mu dengan kompensasi sekian,” maka
berdasarkan pengetahuan umum, khulu’ ini merupakan talak, menurut
pendapat yang rajih. Praktik seperti ini adalah pertukaran sebab suami
mengambil kompensasi sebagai imbalan dari hak yang dikeluarkan dan
bercampur taklik sebab jatuhnya talak tergantung pada penerimaan
kompensasi. Pertukaran seperti ini didasari tiga faktor.
1) Suami boleh mencabut khulu’ sebelum menerimanya karena ini
ketentuan pertukaran.
2) Disyaratkan adanya qabul dari istri yang khulu’ yang mampu
berbicara dengan segera, tidak terpisah (dari ijab).
3) Disyaratkan adanya kesesuaian antara ijab dan qabul.
Apabila qabul berbeda dengan ijab, seperti perkataan suami,
“Aku menalakmu dengan kompensasi seribu,” lalu istri menerimanya
dengan kompensasi dua ribu, atau sebaliknya, atau “Kamu aku talak
21
tiga dengan kompensasi seribu,” lalu istrinya menerima talak satu
dengan kompensasi tiga ribu, maka tiga contoh ini tidak membawa
konsekuensi hukum. Sebab ketiga contoh tersebut terjadi perbedaan
antara ijab dan qabul, seperti dalam jual beli.
Apabila suami berkata, “Aku menalakmu tiga dengan
kompensasi seribu,” lalu istrinya menerima talak satu dengan
kompensasi seribu, menurut pendapat yang ashah, jatuhlah talak tiga,
dan istri wajib memberikan seribu. Sebab, suami mengajukan talak,
dan qabul istrinya dipertimbangkan atas dasar pemberian harta.
Ketika si istri menyanggupi pembayaran harta tersebut maka talak
dari pihak suamilah yang dipertimbangkan.
Jika suami yang pertama mengucapkan shighat taklik dalam
bentuk kalimat positif, misalnya “kapan,” “kapan pun,” “pada saat, ”
atau “pada waktu kamu memberiku kompensasi sekian maka kamu
orang yang ditalak”, maka ini merupakan taklik murni dari pihak
suami. Dalam hal ini, suami tidak boleh rujuk sebelum dia memberi
kompensasi, seperti taklik yang tidak bermuatan kompensasi dalam
contoh, “Jika kamu masuk rumah maka kamu orang yang ditalak.”
Dalam kasus ini tidak disyaratkan qabul secara lafazh, sebab
shighatnya tidak menuntut hal itu, selain juga tidak disyaratkan
memberi kompensasi secara langsung di majelis akad.
Apabila suami berkata, “Seandainya kamu memberiku
kompensasi ini maka kamu orang yang ditalak,” maka ini juga
dinamakan taklik. Namun, disyaratkan adanya pemberian secara
langsung di majelis akad. Ketentuan ini merupakan aturan
kompensasi dalam pertukaran.
Apabila istri yang mulai mengajukan talak dengan
menggunakan kalimat taklik di depan, lalu suami langsung menjawab
permintaan tersebut maka ini merupakan pertukaran dari pihak istri
yang bercampur akad ju’alah. Sebab, istri tidak memiliki pernikahan
dengan kompensasi yang dia berikan. Maksud pertukaran bercampur
ju’alah ialah si istri memberikan harta sebagai imbalan terhadap talak
yang diutarakan suami. Syaratnya, jawaban suami disyaratkan harus
dilakukan segera di majelis akad.
22
d. Rujuk setelah Khulu’
Ketika seorang pria mengkhulu’ atau menalak istrinya dengan
kompensasi yang shahih maupun fasid, dia tidak boleh merujuknya kembali.
Sebab, untuk memiliki kemaluannya (kembali), si istri telah menyerahkan
harta, sehingga suami tidak memiliki wewenang untuk rujuk. Dia
membutuhkan akad pernikahan yang baru.
Jika suami mensyaratkan rujuk kepada istrinya dengan berkata, “Aku
mengkhulu’mu atau menalakmu dengan kompensasi sekian dinar, asalkan
aku boleh rujuk lagi padamu,” maka ini adalah talak raj’i, dan suami tidak
boleh menerima kompensasi.
Apabila istri berkata, “Talaklah aku dengan kompensasi sekian,” lalu
dia murtad. Kemudian, suaminya langsung memenuhi permintaan itu, maka
jika perbuatan murtad tersebut terjadi, baik sebelum maupun sesudah
hubungan seksual, dan si wanita tetap murtad sebelum masa ‘iddahnya habis
maka dia tertalak ba’in dan tidak perlu memberikan kompensasi. Juga tidak
ada talak karena ikatan pernikahan telah terputus (maksudnya, telah terjadi
fasakh nikah) akibat murtad tadi.
Apabila wanita yang murtad itu masuk Islam kembali pada masa
‘iddah, jelas khulu’nya sah dan dia tertalak dengan kewajiban membayar
kompensasi yang sudah ditentukan saat suami menjawabnya untuk
menjelaskan keabsahan khulu’. ‘Iddahnya dihitung dari waktu talak. Apabila
murtadnya terjadi kemudian hari, atau jawaban suami berbeda shighatnya,
maka khulu’ tersebut tidak sah.
Dalam khulu’, tidak mengapa memisahkan antara ijab dan qabul
dengan kalimat yang pendek menurut takaran kebiasaan. Ini berbeda dengan
jual beli. Kalimat yang panjang dapat membatalkan khulu’ karena
mengisyaratkan adanya kemungkinan penyimpangan dari tujuan.
e. Keraguan dalam Talak dan Hukum Rujuk
Orang yang ragu apakah dia menalak atau tidak, berarti dia belum
menalak karena hukum asalnya tidak ada talak. Namun, yang lebih wira’i
ialah melakukan rujuk seandainya hal itu memungkinkan, misalnya, jika
suami telah berhubungan intim. Talak yang diragukan menjatuhkan hukum
23
talak raj’i. Jika tidak demikian, yang wira’i adalah melangsungkan akad
nikah baru, jika suami memungkinkan dan menginginkan tetap
berlangsungnya pernikahan. Jika tidak, dia boleh menjatuhkan talaknya agar
si wanita menjadi halal dinikahi pria lain.
Apabila suami ragu, apakah dia telah melakukan talak satu atau lebih,
jatuhlah talak yang paling sedikit, bukan yang lebih banyak. Suami yang
menalak tiga ketika sakit menjelang kematiannya, maka istri yang ditalak
tersebut tidak mewarisi hartanya. Perempuan yang tertalak ba’in meski tanpa
talak tiga, kedudukannya seperti perempuan yang tertalak tiga.

