DISUSUN OLEH:
210200375
DOSEN PENGAMPU:
FAKULTAS HUKUM
2023
ABSTRAK
Hubungan kerja pada dasarnya adalah hubungan antara buruh dengan pengusaha setelah
adanya perjanjian kerja. Dalam suatu perjanjian kerja terdapat kesepakatan-kesepakan yang tidak
boleh dilanggar oleh kedua belah pihak baik buruh maupun pengusaha, namun dalam suatu
Hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha tidak selamanya berjalan harmonis
ditengah-tengah masa kerja kerap terjadi perselisihan hubungan industrial, baik perselisihan
antara serikat buruh, perselisihan hak, kepentingan, hingga tak jarang menimbulkan sanksi salah
satunya seperti penurunan jabatan /(Demosi).
Makalah ini membahas tentang perselisihan yang terjadi dalam konteks hubungan
industrial antara pekerja dan pengusaha. Tujuannya adalah untuk menggambarkan sifat,
penyebab, dan dampak perselisihan tersebut, serta membahas pendekatan yang dapat digunakan
dalam penyelesaiannya. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis perselisihan hubungan
industrial dengan fokus pada penyebab, dampak, dan penyelesaiannya. Penelitian dilakukan
melalui studi literatur, analisis kasus, dan penelusuran kebijakan terkait.
Makalah ini diharapkan memberikan wawasan dan rekomendasi praktis kepada pekerja,
pengusaha, dan pemerintah dalam menangani perselisihan hubungan industrial dengan cara yang
adil dan berkelanjutan.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja merupakan masalah yang
terjadi antara pengusaha dengan pekeja/buruh atau SP/SB. Salah satu penyebabnya
adalah belum maksimalnya penerapan peraturan perundang-undangan dalam hubungan
kerja tersebut. Yang menjadi perhatian saat ini adalah bagaimana mencegah atau
memperkecil persentase perselisihan atau mendamaikan kembali mereka yang berselisih.
Konflik atau perselisihan yang terjadi di dalam hubungan industrial ini
membutuhkan solusi dalam penyelesaiannya. Dimana solusi tersebut haruslah betul-betul
efektif dan adil. Hubungan industrial tidak dapat dipisahkan dengan hukum
ketenagakerjaan yang melibatkan tiga komponen utama dalam pelaksanaanya yaitu
pemerintah, pengusaha dan pekerja. Dalam hubungan kerja, yang sering menjadi pokok
pangkal ketidakpuasan itu umumnya dipicu permasalahan seperti pengupahan, jaminan
sosial, perilaku penugasan yang kadang kala dirasakan kurang sesuai dengan kepribadian
tenaga kerja dan lain-lain.1
Selain itu, perbedaan budaya, perbedaan persepsi tentang keadilan, dan perubahan
ekonomi atau kebijakan pemerintah juga dapat memicu perselisihan dalam hubungan
industrial. Faktor-faktor ini menciptakan ketegangan antara pekerja dan pengusaha, yang
jika tidak ditangani dengan baik, dapat berdampak negatif pada hubungan kerja,
produktivitas, dan kesejahteraan semua pihak yang terlibat.
Dalam beberapa kasus, perselisihan dalam hubungan industrial dapat melibatkan
aksi mogok kerja, pemutusan hubungan kerja massal, atau pertikaian hukum. Hal ini
dapat berdampak pada kestabilan perusahaan, ketidakpastian pekerja, dan citra
perusahaan di mata publik.
1
Aquila Himawan, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Jakarta, 2020, hlm.5
Penyelesaian perselisihan dapat diselesaikan sendiri oleh parapihak dan dapat
juga diselesaikan dengan perantara pihak ketiga, yaituMediator, Konsiliator atau Arbiter.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2004 disebutkan bahwa jenis
perselisihan hubunganindustrial meliputi empat macam :
1. Perselisihan Hak
Yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibatadanya perbedaan
pelaksanaan atau penafsiran terhadapketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja,peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
2. Perselisihan Kepentingan
Yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidakadanya kesesuaian
pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjiankerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian Kerja Bersama.
3. Perselisihan PHK
Yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukanoleh salah satu pihak.
4. Perselisihan Hak
B. Rumusan Masalah
1. Apa penyebab terjadinya perselisihan hubungan industrial?
2. Bagaimana penyelesaian perselisihan hubungan industrial?
2
Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial.
