Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS DAN PERLINDUNGAN HUKUM MENGENAI KEBIJAKAN PHK BAGI PARA

PEKERJA PADA MASA PANDEMI COVID-19 (FORCE MAJEURE) DI INDONESIA


Anggun Rotami
Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (anggunrotami@gmail.com)
Abstrak
Pandemi covid-19 sangat berdampak bagi seluruh bidang, salah satunya adalah
ketenagakerjaan. Kesulitan keuangan yang dihadapi perusahaan pada akhirnya
berujung pada tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK), sebagai alasan keadaan
darurat (force majeure). Dalam penulisan karya ilmiah ini saya menyajikan dua hal
pokok. Pertama, apakah pandemi covid-19 (force majeure) dapat dijadikan sebagai
alasan pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pihak perusahaan? Kedua, bagaimana
perlindungan hukum mengenai hak para perkerja yang diputus hubungan kerjanya
oleh pihak perusahaan menurut peraturan yang berlaku di Indonesia? Karya ilmiah
ini dikerjakan dengan menggunakan metode kajian secara yuridis normatif. Dalam
kajian ini diperoleh bahwa pihak perusahaan dapat menggunakan pandemi covid-19
ini sebagai alasan force majeure untuk melakukan PHK. Alasan tersebut didukung
karena hal ini berpengaruh pada keuangan dan kewajiban perusahaan terhadap
para pekerjanya, peristiwa ini dianggap tidak terduga, covid-19 di indonesia di
anggap sebagai bencana non-alam yang memiliki skala nasional. PHK karena alasan
force majeure ini melahirkan hak nagi para pekerja sesuai dengan ketentuan pada
Pasal 164 ayat (1) pada UU ketenagakerjaan.
Kata kunci: Analisis dan perlindungan hukum, phk, covid-19, force majeureAbstract
The Covid-19 pandemic has had a huge impact on all fields, one of which is
employment. Financial difficulties faced by the company ultimately led to
termination of employment (PHK), as an excuse for an emergency (force majeure).
In writing this scientific paper I present two main points. First, can the covid-19
pandemic (force majeure) be used as an excuse for termination of employment by
the company? Second, what is the legal protection regarding the rights of workers
whose employment is terminated by the company according to the prevailing
regulations in Indonesia? This scientific work is done using normative juridical
study methods. In this study, it was found that the company could use the Covid-19
pandemic as an excuse for force majeure to carry out layoffs. This reason is
supported because this affects the company's finances and obligations to its
workers, this event is considered unexpected, Covid-19 in Indonesia is considered a
non-natural disaster that has a national scale. Layoffs for reasons of force majeure
give birth to workers' rights in accordance with the provisions in Article 164
paragraph (1) of the Manpower Law.
Keywords: Analysis and legal protection, layoffs, covid-19, force majeure
2A.
Pendahuluan
Dalam menjalani sebuah kehidupan, tentunya manusia mempunyai
kebutuhan yang beraneka ragam. Untuk dapat memenuhi semua kebutuhan
tersebut manusia dituntut untuk bekerja. Sebagai individu, manusia tidak
bisa mencapai sesuatu dengan mudah tanpa melakukan suatu usaha,
sehingga individu tersebut harus berusaha untuk melakukan suatu
pekerjaan. Tujuan seseorang melakukan pekerjaan adalah untuk
mendapatkan penghasilan yang layak dan cukup demi membiayai
kehidupan bersama para anggota keluarganya.
Akan tetapi pada awal tahun 2020, dunia digemparkan dengan merebaknya
virus baru yaitu corona (sars-cov) dan penyakitnya disebut dengan corona
virus diasease 2019 (covid-19).1 Pemerintah Indonesia sendiri telah
menetapkan virus corona sebagai jenis penyakit yang menimbulkan
kedaruratan bagi kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia. Pemerintah
mengambil beberapa langkah dengan menetapkan pandemi covid-19
sebagai bencana nasional dan menghimbau masyarakat untuk melakukan
phisycal distancing serta belajar dan bekerja dari rumah (work from home).
Himbauan pemerintah ini diikuti dengan dikeluarkannya beberapa payung
hukum yang tujuannya dimaksudkan untuk menekan penyebaran virus
corona salah satunya adalah Keppres No. 12 Tahun 2020.
Dalam hal tersebut, salah satu sektor yang terkena dampak dari pandemi
covid-19 ini adalah ketenagakerjaan. Meluasnya penyebaran virus ini
bahkan hampir di seluruh indonesia dan tentunya sangat menghambat
aktivitas pekerjaan. Bahkan dari proses produktivitas, keuangan
perusahaan, maupun kewajiban pengusaha untuk memenuhi segala
kebutuhan biaya operasional salah satunya dalah membayar hak-hak para
pekerja seperti upah.
1 Yuliana, (2020, Februari), Corona virus disease; Sebuah Tinjauan Literatur,
Wellness and
healthy magazine, Volume 2, Nomor 1, hlm. 1
1Sebagian perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan tersebut
2
membuat para pengusaha mengalami kesulitan dana. Hal itu mendorong
para pengusaha untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dinilai
merugikan bagi para pekerjanya. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain
seperti praktik mencutikan pekerjanya namun tidak dibayar, merumahkan
pekerja, bahkan sampai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan hal yang sangat ditakuti oleh
karyawan/pekerja. Penyebabnya karena carut marut dari kondisi
perekonomian yang berdampak sekali pada sektor-sektor yang ada di
perusahaan. Tentunya hal ini akan berujung pada pemutusan hubungan
kerja sepihak oleh perusahaan.
Salah satu contoh kasus dari PHK sepihak ini adalah seotang bapak yang
bernama Mansyurruman. Ia kehilangan pekerjaannya di sebuah pabrik
manufaktur mesin industri dan konstruksi di sidoarjo, Jawa Timur. Pria
berusia 38 tahun tersebut di PHK oleh pabrik tempatnya bekerja selama 13
tahun pada awal April lalu akibat merebaknya kasus terjangkit virus Covid-
19, dikatakan bahwa ia dan teman-temannya sekarang sedang berjuang
untuk mendapatkan hak mereka berupa uang pesangon. Contoh kasus
lainnya dalah 136 karyawan Hotel Aryaduta Medan juga kena PHK karena
pihak manajemen menyetop operasional hotel saat pandemi Covid-19,
mereka juga turut melakukan protes karena meraa tidak adil dan hak-
haknya tidak terpenuhi.
Karena sebab ini pengusaha seharusnya bijaksana dalam mengambil
keputusan, mengingat PHK merupakan suatu hal yang dianggap sensitif
oleh sebagian orang. PHK dapat berujung pada turunnya kesejahteraan pada
masyarakat, mereka kehilangan pekerjaan atau menjadi pengangguran.
Sehingga apa yang diamanatkan oleh Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan menjadi tidak tercapai akibat maraknya PHK.2
2 Kasim, Umar (2004), Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja, Informasi
Hukum, Volime 2, hlm. 26.
2Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, dapat ditarik beberapa
permasalahan antara lain sebagai berikut:

