Anda di halaman 1dari 65

MEKANISME PENYELESAIAN PERSELISIHAN

HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG-UNDANG


NO.2 TAHUN 2004
(Birparti, Tripartit, Gugatan ke PHI)

Mustakim, S.H., M.H.

Penerbit :

Fakultas Hukum Universitas Nasional


MEKANISME PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2004
(Bipartit, Tripartit, Gugatan ke PHI )

Mustakim, S.H., M.H.

Penerbit :

Fakultas Hukum Universitas Nasional

i
MEKANISME PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2004 (Bipartit, Tripartit,
Gugatan ke PHI )

Oleh : Mustakim, S.H., M.H.

ISBN/KDT : 978-602-97672-0-9
Perpustakaan Nasional : Kataloq Dalam Terbitan (KDT)
Cetakan Kedua : Agustus 2018

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya dalam bentuk
dan dengan cara apapun termasuk dengan cara mengunakan mesin
fotocopy, tanpa seizin dari penerbit

Penerbit :

Fakultas Hukum Universitas Nasional

ii
KATA PENGANTAR PENULIS

Puji syukur Penulis ucapkan kepada Allas SWT, Tuhan Yang Maha
Esa, atas limpahan rahmat dan hidayahnya, sehingga dengan penuh
kebanggaan, akhirnya buku berjudul ”MEKANISME PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG-UNDANG NO.
2 TAHUN 2004 (Bipartit, Tripartit, Gugatan ke PHI)” dapat terselesaikan.
Buku ini memaparkan secara jelas bagaimana mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diaitur dalam ketentuan
Undang-Undang No. 2 tahun 2004, mulai dari penyelesaian Bipartit,
penyelesaian melalui Konsiliasi, Arbitrase maupun mediasi dengan
mengunakan pihak ketiga (Tripartit) serta upaya pengajuan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial.
Terbitan kali ini merupakan cetakan ke dua dengan beberapa
perubahan lampiran berupa Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang pada cetakan
sebelumnya tidak dilampirkan.
Publikasi tulisan sengaja dilakukan ke masyarakat umum dengan
harapan dapat bermanfaat bagi semua kalangan, baik masyarakat,
mahasiswa Fakultas Hukum, akademisi, hakim dan Praktisi hukum serta
pihak-pihak terkait dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
khususnya dapat pergunakan mahasiswa yang mengambil mata kuliah
Hukum Ketenagakerjaan sebagai tambahan referensi perkuliahan.
Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada yang amat terpelajar
Prof. Dr. I Ketut Oka Setiawan, S.H., MKn atas nasehat dan motivasinya.
Dan juga kepada Bapak Dr. H. Fauzie Yusuf Hasibuan, S.H.,M.H. yang selalu
memberikan arahan dan bimbingannya dan sumbangan buku-buku,
sehingga buku ini dapat di sajikan sesuai dengan kondisi saat ini. Rekan-
Rekan Fauzie & Partners Erik Prabualdi, S.H., Rini Tarigan, AMD, S..H, Daniel

iii
Kurniawan, S.H., Bajonga Aprianto, S.H, dan Indra, serta seluruh rekan-
rekan yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.
Tak lupa ucapan terima kasih, Penulis sampaikan kepada Istri
tercinta Ida Zahrotu Saidah, S.H., M.H. dan anak-anakku tercinta ananda
Khairul Azzam Mustaqim dan Hanif Pangestu, Almarhumah Nadhirotun Aqila,
senantiasa memberikan semangat dan spirit, sehingga buku ini dapat
terselesaikan.
Buku ini belum sempurna, ibarat pepatah “tak ada gading yang tak
retak”. Akhirnya Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat
menyempurnakan buku ini hingga mencapai tingkat kesempurnaan yang
maksimal. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi masyarakat,
Mahasiswa Fakultas Hukum, Akademisi, Praktisi (Advokat), Pekerja,
Perusahaan dan pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan
perselisihan hubungan Industrial.

Jakarta, Agustus 2018


Penulis

iv
MOTTO

Jika kamu berbuat kebaikan, maka sesungguhnya


kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri
(Surat Al-Isra' Ayat 7)

“Dan bersabarlah, karena sesunggugnya Allah tidak menyia-


yiakan pahala orang yang berbuat kebaikan”
(Surat, Al- Hud. 115)

v
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ......................................................... 1

BAB II TINJAUAN UMUM PERSELISIHAN HUBUNGAN


INDUSTRIAL DAN PENYELESAIAN SENGKETA
PERDATA .................................................................... 5
A. Pengertian Perselisihan ............................................. 5
B. Hubungan Industrial ................................................. 7
1. Pengertian Hubungan Industrial ............................. 7
2. Landasan Hubungan Industrial .............................. 8
3. Para Pihak dalam Hubungan Industrial .................. 8
C. Perselisihan Hubungan Industrial ................................ 11
1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial ........ 11
2. Prinsip Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial ............................................................. 12
3. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial .................. 12
a. Perselisihan Hak .............................................. 13
b. Perselisihan Kepentingan ................................... 13
c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK)................................................................ 14
D. Perselisihan antar Serikat Pekerja dalam Satu
PerusahaanBentuk Penyelesaian Sengketa Perdata ..... 15
1. Adjudikatif ........................................................... 15
2. Konsensus/Kompromi ........................................... 15
3. Semu Adjudikatif ................................................... 16

vi
BAB III PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL MELALUI LEMBAGA BIPARTIT DAN
TRIPARTIT ................................................................ 18
A. Penyelesaian Perselisihan Melalui Bipartit ................ 18
1. Pengertian Bipartit ............................................. 19
2. Prosedur Penyelesaian Melalui Bipartit................... 19
3. Keputusan Bipartit ............................................. 21
B. Penyelesaian Secara Tripartit .................................. 22
1. Penyelesaian Melalui Mediasi ................................ 22
a. Pengertian Mediasi dan Mediator ...................... 22
b. Syarat-Syarat Mediator .................................... 27
c. Tugas, Kewajiban dan Wewenang Mediator ...... 29
d. Prosedur Penyelesaian Mediator………………........ 30
e. Pencabutan Legitimasi dan Sanksi …................. 30
2. Konsiliasi …………………………................................. 32
a. Pengertian Konsiliasi dan Konsiliator ………........ 32
b. Syarat-Syarat Konsiliator …………………………...... 32
c. Tugas, Kewajiban dan Wewenang Konsiliator .... 34
d. Prosedur Penyelesaian Melalui Konsilias .......... 35
e. Pencabutan Legitimasi Konsiliator .................... 36
3. Arbitrase …………………………………………………………. 37
a. Pengertian Arbitrase dan Arbiter ……………......... 37
b. Syarat-Syarat Arbiter ………………………………….... 40
c. Tugas, Kewajiban dan Wewenang Arbiter ....... 41
d. Prosedur Penyelesaian Melalui Arbitrase …........ 42
e. Pencabutan Legitimasi Arbiter ……….................. 46

vii
BAB IV UPAYA HUKUM PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI PENGADILAN .
A. Pengadilan Hubungan Industrial ............................... 48
1. Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial ...... 48
2. Tempat dan Kedudukan Pengadilan Hubungan 48
Industrial ...........................................................
B. Pengajuan Gugatan ke Pengadilan Hubungan 53
Industrial ...............................................................
1. Pengajuan Gugatan ............................................. 54
2. Gugatan Secara Tertulis atau Lisan ...................... 54
3. Tempat Pengajuan Gugatan ................................. 55
4. Tengang Waktu Pengajuan Gugatan ..................... 55
5. Biaya Pengajuan Gugatan .................................... 55
C. Bentuk Pemeriksaan di Pengadilan Hubungan 56
Industrial ...............................................................
1. Pemeriksaan Acara Biasa ..................................... 56
2. Pemeriksaan Acara Cepat .................................... 56
D. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial .................. 56
E. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial oleh 61
Mahkamah Agung ..................................................
1. Pengajuan Kasasi ................................................ 63
2. Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ..................... 63
3. Upaya Hukum Terhadap Putusan Arbitrase ........... 65
F. Kekuatan Hukum Perjanjian Bersama Melalui Bipartit 66
dan Tripartit (Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase) ......... 67
BAB V KESIMPULAN …………………........................................ 71
DAFTAR PUSTAKA ……………….................................................... 72

viii
BAB I
PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon), yakni


makhluk yang tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau
berhubungan dengan satu sama lainnya dalam rangka
memenuhi kebutuhan baik yang bersifat jasmani maupun rohani.
Dalam melakukan hubungan tersebut sudah pasti terjadi
persamaan dan perbedaan dalam kepentingan, padangan dan
perbedaan yang dapat menimbulkan perselisihan atau konflik. 1

