Anda di halaman 1dari 16

HUBUNGAN KEADAAN MEMAKSA TERHADAP PEMUTUSAN

HUBUNGAN KERJA (PHK) 42 PEKERJA DI SULAWESI TENGGARA

PADA SAAT PANDEMI COVID-19

LEO JOSE HANTA

H1A120165

KELAS D

HUKUM PERIKATAN

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HALUOLEO

2021

1
ABSTRAK

Di tahun 2019 dunia digemparkan dengan munculnya sebuah virus yang

bernama Coronavirus disease 2019 atau yang disebut dengan Covid-19 dan Indonesia

juga terdampak dari munculnya virus Covid-19 tersebut. Sehingga Presiden Republik

Indonesia menentapkan covid-19 sebagai Bencana Non-alam Corona Virus Disease

2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional yang diatur dalam ketentuan Keppres

No. 12 Tahun 2020. Dampak dari munculnya penetapan Covid-19 sebagai bencana

non alam muncul spekulasi di tengah-tengah masyarakat khususnya pengusaha,

keppres tersebut dijadikan dasar force majeure untuk membatalkan kontrak-kontrak

kerja terhadap buruh/pekerja. Di Sulawesi Tenggara sendiri terdapat puluhan pekerja

yang harus di PHK akibat pandemi Covid-19. Pengaturan mengenai alasan force

majeure dalam melakukan PHK hanya terdapat dalam Pasal 164 Undang-Undang No.

13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan tidak terlalu rinci bagaimana kondisi

yang dapat dikualifikasi sebagai force majeure sehingga perusahaan dapat melakukan

PHK.Rumusan masalah dalam paper ini adalah apakah kasus pemutusan hubungan

kerja (PHK) di Sulawesi Tenggara akibat pandemi covid-19 ada kaitannya dengan

keadaan memaksa/overmacht/force majeur ? Metode yang di gunakan dalam paper

ini yaitu menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-

undangan dan konsep.

2
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Munculnya Coronavirus Disease atau yang dikenal dengan Covid19 pada

akhir tahun 2019 dan mulai menyebar pada awal tahun 2020 sangatlah berdampak

pada dunia dalam segala aspek, karena penyebarannya yang begitu cepat menjadi

ancaman serius bagi negara-negara di dunia akibat SARS-CoV atau coronavirus

yang menyebabkan pneumonia ini . Dengan ditetapkannya Covid-19 ini sebagai

pandemi global menyebabkan hampir seluruh negara untuk menetapkan kebijakan

lockdown dimana semua orang harus berdiam diri di rumah dan tidak

diperkenankan keluar rumah kecuali dalam kondisi darurat.

Pandemi yang mengharuskan adanya kebijakan tersebut juga menyerang

berbagai aspek selain kesehatan, salah satunya adalah perekonomian negara yang

juga terancam. Hal ini mengakibatkan perlambatan dari hampir semua sektor

pertanian nasional bahkan menyebabkan krisis ekonomi. Kebijakan lockdown ini

membawa banyak sekali perubahan di lingkungan masyarakat. Anak-anak yang

biasanya pergi keluar untuk sekolah atau hanya sekedar bermain dengan anak

anak yang lain namun sekarang hanya bisa belajar di rumah. Pekerja kantoran

maupun pekerja pabrik serta lapangan kerja lainnya tidak bisa bekerja di tempat

dan beberapa terpaksa harus kerja di rumah. Telah dilakukan berbagai upaya demi

mengatasi penyebaran virus ini, namun tetap tidak bisa merubah kenyataan bahwa

3
pandemi ini tetap telah memberi banyak sekali dampak yang merugikan segala

aspek, terutama ekonomi.

Dengan diberlakukannya kebijakan lockdown di Indonesia yaitu

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini mengakibatkan berbagai jenis

sektor usaha mengalami kerugian. Dengan demikian, langkah yang diambil demi

mengurangi kerugian yang terjadi ini adalah dengan pemutusan hubungan kerja.

Banyaknya PHK yang dilakukan perusahaanperusahaan di Indonesia ini sebagai

satu-satunya pilihan bagi pelaku usaha untuk menekan pengeluaran perusahaan

agar perusahaan dapat kembali stabil

Presiden Republik Indonesia merilis Keputusan Presiden (Keppres) No.