3
1. Bagaimana analisis keadaan force majeure dalam kebijakan pemutusan
hubungan kerja (PHK) pada masa pandemi Covid-19 di Indonesia?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap PHK sepihak di masa covid-
19 (force majeure) menurut peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia?
B.
Tinjauan Pustaka
Analisis hukum merupakan kegiatan analisis dan evaluasi hukum
yang dilakukan untuk melakukan pengujian terhadap suatu permasalahan
yang terjadi di lingkungan masyarakat. Dapat pula berupa penilaian
terhadap norma atau pengaturan dalam masyarakat yang telah tertuang
dalam peraturan perundang-undangan tertentu. Sedangkan perlindungan
hukum adalah upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun
lembaga pemerintah guna melindungi hak asasi manusia yang dirugikan
oleh orang lain.
Pengertian dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sendiri menurut
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PHK didefinisikan
sebagai pengakhiran suatu hubungan kerja karena suatu atau sebab hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja
dan pengusaha.
Diakses dari portal Kementerian Kesehatan RI dijelaskan bahwa
COVID-19 (coronavirus desease 2019) adalah penyakit yang disebabkan
oleh jenis coronavirus baru yaitu Sars-CoV-2, yang dilaporkan pertama kali
di Wuhan Tiongkok pada tanggal 31 Desember 2019. Virus ini dikatakan
dapat menimbulkan gejala berupa gangguan pernafasan akut seperti demam
di atas 38 derajat celcius, batuk dan sesak nafas bagi manusia. Selain itu
disertai pula dengan lemas, nyeri otot, dan diare. Covid-19 dikatakan dapat
menularkan penyakitnya dari manusia ke manusia lainnya melalui kontak
erat dan droplet (percikan cairan pada saat bersin dan batuk).
3Force majeure adalah suatu kejadian maupun keadaan yang terjadi
dan di luar kuasa dari para pihak yang bersangkutan, dalam hal ini
perusahaan dan para pekerja/buruh. Keadaan ini dikatakan memaksa dan
bersifat mutlak (absolut). Dalam KUH Perdata dan UU No. 13 Tahun 2003