Terjadinya perselisihan diantara manusia merupakan


masalah yang lumrah karena telah menjadi kodrat manusia itu
sendiri. Hal yang terpenting sekarang adalah bagaimana
mencegah atau memperbaiki perselisihan tersebut atau
mendamaikan kembali mereka yang berselisih.2
Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi
sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah
menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara
langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab

1 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan


& Di Luar Pengadilan, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 1.
2 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja : Hukum Ketenegakerjaan Bidang Hubungan

Kerja, Edisi Revisi, (Jakarta : PT. RajaGrafindo, 2008), hal. 137.


1
kerugian atau kepada pihak lain, artinya sengketa merupakan
kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan berubah menjadi
sengketa bila tidak dapat terselesaikan. Konflik dapat diartikan
“pertentangan” diantara para pihak untuk menyelesaikan
masalah yang kalau tidak diselesaikan dengan baik dapat
menggangu hubungan diantara mereka. Sepanjang para pihak
tersebut dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik, maka
sengketa tidak akan terjadi, sebaliknya apabila para pihak tidak
dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi pemecahan
masalahnya, maka sengketalah yang timbul.3
Perselisihan menyangkut hubungan industrial dapat
dikatakan tidak pernah surut, bahkan mempunyai
kecenderungan untuk meningkat di dalam kompleksitas
permasalahannya maupun kuantitasnya seiring dinamika di
bidang ekonomi, sosial dan politik. 4 Apalagi dengan semakin
memburuknya situasi ekonomi dengan adanya krisis global yang
sangat terasa dampaknya bagi masyarakat terutama pekerja.
Perselisihan tersebut dapat menimbulkan sengketa yang
tentunya memerlukan penyelesaian hukumnya.

3 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,


(Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 2003), hal. 1-2.
4 Farid Mu’adz, Pengadilan Hubungan Industrial Dan Alternatif Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial di Luar Pengadilan, , (Jakarta : Ind-Hill-Co,


2005), hal. 1.

2
Dalam bidang ketenagakerjaan timbulnya perselisihan
antara pengusaha dengan para pekerja/buruh biasanya perpokok
pangkal karena adanya perasaan-perasaan kurang puas.
Pengusaha memberikan kebijakan-kebijakan yang menurut
pertimbangannya sudah baik dan bakal diterima oleh para
pekerja/buruh namun pekerja/buruh mempunyai pertimbangan
dan pendangan yang berbeda-beda. Akibatnya kebijakan yang
diberikan oleh pengusaha menjadi tidak sama. Pekerja/buruh
yang merasa tidak puas akan menunjukkan kinerja yang
menurun hingga terjadi perselisihan-perselisihan.5
Di Indonesia hubungan Industrial (Industrial Relation)
merupakan hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja/buruh, yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 1 angka 16
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
yang tumbuh dan berkembang di atas kepribadian bangsa dan
kebudayaan nasional Indonesia.6
Prinsip Hubungan Industrial Pancasila yang dianut di
Indonesia harus dipergunakan sebagai acuan dalam mengatasi

5Zaeni Asyhadie, Op, Cit, hal. 137.


6Lalu Husni, Op,Cit, hal. 17. Lihat juga Andrian Sutedi, Hukum Perburuhan,
Cet. I, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 23.

3
atau memecahkan berbagai persoalan yang timbul dalam bidang
ketenagakerjaan. Dalam Hubungan Industrial Pancasila, setiap
keluh kesah yang terjadi di tingkat perusahaan dan masalah-
masalah ketenagakerjaan lain yang timbul harus diselesaikan
secara kekeluargaan atau musyawarah mencapai mufakat.7
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang
ketenaga-kerjaan yang berlaku selama ini, sebagian merupakan
produk kolonial, menempatkan pekerja pada posisi yang kurang
menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan
sistem hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan
kedudukan dan kepentingan, sehingga dipandang sudah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang
akan datang.
Sebelum reformasi penyelesaian sengketa buruh masih
memakai Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang No.
12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di
Perusahaan Swasta. Di dalam kedua produk Perundang-
undangan ini memberikan jalan penyelesaian sengketa buruh
lebih dititik beratkan pada musyawarah mufakat antara buruh
dan majikan melalui Lembaga Bepartit, dan bila tidak

7 Ibid, hal. 39.

4
terselesaikan dapat dilanjutkan ke Lembaga Tripartit, dan
seterusnya dapat dilanjutkan ke Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah (4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (P4P), akan tetapi pada zaman sekarang ini
dimana semakin kompleksnya permasalahan perburuhan
Undang-Undang lama tersebut tidak dapat lagi memberikan jalan
keluar dalam menyelesaikan sengketa perburuhan. 8

Upaya untuk mengganti perundang-undangan yang tidak


sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat di bidang
ketenagakerjaan tersebut sudah dilakukan tahun 1998 yang
melibatkan berbagai komponen termasuk organisasi pekerja,
pengusaha, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan para
pakar yang melahirkan rancangan undang-undang tentang
Penyelesaian Perselisihan Industrial yang sekarang ini sudah
menjadi Undang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.9

8 Kelelung Bukit, Berapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan di Dalam Dan


di Luar Pengadilan, ( Sumatera Utara : Fakultas Hukum, Program Studi Hukum
Administrasi Negara, tahun 2004). Hal.10. Alasan tidak dapat memberikan jalan
keluar karena UU No. 22 tahun 1957, hanya mengatur penyelesaian
perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif, sedangkan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh secara perorangan
belum terakomodasi. Lihat Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial beserta Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta :
Harvarindo, 2007), hal. 58.
9 Lalu Husni, Op, Cit, hal. 41.

5
Dengan disahkanya Undang-Undang No. 2 tahun 2004,
pada tanggal 14 Januari 2004 dan berlaku efektif pada tanggal
14 Januari 2006, maka secara otomatis Undang-Undang No. 22
Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan
Undang-Undang No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dinyatakan dicabut dan
tidak berlaku kembali.
Penyelesaian terhadap kasus-kasus terkait dengan bidang
ketenagakerjaan, pada umumnya dapat ditempuh melalui jalur
pengadilan (litigation) dan di luar pengadilan (non litigation).
Salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang amat dikenal dan
sudah lama digunakan adalah penyelesaian sengketa melalui
pengadilan. Penyelesaan sengketa melalui pengadilan hanya
dilakukan sebagai langkah terakhir dalam menyelesaikan
perselisihan, bahkan mulai ditinggalkan oleh pelaku bisnis.
Dengan makin memburuknya citra pengadilan dalam
menegakkan keadilan dan kebenaran, maka pihak yang
bersengketa cenderung mengunakan Alternatif Penyelesaian
sengkta di luar Pengadilan (ADR). Pilihan penyelesaian sengketa
mengunakan ADR mempunyai kelebihan bila dibandingkan
dengan berperkara di muka pengadilan yang tidak menarik
dilihat dari segi waktu, biaya dan pikiran atau tenaga. Di

6
samping itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga
peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya,
membuat pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk
menyelesaikan sengketa.10
Menurut Undang-Undang No. 2 tahun 2004, Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial dapat diselesaikan melaui
Bipartit, Tripartit, dan Pengadilan Hubungan Industrial.11 Oleh
karena itu dalam di dalam buku ini akan diulas lebih mendalam
mengenai penyelesaian perselisihan hubungan Industrial
berdasarkan Undang-Undang No. 2 tahun 2004, terutama
penyelesaian melalui Bipartit dan Tripartit serta upaya hukum
yang dapat dilakukan.

