Analisis Pemutusan Hubungan Kerja dan Relevansinya dengan Force Majeure di Masa
Pandemi COVID-19 dalam Perspektif UU Ketenagakerjaan
Abstract
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) has been declared by the World Health Organization (WHO)
as a global pandemic, so it has a profound impact on all aspects of life, include the economic aspect.
This pandemic has hampered economic activity in Indonesia, the productivity of economic activity has
slowed and decreased in recent times. This research examines COVID-19 as a force majeure in
layoffs by companies and how the company authority to terminate their employees during the COVID-
19. The purpose of this study is to analyze COVID-19 as a force majeure and how the laws regarding
the rights and legal protection of workers affected by layoffs. The research method used in this
reserach is the normative legal method by prioritizing secondary data.The result of this research
indicate that COVID-19 can be categorized as force majeure, so that legal protection is needed for
workers who have been laid off by companies.
Abstrak
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah ditetapkan oleh World Health Organization (WHO)
sebagai pandemi global, sehingga sangat berdampak pada seluruh aspek kehidupan, termasuk
dalam aspek ekonomi. Berkaitan dengan hal tersebut pandemi COVID-19 telah menghambat
kegiatan perekonomian di Indonesia, produktivitas kegiatan ekonomi melambat dan menurun dalam
kurun waktu belakangan ini. Penelitian ini mengkaji mengenai COVID-19 sebagai sebuah force
majeure dalam kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan dan bagaimana
kewenangan perusahaan secara hukum untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerjanya di masa pandemi COVID-19. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui COVID-
19 sebagai sebuah force majeure serta bagaimana undang-undang mengatur mengenai hak-hak dan
perlindungan hukum pekerja yang terkena PHK. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
hukum normatif dengan mengutamakan data sekunder. Penelitian ini menegaskan bahwa COVID-19
dapat dikategorikan sebagai force majeure sehingga diperlukan perlindungan hukum terhadap
pekerja yang terkena PHK oleh perusahaan.
Perlindungan bagi buruh dan tenaga harus melindungi hak-hak bagi para bekerja
kerja di situasi pademi seperti sekarang ini atau buruh. Peran pemerintah yang sudah
dapat dikaitkan dengan konsep negara hukum terlihat jelas yaitu dengan pembentukan
yang berhubungan dengan konteks HAM. serangkain pengaturan dalam upaya mengatasi
Sejatinya hak mendapatkan sebuah pekerjaan permasalahan ketenagakerjaan yang ada di
yang layak maupun hak untuk memperoleh Indonesia dengan dibentuknya peraturan-
pendapatan yang layak dan perlakukan yang peraturan yang termuat dalam Undang-undang
adil dalam hubungan kerja sudah ada sejak Nomor 13 Tahun 2003 tentang
berdirinya Indonesia dan sudah diakui sebagai Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU
bentuk dari HAM bagi setiap orang, Ketenagakerjaan). Pembentukan peraturan
sebagimana telah diatur dalam Pasal 27 Ayat tersebut memiliki tujuan untuk mengoptimalkan
(2) jo. Pasal 28D Ayat 2 UUD NRI Tahun 1945. sekaligus memaksimalkan hubungan-hubungan
Dengan adanya sebuah pengaturan tersebut, baik antara pekerja atau buruh, pengusaha dan
maka kewajiban yang timbul dan harus pemerintah. Sebagaimana kita ketahui pada
dipenuhi oleh negara yaitu menghormati (to kenyataanya kedudukan pekerja atau buruh
respect), memenuhi (to fulffil) dan dianggap lebih lemah dari kedudukan
1
melindungi (to protect) hak setiap orang pengusaha. Dimana mereka rentan terhadap
untuk bekerja dan memperoleh pendapatan kebijakan pengusaha salah satunya mengenai
yang layak untuk meningkatkan kesejahteraan PHK. PHK termuat dalam Pasal 1 Angka 25 UU
hidupnya, serta harus dibarengi dengan Ketenagakerjaan “Pemutusan Hubungan Kerja
dijaminya perlindungan dan perlakuan yang adil adalah pengakhiran hubungan kerja karena
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai suatu hal tertentu yang dapat menjadi sutu
2
seorang manusia. sebab berakhirnya suatu hak dan kewajiban
Perlindungan hak-hak pekerja atau antara pekerja/buruh dengan pengusaha”.
