Anda di halaman 1dari 28

Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja dari Tindakan Phk (Pemutusan

Hubungan Kerja Perusahaan Dimasa Pandemi Covid-19

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

HUKUM BISNIS

Dosen Pengampu:

M.S. TUMANGGOR, DR., SH., M.Si., Prof.

Oleh:

SURYATI (125230022)

AY

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

AKUNTANSI

UNIVERSITAS TARUMANAGARA

2023

i
DAFTAR ISI

Table of Contents
DAFTAR ISI....................................................................................................................................................i
BAB I...............................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................................................ 5
BAB II.............................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN..............................................................................................................................................6
A. Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Yang Di Phk (Pemutusan Hubungan Kerja)
Akibat Dampak Dari Pandemi Covid-19.................................................................................................. 6
B. Pihak Yang Menanggung Kerugian Karena Keadaan Force Majeure Terhadap Pekerja
Pada Masa Pandemic Covid-19.................................................................................................................... 8
C. Dampak PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) Pada Karyawan Yang Terdampak Pandemi
Covid-19............................................................................................................................................................ 16
D. Studi Kasus................................................................................................................................................. 20
BAB III.........................................................................................................................................................22
PENUTUP....................................................................................................................................................22
A. Kesimpulan............................................................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................................25

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan manusia mempunyai kebutuhan yang sangat beragam, pada dasarnya

setiap orang berhak untuk mencari pekerjaan agar dapat secara adil memenuhi kebutuhan

dirinya dan keluarganya, antara lain pangan, pendidikan, kesehatan, dan hiburan.

Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Bab 1 Pasal 1 ayat 2

menyebutkan bahwasanya buruh ialah setiap orang yang sanggup melaksanakan

pekerjaannya untuk menciptakan barang dan jasa untuk keperluan sendiri dan keperluan

masyarakat. Setiap individu yang hidup pada umumnya membutuhkan biaya untuk

melangsungkan kehidupannya, untuk mendapatkan biaya tersebut setiap orang perlu

pekerjaan dan dapat menyeleaikan pekerjaan mereka. (Rhamadan, 2022)

Dalam suatu tugas terdapat hubungan yang berfungsi antara tenaga kerja dan

pengusaha, yang mana hubungan bisnis tersebut dikomunikasikan dalam satu bentuk

kontrak atau perjanjian kerja. Ketenagakerjaan di Indonesia, menurut UU No. 13 Tahun

2003 Bab 1 Pasal 1 Angka 1 mengatur bahwasanya “ketenagakerjaan ialah segala sesuatu

yang berkaitan dengan pekerjaan sebelum, selama, dan setelah masa kerja”. Tenaga kerja

sangat membutuhkan perlindungan hukum untuk menghapuskan sistem perbudakan dan

membantu tenaga kerja menjadi lebih manusiawi (Rhamadan, 2022). Tujuan adanya

perlindungan hukum tenaga kerja ini juga untuk memastikan jaminan hak-hak tenaga

kerja serta dasar-dasar tenaga kerja.

1
Ketenagakerjaan mempunyai dampak yang sangat menguntungkan terhadap

upaya negara untuk meningkatkan perekonomian. Tenaga kerja yang memadai, baik

kuantitas maupun kualitasnya merupakan komponen penting dalam pengembangan

ekonomi, terutama sebagai sumber daya produksi dan distribusi barang dan jasa serta

untuk tujuan dan keselamatan hari tua. Dalam UUD 1945 ayat (2) Pasal 27 mengatur

bahwasanya “Setiap warga negara berhak untuk bekerja dan hidup bermartabat demi

kemanusiaan”, hal ini memberikan jaminan hak setiap warga negara untuk bekerja dan

mempunyai penghidupan yang bermartabat. Salah satunya masalah yang seringkali

timbul di dunia kerja yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang kemudian disebut

PHK, yang seringkali menyebabkan konflik hubungan kerja, konflik antara pengusaha

dan pekerja, perburuhan sehingga menimbulkan pengangguran.

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Angka 25 menjelaskan

pengertian sebagai berikut: “Pemutusan hubungan kerja ialah pemutusan hubungan kerja

dikarenakan sebab-sebab tertentu yang menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban

antara pekerja dan kontraktor. Pemecatan adalah salah satunya hal yang perlu dihindari,

baik dari pihak pemberi kerja maupun karyawan. Keputusan untuk melakukan PHK tentu

akan berdampak negatif terhadap perekonomian serta keberlangsungan hidup dan masa

mendatang pekerja.

Pada situasi normal, pemutusan hubungan kerja bisa terjadi karena sejumlah

alasan seperti restrukturisasi perusahaan, kinerja buruk, atau alasan lain yang diatur

2
dalam kontrak kerja. Namun, pandemi Covid-19 memperkenalkan dimensi baru dalam

konteks Pemutusan Hubungan kerja. Banyak perusahaan terpaksa menghadapi tantangan

besar untuk menjaga kelangsungan operasional mereka, dan sebagai konsekuensinya,

tenaga kerja menjadi korban dari kebijakan penghematan biaya yang diambil oleh

perusahaan.