10Maria S.W. Sumardjono, Nurhasan Ismail dan Isharyanto, Mediasi Sengketa


Tanah : Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) di Bidang
Pertanahan, (Jakarta : Kompas, 2008), hal. 4.
11 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dapat dilakukan melalui:
Penyelesaian Bipartit dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat oleh
para pihak, tanpa dicampuri oleh pihak manapun. Penyelesaian Tripartit
dilakukan, dalam hal apabila penyelesaian Bipartit antara Pengusaha dengan
buruh tidak dapat tercapai, mengunakan pihak ketiga netral yang berasal dari
Pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mediator) atau pihak yang
ditunjuk berdasarkan SK Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (Konsiliator
atau Arbier). Penyelesaian Hubungan Industrial melalui Pengadilan
Hubungan Industrial ditempuh sebagai langkah terakhir ketika upaya
penyelesaian Bipartit dan Tripartit gagal.

7
BAB II
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
DAN PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA

A. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial


Sebelum menguraikan hal terkait dengan perselisihan
hubungan industrial, kiranya untuk memperjelas
pembahasan berikutnya terlebih dahulu diuraikan apa yang
dimaksud dengan perselisihan.
Perselisihan menurut bahasa indonesia berasal dari
kata “selisih” yang berarti beda atau kelainan. Perselisihan
berarti “perbedaan (pendapat) atau pertikaian, sengketa,
percekcokan”.12
Dalam bahasa Inggris perselisihan diterjemahkan
sebagai dispute atau sinonim dari conflict yang memiliki arti
yang sama yakni perselisihan, percekcokan dan
pertentangan. Dispute diartikan sebagai “ A conflict or
controversy, especially one that has given rise to a particular

12W.J.S, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : PN Balai


Pustaka, 1982), hal. 898-899.

8
law suit”.13 Menurut Hanry Cambell Black dalam Lalu Husni
menjelaskan bahwa :
Disput of a conflict or controversy ; a conflict of claims
or right; an assertion of a right, claim or demand on
one side, met by contrary claims or allegations on the
other. The subject of litigation; the matter for which a
suit brought and upon which issue is joined. and in
relation to which jorors are called and witnesses
examined. See Cause of action; Claim, Controversy;
Justiciable Controversy; Labor dispute.14

Sengketa atau konflik hakekatnya merupakan bentuk


aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan
antara dua pihak atau lebih. Ronny Hanitijo, mendefinisikan
konflik sebagai situasi (keadaan) di mana dua atau lebih
pihak-pihak memperjuangkan tujuan mereka masing-masing
yang tidak dapat dipersatukan dan dimana tiap-tiap pihak
mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran
tujuannya masing-masing.
Joni Emirzon memberikan pengertian
konflik/perselisihan/ percekcokan adalah adanya
pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang
akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerja sama.

13Cambell Black Henry, Black’s Law Dictionry, St. Paul Minn West Publishing
Co. 1979, hal. 424. Lalu Husni, Op, Cit, hal. 1.
14 Ibid,
9
Konflik pada dasarnya adalah segala macam interaksi
pertentangan atau antagonistis antara dua atau lebih pihak.
Robert C. North menyatakan “A conflict emerges when two
or more persons or group seek to possess the same object,
occupy the same space or the same exclusive position” 15

Kreitner, R & Kinicki, A, menyebutkan “Conflict is a


process in which one party perceives that it’s interests are
being opposed or negatively affected by another party”.16
Perselisihan atau sengketa timbul karena adanya
ketidaksesuaian pendapat mengenai apa yang diperjanjikan
oleh pihak sebelumnya. Biasanya perselisihan atau sengketa
ini timbul dalam pelaksanaan suatu perjanjian atau perikatan
diantara dua subjek hukum atau lebih.
Berdasarkan teori hukum, perselisihan perburuhan ada
dua yaitu: perselisihan hak dan perselisihan kepentingan.
Iman Soepomo, menyebutkan jenis perselisihan perburuhan
dibedakan antara perselisihan hak (rechtsgeshil) dan
perselisihan kepentingan (belangengeschil).17

16 Ibid,
17 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Djambatan,
1985) hal. 97.

10
Menurut H.M. Laica Marzuki, terdapat dua macam
karakteristik perselisihan yang mewarnai kasus-kasus
perburuhan, yakni:
1. Kasus perselisihan hak (rechtsgeschil, conflict of right)
yang berpaut dengan tidak adanya persesuaian yang
demikian itu, menitikberatkan aspek hukum
(rechtsmatigheid) dari permasalahan, utamanya
menyangkut pencenderaan janji (wanprestasi) terhadap
perjanjian kerja, suatu pelanggaran peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
2. Kasus perselisihan kepentingan ( belangeschillen, conflict
of interest) yang berpaut dengan tidak adanya
persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja
dan/atau keadaan perburuhan, utamanya menyangkut
perbaikan ekonomis serta akomodasi kehidupan para
pekerja. Perselisihan sedemikian menitikberatkan aspek
doelmatigheid permasalahan.18
Budiono menyebutkan bahwa “ada tiga kemungkinan
untuk menyelesaikana perselisihan hubungan industrial yaitu

18 Asri Wijayanti, Analisis Yuridis tentang Kompetensi Absolut PHI, Artikel pada
tanggal 22-Nov-2008, 23:39:40 WIB, di Update pada www.kabarindonesia.com.
Lihat Juga H.M. Laica Marzuki, “ Mengenal karakteristik kasus-kasus
perburuhan “, Varia Peradilan No. 133, IKAHI, Jakarta, Oktober 1996, hal.
151.

11
melalui perundingan, menyerahkan kepada juri/dewan
pemisah dan menyerahkan kepada pegawai perburuhan
untuk diperantarai”.19 Sedangkan menurut Undang-Undang
No. 2 tahun 2004, Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial ditempuh melalui Bipartit dan melalui Tripartit
(Arbitrase, Konsiliasi dan Mediasi), dan yang terakhir melalui
pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

B. Hubungan Industrial
1. Pengertian Hubungan Industrial
Hubungan industrial pada dasarnya adalah proses
terbinanya komunikasi, konsultasi, musyawarah dan
berunding serta ditopang oleh kemampuan dan komitmen
yang tinggi dari semua elemen yang ada di dalam
perusahaan. Undang-Undang Ketenagakerjaan telah
mengatur prinsip-prinsip dasar yang perlu dikembangkan
dalam bidang hubungan industrial. Arahnya adalah untuk
menciptakan sistem dan kelembagaan yang ideal,

19Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan


Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Cet. II,
(Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 2007), hal. 149.

12
sehingga tercipta kondisi kerja yang produktif, harmonis,
dinamis dan berkeadilan.20
Pada dasarnya hubungan industrial berfungsi dan
bertujuan untuk menciptakan kemitraan,
mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja,
memberikan kesejahteraan dan ketenangan kerja bagi
pekerja/buruh dan ketenangan berusaha bagi pengusaha,
sehingga pemerintah memperoleh keuntungan dari
hubungan tersebut yaitu berputarnya roda perekonomian
dan perluasan pembagian penghasilan.21
Hubungan industrial juga mencakup hal yang
dikaitkan dengan interaksi manusia di tempat kerja. Hal
tersebut sangat nyata ketika terjadi berbagai gejolak dan
permasalahan. Dampaknya adalah akan menganggu
suasana kerja dan berakibat pada penurunan kinerja
serta produksi di tempat kerja. Semua itu terkait dengan
keberhasilan atau kegagalan mengelola hubungan
industrial di dalam Perusahaan.22

20Andrian Sutedi, Op, Cit, hal. 23.