buruh merupakan salah satu kewajiban yang Permasalahan ini menjadi lebih masif dilakukan
harus dipenuhi oleh negara. Hal ini berkaitan oleh perusahaan kepada pekerja atau buruh di
dengan konsekuesi dari negara Indonesia yang tengah situasi pandemi seperti sekarang ini.
menganut konsep negara kesejahteraan Tidak dapat kita pungkiri dengan adanya situasi
(welfare state) artinya peran pemerintah disini pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai
dituntut untuk aktif dalam kehidupan warga hingga membawa dampak besar bagi
negaranya untuk mencapai sebuah perusahaan. Pandemi COVID-19 telah
kesejahteraan yang sebesar-besarnya untuk membawa pengaruh buruk pada sektor
3
seluruh rakyat Indonesia. Sehingga, negara perekonomian nasional. Hal ini tentunya dapat
memicu perusahaan untuk melakukan PHK,
1
Muhammad Ashri, Hak Asasi Manusia: Filosofi, karena beberapa perusahaan tidak lagi mampu
Teori & Instrumen Dasar, Social Politic Genius,
Makassar, 2018, hlm. 85. untuk membayar gaji pekerja mereka. Langkah
2
Ahmad Hunaeni Zulkarnaen dan Tanti Kirana
Utami, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja dalam PHK dinilai menjadi jalan yang harus digunakan
Pelaksanaan Hubungan Industrial, Padjajaran Jurnal Ilmu
Hukum, Volume 3, Nomor 2, 2016, hlm. 409. oleh para pengusaha untuk menghindari
3
Sadhu Bagas Suratno, Pembentukan
Peraturan Kebijakan Berdasarkan Asas-Asas Umum
kerugian secara signifikan. Hal ini tentunya
Pemerintahan yang Baik, Jurnal Lentera Hukum, Volume 4,
Nomor 3, 2017, hlm. 165.
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 150
Vol. 2, No. 1, Maret 2021
akan berdampak pada peningkatan jumlah kedaan dimana pihak debitur tidak memiliki
angka pengangguran di Indonesia. kemampuan lagi untuk melakukan usaha
pemenuhan prestasinya kepada pihak kreditur,
dimana ketidakmampuan ini tidak di kehendaki
atau diluar kemauan dan kemampuan pihak
debitur.
Pada tanggal 13 April 2020, Presiden
telah mengeluarkan sebuah Keputusan
Presiden (Keppres) tentang bencana Non-alam
yaitu Keppres No. 12 Tahun 2020 tentang
Sumber: Kementrian Ketenagakerjaan Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran
Berdasarkan data dari Kementrian COVID-19 Sebagai Bencana Nasional. Dengan
Ketenagakerjaan, jumlah PHK di Indonesia dikeluarkannya Keppres tersebut muncul
mengalami penurunan sejak tahun 2014. Pada beragam spekulasi di tengah masyarakat
tahun 2018 jumlah kasus PHK dapat ditekan bawasanya Keppres tersebut dapat dijadikan
hingga 3.400 tenaga kerja dan turun sebesar sebuah alasan dalam pembatalan kontrak kerja
95,67 persen dari tahun 2014. Namun, di tahun sama dalam keperdataan, terutama dalam
2019 angka tersebut kembali melonjak naik kontrak bisnis. Dalam hal ini bencana non-alam
menjadi 45.000. Kenaikan jumlah PHK tersebut digunakan sebagai suatu alasan force majeure
dikarenakan adanya pandemi COVID-19, yang yang mana menimbulkan ketidakmampuan
melumpuhkan perekonomian nasional. Selama seseorang dalam memenuhi prestasinya di luar
pandemi jumlah kasus PHK terus mengalami kemampuannya.4
kenaikan yang cukup singnifikan. Menteri B. Rumusan Masalah
Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah menuturkan Berdasarkan latar belakang masalah di
angka PHK sampai dengan bulan Agustus atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
2020 tercatat sudah mencapai 3,6 juta orang. adalah sebagai berikut
Adanya PHK yang dilakukan oleh sejumlah 1. Apakah pandemi COVID-19 dapat
perusahaan memberikan dampak negatif dijadikan sebagai alasan pemutusan
kepada para pekerja atau buruh karena hubungan kerja oleh perusahaan?