Perlindungan hukum bagi tenaga kerja dari tindakan PHK (Pemutusan Hubungan

Kerja) perusahaan di masa pandemi Covid-19 melibatkan sejumlah faktor penting yang

perlu dipertimbangkan. Dampak ekonomi pandemi telah menganggu ekonomi global,

mengakibatkan penurunan aktivitas bisnis, penutupan perusahaan, dan penurunan

permintaan konsumen. Ini menyebabkan banyak perusahaan menghadapi tekanan

finansial yang signifikan. Untuk mengatasi kesulitan finansial yang dihadapi oleh

perusahaan, banyak di antaranya terpaksa melakukan PHK massal atau pemangkasan

tenaga kerja. Jutaan pekerja di seluruh dunia kehilangan pekerjaan mereka karena

dampak ekonomi pandemi.

Pada konteks PHK, perlindungan hukum bagi tenaga kerja tidak selalu seimbang

antara pekerja dan pengusaha. Terkadang, pekerja memiliki sedikit kekuatan tawar dalam

negosiasi dengan majikan mereka, terutama dalam situasi PHK. Selain isu PHK, pekerja

juga menghadapi risiko keselamatan dan kesehatan yang lebih tinggi di tempat kerja

selama pandemi. Perlindungan hukum juga diperlukan untuk memastikan bahwa pekerja

dilindungi dari penularan COVID-19 di tempat kerja.

Pada konteks sulit seperti Covid-19, korban peristiwa force majeure ialah para

pekerja dengan kontrak kerja tertentu. Dalam pandemi ini tidak hanya perusahaan-

3
perusahaan besar saja yang terkena dampaknya, bahkan para pengusaha pun ikut terkena

dampak pandemi ini, masyarakat juga ikut terkena dampaknya sehingga menyebabkan

resesi perekonomian mereka. Kemampuan pengusaha untuk menjamin kinerja usaha,

produktivitas dan keuangan, termasuk hak-hak standar pekerja, misalnya kebutuhan

operasional, upah, dan lain-lain. Dengan demikian, pemerintah Indonesia menetapkan

batasan kerja yaitu para pekerja harus bekerja dari rumah atau dikenal dengan Work

From Home (WFH), sehingga jumlah orang yang positif Covid-19 di Indonesia semakin

berkurang.

Konteks ini memunculkan kebutuhan mendesak untuk mengevaluasi kerangka

hukum yang ada dan, jika diperlukan, membuat perubahan atau penambahan untuk

memastikan perlindungan yang memadai bagi tenaga kerja. Munculnya pertanyaan-

pertanyaan hukum seperti bagaimana perlindungan hukum bagi tenaga kerja yang di

PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), pihak yang menanggung kerugian karena keadaan

Force Majeure, dan bagaimana dampak PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), semuanya

harus dijawab dengan cermat.

Melalui makalah ini, akan dilakukan eksplorasi mendalam tentang kerangka

hukum yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja di masa PHK akibat dampak

pandemi Covid-19. Kajian ini akan membahas perspektif huku, etika, dan kebijakan

untuk menyelediki cara-cara di mana kerangka hukum dapat diperkuat atau diperbarui

agar dapat lebih efektif dalam melindungi tenaga kerja di masa krisis global. Oleh sebab

itu, diharapkan makalah ini mampu menyumbang kontribusi positif dalam membentuk

solusi hukum yang adil dan berkelanjutan untuk tantangan perlindungan tenaga kerja di

era pasca pandemi.

4
B. Rumusan Masalah

Sebagaimana penjabaran latar belakang di atas, makalah yang berjudul

“Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja dari Tindakan Phk Perusahaan Dimasa

Pandemi Covid-19”. Penulis membuat rumusan masalah antara lain:

1. Bagaimana Perlindungan Hukum bagi tenaga kerja yang di Phk

(Pemutusan Hubungan Kerja) akibat dampak dari pandemi Covid-19?

2. Siapakah Pihak yang Menanggung Kerugian karena Keadaan Force

Majeure terhadap Pekerja pada Masa Pandemic Covid-19?

3. Bagaimana dampak PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) pada karyawan

yang terdampak pandemi Covid-19?

C. Tujuan Penulisan

Sehubung dengan rumusan masalah yang telah di tuliskan, artikel ini bertujuan

antara lain:

a. Untuk mengetahui dan memahami perlindungan hukum bagi tenaga kerja

perusahaan yang di Phk (Pemutusan Hubungan Kerja) di masa pandemi

Covid-19.

b. Untuk mengetahui dan memahami pihak yang menanggung kerugian

karena kedaan Force Majeure (Keadaaa memaksa) terhadap pekerja pada

masa pandemic Covid-19.

c. Untuk mengetahui dan memaami dampak PHK (Pemutusan Hubungan

Kerja) pada karyawan yang terdampak pandemi Covid-19.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Yang Di Phk (Pemutusan Hubungan

Kerja) Akibat Dampak Dari Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 telah menciptakan gelombang perubahan global, memengaruhi

setiap aspek kehidupan, termasuk dunia ketenagakerjaan. Pemutusan Hubungan Kerja

(PHK) menjadi salah satu konsekuensi serius dari ketidakpastian ekonomi yang dihadapi

oleh perusahaan di seluruh dunia. Dalam situasi ini, perlindungan hukum bagi tenaga

kerja menjadi semakin penting untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja dihormati dan

bahwa keputusan PHK diambil dengan trasnparansi dan keadilan.