21 Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Cet. II, (Jakarta : PT.
Pradya Paramita, 2007), hal. 151.
22 Ibid
13
Hubungan Industrial Pancasila (HIP) adalah sistem
hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan jasa (pekerja, pengusaha dan
pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai yang
merupakan manifestasi dan keseluruhan nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang tumbuh
dan berkembang di atas kepribadian bangsa dan
kebudayaan nasional Indonesia.23

2. Landasan Hubungan Industrial


Dalam buku hubungan industrial Pancasila yang
diterbitkan oleh Dirjen Pembinaan Hubungan Perburuhan
dikatakan bahwa : Hubungan Perburuhan Pancasila
berdasarkan landasan Idiil Pancasila, dan landasan
konstitusional Undang-Undang Dasar 1945, secara
operasional berlandaskan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawarahan Rakyat (MPR) serta ketentuan-
ketentuan pelaksanaan yang diatur oleh pemerintah
dalam program pembangunan.24

23 Zainal Asikin, Agusfian Wahab, Lalu Husni dan Zaeni Asyhadie, Dasar-Dasar
Hukum Perburuhana, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 238
24 Zainal Asikin, Op, Cit, hal. 242.

14
3. Para Pihak dalam Hubungan Industrial
Para pihak yang terlibat dalam hubungan industrial
meliputi Pekerja/Buruh, Pengusaha, Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, Organisasi Pengusaha dan
Pemerintah. Untuk lebih jelasnya akan Penulis uraikan di
bawah ini :
a. Buruh/Pekerja
Sesuai dengan usulan pemerintah yang diwakili
oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
pada waktu Kongres FBSI II tahun 1985, istilah
buruh diganti dengan pekerja, dengan alasan istilah
buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa.
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pasal 1 angka 4 memberikan
pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang
bekerja dengan menerima upah atas imbalan dalam
bentuk apapun. Pengertian ini agak umum namun
maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua
orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan,
persekutuan, badan hukum atau badan lainya

15
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
apapun. 25

b. Pengusaha
Sebelum Undang-Undang No. 13 tahun 2003,
tentang Ketenagakerjaan, istilah pengusaha populer
disebut majikan. Menurut Undang-Undang No. 22
tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, menyebutkan bahwa majikan adalah
”orang atau badan hukum yang mempekerjakan
buruh”.26
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 2 tahun
2004, menyebutkan Pengusaha adalah :
1) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik
sendiri;
2) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya;

25 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi,


(Jakarta : RajaGrafindo, 2003), hal. 34.
26 Istilah majikan kemudian dirubah dengan istilah pengusaha dengan alasan

tidak sesuai dengan konsep hubungan industrial yang menghendaki adanya


keseimbangan dan keharmonisan dalam hubungan antara pengusaha dan
pekerja.

16
3) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
Perusahaan adalah :
1) Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau
tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
2) Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang
lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.

b. Organisasi Pekerja/Buruh
Menurut RG. Kartasapoetra dalam buku
karangan Zainal Asikin, dkk, menjelaskan bahwa
Organisasi buruh adalah ”organisasi yang didirikan
oleh dan untuk kaum buruh secara sukarela yang

17
berbentuk Serikat Buruh dan Gabungan Serikat
Buruh”.27
Menurut Pasal 1 angka 17 Undang-Undang No.
13 tahun 2003 Jo. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh menjelaskan bahwa Serikat Pekerja/Serikat
Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan
untuk bekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar
perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri dan
demokratis dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Pembentukan organisasi ini bertujuan untuk
melindungi hak dan kepentingan kaum buruh,
meningkatkan derajat dan martabat buruh, dan
meningkatkan kedudukan dan partisipasi dan
tanggung jawab kaum buruh dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara dalam usaha-usaha
pembangunan.

27 Zainal Asikin, Op, Cit, hal. 50. Lihat juga RG. Kartasapoetra, Hukum
Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, (Jakarta : Bina Aksara, 1986),
hal. 211,

18
c. Organisasi Pengusaha
Dalam Pasal 105 Undang-Undang No. 13 tahun
2003, mengenai organisasi pengusaha ini ditentukan
sebagai berikut:
1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi
anggota organisasi pengusaha
2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku

d. Pemerintah
Pemerintah selaku penguasa negara
berkepentingan agar roda perekonomian nasional dan
pendistribusian penghasilan dapat berjalan dengan
tertib dan lancar, sehingga tidak membahayakan
keamanan negara. Oleh karena itu pemerintah
berkewajiban agar peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan dapat berjalan dengan adil
bagi para pihak sebagaimana mestinya. Untuk
menjamin pelaksanaan peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan dengan adil

19
diperlukan campur tangan pemerintah melalui Instansi
atau Departemen yang khusus menangani masalah
ketenagakerjaan yang sekarang instansi tersebut
bernama Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
di tingkat pusat dan Dinas Tenaga Kerja di Tingkat
Daerah.

C. Perselisihan Hubungan Industrial


1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
Istilah perselisihan hubungan industrial sebelum
keluarnya Undang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebut
perselisihan perburuhan. Menurut Pasal 1 ayat (1) huruf c
Undang-Undang No. 22 tahun 1957, istilah perselisihan
diartikan pertentangan antara majikan atau perkumpulan
majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat
buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian
paham mengenai hubungan kerja, syarat kerja dan/atau
keadaan perburuhan. Kemudian Menteri Tenaga Kerja
melalui Keputusan No. Kep-15.A/Men/1994, menganti
istilah perselisihan perburuhan menjadi perselisihan
hubungan industrial, yang selanjutnya istilah tersebut

20
dipakai dalam ketentuan Undang-Undang No. 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No.
2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
Terminologi hubungan industrial merupakan istilah
baru yang dilembagakan oleh Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-
Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Sehingga perselisihan
yang timbul antara Pekerja/Buruh ataupun antara
Pengusaha atau Gabungan Usaha dengan Serikat
Pekerja/Buruh atau Gabungan Serikat Pekerja/Buruh
dinamakan Perselishan Hubungan Industrial.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 2
tahun 2004, Perselisihan Hubungan Industrial adalah:
Perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan.28

28Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya


hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan

21
2. Prinsip Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
menganut beberapa prinsip yaitu 29

a. Musyawarah untuk mufakat


Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat secara
bipartit adalah wajib sebelum menempuh penyelesaian
lebih lanjut. Begitu juga dalam penyelesaian melalui
mekanisme yang lain seperti Konsiliasi, Arbitrase dan
Mediasi mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
b. Bebas memilih lembaga penyelesaian perselisihan

peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau


perjanjian kerja bersama. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang
timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh
dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena
tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak,
dan kewajiban keserikatpekerjaan.
29 Muzni Tambusai, Kepastian Hukum, Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial, Legal Certainty, Industrial Relation Dispute Settlement, Derektorat


Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi tahun 2005. hal. 14.

22
Para pihak diberikan kebebasan untuk memilih
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang akan didtempuh, apakah mengunakan
Arbitrase, Konsiliasi atau Mediasi sebelum mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Tentunya
kebebasan tersebut disesuaikan dengan jenis
perselisihan hubungan industrial yang dialami.
c. Cepat, Adil dan Murah
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
menganut prinsip cepat, adil dan murah. Haal tersebut
dapat terlihat dari segi waktu penyelesaian, dimana
bipartit 30 hari, melalui tripartit (Konsiliasi, Arbitrase
dan Mediasi waktu penyelesaiannya 30 hari,
sedangkan waktu penyelesaian melalui Pengadilan
Hubungan Industrial adalah 50 hari, dimana untuk
perselisihan kepentingan dan antar Serikat
Pekerja/Serikat Buruh putusan pengadilan hubungan
industrial adalah mengikat dan final. Sedangkan untuk
perselisihan hak dan PHK para pihak atau salah satu
pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung,
apabila tidak dapat menerima Putusan Pengadilan

23
Hubungan Industrial. Mahkamah Agung mengambil
keputusan paling lama 30 hari.

3. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial


Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004,
terhitung tanggal 15 Januari 2005 dibentuk lembaga-
lembaga baru yang menggantikan posisi P4D dan P4P
dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Lembaga-lembaga baru ini akan menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial berdasarkan kategori
atau jenis perselisihan.
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004,
perselisihan hubungan industrial dibagi menjadi :
a. Perselisihan Hak
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 2 tahun
2004, menjelaskan bahwa perselisihan hak adalah
perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,
akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran
terhadap ketentuan perundang-undangan, perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.

