Anda di halaman 1dari 7

Kondisi Ekonomi Sektor Ketenagakerjaan Indonesia di Masa Pandemi Covid 19

Sejak Desember 2019 dunia dihadapkan pada munculnya Virus Corona jenis baru yang
pertama kali terkonfirmasi di Kota Wuhan, China, yang sampai saat ini dikenal dengan Corona Virus
Disease 19 (Covid-19). Covid-19 sendiri mulai masuk ke Indonesia Pada pertengahan Maret 2020
Hingga saat ini 19 Desember 2020 terhitung 657.948 masyarakat Indonesia terkonfirmasi positif
covid 19. Sejak saat itu pula berbagai kegiatan dan aktivitas ekonomi mulai dibatasi. Sekolah, tempat
perbelanjaan, kantor kantor, usaha perdagangan dll mulai dibatasi karena himbauan pemerintah
guna memutus rantai penyebaran Covid 19. Berbagai anjuran seperti mencuci tangan, menjaga jarak
dan menggunakan masker guna mencegah terpapar Covid 19.
Pandemi Covid-19 sendiri tentu memberikan dampak terhadap berbagai sektor di Indonesia.
Selain sektor kesehatan yang tentu akan sangat berdampak, sektor ekonomi juga mengalami
dampak yang serius akibat pandemi Covid-19. Pembatasan aktivitas masyarakat berpengaruh pada
aktivitas bisnis yang kemudian berimbas pada perekonomian. Dalam sektor ekonomi masa pandemi
covid-19 ini berpengaruh pada tingkat konsumsi masyarakat, tingkat konsumsi yang rendah
mengakibatkan turunnya pendapatan rill nasional sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia
menjadi lesu. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) November ini melaporkan Produk Domestik
Bruto (PDB) RI pada Kuartal III 2020 minus 3,49 persen (year on year). Dengan demikian Indonesia
resmi masuk ke jurang resesi setelah pada pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen. Dan
Sebelumnya pada kuartal I 2020, BPS melaporkan bahwa peretumbuhan ekonomi Indonesia hanya
tumbuh sebesar 2,97 persen, turun jauh dari pertumbuhan sebesar 5,02 persen pada periode yang
sama 2019 lalu.
Kinerja ekonomi yang melemah ini turut pula berdampak pada keberlangsungan pekerjaan
dan pendapatan. Data kementrian Ketenagakerjaan per 7 April 2020, akibat pandemi Covid-19,
tercatat sebanyak 39.977 perusahaan disektor formal yang memilih merumahkan dan melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap perkerjanya. Total ada 1.010.579 orang pekerja yang
terkena dampak ini. Rinciannya, 873.090 pekerja dari 17.224 perusahaan dirumahkan, sedangkan
137.489 pekerja di PHK dari 22.753 perusahaan. Sementara itu jumlah perusahaan dan tenaga kerja
terdampak di sektor informal adalah sebanyak 34.453 perusahaam dam 189.452 orang pekerja.
Selanjutnya per tanggal 20 april mencatat sebanyak 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan
dirumahkan dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Hal ini terjadi karena sejumlah perusahaan
mengalami penurunan produksi bahkan berhenti berproduksi.
Menurut data Pada Mei 2020 dari sisi pengusaha, pandemi Covid 19 menyebabkan
terhentinya kegiatan usaha dan rendahnya kemampuan bertahan pengusaha. Hasil survei mencatat
39,4 persen usaha terhenti, dan 57,1 persen usaha mengalami penurunan produksi. Hanya 3,5
persen yang tidak terdampak. Kemampuan bertahan oleh di kalangan dunia usaha juga mengalami
keterbatasan. Sebanyak 41% pengusaha hanya dapat bertahan kurang dari tiga bulan. Artinya pada
bulan Agustus usaha mereka akan terhenti. Sebanyak 24% pengusaha mampu bertahan selama 3-6
bulan, 11% mampu bertahan selama 6-12 bulan ke depan, dan 24% mampu bertahan lebih dari 12
bulan.
Sementara dampak Covid 19 pada usaha mandiri membuat usaha menjadi terhenti dan
sebagian mengalami penurunan produksi. Sebanyak 40% usaha mandiri terhenti kegiatan
usahanyha, dan 52% mengalami penurunan kegiatan produksi. Hal ini berdampak 35 persen usaha
mandiri tanpa pendapatan dan 28 persen pendapatan menurun hingga 50 persen. Dampak Covid 19
juga berdampak pada pekerja bebas sektor pertanian dan non-pertanian atau pekerja “serabutan”
yang berkerja jika ada permintaan bekerja. hasil survey menunjukkan sebanyak 55% pekerja bebas
pertanian dan non-pertanian tidak ada pekerjaan, dan 38% order berkurang. Dilihat dari pendapatan,
sebanyak 58% pekerja bebas tidak memiliki pendapatan selama masa pandemic Covid 19 dan 28%
pendapatan berkurang sampai 30%.