12 pada tanggal 13 April 2020 tentang bencana non-alami yaitu penetapan

Bencana Non-alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai

Bencana Nasional. Oleh sebab itu dikeluarkannya Keppres ini memberikan

pelaku usaha alasan memberlakukan force majeure yaitu dengan membatalkan

kontrak-kontrak keperdataan, terutama kontrak-kontrak bisnis. Force majeure

memang diatur dalam hukum perjanjian yang bisa dijadikan alasan untuk

membatalkan kontrak apabila terjadi kejadian luar biasa yang menyebabkan orang

tidak mampu memenuhi prestasinya karena peristiwa yang di luar

kemampuannya. PHK adalah keluarnya anggota organisasi dari keanggotan yang

diakibatkan terbatasnya kemampuan untuk memenuhi kepentingan organisasi.

4
Pemutusan Hubungan kerja ini bukanlah hal yang dikehendaki karyawan kecuali

dengan alasan tertentu atau PHK atas kehendak karyawan itu sendiri.

Force majeure memang tidak bisa begitu saja secara otomatis dijadikan

alasan membatalkan kontrak apapun PHK, namun tetap bisa menjadi pintu masuk

untuk bernegosiasi dalam membatalkan atau mengubah isi kontrak. Kontrak

haruslah tetap dilaksanakan sesuai dengan isinya sesuai dengan ketentuan Pasal

1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) bahwa setiap perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

Meskipun demikian, masih banyak pelaku usaha yang memberlakukan Pemutusan

Hubungan Kerja dengan alasan force majeure yang menyebabkan kerugian secara

terus menerus. Namun, nyatanya dengan mem-PHK pekerja ataupun

merumahkanya bukanlah solutif untuk meningkatkan perekonomian Negara, hal

ini justru malah akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sekaligus

pengangguran massal yang juga dapat mengakibatkan kembalinya krisis moneter.

Kronologi Kasus

Penetapan Covid-19 sebagai sebuah pandemi oleh World Health

Organization (WHO) ini disertai dengan perlambatannya ekonomi yang juga

mempengaruhi dunia bisnis. Pada April 2020, Pemerintah Indonesia

mendeklarasikan bahwa penyebaran Covid-19 ini sebagai bencana nasional dalam

Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Bencana Non Alam Dalam

5
Rangka Penyebaran COVID-19. Pemerintah menghimbau seluruh rakyat

Indonesia untuk menjaga jarak dan mengalihkan berbagai kegiatan menjadi online

basis demi menghambat penyebaran Covid-19

Salah satu kebijakan yang dikeluarkan untuk membubarkan tempat kerja

diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 tahun 2020 tentang Pedoman

Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan

Coronavirus Disease 2019.

Pada dasarnya, Kebijakan ini memberikan dampak khusus yaitu

terganggunya kegiatan yang akan berdampak juga pada berbagai sektor, termasuk

sektor bisnis. berbagai sektor industri di Indonesia, seperti manufaktur,

pariwisata, perdagangan, dan bisnis ekspor telah terkena dampaknya dan sedang

mengalami kesulitan . Pandemi ini tidak hanya menambahkan rintangan tetapi

juga keresahan bagi pekerja dan pelaku bisnis.

Para pengusaha tetap berkewajiban melaksanakan kewajibannya walaupun

produksi dan omset bisnis sedang tidak mulus dikarenakan pandemi ini. Kondisi

ini yang membuat perusahan berada di kondisi yang sulit untuk menjalankan

bisnis mereka agar setiap hari dapat merengkuh keuntungan bukan nya semakin

merugi14. Banyak perusahaan yang mengambil keputusan untuk merumahkan

pekerja mereka atau bahkan memutus hubungan kerja (PHK) untuk

mempertahankan bisnis mereka. Asosiasi Pengusaha Indonesia mengatakan

6
bahwa terdapat 7 juta pekerja yang terkena PHK di Indonesia. Angka ini

menggambarkan bahwa Covid19 memberikan dampak yang begitu besar kepada

pekerja di Indonesia PHK yang dilakukan oleh perusahaan di tengah pandemi

Covid-19 ini akan menyebabkan pekerja kehilangan pemasukan untuk diri

mereka sendiri beserta keluarganya

Keputusan perusahaan untuk memberhentikan pegawai adalah langkah yang

diambil guna mengurangi pengeluaran perusahaan sehingga dapat kembali ke

dalam keadaan yang stabil. Berdasarkan kasus yang terjadi di Sulawesi Tenggara,

Kepala Bidang Pembinaan Industri dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Dinas

Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sultra, Muhammad Amir Taslim,

mengatakan, Sebanyak 1.018 pekerja dari yang ada di Sulawesi Tenggara (Sultra)

terpaksa dirumahkan dan 42 orang di-PHK. Rata-rata dari sektor perhotelan dan

rumah makan. Perusahaan merumahkan ribuan pekerja tersebut imbas pandemi,

yang menyebabkan pendapatan perusahaan berkurang. Tidak ada pilihan selain

merumahkan karena perusahaan juga tidak bisa membayar gaji karyawan.