24
Menurut Imam Soepomo, perselisihan hak terjadi
karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
pelaksanaan hubungan kerja, sedangkan H.P.
Rajagukguk, menyebutkan perselisihan hak ini sebagai
perselisihan hukum, yakni perselisihan kolektif atau
perselisihan perorangan antara majikan atau serikat
majikan dengan serikat buruh atau buruh perorangan
mengenai pelaksanaan atau penafsiran perjanjian
perburuhan atau perjanjian kerja.
Substansi dari perselisihan hak ini adalah
menyangkut sengketa mengenai pelaksanaan
ketentuan normatif yang terdapat dalam ketentuan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan dan perjanjian kerja bersama.30
Perselisihan hak tidak dapat diselesaikan melalui
konsiliasi atau pun arbitrase akan tetapi hanya dapat
diselesaikan melalui mediasi dengan bantuan mediator
dan apabila para pihak tidak sepakat dengan
penyelesaian melalui mediator dapat menempuh
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

30 Farid Mu’azd, Op, Cit, hal. 11.

25
b. Perselisihan Kepentingan
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 2
tahun 2004, perselisihan kepentingan adalah
Perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Menurut Mumuddi Khan, yang dikutip Lalu Husni,
Perselisihan kepentingan (interest dispute) adalah
involve dissagreement over the formulation of standars
terms and condition of employment, as axist in a
deadlock in Collective bergaining negosiations.31
Dari pengertian di atas, dapat terlihat perbedaan
antara perselisihan hak dan perselisihan kepentingan,
yaitu perselisihan hak objek sengketanya adalah tidak
dipenuhinya hak yang telah ditetapkan karena adanya
perbedaan dalam implementasi atau penafisran
ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama yang melandasi hak yang disengketakan,

31 Lalu Husni, Op, Cit, hal. 45.

26
sedangkan perselisihan kepentingan objek
sengketanya karena adanya ketidak kesesuaian
paham/ pendapat mengenai pembuatan dan/atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Dengan kata lain, dalam perselisihan hak yang
dilanggar adalah hukumnya, baik yang ada dalam
peraturan perundang-undangan, dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama. Sedangkan dalam perselisihan kepentingan
menyangkut pembuatan hukum dan/atau perubahan
terhadap subtansi hukum yang sudah ada.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 2
tahun 2004, maka perbedaan antara perselisihan hak
dan perselisihan kepentingan yang dikenal selama ini
dalam kepustkaan didasarkan atas para pihak yang
bersengketa, yakni buruh, perorangan, terlihat dalam
perselisihan hak, sedangkan hukum secara
kolektif/organisasi menjadi para pihak dalam
perselisihan kepentingan sudah tidak dijadikan acuan
lagi. Buruh baik secara pribadi maupun kolektif, saat

27
ini dapat menjadi para pihak dalam perselisihan hak
maupun perselisihan kepentingan. Yang penting
adalah objek yang disengketakan.
c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 2
tahun 2004, menjelaskan Perselisihan PHK adalah
Perselisihan yang timbul akibat tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak
(pengusaha dan pekerja). Sebelumnya ketentuan
mengenai perselisihan PHK diatur secara khusus (lex
specialiss) dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1964
tentang PHK di Perusahaan Swasta, disamping secara
umum (lex generalis) dalam Undang-Undang No. 22
tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan.
d. Perselisihan antar Serikat Pekerja
Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 2
tahun 2004, menjelaskan bahwa Perselisihan antara
Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah Perselisihan
antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan serikat
pekerja lainnya hanya dalam satu perusahaan, karena

28
tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban Serikat
pekerja.
Pengaturan perselisihan ini merupakan ketentuan
baru yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 tahun
2004 sebagai konsekuensi yuridis atas ratifikasinya
Konvensi ILO No. 98 mengenai hak berorganisasi dan
untuk berunding bersama oleh Pemerintah Republik
Indonesia dan lahir dan berlakunya ketentuan
Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh yang membolehkan adanya
lebih dari satu Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam
satu Perusahaan.32

D. Bentuk Penyelesaian Sengketa Perdata


Hubungan Industrial dapat dikategorikan sebagai
lingkup bisnis atau keperdataan, karena itu penyelesaian
sengketanya dapat dibedakan menjadi berapa macam, yaitu:

32 Farid Mu’azd, Op, Cit, hal. 12-13.

29
1. Adjudikatif
Mekanisme penyelesaian secara adjudikatif ditandai
dengan kewenangan pengambilan keputusan oleh pihak
ketiga dalam sengketa yang berlangsung diantara para
pihak. Pihak ketiga dapat bersifat voluntary (sukarela)
ataupun involuntary) tidak sukarela. Pada umumnya
penyelesaian dengan cara ini menghasilkan putusan
yang bersifat win-lose solution. Sujud Margono membagi
proses adjudikasi menjadi dua bagian yaitu :
a. Litigasi (Litigation)
Litigasi diartikan sebagai ”proses administrasi dan
peradilan (court and administratifve proceedings)”. 33

Litigasi adalah ”proses gugatan atas suatu konflik yang


diaktualisasikan untuk mengantikan konflik
sesungguhnya, dimana para pihak yang
bertentangan”.34 Jalur litigasi merupakan mekanisme
penyelesaian perkara melalui jalur pengadilan dengan
mengunakan pendekatan hukum (law approach)
melalui aparat atau lembaga penegak hukum yang
berwenang sesuai dengan aturan perundang-

33 Suyud Margono, Alternatif Dispute Resolution & Arbitrase Proses


Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hal. 23.
34 Ibid, hal. 24.

30
undangan. Pada dasarnya jalur litigasi merupakan the
last resort atau ultimum remedium, yaitu sebagai
upaya terakhir manakala penyelesaian sengketa secara
kekeluargaan atau perdamaian di luar pengadilan
ternyata tidak menemukan titik temu atau jalan
keluar.35

b. Arbitrase
Perbedaan arbitrase dengan litigasi melalui
pengadilan adalah dilibatkannya litigasi sengketa
pribadi dalam arbitrase. Sifat pribadi dari arbitrase
memberikan keuntungan-keuntungan melebihi
adjudikasi melalui Pengadilan Negeri. Arbitrase pada
dasarnya menghindari pengadilan.36

Di dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999


tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
di Luar Pengadilan, menyebutkan bahwa:
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa
perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan

35Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis : Solusi dan Antisipasi dan


Peminat Bisnis Dalam Menghadapi Sengketa Kini dan Mendatang, (Yogyakarta :
Citra Media, 2006), hal. 9.
36 Sujud Margono, Op, Cit, hal. 26.