3. Apa dampak dari terjadinya perselisihan hubungan industrial?
C. Metode Penelitian
Dalam penulisan makalah ini digunakan penelitian melalui literatur. Dalam
melakukan tinjauan terhadap bagaimana penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dari sumbersumber seperti buku, artikel, jurnal, dan lain-lain. Oleh karena itu, data-data
yang diperoleh dalam menuliskan makalah ini merupakan data-data sekunder dari jurnal,
makalah, dan lainlain. Metode ini membantu dalam memahami konsep-konsep dalam
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan atau
serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
1. Perselisihan hak (rechtgeschillen), ialah perselisihan yang timbul karena tidak
dipenuhinya hak yakni salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau ketentuan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
Contoh:
a) Pengusaha tidak membayar gaji sesuai dnegan perjanjian, tidak membayar
tunjangan hari raya, tidak membayar jaminan sosial, dan sebagainya.
b) Pekerja atau buruh tidak mau bekerja dnegan baik sesuai dengan
perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama (PKB).
2. Perselisihan kepentingan (belangengeschillen), yaitu perselisihan yang terjadi karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat
kerja dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 3
Contoh:
a) Pekerja atau buruh meminta fasilitas istirahat yang memadai yang tidak
dapat dipenuhi oleh pengusaha.
b) Pekerja atau buruh menuntut kenaikan tunjangan makan.
c) Pekerja atau buruh menuntut pelengseran pejabat perusahaan dan lain-lain
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), yaitu perselisihan yang timbul apabila
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pemutusan hubungan kerja yang dilakukan
salah satu pihak.
Contoh: Pekerja yang tidak menerima diputuskan hubungan kerjanya oleh pengusaha
dikarenakan adanya efisensi perusahaan.
4. Perselisihan antar serikat pekerja merupakan perselisihan antara serikat pekerja dengan
serikat pekerja lain di dalam satu perusahaan karena tidak adanya kesepahaman mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban.4
B. Prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
1. Penyelesaian melalui bipartit.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang
berselisih secara musyawarah mufakat tanpa ikut campur pihak lain, sehingga dapat
memperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu, musyawarah dapat
menekan biaya serta menghemat waktu. Itulah sebabnya berdasarkan Pasal 3 UUPPHI
mengharuskan setiap PHI yang terjadi diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan
bipartit secara musyawarah untuk mufakat. Perundingan bipartit adalah perundingan
antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan PHI.
Penyelesaian secara bipartit dalam kepustakaan mengenai Alternatif Disputes
Resolution (ADR) disebut sebagai penyelesaian secara negosiasi. Kata negosiasi berasal
dari bahasa Inggris negotiation yang berarti perundingan atau musyawarah. Secara umum
3
Ariffudin Muda Harahap, PENGANTAR HUKUM KETENAGAKERJAAN, Literasi Nusantara, Malang,
2020, hlm. 144
4
Ariffudin Muda Harahap, ibid.
negosiasi berarti upaya penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan tanpa melibatkan
pihak lain dengan tujuan mencari kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang
harmonis dan kreatif.
Negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai
kesepakatan pada saat para pihak mengalami konflik. Negosiasi adalah sarana bagi pihak-
pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak
ketiga sebagai penengah.5
2. Penyelesaian Melalui Mediasi
Semua jenis perselisihan hubungan industrial yang dikenal dalam UU No. 2
Tahun 2004 bisa diselesaikan melalui mediasi. Perselesaian hubungan industrial tersebut
diselesaikan melalui musyawarah dengan ditengahi oleh seorang atau lebih mediator
yang netral.
Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh
menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempuyai kewajiban memberikan
anjuran tertulis kepada para pihak yang beselisih untuk menyelesaikan perselisihan yang
dilimpahkan kepadanya.
Syarat-syarat mediator berdasarkan pasal 9 UU No. 2 Tahun 2004 adalah:
a. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Warga negara Indonesia;
c. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d. Menguasai peraturan perundang undangan di bidang ketenagakerjaan;
e. Berwibaya, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. Berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (S1)
g. Syarat lain yang ditetapkan oleh menteri.
Syarat lain yang dimaksudkan dalam angka 7 di atas adalah syarat yang
ditentukan dalam keputusan menteri tenaga kerja dan transmigrasi No.
KEP-92/MEN/VI/2004 tentang pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata
kerja mediasi. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mediator adalah pegawai negeri sipil pada instansi ketenagakerjaan;
5
Ida Hanifah, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, CV.Pustaka Prima, Medan, 2020, hlm. 194
b. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Warga negara Indonesia;
d. Berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
e. Menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan;
f. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela;
g. Berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (S1); dan
h. Memiliki legitimasi dari menteri tenaga kerja dan transmigrasi.6
Berdasarkan ketentuan yang berlaku umum, penyelesaian sengketa melalui
mediasi tidak terdapat unsur paksaan antar para pihak dan mediator untuk membantu
penyelesaian konflik yang terjadi. Oleh karena itu, mediator hanya berkedudukan
membantu para pihak agar dapat mencapai kesepakatan yang hanya dapat diputuskan
oleh para pihak yang berselisih, mediator tidak memiliki kewenangan untuk memaksa,
mediator berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang
bersengketa. Setelah mengetahui duduknya perkara mediator dapat menyusun proposal
penyelesaian yang ditawarkan kepada para pihak yang berselisih. Mediator harus mampu
menciptakan kondisi yang kondusif yang dapat menjamin terciptanya kompromi di atara
pihak-pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang sama-sama menguntungkan.