(Artikel detiknews, "Lebih dari 1.000 Pekerja di Sultra Dirumahkan Gegara

Corona" selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-4980493/lebih-dari-1000-

pekerja-di-sultra-dirumahkan-gegara-corona.)

7
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, Penulis menetapkan rumusan masalah terhadap

peristiwa yang terjadi, yakni sebagai berikut:

 Apakah Kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Di Sulaweesi Tenggara

Akibat Pandemi Covid-19 Ada Kaitannya Dengan Keadaan

Memaksa/Overmacht/Force Majeur ?

C. Tujuan Masalah

 Untuk mengetahui Apakah Kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Di

Sulaweesi Tenggara Akibat Pandemi Covid-19 Ada Kaitannya Dengan

Keadaan Memaksa/Overmacht/Force Majeur .

8
METODOLOGI

Penelitian ini digolongkan kе dalam penelitian hukum normatif dilakukan

dengan cara mеnеlaah bahan kepustakaan atau bahan-bahan sekunder belaka.

Pendekatan penelitian ini menggunakan Pеndеkatan undang-undang (statutе

approach), Pеndеkatan Konsеptual (concеptual approach). Bahan Hukum Primеr

yaitu bahan hukum yang autoritatif artinya mеmpunyai otoritas12 berupa peraturan

perundang-undangan Pasal 164 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan (UUK), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Pemahaman terhadap pandangan atau doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum

dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan

isu hukum yang dihadapi. Pendekatan ini menjadi penting sebabPandangan atau

doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum,

konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.

9
PEMBAHASAN

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Di Sulawesi Tenggara Karena

Pandemi Covid-19 Dalam Kaitannya Dengan Keadaan Memaksa/

Overmacht/Force Majeur

Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK menurut Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah pengakhiran hubungan kerja karena

suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara

pekerja atau buruh dan pengusaha. Berdasarkan Pasal 1 angka 25 UUK,

Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal

tertentu yang mengakibatkan hubungan berakhirnya hak dan kewajiban antara

pekerja/buruh dari pengusaha.

Force Majeure atau Keadaan memaksa adalah suatu keadaan ketika debitur

tidak dapat melakukan prestasinya kepada, yang disebabkan adanya kejadian yang

berada di luar kuasanya. Keadaan yang menyebabkan bahwa suatu hak atau suatu

kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak dapat dilaksanakan. Keadaan

memaksa dalam UUK masih kurang dan belum adanya aturan yang menjelaskan

lebih lanjut terkait dengan keadaan memaksa atau force majeure tersebut. Untuk

menentukan keadaan-keadaan dimaksud sebagai keadaan force majure ukuranya

adalah apakah keadaan dimaksud sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dan diluar

kemampuan manusia atau tidak. Pengertian keadaan memaksa atau force majeure

10
biasanya merujuk pada tindakan alam (act of God), seperti bencana alam (banjir,

gempa bumi, kerusuhan, pernyataan perang, dan sebagainya)

Berdasarkan kasus PHK yang terjadi di Sulawesi Tenggara yang melibatkan

ribuan pekerja itu, perusahaan terpaksa merumahkan para pekerja karena imbas

pandemi, yang menyebabkan pendapatan perusahaan berkurang. Tidak ada

pilihan selain merumahkan karena perusahaan juga tidak bisa membayar gaji

karyawan. Kejadian dalam kasus ini pun berhubungan dengan keadaan memaksa

di mana PHK itu tidak dapat dihindarkan karena terjadi sebagai akibat dari

pandemi Covid-19 yang merupakan keadaan di luar kemampuan manusia.

Pandemi Covid-19 merupakan peristiwa yang tidak terduga, tidak ada pihak

yang mampu memprediksi apakah atau kapan Covid-19 dapat terjadi. PHK karena

kondisi penyebaran Covid-19 jika dihubungkan dengan ketentuan yang ada dalam

UUK, maka dapat dikaitkan dengan alasan force majeure sebagaimana diatur Pasal

164 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan tidak

terlalu rinci bagaimana kondisi yang dapat dikualifikasi sebagai force majeure

sehingga perusahaan dapat melakukan PHK yang menyebutkan bahwa :

1. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh

karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian

secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force

majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1

11
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1

(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai

ketentuan Pasal 156 ayat (4).

2. Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan

dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh

akuntan publik.

3. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2

(dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur)

tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh

berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),

uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat

(3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Maka, dari ketentuan tersebut di atas dapat diartikan bahwa PHK dapat

dilakukan apabila perusahaan tutup dikarenakan keadaan memaksa yang

disebabkan penyebaran covid-19 sehingga untuk dilakukan PHK, dipersyaratkan

haruslah perusahaan tutup dan/atau melakukan efisiensi dengan terlebih dahulu

melakukan langkah-langkah sebagaimana Surat Edaran Menteri Nomor

SE907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tertanggal 28 Oktober 2004 yang isinya: Namun

apabila dalam suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat membawa

12
pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja haruslah

merupakan upaya terakhir setelah dilakukan upaya sebagai berikut:

a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas misalnya tingkat manager

dan direktur;

b. Membatasi/menghapuskan kerja lembur;

c). Mengurangi Jam Kerja;

d). Mengurangi Hari Kerja;

e). Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara

waktu;

f). Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa

kontraknya;

g). Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat

Ketentuan yang hampir sama juga terdapat dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi (MK) Nomor 19/PUU-IX/2011, tanggal 20 Juni 2012 menyatakan

bahwa PHK hanya sah dilakukan setelah perusahaan tutup secara permanen dan

sebelumnya perusahaan melakukan sejumlah langkah terlebih dahulu dalam

rangka efisiensi.

13
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pandemi Covid-19 merupakan peristiwa yang tidak terduga, tidak ada pihak

yang mampu memprediksi apakah atau kapan Covid-19 dapat terjadi . Penyebaran

Covid-19 dapat dikualifikasi sebagai kondisi force majeur sebagaimana diatur

Pasal 164 ayat (1) UUK dengan mendasarkan pada keadaan memaksa, namun

untuk melakukan PHK tetap mensyaratkan adanya kerugian dan perusahaan tutup

dan/atau PHK dapat dilakukan ketentuan Pasal 164 ayat (3) UUK dengan alasan

efisiensi dengan syarat perusahaan tertutup dengan terlebih dahulu dilakukan

tindakan pendahuluan sebagaimana diatur Surat Edaran Menteri Nomor

SE907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tertanggal 28 Oktober 2004 dan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011, tanggal 20 Juni 2012.

B. SARAN

PHK semaksimal mungkin harus dihindari karena memberikan dampak yang

buruk tidak hanya pengusaha akan tetapi pekerja/buruh yang menerima dampak

yang lebih buruk lagi. Ketentuan Pasal 151 ayat (1) UUK menegaskan bahwa

bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah,

dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.

14
DAFTAR PUSTAKA

Aknolt Kristian Pakpahan,2020, “Covid-19 Dan Implikasi Bagi Usaha Mikro, Kecil,

dan Menengah”. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Edisi Khusus April

2020

Bayu Hermawan, Legislator Ingatkan Dampak Corona Jangan Sampai Sebabkan

PHK, Republika.co.id, Senin 09 Mar 2020 18:13 WIB di unduh pada tanggal

4 April 2020.

Bimo Prasetio dan Mohamad Toha Hasan,2020, Dapatkah Perusahaan Melakukan

PHK Karena Kerugian Akibat Pandemi Covid-19? - Konsultan Hukum

Indonesia, Jasa Pembuatan Kontrak Kerja Bisnis | BP Lawyers Corporate Law

Firms di Jakarta ,diunduh pada 23 Desember 2020

Khakim, Abdul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan


UndangUndang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Cet. II,
Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 2007.

Muhyiddin, “Covid-19, New Normal dan Perencanaan Pembangunan di Indonesia”.

The Indonesian Journal of Development Planning, IV (2), (2020)

Soemadipradja, Rahmat S.S. Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa


(Syaratsyarat pembatalan perjanjian yang disebabkan keadaan
memaksa/force majeure, Jakarta : PT. Gramedia, 2010.

Soеkanto, Soеrjono dan Sri Mamudji, Pеnеlitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta, PT. RajaGrafindo, 2007.

15
Yunus, N.R.; Rezki, Annissa. "Kebijakan Pemberlakuan Lock Down Sebagai

Antisipasi Penyebaran Corona Virus Covid-19," Salam: Jurnal Sosial dan

Budaya Syar-i, Volume 7, No. 3 (2020)

Detiknews,2020, "Lebih dari 1.000 Pekerja di Sultra Dirumahkan Gegara Corona"

https://news.detik.com/berita/d-4980493/lebih-dari-1000-pekerja-di-sultra-

dirumahkan-gegara-corona,diakses pada 23 Desember 2020.

Radika Cahyadi, 5 Langkah Perusahaan Lindungi Karyawan dari Wabah Corona,

https://www.gadjian.com/blog/2020/03/24/5-langkahperusahaan-

lindungikaryawan-dari-wabah-corona/,diakses pada 24 Desember 2020.

16

Anda mungkin juga menyukai