31
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dengan
demikian hanya perkara perdata saja yang dapat
diselesaikan dan diputuskan oleh lembaga
arbitrase.37

2. Konsensus/Kompromi
Mekanisme penyelesaian sengketa secara
konsensual ditandai dengan cara penyelesaian sengketa
secara kooperatif untuk mencapai solusi yang bersifat
win-win Solution. Kehadiran pihak ketiga kalaupun ada
tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan38

3. Quasi Adjudikatif
Mekanisme penyelesaian sengketa yang
merupakan kombinasi antara unsur konsesual dan
adjudikatif. Model penyelesaian ini sering disebut
adjudikatif semu atau penyelesaian hibrida. 39 Menurut
Penulis bentuk penyelesaian sebagaimana tersebut di
atas, dalam lingkup perdata penyelesaian sengketa dapat
atau lebih populer disebut penyelesaian melalui jalur

37 Ibid,
38 Termasuk dalam jenis penyelesaian ini adalah negosiasi (perundingan),
mediasi (penengahan), dan konsliasi (permufakatan).
39 Termasuk dalam mekanisme ini adalah med-arb, mini trial,
ombudsman,Summary Jury Trial, dan Early Neutral Evaluiation,
32
pengadilan (Litigasi) dan di luar pengadilan (non litigasi).
Perkembangan instrumen hukum perdata melalui jalur
pengadilan mengalami perkembangan yang cepat seiring
dengan kemajuan perkembangan ilmu dan tekhnologi. Di
Indonesia penyelesaikan perkara perdata lewat
Pengadilan atau biasa disebut litigasi (litigation) dapat
melalui gugatan perdata, gugatan Perwakilan Kelompok
atau Class Action, gugatan Organisasi Legal Standing dan
Citizen Law Suit.40
Sedangkan Jalur non litigasi adalah mekanisme
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi
mengunakan mekanisme yang hidup dalam masyarakat
yang bentuk dan macamnya sangat bervariasi, seperti
cara musyawarah, perdamaian dan kekeluargaan,
penyelesaian adat dll. Salah satu cara yang sedang
berkembang dan diminati oleh para pelaku bisnis adalah
melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).41

40 Fauzie Yusuf Hasibuan, Seri Pendidikan Advokat Praktek Hukum Acara


Perdata di Pengadilan Negeri, Cet. 1, (Jakarta : Fauzie & Partners, 2006), hal.
31.
41 Ibid. Bentuk ADR meliputi Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi,
Arbitrase, Good Offices, Mini-Trial, Summary Juri Trial, Rent a Judge, dan Med-
Arb.
33
Alternative Dispute Resolution (ADR) sering
disebut juga Mekanisme Penyelesaian Sengketa secara
Kooperatif (MPSSK) atau Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS). 42
ADR adalah penyelesaian sengketa
hukum yang dilakukan di luar lembaga peradilan,
misalnya melalui konsiliasi, mediasi, negosiasi, arbitrase
atau melalui mini trial and summary jury trial.43
Sistem penyelesaian sengketa tersebut memiliki
kesamaan dengan sistem penyelesaian sengketa yang
diatur sejak tahun 1970 dalam the Dispute Law yang
sering digunakan masyarakat Jepang dalam
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan44

42
Mohammad Askin, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Lingkungan, Cet. I, (Jakarta
: Yayasan Peduli Energi Indonesia/Indonesian Energy Care Foundation, 2008),
hal. 165.
43 E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi

Perbandingan & Penerapannya di Indonesia), Edisi Pertama, Cet. I, (Yogyakarta


: Universitas Atma Jaya, 2002), hal. 2.
44 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan

Dalam Proses Pembangunan Hukum Nassional Indonesia, (Surabaya : Disertasi,


1987), hal. 181.

34
BAB III
MEKANISME PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 2
TAHUN 2004

Menurut ketentuan Undang-Undang No. 2 tahun 2004,


penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan
dengan tahapan mekanisme penyelesaian mulai dari Bipartit,
Tripartit (Konsiliasi atau Arbitrase dan Mediasi) dan terakhir
pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Kewenangan Pengadilan Negeri.
Instrumen penyelesaian tersebut, harus dilalui terlebih
dahulu sebelum instrumen hukum selanjutnya dilakukan, karena
pelompatan dalam mengambil upaya hukum terhadap
perselisihan hubungan industrial berakibat hasil keputusan dari
upaya tersebut menjadi tidak sah dan dapat dinyatakan batal
demi hukum.
Untuk lebih jelasnya Penulis akan uraikan bagaimana
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan
mengunakan upaya Bipartit, Tripartit dan Pengajuan Gugatan ke
Pengadilan. Uraian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut di
bawah ini :

35
A. Upaya Penyelesaian Melalui Bipartit
Bipartit hakekatnya adalah penyelesaian melalui
musyawarah mufakat sebagaimana mana diamanatkan oleh
Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ketentuan dalam Pasal 136 ayat (1) menyebutkan bahwa
penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib
dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat”.
Ketentuan yang sama dapat dilihat dalalm Pasal 3 Undang-
Undang No. 2 tahun 2004, menentukan bahwa setiap
perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan
penyelesaian terlebih dahulu melalui perundingan bipartit
secara musyawarah untuk mencapai mufakat
Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk
mufakat tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-
undang.

36
a. Pengertian Bipartit
Abdul Khakim menyatakan bahwa : Bipartit dalam
hal sebagai mekanisme adalah tata cara atau proses
perundingan yang dilakukan antara dua pihak, yaitu pihak
pengusaha dengan pihak pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh, antara lain apabila terjadi
perselisihan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di
perusahaan.45
Lebih lanjut mengatakan bahwa perundingan
bipartit pada hakekatnya merupakan ”upaya musyawarah
untuk mufakat antara pihak pengusaha dan pihak
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh”.46 Hal
senada disebutkan Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang No.
2 tahun 2004, menyebutkan Perundingan bipartit adalah
perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Perselisihan hubungan Industrial yang harus
diselesaikan melalui Bipartit adalah semua jenis

45Abdul Khakim, Op, Cit, hal. 151. Lihat juga Surat Edaran Direktur Jenderal
Pembinaan Hubungan Industrial No : SE.01/d.phi/XI/2004,
46 Ibid,

37
perselisihan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 2
tahun 2004, yang meliputi Perselisihan Hak, Perselisihan
Kepentingan, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
dan Perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh
dalam satu perusahaan.

b. Prosedur Penyelesaian Melalui Bipartit


Penyelesaian Bipartit antara Pengusaha dengan
Pekerja/Buruh merupakan kewajiban yang harus
didlaksanakan dan dibuat risalah yang ditandatangani
oleh kedua belah pihak. Proses ini harus selesai dalam
waktu 30 hari, dan jika melewati 30 hari salah satu pihak
menolak untuk berunding atau perundingan tidak
mencapai kesepakatan.
Terhadap hasil Bipartit ada dua kemungkinan
yang terjadi yaitu antara Penguasha dan Pekerja terjadi
kesepakatan Penyelesaian atau tidak adanya kata sepakat
antara Pengusaha dengan Pekerja, yang itu akan
membawa konsekuensi hukum sebagai berikut:

38
a. Terjadi Kesepakatan:
Jika perundingan mencapai kesepakatan, maka
dibuat Perjanjian Bersama yang mengikat dan
menjadi hukum bagi para pihak.47 Sesuai dengan
Pasal 7 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 2 tahun
2004, Perjanjian bersama tersebut harus didaftarkan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah dimana para pihak mengadakan
Perjanjian Bersam Perjanjian Bersama tersebut
mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak dan
jika tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama
didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
b. Bipartit gagal
Konsekuensi apabila perundingan bipartit gagal,
maka salah satu atau kedua belah pihak terlebih

47 Pasal 1385 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)


menyebtukan bahwa kesepakatan yang dibuat para pihak berlaku sebagai
Undang-Undang dan Pasal 7 Undang-Unndang No. 2 tahun 2004, disebutkan
Perjanjian bersama tersebut menjadi hukum yang wajib dilaksanakan oleh para
pihak setelah didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

39
dahulu mencatatkan perselisihannya kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-
upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah
dilakukan, sehingga langkah hukum yang dapat
dilakukan oleh Pekerja/Buruh atau Perusahaan yaitu
mempunyai hak untuk menyelesaikannya melalui
konsiliasi, Ar bitrase atau Mediasi disesuai dengan
Perselisihan yang dialami, apakah perselisihan Hak,
Pemutusan Hubungan Kerja, Perselisihan
Kepentingan, Perselisihan antar Serikat Pekerja dalam
satu perusahaan, karena sesuai dengan undang-
undang No. 2 tahun 2004, setiap perselisihan
mempunyai cara atau pilihan yang berbda dalam
penyelesaian.
Selanjutnya, setelah menerima pencatatan dari
salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib
menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati
memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui
arbitrase dan dalam hal para pihak tidak menetapkan
pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase

40
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang
bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan
melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada
mediator.