mereka tidak memiliki pekerjaan lain dan 2. Bagaimana perlindungan hak-hak
bahkan sulit untuk mencari pekerjaan di situasi pekerja yang mengalami PHK oleh
pademi seperti sekarang ini. perusahaan menurut UU
Alasan yang mendasari PHK disetiap Ketenagakerjaan?
perusahaan dikarenakan faktor debitur tidak
sanggup lagi untuk membayar gaji para
karyawan mereka, sehingga terpaksa
melakukan pengurangan jumlah karyawan
4
Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan,
dengan cara PHK. Keadaaan seperti ini bisa Bencana Covid-19 Dan Pembatalan Kontrak Dalam Bisnis,
Perkembangan, Problematik, Dan Implikasi Force Majeure
kita kenal dengan istilah force majeure. Force Akibat Covid-19 Bagi Dunia Bisnis, Seminar Nasional
Koordinator Kementerian Hukum, Politik dan Keamanan
majeure dapat kita artikan sebagai suatu Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 5.
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 151
Vol. 2, No. 1, Maret 2021
keadaan yang masih ada kemungkinan untuk kejadian tak disengaja si berutang
berhalangan memberikan atau
dilaksanakannya perjanjian meskipun perlu
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau
8
pengorbanan dari debitur. Hal serupa juga lantaran hal-hal yang sama telah
melakukan perbuatan yang terlarang”.
diungkapkan oleh Agus Yudha Hernoko bahwa
Pasal 1245 KUH Perdata turut
force majeure dibedakan menjadi force majeure
melegitimasi keberadaan force majeure
permanen atau tetap dan force majeure tidak
sebagai hal tak terduga dan diluar kendali
tetap atau temporer. Force majeure permanen
manusia sehingga akibat hukum dari force
atau tetap ialah keadaan yang mengakibatkan
majeure ialah tidak dapat dituntutnya seorang
tidak dapat dilaksanakannya suatu prestasi
debitur untuk memenuhi prestasi, debitur juga
sedangkan force majeure temporer ialah
tidak dapat dituntut untuk memberi ganti rugi,
keadaan yang menghalangi dilaksanakannya
dan dalam perjanjian timbal balik kreditur tidak
suatu prestasi, dalam hal ini prestasi masih bisa
dapat mengajukan pembatalan karena
dipenuhi namun dilakukan secara tidak seperti
perjanjian yang telah disepakati sudah
biasanya yaitu dengan ditangguhkan atau
10
dianggap gugur. Selain itu, akibat hukum
ditunda sampai dengan waktu yang tepat.9
lainnya yang dapat terjadi adalah perubahan
Disebutkan dalam Pasal 164 Ayat (1)
perjanjian untuk memenuhi kewajiban di waktu
UU Ketenagakerjaan bahwa:
lain sesuai kesepakatan tergantung dengan isi
“Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap dari perjanjian itu sendiri.
pekerja/buruh karena perusahaan
Namun, meski pandemi COVID-19
tutup bukan disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus telah mengganggu keseimbangan sektor
menerus selama 2 (dua) tahun, atau
industri khususnya ekonomi, pandemi COVID-
bukan karena keadaan memaksa
(force majeure), tetapi perusahaan 19 tidak dapat secara serta merta digunakan
melakukan efisiensi...”