Survei yang dilakukan pusat penelitian kependudukan LIPI pada mei 2020 menyatakan
dapat diprediksi 10 juta pengusaha mandiri akan berhenti bekerja dan 10 juta lainnya pendapatan
menurun lebih dari 40 persen. Dalam dua hingga tiga bulan kedepan, penggangguran bertambah 25
juta orang, terdiri dari 1 0 juta pekerja mandiri dan 15 juta pekerja bebas. Angka kemiskinan akibat
adanya penurunan upah dan tanpa pendapatan diperkirakan akan mencapai 17,5 juta rumah tangga
dengan asumsi garis kemisinan adalah 440 ribu perkapita perbulan.
Apabila dilihat dari sebaran sektor lainnya, perdagangan adalah sektor yang paling banyak
mengalami pengurangan penyerapan tenaga kerja. Hasil estimasi menjunjukkan bahwa penyerapan
tenaga kerja di sektor perdagangan berkurang sekitar 677.100 – 953.200 orang. Namun jika dilihat
dari proporsinya, konstruksi adalah sektor yang paling banyak mengurangi penyerapan tenaga kerja
dengan proporsi sebesar 3,2 persen – 4,5persen dari jumlah pekerja di sektor tersebut. Meski
demikian ada sektor-sektor yang diperkirakan masih menyerap tenaga kerja, seperti infomasi dan
komunikasi, jasa keuangan dan asuransi dan jasa kesehatan yang tentu akan tetap menyerap
tenaga kerja guna dalam perawatan pasien Covid-19.
Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Juanda Pangaribuan mengatakan sedikitnya ada 4
masalah ketenagakerjaan yang muncul akibat Covid-19. Pertama, pada saat pelaksanaan
pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagian perusahaan tidak boleh beroperasi. Akibatnya,
ada perusahaan yang memutuskan untuk merumahkan pekerja atau memerintahkan pekerja untuk
bekerja dari rumah (work from home/WFH). Bagi perusahaan yang melaksanakan WFH, artinya
pekerja tetap bekerja, tapi tidak hadir ke tempat kerja baik itu kantor atau pabrik seperti biasanya.
Mengingat pekerja melaksanakan pekerjaannya, maka upah dan tunjangan tetap dibayar
pengusaha. Dalam kondisi ini, bisa saja pengusaha tidak membayar tunjangan yang sifatnya tidak
tetap. Tapi bagi perusahaan yang tidak beroperasi sehingga merumahkan pekerjanya, Juanda
melihat praktiknya ada perusahaan yang memberikan gaji pokok atau tunjangan saja. Ada juga
dengan kesepakatan para pihak dilakukan pemotongan upah. Praktik ini di setiap perusahaan
berbeda karena tergantung kemampuan finansial.
Kedua, dalam kondisi seperti ini, bisa berlaku asas no work no pay sebagaimana diatur
Pasal 93 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan ini menyebut upah
tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan, kecuali bagi pekerja yang sakit baik
karena Covid-19 atau bukan.
Ketiga, pembayaran upah. setelah pandemi Covid-19 berakhir berpotensi banyak
perselisihan ketenagakerjaan yang akan muncul. Salah satunya perselisihan hak terkait pemenuhan
ketentuan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama terkait pemenuhan upah. Karena itu, jika pandemi ini berdampak kepada perusahaan yang
mengubah skema pengupahan, harus ada kesepakatan dengan serikat buruh atau buruh yang
bersangkutan kemudian dituangkan dalam perjanjian bersama.
Keempat, dampak Covid-19 bisa berujung PHK. Status hubungan kerja dibagi dua yaitu
perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Untuk
PKWT, perusahaan yang terdampak Covid-19 dapat memutus PKWT lebih awal daripada yang
tertulis dalam perjanjian. Ini bisa terjadi karena perusahaan tidak beroperasi atau dilakukan
pemangkasan jumlah pekerja. Tapi bisa juga perusahaan membayar sisa kontrak PKWT.