Menurut Penulis tidak adanya kewajiban menawarkan


kepada para pihak untuk memilih penyelesaian
perselisihan melalui upaya konsiliasi atau arbitrase
hubungan industrial menyebabkan lembaga tersebut
jarang dipilih oleh para pihak dan tidak adanya sanksi
yang diberikan kepada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan, apabila lupa atau sengaja
tidak menawarkan upaya penyelesaian perselisihan
kepada para pihak untuk memilih upaya konsiliasi atau
arbitrasae hubungan industrial.

c. Keputusan Bipartit
Ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 2
tahun 2004, menyebutkan bahwa perundingan bipartit
merupakan ketentuan yang bersifat imperatif yang wajib
dilakukan lebih dahulu oleh para pihak. Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui Bipartit dapat

41
menghasilkan dua kemungkinan yaitu adanya
Kesepakatan atau kegagalan (tidak sepakat). Apabila
para pihak bersepakat dalam perundingan Bipartit, maka
dibuatlah Perjanjian Bersama yang di dalamnya berisi hal-
hal yang disepakati.48 Kemudian Perjanjian Bersama
tersebut didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan
selanjutnya Pengadilan mengeluarkan Akte Perdamaian
sebagai bentuk adanya kesepakatan tersebut.
Namun apabila para pihak tidak bersepakat, maka
dibuatlah risalah hasil perundingan yang kemudian
tahapan penyelesaiannya adalah penyelesaian melalui
lembaga Tripartit. Untuk menentukan apakah lembaga
Tipartit yang digunakan mediasi, konsiliasi atau arbitrase
adalah disesuaikan dengan jenis perselisihan hubungan
industrial, dan dalam menentukan mekanisme
penyelesaian apa yang digunakan diserahkan semuannya
kepada Para Pihak setelah melakukan pencatatan
perselisihan hubungan industrial ke Lembaga yang

48 Dalam membuat Perjanjian Bersama (kesepakatan) para pihak dalam hal ini
pekerja dan pengusaha bebas menentukan isi dari perjanjian bersama asal
tidak melanggar ketertiban, kesusilaan dan hukum dan tentunya proses
pembuatan perjanjian bersama tersebut harus tetap mengacu kepada Pasal
1320 KUHPerdata sebagai syarat umum sahnya suatu perjanjian.

42
berwenang dalam hal ini Suku/Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi di wilayah dimana pekerja berada.

B. Penyelesaian Secara Tripartit


Penyelesaian secara Tripartit mempunyai tiga pilihan
hukum penyelesaian yang disesuaikan dengan jenis
perselisihan hubungan industrial sebagaimana dijelaskan
dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2004.
Penyelesaian ini dapat dilakukan jika para pihak telah
menempuh penyelesaian secara bipartit, akan tetapi
mengalami kegagalan, maka langkah pertama yang harus
dilakukan oleh para pihak mencatatkan hal tersebut dan
kemudian instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para
pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui
konsiliasi atau melalui arbitrase. Penyelesaian melalui
konsiliasi dapat digunakan oleh para pihak yang berselisih
terhadap perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh, sedangkan penyelesaian melalui
arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan
kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat

43
buruh, akan tetapi penawaran untuk mengunakan
penyelesaian melalui Konsiliasi ataupun Arbitrase tersebut
tidak digunakan, maka mekanisme yang tersedia adalah
penyelesaian melalui Mediasi.
Untuk memudahkan dan memberikan pemahan
terhadap penyelesaian melalui Tripart secara mendalam, di
bawah ini dijelaskan hal-hal tersebut :
1. Penyelesaian Melalui Mediasi
Keberadaan mediasi sebagai salah satu bentuk
mekanisme penyelesaian sengketa alternatif bukan suatu
hal yang asing, karena cara penyelesaian konflik itu
merupakan bagian dari norma sosial yang hidup atau
paling tidak pernah hidup dalam masyarakat.49
a. Pengertian Mediasi dan Mediator
Mediasi berasal dari bahasa inggris ”Mediation”
atau penegahan, yaitu ”penyelesaian sengketa yang
melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau
penyelesaian sengketa secara menengahi”50 Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Mediasi adalah

49 Maria S.W. Sumardjono, Nurhasan Ismail dan Isharyanto, Mediasi Sengketa


Tanah :Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) di
Bidang Pertanahan, Cet. II, (Jakarta : Kompass, 2008), hal. 9.
50 Bambang Sutiyoso, Op, Cit, hal. 54.

44
”proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa)
dimana suatu pihak mengikutsertakan pihak ketiga
dalam proses penyelesaian sengketa”.51
Mediasi adalah suatu proses dimana dua orang
atau lebih yang terlibat dalam sengketa bekerja sama
untuk menemukan solusi yang terbaik bagi sengketa
mereka (joint problem-solving proces), dengan
bantuan pihak ketiga yang netral yang disebut
mediator.52
Menurut Black’s Law Dictionary dalam buku
Gunawan Widjaya, mediasi dan mediator adalah :
Mediation is private, informal dispute resolution
proces in which a neutral third person, the mediator,
helps disputing parties to reach an agreement. 53
Steven Rosenberg, dalam Salim, HS, Mediasi
sebagai ”method of dispute Resolution that is
valuntary, confidencial generaly and cooperation”.54

51 Salim, HS, Op, Cit, hal. 156.


52 Tony Budidjaja, Efektifitas Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
Bisnis di Indonesia, Info IKADIN : Media Komunikasi Rakyat, Vol. IV, No. 19,
Januari-Februari 2004, hal. 15.
53 Gunawan Widjaya, Seri Hukum Bisnis Alternatif Penyelesaian Sngketa,

(Jakarta : PT. RajaaGrafinddo Persada, 2005), hal. 91.


54 Salim. HS. Loc, Cit,

45
Menurut Nolan Hely mediasi adalah ”A short
term structured task oriented,partipatory invention
process.Disputing parties work with a neutral third
party,the mediator,to reach a mutually acceptable
agreement”.55
Sedang Kovach mendefinisikan mediasi adalah
”Facilitated negotiation. It process by which a neutral
third party, the mediator, assist disputing parties in
reaching a mutually satisfaction solution”.56
Christopher W. More mengemukakan bahwa
mediasi adalah ”intervensi dalam sebuah sengketa
oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang
bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua
belah pihak dan bersifat netral”. 57

Menurut Perma No. 2 tahun 2003 tentang


Prosedur Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan,
mendefinisikan Mediasi sebagai penyelesaian
”sengketa melalui proses perundingan para pihak
dengan dibantu oleh mediator”.58

55 Ibid., hal 59.


56 Ibid.
57Bambang Sutiyoso, Loc, Cit.
58 Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Pelaksanaan Mediasi di
Pengadilan. PERMA No. 2 tahun 2003.

46
Sedangkan Mediasi Hubungan Industrial yang
selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian
perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
netral.59
Jadi mediasi ini merupakan lembaga yang
berwenang menyelesaikan segala jenis perselisihan.
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi ini
dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor
instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota atau dengan kata
lain, yang menjadi mediator adalah pegawai dinas
tenaga kerja.
Perbedaannya dengan Undang-Undang No. 22
tahun 1957 adalah jika sebelumnya setiap
perselisihan wajib melalui proses perantaraan
(mediasi) terlebih dahulu, maka berdasarkan Undang-
Undang No. 2 tahun 2004 (selain perselisihan hak),

59Indonesia, Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,


UU No. 2 tahun 2004, LNR. Tahun 2004 No. 6, Pasal 1 ayat 11

47
pihak dinas tenaga kerja terlebih dahulu menawarkan
kepada para pihak untuk dapat memilih konsiliasi atau
arbitrase (tidak langsung melakukan mediasi). Jika
para pihak tidak menetapkan pilihan melalui konsiliasi
atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari, maka
penyelesaian kasus akan dilimpahkan kepada
mediator.
Adapun beberapa prinsip dari lembaga mediasi,
adalah:
1) Pada prinsipnya mediasi bersifat sukarela
Pada prinsipnya pengunaan pilihan
penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat
disepakati para pihak. Hal ini dapat dilihat dari
sifat kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil
mediasi didasarkan pada kekuatan kesepakatan
berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata. Dengan
demikian pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk
pada kehendak atau pilihan bebas para pihak
yang bersengketa. Mediasi tidak bisa dilaksanakan
apabila salah satu pihak saja yang
menginginkannya.