sebagai dasar pengambilan kebijakan PHK
Tentang force majeure ini diatur pula dengan alasan force majuere.11 Sebab tidak
dalam KUH Perdata yaitu Pasal 1244 dan semua debitur baik dari operasional maupun
Pasal 1245. Berdasarkan Pasal 1244 bahwa finansial terganggu dengan adanya
pihak debitur yang tidak dapat membuktikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
bahwa tertundanya atau batalnya perikatan COVID-19 sehingga tidak semua debitur bisa
disebabkan karena keadaan memaksa maka menggunakan PSBB COVID-19 sebagai alasan
debitur harus mengganti biaya hingga kerugian force majeure melainkan hanya debitur tertentu.
dan bunga. Disebutkan dalam pasal 1245 KUH Untuk debitur tertentu ini perlu adanya
Perdata bahwa:
10
Wardatul Fitri, Implikasi Yuridis Penetapan
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus Status Bencana Nasional Pandemi Corona Virus Disease
digantinya, apabila lantaran keadaan 2019 terhadap Perbuatan Hukum Keperdataan, Supremasi
memaksa atau lantaran suatu Hukum, Volume 9, Nomor 1, 2020, hlm.76-93.
11
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan
Refly Harun bahwa “dalam konteks COVID-19 para pihak
8
Tri Harnowo, Wabah Corona sebagai Alasan maupun objek perjanjiannya tidak serta merta hilang,
Force Majeur dalam seperti halnya yang terjadi dengan bencana alam. Maka
Perjanjian.https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan force majeure tidak bisa serta merta dijadikan dasar untuk
/lt5e81ae9a6fc45/wabah-corona-sebagai-alasan-iforce- membatalkan kontrak. Begitu juga dengan Michael
majeur-i-dalam-perjanjian/ diakses 17 Maret 2021. Hadilaya bahwa penyebaran Virus Corona saat ini bisa
9
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas masuk kategori force majeure. Mahfud MD juga
Proporsional dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Prenada berpandangan sama bahwa kondisi COVID-19 saat ini tidak
Media Grup, 2014, hlm. 273. bisa secara otomatis membatalkan perjanjian dan kontrak.
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 153
Vol. 2, No. 1, Maret 2021
pembuktian secara personal mengenai dijadikan dasar force majeure juga memperkuat
gangguan yang ditimbulkan, keadaan yang keberadaan force majeure yang bersifat relatif
terjadi tidak bisa secara otomatis menjadi sehingga pemenuhan kewajiban perjanjian
alasan untuk membatalkan perjanjian atau diharapkan bisa dilaksanakan setelah dampak
kontrak tanpa adanya pembuktian. COVID-19 mereda. Adanya force majeure
Maka force majeure tidak selalu relatif ini dibuktikan dengan Keputusan Direktur
berakhir pada pengakhiran atau pembatalan Jenderal Pajak Nomor KEP-156/PJ/2020
perjanjian, hal ini sesuai dengan apa yang tentang Kebijakan Perpajakan Sehubungan
dinyatakan Asser dalam bukunya Pengajian Dengan Penyebaran Wabah Virus Corona
Hukum Perdata Belanda, bahwa terdapat dua 2019, keputusan ini menandakan penetapan
kemungkinan dalam force majeure yakni adanya wabah COVID-19 sebagai hal diluar
pengakhiran perjanjian atau penundaan kendali yang menghalangi pelaksanaan
13
kewajiban. Seperti yang dijelaskan sebelumnya prestasi dalam perpajakan.