Kelompok usia muda merupakan kelompok paling rentan terkena PHK sehingga perlu
mendapat perhatian khusus. Data penelitian menunjukkan terjadinya PHK yang sanagt besar pekerja
usia muda 15-24 tahunyaitu 34,5 persen. Rentannya pekerja muda initelah diprediksi oleh ILO
(2020c) yang memperkirakan satu dari enam pekerja muda akan kehilangan pekerjaan pada masa
pandemi Covid-19. Lebih lanjut,diperkirakan akan terjadi penurunan jam kerja hingga 23 persen pada
seluruh pekerja muda. PHK pekerja muda yang tinggi akibat Covid-19 juga terjadi pada negara-
negara maju di dunia. Montenovo dkk., (2020) menyatakan bahwa selama dua bulan pandemi
COVID-19, pekerja muda di Amerika Serikat menurun 4,5 kali lebih besar dibanding selama resesi
tahun 2007-2008.
Karantina dan gangguan terhadap dunia usaha, larangan bepergian, penutupan sekolah dan
langkah penutupan lainnya membawa dampak yang bersifat mendadak dan drastis terhadap pekerja
dan perusahaan. Seringkali yang pertama kehilangan pekerjaan adalah mereka yang pekerjaannya
sudah rentan, seperti misalnya pekerja toko, pramusaji, pekerja dapur, petugas penanganan bagasi
dan petugas kebersihan. Di dunia di mana hanya satu dari lima orang yang memenuhi syarat untuk
mendapatkan tunjangan pengangguran, pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan malapetaka
bagi jutaan keluarga.
Pekerja informal, yang menyumbang sekitar 61 persen dari tenaga kerja global sangat
rentan selama pandemic karena mereka harus menghadapi risiko K3 yang lebih tinggi dan
kurangnya perlindungan yang memadai. Bekerja dengan tidak adanya perlindungan, seperti cuti sakit
atau tunjangan pengangguran, membuat para pekerja ini mungkin perlu memilih antara kesehatan
dan pendapatan, yang berisiko terhadap kesehatan mereka, kesehatan orang lain serta
kesejahteraan ekonomi mereka.
Selain pengangguran dan setengah pengangguran; krisis juga akan berdampak pada kondisi
kerja, upah dan akses atas perlindungan sosial, dengan dampak negatif khususnya pada kelompok-
kelompok tertentu yang lebih rentan terhadap dampak pasar kerja yang buruk. Pandemi juga dapat
memiliki dampak ekonomi yang tidak proporsional pada segmen tertentu dari populasi, yang dapat
memperburuk ketimpangan yang mempengaruhi sebagian besar kelompok pekerja, seperti
1. Pekerja yang sudah memiliki masalah dengan kondisi kesehatan;
2. Kaum muda yang sudah menghadapi tingkat pengangguran dan setengah pengangguran yang
lebih tinggi;
3. Pekerja yang lebih tua yang mungkin menghadapi risiko lebih tinggi terkena masalah kesehatan
yang serius dan kemungkinan menderita kerentanan ekonomi;
4. Perempuan yang terlalu banyak mewakili pekerjaan-pekerjaan yang berada di garis depan dalam
menangani pandemi dan yang akan menanggung beban yang tidak proporsional dalam
tanggung jawab perawatan terkait dengan penutupan sekolah atau sistem keperawatan;
5. Pekerja yang tidak terlindungi, termasuk pekerja mandiri, pekerja kasual dan pekerja musiman
(gig workers) yang tidak memunyai akses terhadap mekanisme cuti dibayar atau sakit; dan
6. Pekerja migran yang mungkin tidak dapat mengakses tempat kerja mereka di Negara tujuan
ataupun kembali pulang kepada keluarga mereka.
Berbagai program telah dilakukan untuk meningkatkan ketahanan pekerja muda terhadap
goncangan ekonomi. Sejak tahun 2003, Indonesia telah membentuk Indonesia Youth Employment
Network (IYEN) yang bertujuan untuk mengatasi pengangguran usia muda, bahkan inisiatif ini
didukung oleh 17 kementerian (ILO,2016). Namun implementasi dari program ini belum cukup
berhasil menekan angka pengangguran pekerja usia muda.
Dampak Covid-19 terhadap tenaga kerja bervariasi antar daerah. Wilayah dengan jumlah
kasus PHK paling tinggi terjadi di Bali- Nusa Tenggara (39,9 persen) dan Banten (24,8 persen).