6. Macam-Macam Khulu’
Khulu’ sah dilakukan secara munjiz (segera) dengan lafazh “ganti rugi”,
mengingat ia memuat unsur penggantian. Tetapi, ia juga sah dilakukan secara
mu’allaq (digantungkan) dengan syarat sebab ia mengandung unsur talak.
a. Khulu’ munjiz dengan lafazh ganti rugi, yaitu seorang suami menjatuhkan
kalimat perpisahan (furqah) dengan kompensasi. Misalnya, sang suami
berkata, “Aku telah menalakmu,” atau “Kamu orang yang tertalak dengan
kompensasi seribu sebagai gantinya,” dan pihak istri berkata, “Aku terima.”
Ini seperti pernyataan seorang penjual, “Aku jual barang ini dengan harga
seribu,” dan pembeli menjawab, “Aku terima.” Atau istri berkata, “Talaklah
aku dengan kompensasi seribu,” lalu suaminya menjawab, “Aku
menalakmu.” Ini seperti ucapan pembeli, “Juallah barang ini dengan harga
seribu,” lalu penjual menjawab, “Aku jual (barang ini) kepadamu.” Penjual
tidak perlu mengulangi penyebutan jumlah kompensasi (seribu) sebab
konteksnya sudah mengarah ke sana sebagaimana dalam jual beli.
Pernyataan ini sah jika dilakukan dengan segera, seperti halnya dalam jual
beli. Suami boleh mencabut pernyataan ijab sebelum ada qabul; dan istri
juga boleh mencabut khulu’ sebelum jatuh talak.
b. Khulu’ mu’allaq atau ghairu munjiz yaitu seorang suami menaklik talak
dengan jaminan harta atau pemberian harta sebagaimana telah dikemukakan
di depan.
c. Khulu’ fasid adalah khulu’ yang tidak mensyaratkan harus diketahuinya
nilai kompensasi. Apabila seorang suami mengkhulu’ istrinya dengan
kompensasi sesuatu yang tidak diketahui, seperti baju yang tidak ditentukan,
24
atau dengan tumpangan kendaraan, atau mengkhulu’ istri dengan syarat
yang fasid, seperti syarat tidak memberikan nafkah padahal si istri sedang
hamil, atau syarat tidak menyediakan tempat tinggal; atau mengkhulu’ istri
dengan kompensasi seribu sampai waktu yang tidak diketahui, dan lain
sebagainya, maka dalam seluruh ilustrasi ini si istri tertalak ba’in dengan
kompensasi sebesar mahar mitsil.