bahwa ada suatu keadaan yang masih Selain itu, dalam Peraturan Menteri
memungkinkan untuk dilaksanakannnya Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 tentang
prestasi dalam perjanjian atau kontrak, yaitu Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak
dengan penangguhan atau penundaan Wabah Virus Corona (PMK-
kewajiban. Letak COVID-19 disini artinya 23/PMK.03/2020). Lain halnya dengan force
sebagai keadaan diluar kendali yang bersifat majeure yang berimplikasi pengakhiran atau
sementara atau meminjam istilah yang pembatalan perjanjian. Keadaan kahar (act of
diberikan Mariam Daruz Badrulzaman yaitu god) disini bersifat sudah benar-benar diluar
force majeure relatif. batas misal sebab bencana alam berdampak
Pada dasarnya force majeure relatif pada hancurnya barang perjanjian. Maka
hanya menggugurkan tuntutan ganti rugi dan tuntutan baik ganti rugi, bunga hingga
bunga namun tidak menggugurkan kewajiban kewajiban perjanjian dapat gugur karena
debitur dalam perjanjian tersebut. Dalam hal ini sifatnya force majeure absolut atau bisa disebut
debitur dapat mengajukan restrukturisasi pula force majeure permanen.
berupa rescheduling atau reconditioning Hal tersebut sesuai dengan apa yang
resctruturing. Sesuai dengan peraturan Otoritas diungkapkan pengamat hukum Michael
Jasa Keuangan No.11/PJOK.03/2020, bahwa Hadilaya, bahwa COVID-19 yang berkategori
debitur dapat mengajukan negosiasi ulang pandemi ini dapat dikatakan sebagai force
kepada kreditur. Perlu diketahui penundaan majeure. Mengingat status epidemi bisa
pembayaran cicilan kredit diberi jangka waktu dimasukkan dalam force majeure. COVID-19
enam bulan dan keringanan ini berlaku hingga dikatakan sebagai force majeure atau
12
31 Maret 2021. Peraturan OJK overmacht sebab telah menjadi keadaan
No.11/PJOK.03/2020 ini secara implisit turut memaksa yang tidak wajar, keadaan khusus
membenarkan bahwa COVID-19 dapat
13
Mutia Fauzia, Karena Corona, Ditjen Pajak
Hapus Sanksi Administrasi Pelaporan SPT,
12
Sufiarina dan Sri Wahyuni, Force Majeure dan https://money.kompas.com/read/2020/03/26/072800126/kar
Notoir Feiten Atas Kebijakan PSBB Covid-19, Jurnal ena-corona-ditjen-pajak-hapus-sanksi-administrasi-
Hukum Sasana, Volume 6, Nomor 1, 2020, hlm. 1-16. pelaporan-spt, diakses pada 16 Maret 2021.
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 154
Vol. 2, No. 1, Maret 2021
14 15
Barly Haliem. Apakah Pandemi Covid-19 Nikodemus Maringan, Tinjauan Yuridis
Sudah Masuk Kategori Force Majeur? Ini Kata Pengamat Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara
pakar Hukum.https://nasional.kontan.co.id/news/apakah- Sepihak Oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang No. 13
pandemik-covid-19-sudah-masuk-kategori-force-majeur-ini- Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Jurnal Ilmu Hukum
kata-pakar-hukum, diakses pada 19 Maret 2021. Legal Opinion, Volume 3, Nomor 3, 2015, hlm. 2.
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 155
Vol. 2, No. 1, Maret 2021
melahirkan hak dan kewajiban yang harus kembali memperoleh pekerjaan. Pasal 156 Ayat
dipenuhi oleh masing-masing pihak yaitu (1) UU Ketenagakerjaan juga telah memberikan
16
pengusaha dan pekerja atau buruh. Atas kepastian hukum bagi pekerja terdampak
dasar inilah, PHK secara sepihak di tengah COVID-19 dengan adanya jaminan pemberian
pandemi yang dilakukan oleh perusahaan uang pesangon yang harus dipenuhi oleh
meskipun dibarengi alasan force majeure, perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab
masih tetap dianggap melanggar prestasi yang perusahaan atas kelangsungan hidup pekerja
kemudian oleh beberapa pihak dirasa kurang setelah di PHK. Adapun perlindungan hukum
memenuhi unsur keadilan bagi pekerja. bagi buruh atau pekerja yang mengalami
PHK di masa pandemi tidak dapat pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan
dihindari. Akan tetapi, pemerintah sebagai karena alasan force majeure, telah diatur dalam
salah satu unsur pelaksana hubungan Pasal 164 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang
industrial, telah memberikan jaminan hukum menyebutkan bahwa
untuk melindungi hak para pekerja yang diputus “Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap
hubungan kerjanya oleh perusahaan
pekerja atau buruh karena
sebagaimana diatur dalam Bab XII yaitu pada perusahaan tutup yang disebabkan
perusahaan mengalami kerugian
Pasal 150-172 UU Ketenagakerjaan.
