Dalam hal salah satu pihak telah meminta dilakukan perundingan secara tertulis 2 (dua) kali
berturut-turut dan pihak lainnya menolak atau tidak menanggapi melakukan
perundingan, maka perselisihan dapat dicatatkan kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-bukti permintaan perundingan.
[2]
Tahapan Perundingan Bipartit
Perundingan Bipartit dibagi menjadi tiga tahap sebagai berikut: [3]
Tahap sebelum perundingan dilakukan persiapan:
Tahap perundingan:
1. dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada Pengadilan Hubungan
Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama;
2. apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja dengan melampirkan
bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
Penyelesaian melalui bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak tanggal dimulainya perundingan. [4]
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding
atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan
bipartit dianggap gagal. [5]
Setiap perundingan bipartit harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak. [6]
Risalah perundingan tersebut sekurang-kurangnya memuat: [7]
Sepanjang penelusuran kami, tidak terdapat larangan dalam UU 2/2004 dan Permenakertrans
31/2008 mengenai pekerja/buruh melibatkan kuasa hukum untuk mewakilinya dalam
perundingan bipartit.
Sejalan dengan hal tersebut, menurut Juanda Pangaribuan, Advokat Spesialisasi
Ketenagakerjaan dan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial (2006-2016),
tidak ada aturan yang melarang untuk melibatkan kuasa hukum dalam perundingan
bipartit, sehingga bisa saja itu dilakukan asalkan didukung dengan surat kuasa khusus.
Meskipun Permenakertrans 31/2008 menyebutkan bahwa pihak pengusaha harus menangani
penyelesaian perselisihan secara langsung. Menurut Juanda hal tersebut bukan merupakan
larangan untuk memberi kuasa kepada kuasa hukum. Lebih lanjut juga tidak ada ketentuan
yang mengatakan perundingan bipartit yang dilakukan pengusaha melalui kuasa hukumnya
menjadi batal.
Mengenai tindakan pengusaha yang melarang pekerja/buruh melibatkan kuasa hukum dalam
perundingan bipartit, menurut Juanda seharusnya pengusaha tersebut tidak melarangnya,
seharusnya melayani asalkan terdapat surat kuasanya.