7. Hukum dan Konsekuensi Khulu’


Setelah khulu’ dinyatakan sah maka jatuhlah talak ba’in. Ketika seorang suami
menalak (atau mengkhulu’) istrinya dengan kompensasi tertentu maka istrinya
memiliki dirinya sendiri. Suami tidak boleh rujuk, baik kompensasi tersebut
shahih maupun fasid. Sebab, si istri telah menyerahkan hartanya untuk menebus
kembali kemaluannya, sehingga suami tidak mempunyai hak untuk rujuk.
Demikian pula, ketika suami menyerahkan hartanya sebagai maskawin untuk
memiliki kemaluan istrinya maka si istri tidak mempunyai wewenang untuk rujuk.
Wanita yang dikhulu’ tidak bisa dijatuhi talak. Ketika seorang suami
mengkhulu’ istrinya maka sisa jatah talak yang ada tidak bisa dijatuhkan
kepadanya. Sebab, suami sudah tidak lagi memiliki istri, sehingga talak suami
tidak bisa dijatuhkan lagi. Suami juga tidak bisa merujuk istri yang dikhulu’
dalam masa ‘iddah. Perpisahan dengan lafazh khulu’ merupakan talak sharih yang
mengurangi jatah talak, bukan fasakh, sebagaimana telah dijelaskan di depan.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Talak

25
Menurut bahasa Arab, kata talak bermakna “pelepasan atau penguraian tali pengikat.”
Sedangkan menurut istilah hukum islam berarti :
1. Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi keterikatannya dengan
menggunakan ucapan tertentu
2. Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubbungan suami istri
3. Melepaskan ikatan akad perkawinan dengan mengucapkan talak atau yang
sepadan dengan itu
2. Fasakh
Fasakh disebut juga dengan batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan. Yang
dimaksud dengan menfasakh nikah adalah membatalkan atau memutuskan ikatan
hubungan antara suami dan istri.
3. Khuluk
Khulu' adalah perceraian yang timbul atas kemauan istri dengan mengembalikan
mahar kepada suaminya. Khuluk disebut juga dengan thalaq tebus

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Akademia Pessindo, 2004.


Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam : Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahli
Sunnah dan Negara-Negara Islam. Jakarta : PT. Bulan Bintang, 2005.
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana, 2003.
Hamid, Zahry. Pokok-Pokok Hukum Perwakilan Islam dan Undang-Undang Perwakilan di
Indonesia. Yogyakarta : Bina Cipta, 1979.
Shiddiq, Ahmad. Hukum Talak dalam Agama Islam. Surabaya : Putra Pelajar, 2001.
Http://mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.com/2013/07/talak-pengertian-dalil-dan-
hukum-syarat.html
https://mengakujenius.com/pengertian-dan-macam-macam-talak-lengkap-penjelasannya/

https://www.muslimpintar.com/macam-macam-talak-dalam-islam/

26
https://bincangsyariah.com/kalam/dalil-talak-dalam-islam-dan-macam-macamnya/

https://ngomongdikit.com/macam-macam-talak/

Ghozali, Abdul Rahman , Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008.

Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2010.

http://nurisrnsw1.blogspot.com/2013/12/perceraian-gugatan-isteri-fasakh.html,

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011.

https://sankguru.blogspot.com/2017/01/fasakh-dalam-islam-kajian-fiqih.html

https://www.bacaanmadani.com/2017/09/pengertian-khulu-rukun-khulu-ukuran.html

http://islamalwafi.blogspot.com/2015/06/khulu.html

Abidin, Drs. Slamet dan Drs. H. Aminudin. Figh Munakahat II. CV. Pustaka Setia (Cetak
1), 1999. Bandung

KHI (Kompilasi Hukum Islam) BAB XVIII RUJUK Pasal 63

27

Anda mungkin juga menyukai