secara terus menerus selama 2 (dua)
Perlindungan terhadap tenaga kerja tahun, atau keadaan memaksa (force
majeure), dengan ketentuan pekerja
dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar
atau buruh berhak atas uang
pekerja dan menjamin kesamaan serta pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun
penghargaan masa kerja sebesar 1
untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(3) dan uang penggantian hak sesuai
dengan tetap memperhatikan perkembangan
ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
kemajuan dunia usaha dan kepentingan
Ketentuan tersebut berlaku apabila
pengusaha.
alasan untuk melakukan kebijakan PHK karena
Salah satu pasal yang mengatur
perusahaan tutup yang disebabkan oleh
tentang perlindungan hak pekerja yang di PHK
perusahaan mengalami kerugian secara terus
adalah Pasal 156 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan
menerus selama 2 (dua) tahun atau karena
yang mana dikatakan bahwa perusahaan wajib
force majeure. Sehingga dengan alasan dan
membayarkan uang pesangon dan/atau uang
sebab tersebut pekerja atau buruh berhak atas
penghargaan masa kerja serta uang
uang pesangon dan uang penggantian hak. Hal
penggantian hak yang seharusnya diterima
ini sejalan dengan konsekuensi logis bahwa
oleh para pekerja. Pasal ini memberi solusi bagi
suatu perusahaan harus melindungi serta
pekerja yang khawatir akan nasibnya setelah di
menjamin kebutuhan para pekerja atau buruh,
PHK disaat masifnya persebaran COVID-19
sesuai dengan amanah konstitusi yaitu Pasal
yang artinya tidak mudah bagi mereka untuk
27 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara
16
Yusuf Randi, Penerapan Perjanjian Bersama berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
Berupa Pemberian Kompensasi Pemutusan Hubungan
Kerja Yang Bertentangan Dengan Undang-Undang layak”.
Ketenagakerjaan, Jurnal Hukum De'rechtsstaat , Volume 6,
Nomor 1, 2020, hlm. 37.
Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah 156
Vol. 2, No. 1, Maret 2021
kesepakatan dari para pihak dalam perjanjian. Ahmad Hunaeni Zulkarnaen dan Tanti Kirana
Disisi lain pandemi COVID-19 dapat pula Utami, Perlindungan Hukum terhadap
Para pihak yang dapat membuktikan keadaan Hukum, Volume 3, Nomor 2, 2016.
force majeure absolut maka akan terbebas dari Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan,
ganti rugi biaya hingga bunga. PHK memang Bencana Covid-19 Dan Pembatalan
menyelamatkan usahanya, akan tetapi juga Majeure Akibat Covid-19 Bagi Dunia
tidak boleh melalaikan hak para pekerja. Dan Bisnis, Seminar Nasional Koordinator
pengusaha sampai pekerja. Sehingga para Barly Haliem, Apakah Pandemi Covid-19
pekerja yang terkena PHK tetap dapat Sudah Masuk Kategori Force Majeur?
memperoleh haknya apabila semua ketentuan Ini Kata Pengamat Pakar Hukum,
pengadilan dapat dilakukan sesuai dengan hukum, diakses pada 19 Maret 2021.
prosedur yang telah ada guna menuntut hak Dadang Sunandar, Force Majeure Kontrak