4
tidak ditemukan istilah force majeure itu sendiri, namun istilah-istiah
tersebut dapat ditarik dari ketentuan-ketentuan dalam beberapa peraturan
tersebut.
C.
Metode penelitian
Pendekatan atau metode yang digunakan
Adapun pendekatan masalah atau metode yang digunakan dalam
penelitian karya ilmiah ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis
normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang menelaah
hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian yuridis
normatif atau penelitian hukum tertulis. Pendekatan yuridis normatif
dilakukan dengan cara melihat, menelaah hukum serta hal yang bersifat
teoritis taraf sinkronasi yang berkenaan dengan masalah yang akan dibahas.
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi yang menjadi objek penelitian adalah
sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang ada sinkron atau serasi.3
Sumber Data
1) Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber data yang menjadi rujukan utama
terkait pembahasan suatu hal yang menjadi perlindungan hukum bagi
karyawan yang di PHK akibat keadaan force majeure yang menjadi
tanggung jawab dari perusahaan, yang berarti bahwa rujukan ini
mengacu sebagai data primer yang kemudian akan diperkuat dengan
data sekunder. Data yang kami ambil berupa aspek yuridis khususnya
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
2) Sumber Sekunder
3 Zainudin, Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika 2010, hlm. 27
4Sumber sekunder adalah data-data pelengkap, atau tambahan,
yang mendukung karya ilmiah ini. Pencarian kepustakaan yang
berdasar referensi dari kepustakaan online ataupun offline yang bisa
berupa buku, jurnal ilmiah dan website ilmiah yang ditulis oleh pihak
lain terkait judul karya ilmiah. Diantaranya adalah buku yang ditulis
oleh Zaeny Asyhadie dan Budi Sutrisno dengan judul “Hukum
Perusahaan dan Kepailitan” yang diterbitkan oleh Erlangga di Jakarta

5
pada tahun 2012.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam karya ilmiah ini
adalah metode penelitian kepustakaan. Data kepustakaan yang diperoleh
melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian.
Metode Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode
penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan
adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menganalisa referensi untuk mengevaluasi pernyataan dan pemahaman dari
konsep. Ketika setelah semua data terkumpul, data akan diperinci sesuai
dengan objek penelitian.4
4 Ibid, hlm. 107
5D.
Pembahasan
1.Analisis Keadaan Force Majeure Sebagai Alasan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) Pada Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia
Hubungan kerja pada dasarnya adalah hubungan antara karyawan
dan majikan setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian dimana
piha kesatu, si karyawan mengikatkan dirinya pada pihak lain, si majikan
untuk bekerja dengan mendapatkan upah dan majikan menyatakan
kesanggupannya untuk mempekerjakan karyawan tersebut dengan
meberinya upah.5
Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Imam Soepomo yang
menyebutkan bahwa hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja
antara buruh/pekerja dan majikan, yaitu suatu perjanjian dimana pihak
kesatu si buruh atau karyawan mengikatkan diri untuk bekerja dengan
menerima upah pada pihak lainnya yang mengikatkan diri untuk
mempekerjakan buruh atau karyawan tersebut dengan membayar upah.6
Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan menjelaskan hubungan kerja
sebagai hubungan antara pengusaha dengan para pekerjanya berdasarkan