Jika proposal penyelesaian yang ditawarkan mediator disetujui, mediator menyusun
kesepakatan itu secara tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak.
Penyelesaian PHI melalui mediasi menurut ketentuan Pasal 4, didahului dengan
tahapan sebagai berikut:
a) Jika perundingan bipartit gagal, salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti upaya penyelesaian secara
bipartit sudah dilakukan;
b) Setelah menerima pencatatan, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati
memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase;
6
Ariffudin Muda Harahap, PENGANTAR HUKUM KETENAGAKERJAAN, Literasi Nusantara, Malang,
2020, hlm. 150
c) Jika dalam waktu 7 (tujuh) hari para pihak tidak menetapkan pilihan, instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian
kepada mediator.
b. Mediator dapat memenggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang
mediasi guna diminta dan didengar keterangannya.
d. Apabila PB yang telah didaftarkan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah PB
didaftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi.
f. Jika anjuran tertulis dibuat oleh mediator ditolak oleh salah satu pihak atau para
pihak, salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian
perselsisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
setempat.
g. Mediator harus menyelesaikan tugasnya selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian PHI.7
8
Ida Hanifah, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, CV.Pustaka Prima, Medan, 2020, hlm. 209
52) bagi semua golongan penduduk Hindian Belanda. Dengan diundangkannya Undang-
undang Nomor 30 Tahun 1999 seluruh ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.
Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan
kesepakatan para pihak yang dilakukan oleh pihak ketiga yang disebut arbiter dan para
pihak menyatakan akan menaati putusan yang diambil oleh arbiter. Dalam Black’s Law
Dictionaryy dijelaskan bahwa “arbitration is the reference of a dispute to an impartial
(third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the
arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be
heard”. 149 Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
memberikan definisi arbitrase adalah cara penyelesaian suatu perkara perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan atas suatu perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Dari pengertian di atas, jelaslah bahwa arbitrase adalah perjanjian perdata yang
dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka yang
diputuskan oleh pihak ketiga yang disebut (arbiter) yang ditunjuk secara bersama-sama
oleh para pihak yang bersengketa. Oleh karena penyelesaian melalui arbitrase harus
didasarkan atas perjanjian yang dibuat oleh para pihak, maka penyelesaian melalui
arbitrase ini disebut (Contractual process).
Sebagai undang-undang yang bersifat khusus, berdasarkan Pasal 1 angka 15
UUPPHI memberikan pengertian arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut
arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan
antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar PPHI melalui
kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian
perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 16 UUPPHI disebutkan arbiter hubungan industrial
yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak
yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri untuk memberikan
putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase
yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Tata cara penyelesaian perselisihan industrial melalui arbitrase adalah:
a.Penyelesaian PHI oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah
pihak yang berselisih.
b. Apabila para pihak berhasil berdamai, arbiter atau majelis arbiter wajib membuat
akta perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter.
c.Akte perdamaian tersebut didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian.
d. Pendaftaran akte perdamaian dilakukan sebagai berikut:
1) Akta perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akte perdamaian;
2) Apabila akta perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah akte perdamaian didaftar untuk mendapat
penetapan eksekusi;
3) Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran akta perdamaian, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan
eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
e.Apabila upaya perdamaian gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang
arbitrase.
f. Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau seorang
saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya.
g. Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan, dan kepentingan umum.
h. Putusan arbitrase memuat:
1) Kepala keputusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
2) Nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter; 3) Nama lengkap dan alamat
para pihak;
4) Hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang
berselisih;
5) Ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak yang
berselisih;
6) Pertimbangan yang menjadi dasar keputusan;
7) Mulai berlakunya putusan; dan
8) Tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
i. Dalam putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14 hari harus sudah dilaksankan.
j. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang
berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap.
k. Putusan arbitrase didaftarkan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan.
l. Apabila putusan arbitrase tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan (fiat eksekusi) ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk
dijalankan.
m.Terhadap keputusan arbitrase, salah satu pihak atau para pihak dapat mengajukan
permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam waktu
selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter
n. Dalam hal permohonan tersebut dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat dari
pembatalan baik seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.9
C. Dampak Dari Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan hubungan industrial dapat memiliki dampak yang signifikan pada berbagai
aspek, baik bagi pekerja, pengusaha, maupun hubungan kerja secara keseluruhan. Beberapa
dampak umum dari perselisihan hubungan industrial antara lain:
1. Gangguan Produktivitas: Perselisihan hubungan industrial dapat mengganggu proses
produksi dan operasional perusahaan. Mogok kerja, pemutusan hubungan kerja massal,
atau aksi protes lainnya dapat menyebabkan penurunan produksi, penundaan pengiriman,
atau kerugian finansial bagi perusahaan. Hal ini dapat berdampak negatif pada
pertumbuhan ekonomi, daya saing, dan stabilitas perusahaan.