Selain mengalami PHK, sebagian buruh/pekerja di Bali mengalami penurunan pendapatan di atas 50
persen (16,7 persen). Perekonomian Bali digerakkan oleh 3 sektor utama, yaitu sektor pariwisata,
industri pengolahan, dan pertanian (BPS Provinsi Bali, 2019). Beberapa usaha yang digerakkan oleh
sektor pariwisata di Bali diantaranya adalah kegiatan biro perjalanan, transportasi, perhotelan,
restoran dan rumah makan, kesenian dan budaya daerah, industri kerajinan rakyat, serta tempat
hiburan dan rekreasi. Pandemi Covid-19 menyebabkan kinerja sektor ini lumpuh sehingga mem-
PHK cukup banyak pekerja. Bahkan kasus PHK tanpa pesangon di provinsi ini merupakan yang
tertinggi di Indonesia (35,3 persen).
Selain berdampak pada perubahan angka statistik ketenagakerjaan, pandemi Covid-19 juga
mempercepat proses transformasi ketenagakerjaan yang sudah berlangsung akibat revolusi Industri
4.0. Pandemi tidak hanya membuat industri menerapkan Work From Home, tetapi juga mengubah
pola konsumsi masyarakat secara luas. Akibat bertambahnya jumlah pengangguran di Indonesia
tingkat konsumsi masyarakt yang berkurang inilah meneybabkan ketidakstabilan pertumbuhan
ekonomi. Pandemi juga menuntut masyarakat untuk cepat beradaptasi dengan segala perubahan,
terutama dalam hal pemanfaatan teknologi digital yang merupakan inti dari revolusi industri 4.0.
Teknologi membuat pekerjaan menjadi sangat fleksibel baik secara waktu maupun tempat, sehingga
pekerjaan tidak lagi harus dikerjakan dari kantor dengan jam kerja yang monoton. Pandemi
membentuk tatanan kehidupan dan dunia kerja baru.
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah mitigasi dengan berbagai cara dalam
menangani dampak Covid-19 di sektor ketenagakerjaan. Langkah berupa kebijakan tanggap (rapid
policy responses) Covid-19 bertujuan membangun kembali kondisi positif dan fokus pada pasar
tenaga kerja dan institusi pasar kerja. Penegasan tersebut dikemukakan oleh Dirjen Binalattas Budi
Hartawan saat menjadi panelis dalam high-level Ministerial Conference on Human Resource
Development (HRD) for the Changing World of Work ASEAN secara virtual, Pemerintah Indonesia
telah menggelontorkan anggaran sebesar Rp695,2 T untuk penanggulangan pandemi dan pemulihan
ekonomi nasional (PEN). Jumlah Rp 695,2 triliun tersebut rinciannya yakni, sebesar Rp 87,55 triliiun
untuk anggaran kesehatan, anggaran perlindungan sosial Rp 203,9 triliun; insentif usaha Rp 120,61
triliun dan Rp 123,46 triliun disiapkan untuk sektor UMKM.
Beberapa langkah untuk penanganan dampak panemi Covid-19 diantaranya
mengalokasikan dana untuk penanganan Covid-19 sebesar 46,6 miliar dolar AS, termasuk stimulus
ekonomi bagi para pelaku usaha sejumlah 17,2 miliar dolar AS Kedua, menyediakan program berupa
insentif pajak penghasilan, relaksasi pembayaran pinjaman/kredit, dan dalam waktu dekat akan
dikeluarkan kebijakan relaksasi iuran jaminan sosial ketenagakerjaan untuk meringankan sekitar 56
juta pekerja sektor formal. Ketiga, menyediakan jaring pengaman sosial bagi pekerja sektor informal.
Pemerintah memberikan bantuan sosial kepada 70,5 juta pekerja sektor informal yang termasuk
dalam kategori miskin dan rentan. Keempat, memprioritaskan pemberian insentif pelatihan melalui
program kartu pra-kerja bagi pekerja yang ter-PHK. Pemerintah telah memberikan insentif pelatihan
dengan target tahun ini sebanyak 3,5-5,6 juta penerima manfaat dan hingga saat ini telah terealisasi
lebih dari 680 ribu penerima manfaat didominasi oleh pekerja ter-PHK. Kebijakan kelima yakni
memperbanyak program perluasan kesempatan kerja seperti padat karya tunai, padat karya
produktif, terapan Teknologi Tepat Guna (TTG), Tenaga Kerja Mandiri (TKM), dan kewirausahaan,
yang dimaksudkan untuk penyerapan tenaga kerja. Keenam, perlindungan terhadap pekerja migran
Indonesia, baik yang sudah kembali ke Indonesia maupun yang masih berada di luar negeri. Ketujuh,
menyediakan panduan/pedoman yang ditujukan bagi perusahaan dan pekerja.

Anda mungkin juga menyukai