6
perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Hal
ini ditegaskan pula dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan
bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerjanya. Hubungan kerja tersebut kemudian
menciptakan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing
pihak baik pengusaha maupun pekerja/buruh.7
Pada masa sekarang, masalah mengenai ketenagakerjaan sangat
kompleks dan beragam. Hal tersebut dikarenakan kenyataannya hubungan
5 Zainal Asikin, dkk, (2004), Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, hlm. 65.
6 Soepomo, Imam, (2003), Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta:
Djambatan, hlm. 75
7 Randi, Yusuf, (2020, 1, Maret), Penerapan Perjanjian Bersama Berupa Pemberian
Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja Yang Bertentangan Dengan Undang-
Undang
Ketenagakerjaan, Jurnal Hukum De’rechstaat, Volume 6, Nomor 1, hlm. 37
6kerja antara pengusaha dengan pekerja tidak selalu berjalan dengan
baik, melainkan seringkali pula terjadi berbagai permasalahan yang
muncul. Permasalahan antara pekerja dan pengusaha sering memicu
terjadinya perselisihan hubungan industrial, yang terkadang berakhir
dengan PHK yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja.8
Sejak meluasnya pandemi Covid-19 di Indonesia, hal ini berdampak
terhadap seluruh sektor yang ada, antara lain kesehatan, ekonomi, industri
dan sosial. Turunnya jumlah produksi otomatis menurunkan pemasukan
yang diperoleh pihak perusahaan sehingga menyebabkan kerugian yang
besar. Akibatnya, sebagian pengusaha kesulitan mengelola keuangannya.
Akibatnya banyak perusahaan yang merumahkan pekerja, bahkan sampai
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berdampak merugikan
para pekerja. Kerugian yang dialami pihak perusahaan akibat pandemi
Covid-19 juga dinilai sebagai suatu peristiwa force majure yang kemudian
menjadi alasan bagi perusahaan untuk melakukan PHK.
Atas peristiwa tersebut, perusahaan tidak serta merta dapat
melakukan PHK karena mengalami kerugian, force majeure atau untuk
efisiensi yang diakibatkan karena adanya pandemi covid-19 dan
7
pembatasan aktivitas yang dapat merugikan perusahaan. hal tersebut pula
sudah dijelaskan dalam Pasal 164 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi:
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau
keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).”
8 Ibid, hlm. 28
7Berdasarkan ketentuan di atas, maka dapat diketahui bahwa PHK
dapat dilakukan perusahaan jika mengalami kerugian atau sedang dalam
keadaan force majeure. PHK yang dilakukan atas alasan adanya force
majeure, sedangkan apa yang dimaksud dengan force majeure UU
Ketenagakerjaan tidak dijelaskan, melainkan secara umum diatur dalam
Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata.
Pasal 1244 KUH Perdata menjelaskan hal tersebut bahwa:
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti
biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak
atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu,
disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk
tidaklah ada pada pihaknya.“
Kemudian Pasal 1245 KUH Perdata juga disebutkan:
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran
keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang
berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau
lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”
Berdasarkan ketentuan- ketentuan yang telah dijelaskan di atas,
maka hal-hal yang dapat menimbulkan keadaan force majeure antara
lain:9

8
1. Adanya kejadian yang tidak terduga;
2. Adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin
dilaksanakan;
3. Ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan pihak
debitur;
4. Ketidak mampuan tersebut tidak dapat dibebankan resikonya kepada
pihak debitur.
Apabila lebih dicermati, pengaturan mengenai force majeure yang
terdapat dalam KUH Perdata tidak terdapat pasal yang mengatur mengenai
9 Harnowo, Tri, (2020, Maret, 30), Wabah Corona Sebagai Alasan Force Majeure
Dalam
Perjanjian, Di akses pada tanggal 2 Desember 2020, pukul 16:49 WIB, Hukum
Online.com.
8force majeure secara umum untuk suatu kontrak yang sifatnya
bilateral, sehingga tidak terdapat patokan yuridis secara umum yang dapat
digunakan dalam mengartikan apa yang dimaksud dengan force majeure.
Dijelaskan pula bahwa overmacht sering juga disebut sebagai force
majeur yang biasanya diterjemahkan dengan keadaan memaksa dan ada
pula yang menyebut dengan “sebab kahar”.11 Keadaan memaksa oleh para
sarjana hukum klasik diartikan sebagai suatu keadaan yang bersifat mutlak
tidak dapat dihindari oleh debitur dalam memenuhi prestasinya terhadap
suatu kewajiban. Pikiran mereka hanya tertuju pada bencana alam (act of
god) atau kecelakaan-kecelakaan yang berada di luar kemampuan manusia
untuk menghindarinya. Akan tetapi dalam perkembangannya timbul
pengertian bahwa overmacht tidak selamanya harus bersifat mutlak.12
Menurut teori, keadaan force majeur dapat dibedakan menjadi dua
yaitu force majeure absolut dan force majeure relatif. Force majeure
absolut terjadi apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada unsur
imposibilitas) dilaksanakan oleh siapapun juga. Sedangkan force majeure
relatif terjadi ketika suatu perjanjian atau perikatan yang dilakukan masih
mungkin untuk dilaksanakan, namun harus dengan pengorbanan atau
biaya yang sangat besar dari pihak debitur.
Apabila kita lihat dari segi jangka waktu berlakunya keadaan yang
menyebabkan terjadinya force majeure, maka force majeure dapat