48
Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga
ditujukan pada kesepakatan penyelesaian. Meskipun para
pihak telah memilih mediasi sebagai cara penyelesaian
sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi
mereka untuk menghasilkan kesepakatan dalam proses
mediasi tersebut. Sifat sukarela yang demikian didukung
fakta bahwa mediator yang menengahi sengketa para
pihak hanya memiliki peran untuk membantu para pihak
menemukan solusi yang terbaik atas sengketa yang
dihadapi para pihak. Mediator tidak memiliki kewenangan
untuk memutuskan sengketa yang bersangkutan seperti
layaknya seorang hakim atau arbiter. Dengan demikian
tidak ada paksaan bagi para pihak untuk menyelesaikan
sengketa mereka dengan cara mediasi. Dalam hukum di
Indonesia, praktek mediasi pada umumnya juga
didasarkan pada pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa. Dalam konteks perselisihan hubungan
industrial, penyelesaian melalui mediasi bersifat sukarela
yang disesuaikan dengan tipe atau jenis perselisihan
hubungan industrial yang dialami oleh pihak yang
berselisih.

49
2) Lingkup sengketa pada prinsipnya bersifat
keperdataan
Jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat
Undang-Undang yang mengatur tentang mediasi
di Indonesia dapat disimpulkan bahwa pada
prinsipnya sengketa-sengketa yang dapat
diselesaikan melalui mediasi adalah sengketa
keperdataan. 60

3) Proses sederhana
Mediasi memberikan keleluasaan pada pihak
untuk menentukan sendiri mekanisme
penyelesaian sengketa mediasi yang mereka
inginkan. Dengan cara ini, para pihak yang
bersengketa tidak terperangkap dengan formalitas
acara sebagaimana dalam proses litigasi dengan
tempuh waktu yang begitu lama. Para pihak dapat
menentukan cara-cara yang lebih sederhana,
sebagai konsekuensi cara yang lebih sederhana

60Sifat
keperdataan dari objek mediasi dapat dilihat juga dalam Pasal 30 ayat
(2) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup,
Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan
sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2004, Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, dan Undang-Undang No. 2 tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

50
ini, maka mediasi sering dianggap lebih murah
dan tidak banyak makan waktu jika dibandingkan
dengan proses litigasi atau berperkara di
Pengadilan.
4) Proses mediasi tetap menjaga kerahasiaan
sengketa para pihak
Mediasi dilaksanakan secara tertutup, sehingga
tidak setiap orang dapat menghindari sesi-sesi
perundingan mediasi. Hal ini berbeda dengan
badan peradilan dimana sidang umumnya dibuka
untuk umum. Sifat kerahasiaan dari proses
mediasi merupakan daya tarik tersendiri, karena
para pihak yang bersengketa pada dasarnya tidak
suka jika persoalan yang mereka hadapi
dipublikasikan kepada umum.
5) Mediator bersifat menengahi
Dalam sebuah proses mediasi, mediator
menjalankan peran untuk menengahi para pihak
yang bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui
tugas mediator yang secara aktif membantu para
pihak dalam memberikan pemahamannya yang
benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan

51
memberikan alternative solusi yang terbaik bagi
penyelesaian sengketa diajukan mediator
sepenuhnya berada dan ditentukan sendiri oleh
kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Mediator tidak dapat memaksakan gagasannya
sebagai penyelesaian sengketa yang harus
dipatuhi, karenanya menuntut mediator adalah
orang yang memiliki pengetahuan yang cukup
luas tentang bidang-bidang terkait yang
dipersengketakan oleh para pihak.

Untuk dapat berhasilnya pelaksanaan mediasi,


harus sesuai dengan beberapa syarat sebagai berikut:
1) Para pihak mempunyai kekuatan tawar menawar
yang sebanding
2) Para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan
di masa depan
3) Terdapat persoalan yang memungkinkan
terjadinya pertukaran (trade offs)
4) Terdapat urgensi atau batas waktu untuk
menyelesaikan

52
5) Para pihak tidak memiliki permusuhan yang
berlangsung lama dan mendalam
6) Apabila para pihak mempunyai pendukung atau
pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan
yang banyak, tetapi dapat dikendalikan
7) Menetapkan preseden atau mempertahankan
suatu hak tidak lebih penting dibandingkan
menyelesaikan persoalan yang mendesak
8) Jika para pihak berada dalam proses litigasi,
kepentingan-kepentingan pelaku lainnya, sepeti
pengacara dan penjamin tidak aka diperlakukan
lebih baik dibandingkan dengan mediasi.

Erman Rajagukguk mengemukakan bahwa


mediasi akan berhasil bila memiliki hal-hal sebagai
berikut :
a. Para pihak ingin melanjutkan hubungan bisnis
mereka
b. Para pihak mempunyai kepentingan yang sama
untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan
cepat

53
c. Litigasi dianggap oleh para pihak akan memakan
waktu yang panjang, mahal dan akan
menimbulkan pandangan buruk bagi kedua belah
pihak karena adanya publikasi, ditambah lagi
belum tentu menang
d. Walaupun para pihak dalam keadaan emosi,
proses mediasi dianggap mereka sebagai tempat
untuk bertemu dan menyampaikan kepentingan
masing-masing
e. Waktu adalah inti dari penyelesaian
f. Mediator yang baik akan mampu membuat kedua
belah pihak berkomunikasi.

b. Syarat-Syarat Mediator
Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator
yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai
yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan
sengketa antara Buruh dan Majikan.
Mediator adalah pegawai instansi pemerintah
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang
ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan

54
mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan
anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih
untuk menyelesaikan perselisihan yang dilimpahkan
kepadanya.61
Mengingat mediator sangat menentukan
efektivitas proses penyelesaian sengketa, ia harus
secara layak memenuhi kualifikasi tertentu serta
berpengalaman dalam komunikasi dan negosiasi agar
mampu mengarahkan kepada para pihak yang
bersengketa. Jika ia berpengalaman dan terbiasa
berperkara di pengadilan, hal itu sangat membantu.
Tetapi pengalaman apa pun, selain pengalamannya
sendiri sebagai mediator, memang kurang relevan.
Pengetahuan secara substansi atas permasalahan
yang disengketakan tidak mutlak dibutuhkan, yang
lebih penting adalah kemampuan menganalisis dan
keahlian menciptakan pendekatan pribadi.
Seseorang yang menjadi mediator harus
memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 2 tahun 2004 Jo.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI

61 Zaeni Asy\hadie, Op, Cit, hal. 161.

55
No: Kep-92/Men/VI/2004 tentang Pengangkatan dan
Pemberhentian serta Tata Kerja Mediasi, yaitu :
a. Pegawai Negeri Sipil pada Instansi/dinas yang
bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan.
b. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa
c. Warga Negara Indonesia
d. Berbadan sehat menurut keterangan dokter
e. Menguasai peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan
f. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak
tercela
g. Berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh
lima) tahun
h. Pendidikan Minimal lulusan Strata Satu (S1)
i. Memiliki legitimasi dari Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi62

62Untuk dapat legitimasi dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi harus
memenuhi syarat telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan teknis
hubungan industrial dan syarat kerja yang dibuktikan dengan sertifikat dari
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI dan telah melaksanakan tugas
di bidang pembinaan hubungan industrial sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun
setelah lulus pendidikan dan pelatihan tekhnis hubungan industrial dan syarat
kerja.

56

Anda mungkin juga menyukai