9
Ida Hanifah, ibid, hlm. 215
2. Ketidakpastian Pekerja: Perselisihan hubungan industrial dapat menciptakan
ketidakpastian bagi pekerja terkait keberlanjutan pekerjaan mereka. Pemutusan hubungan
kerja massal atau perubahan kondisi kerja yang tidak diinginkan dapat menyebabkan
stres, ketidakstabilan ekonomi, dan kekhawatiran terhadap masa depan karier.
3. Kerusakan Hubungan Kerja: Perselisihan yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan
dengan baik dapat merusak hubungan antara pekerja dan pengusaha. Kurangnya
kepercayaan, ketegangan, dan polarisasi dapat menghambat kolaborasi, komunikasi yang
efektif, dan lingkungan kerja yang harmonis.
4. Biaya Tambahan: Perselisihan hubungan industrial juga dapat berdampak pada biaya
tambahan bagi kedua belah pihak. Biaya perundingan, biaya hukum, dan biaya pemulihan
operasional setelah perselisihan dapat membebani perusahaan dan serikat buruh.
5. Reputasi Perusahaan: Perselisihan hubungan industrial yang mendapat perhatian publik
dapat berdampak negatif pada citra dan reputasi perusahaan. Image perusahaan yang
tercoreng dapat berdampak pada hubungan dengan pelanggan, investor, dan masyarakat
luas. Hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan dan preferensi konsumen terhadap produk
atau layanan perusahaan.
6. Perubahan Kebijakan: Perselisihan hubungan industrial yang signifikan seringkali
mendorong perubahan kebijakan perusahaan atau bahkan kebijakan pemerintah terkait
ketenagakerjaan. Perselisihan dapat menjadi pemicu bagi adanya reformasi peraturan
tenaga kerja atau peningkatan perlindungan hak-hak pekerja.
Penting untuk mencari solusi dan penyelesaian yang efektif untuk menghindari atau
mengurangi dampak negatif dari perselisihan hubungan industrial. Melalui dialog, negosiasi,
mediasi, atau arbitrase yang konstruktif, diharapkan perselisihan dapat diselesaikan secara adil
dan berkelanjutan, sehingga mendukung hubungan kerja yang harmonis dan produktif bagi
semua pihak yang terlibat.10
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
10
Endah Pujiastuti, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Semarang University Press, Semarang, 2008, hlm.
57.
1. Perselisihan hubungan industrial dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
perbedaan kepentingan antara pekerja dan pengusaha, konflik terkait upah, ketidakpuasan
terhadap kondisi kerja, masalah perburuhan, atau perbedaan interpretasi terhadap
perjanjian kerja.
2. Perselisihan hubungan industrial dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
perbedaan kepentingan antara pekerja dan pengusaha, konflik terkait upah, ketidakpuasan
terhadap kondisi kerja, masalah perburuhan, atau perbedaan interpretasi terhadap
perjanjian kerja.
3. Perselisihan hubungan industrial dapat memiliki dampak negatif, seperti penurunan
produktivitas, ketidakpastian pekerja, kerusakan hubungan kerja, biaya tambahan,
penurunan reputasi perusahaan, dan perubahan kebijakan ketenagakerjaan.
B. Saran
1. Penting untuk mendorong komunikasi terbuka dan efektif antara pekerja dan pengusaha.
Pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan harus berusaha mendengarkan dengan
saksama, saling memahami, dan berkomunikasi secara jujur untuk menghindari salah
pengertian dan membangun kepercayaan.
2. Mendorong proses negosiasi dan mediasi sebagai cara untuk mencapai kesepakatan yang
saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Proses ini dapat melibatkan pihak ketiga
netral yang membantu dalam memfasilitasi dialog, mengidentifikasi kepentingan
bersama, dan mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.
3. Memastikan adanya kebijakan ketenagakerjaan yang jelas dan dapat dipahami oleh
semua pihak. Kebijakan ini harus mencakup hak-hak pekerja, prosedur penyelesaian
sengketa, dan mekanisme penanganan perselisihan hubungan industrial. Kebijakan yang
transparan dapat membantu mencegah perselisihan dan memberikan panduan bagi
penyelesaiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Pujiastuti, Endah. 2008, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Semarang University Press, Semarang.