9
dibedakan menjadi:
1. Force majeure permanen, yaitu force majeure yang dikatakan bersifat
permanen apabila sama sekali sampai kapan pun suatu prestasi yang
terbit dari kontrak tidak mungkin dilakukan lagi.
2. Force majeure temporer, yaitu sebaliknya. Force majeure dapat
dikatakan bersifat temporer apabila terhadap pemenuhan prestasi dari
kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu.13
11 Syahriani, Ridwan, (2006), Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung::
Alumni, hlm. 232
12 Ibid, hlm. 235
13 Subekti, (2020), Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, hlm.150
9Dalam peristiwa ini, para pengusaha dimungkinkan menggunakan
pandemi covid-19 sebagai alasan kahar atau force majeure untuk
melakukan PHK mengingat pengaruhnya yang besar pada kegiatan
operasional perusahaan. Terkendalanya kegiatan operasional berdampak
terhadap pemasukan perusahaan, sehingga menimbulkan akibat berupa
kesulitan dalam membayar upah pekerja yang merupakan kewajibannya.
Tetapi di sisi lain, covid-19 dapat dikategorikan ke dalam peristiwa
yang sifatnya tidak terduga karena timbul di luar kekuasaan para pihak
sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mencegahnya. Jika dilihat dari
segi jangka waktu berlakunya, maka pandemi covid-19 masuk ke dalam
force majeure yang bersifat temporer mengingat ketidaksanggupan
pengusaha dalam melaksanakan kewajibannya hanya bersifat sementara
sampai keadaan tersebut kembali normal seperti semula.
Adanya kebijakan dari pemerintah yang telah menetapkan pandemi
covid-19 sebagai bencana nasional serta dikeluarkannya sejumlah produk
hukum dapat memperkuat alasan pengusaha untuk menyatakan pandemi
covid-19 ini sebagai suatu peristiwa yang menimbulkan keadaan memaksa
(force majeure), karena dapat disimpulkan bahwa pandemi covid-19 dapat
dikategorikan sebagai bencana non-alam yang berskala nasional.
2. Perlindungan Hukum Terhadap PHK di Masa Covid-19 (Force
Majeure) Menurut Peraturan Dan Perundang-Undangan Yang
Berlaku Di Indonesia

10
Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan peristiwa yang tidak
diharapkan bagi siapapun yang memiliki pekerjaan. Terutama dari
kalangan karyawan/pekerja karena dengan PHK karyawan/pekerja yang
bersangkutan akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi diri
sendiri dan anggota keluarganya, karena itu semua pihak yang terlibat
dalam hubungan industrial baik pengusaha, karyawan/pekerja, bahkan
Pemerintah mengerahkan segala upaya agar tidak terjadi pemutusan
hubungan kerja.14
14 Husni, Lalu, (2004), Penyelesaian Hubungan Industrial Melalui Pengadilan Dan Di
Luar Pengadilan, PT, Jakarta: Rajagrafindo Persada, hlm. 195
10Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan, menyebutkan PHK sebagai
bentuk pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara karyawan/pekerja
dan pihak pengusaha. Ketentuan tersebut terjadi setelah adanya penetapan
dari lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan seperti mediator,
konsiliator, atau Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Saat PHK terjadi, UU Ketenagakerjaan sebagai ketentuan pokok
telah memberikan perlindungann hukum mengenai hak-hak para pekerja
yang mengalami PHK. Di antaranya diatur dalam Pasal 156 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK),
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima. Terkait dengan perlindungan hukum terhadap pekerja yang
mengalami pemutusan hubungan kerja karena alasan force majeure,
pengaturan terkait dengan hal itu sudah diatur dalam Pasal 164 ayat (1)
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Menurut pendapat Prof. Aloysius Uwiyono, jika PHK yang
dilakukan oleh pihak perusahaan disebabkan karena perusahaan tutup
karena mengalami kerugian atau keadaan memaksa (force majeure), maka
mengenai hak-hak pekerja berlaku ketentuan Pasal 164 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan.15 Ketentuan tersebut hanya berlaku apabila alasan untuk
melakukan PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan karena,
kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau karena keadaan

11
memaksa (force majeur). Sehingga dengan adanya alasan dan sebab
tersebut karyawan/pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Berkenaan dengan perhitungan uang kompensasi PHK yang menjadi
hak para pekerja sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (2), (3), dan (4)
15 DA, Ady, Thea, (2020, April, 22), Alasan Force Majeure Dampak Covid-19, Di
akses
pada tanggal 6 Desember 2020, Pukul 17:20 WIB, Hukum Online.com.
11tersebut yang meliputi uang pesangon yaitu pembayaran dalam bentuk
uang dari pengusaha kepada karyawan/pekerja sebagai akibat adanya PHK
yang jumlahnya disesuaikan dengan masa kerja karyawan tersebut
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
Selain itu, para pekerja juga berhak atas uang penghargaan selama
masa kerja yaitu uang penghargaan yang diberikan pengusaha kepada
pekerja yang dikaitkan dengan lamanya masa kerja yang ia lakukan. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dan berhak
atas uang penggantian hak sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan yaitu berupa uang pembayaran dari pengusaha kepada
pekerja sebagai penggantian istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya
perjalanan ke tempat di mana pekerja diterima bekerja, fasilitas
pengobatan, fasilitas perumahan, dan lainnya sebagai akibat dari
pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pihak perusahaan (PHK).
E.
Penutup
Kesimpulan
Pengusaha dimungkinkan menggunakan pandemi covid-19 sebagai
alasan force majeure untuk melakukan PHK, mengingat pengaruhnya
yang besar pada kegiatan operasional perusahaan. Disamping itu, pandemi
covid-19 juga dikategorikan sebagai peristiwa force majeure mengingat
sifatnya tidak terduga karena timbul diluar kekuasaan para pihak. Adanya
kebijakan Pemerintah yang menetapkan pandemi covid-19 sebagai
bencana nasional serta dikeluarkannya sejumlah peraturan hukum
12
memperkuat alasan pengusaha untuk menyatakan pandemi covid-19
sebagai suatu peristiwa force majeure karena secara eksplisit
menyimpulkan pandemi corona dikategorikan sebagai bencana non-alam
berskala nasional.
12PHK berimplikasi pada lahirnya kewajiban pengusaha untuk
membayar hak-hak pekerja. Jika PHK yang dilakukan pengusaha
disebabkan oleh alasan force majeure maka berdasarkan Pasal 164 ayat (1)
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pekerja berhak atas
uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Saran
Untuk lebih mempertegas hasil bahasan yang saya peroleh, saya
menyarankan agar dilakukannya suatu penelitian terhadap perusahaan
tertentu. Sebagai bentuk kecocokan dari data yang saya sajikan, sehingga
tidak terjadi kerancuan terhadap teori dan praktek. Dengan diadakannya
penelitian maka akan menjadi salah satu cara agar orang yang melakukan
suatu bahasan ilmiah mendapat hasil yang memuaskan.
F. Daftar pustaka
Peraturan perundang-undangan
-Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
-Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2000 Tentang Ketenagakerjaan
-Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
-Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019
(COVID-19)
Buku
Ali, Zainudin. 2010. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
13Asikin, Zainal dkk. 2004. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Lalu, Husni. 2004. Penyelesaian Hubungan Industrial Melalui
Pengadilan dan di Luar Pengadilan. Jakarta: Rajagrafindo
Persada

13
Soepomo, Imam. 2003. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja,
Jakarta: Djambatan
Subekti. 2002. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa
Syahrani, Riduan. 2006. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata.
Bandung: Alumni.
Jurnal
Randi, Yusuf. 2020. ”Penerapan Perjanjian Bersama Berupa
Pemberian Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja Yang
Bertentangan Dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan”
Jurnal Hukum De'rechtsstaat, Volume 6, Nomor 1.
Yuliana. 2020. “Corona Virus disease (Covid-19)” Sebuah Tinjauan
Literatur”. Wellness and healthy magazine Volume 2,
Nomor 1.
Isradjuningtias, Agri, Chairunisa. 2015. “Force Majeure (Overmacht)
Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia” Veritas et
Justitia Volume 1, Nomor 1.
Kasim,Umar. 2004. “Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan
Kerja” Informasi Hukum ,Volume 2.
Internet
DA, Ady, Thea, (2020), Guru Besar Ini Bicara PHK Alasan Force
Majeure Dampak Covid-19, Di akses dari
https://www.hukumonline.com
Diakses dari portal Kementerian Kesehatan RI dijelaskan bahwa
COVID-19 adalah
14http://www.padk.kemkes.go.id/article/read/2020/04/23/21/hindarilansia-
dari-covid-19.html
Harnowo, Tri, (2020), Wabah Corona sebagai Alasan Force Majeur dalam
Perjanjian”,di akses dari https://www.hukumonline.com

14

Anda mungkin juga menyukai