Sebuah aspek kunci perlindungan hukum bagi tenaga kerja di masa PHK adalah

kerangka regulasi yang ada. Di banyak yurisdiksi, hukum ketenagakerjaan memberikan

pedoman mengenai kondisi dimana Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat dilakukan,

prosedur yang harus diikuti, dan hak-hak pekerja yang harus dihormati selama proses

tersebut. Dalam konteks pandemi, banyak negara telah merespons dengan mengeluarkan

regulasi tambahan atau menyesuaikan peraturan yang ada untuk mengakomodasi kondisi

khusus yang muncul akibat pandemi.

Tercantumkan pada Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata yang disimpulkan

bahwasanya peraturan-peraturan di atas belum cukup memberikan perlindungan hukum

yang kokoh dan layak bagi para tenaga kerja yang terdampak PHK pada masa pandemi

Covid-19, perihal ini dikarenakan pada pasal-pasal 1244 dan 1245KUH Perdata, tidak

6
ada bunyi yang mengatakan bahwasanya perusahaan bisa dimintai

pertanggungjawabannya.

Perusahaan tetap mempertanggungjawabkan kewajibannya berdasarkan perjanjian

agar dapat memenuhi kewajibannya terhadap karyawan yang terkena PHK, sehingga hak-

hak karyawan yang terdampak PHK dapat terselamatkan dan terlindungi begitu pula

dengan kewajiban perusahaan dapat terlaksanakan, sesuai pasal 61 UU Ketenagakerjaan

No. 1 Tahun 2003. Pada konteks ini, bilamana undang-undang mengharuskan perusahaan

untuk sepenuhnya memenuhi kewajibannya menghormati hak-hak pekerja yang

terdampak PHK dengan menjamin pembayaran upah kepada pekerja serta uang

pesangon, perihal ini selaras dengan ketentuan Pasal 1 Ayat 23 UU No. 13 Tahun 2003.

Kewajiban yang harus terpenuhi oleh seorang pengusaha terhadap para tenaga

kerja yang dipekerjakan perusahaan yang terdampak PHK untuk membayarkan gaji/upah

ditetapkan oleh Pasal 164 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 dan juga dipertegas pada Pasal

156 UU No. 13 Tahun 2003, memberi uang pesangonan yang diatur di dalam Pasal 156

Ayat (1) UU Cipta Kerja: "Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha

wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang

penggantian hak yang seharusnya diterima."

Upaya tindakan perlindungan hukum yang diberikan pemerintah kepada pekerja

ialah pembuatan, meregulasi dan menerbitkan berbagai bentuk aturan yang mengikat

antara dua pihak yakni perusahaan dan pekerja. Menjalankan proses hubungan industrial

dan memberikan pembinaan kepada karyawan dan perusahaan. Hukum dirancang guna

memberikan perlindungan bagi hak dan kewajiban setiap individual dalam suatu negara.

Adanya perlindungan hukum yang kuat sehingga akan mewujudkan tercapainya tujuan

7
hukum yaitu ketentraman, keamanan, kesejahteraan, ketertiban umum, kedamaian,

kebenaran dan tentu saja keadilan bagi keseluruhan warga negara (Silaban et. al., 2020).

Peraturan hukum disajikan dalam bentuk undang-undang, peraturan presiden atau

hukum yang tidak tertulis yang memuat aturan-aturan umum, tetapi tentu saja menjadi

pedoman kehidupan berbangsa atau perseorangan guna mengatur pola atau perilaku yang

benar dalam kehidupan bermasyarakat, baik terhadap sesama manusia atau makhluk

hidup lainnya. Aturan-aturan ini dibuat untuk membatasi kemampuan masyarakat dalam

mengambil tindakan terhadap individual lain. Munculnya suatu peraturan sebagai

undang-undang dan pelaksanaannya mengakibatkan kepastian hukum.

Adanya kepastian hukum mengandung dua pemahaman, pertama adanya aturan-

aturan yang sifatnya umum yang membantu seseorang untuk sadar akan perbuatan yang

diperbolehkan atau tidak diperbolehkan dilaksanakan. Kedua, berupa terciptanya

keamanan dan kenyamanan hukum bagi seseorang terhadap kesewenang-wenangan

pemerintahan daerah dan pusat karena adanya aturan umum yang memungkinkan

individu mengetahui apa yang dapat dipaksakan atau dilaksanakan oleh negara terhadap

individu atau masyarakat. Kepastian hukum tidak hanya terletak pada adanya ketentuan

dalam suatu peraturan atau undang-undang yang tertulis, akan tetapi pada adanya rasa

konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim dengan putusan hakim dan

putusan hakim lainnya.

B. Pihak Yang Menanggung Kerugian Karena Keadaan Force Majeure Terhadap

Pekerja Pada Masa Pandemic Covid-19

Peran ketenagakerjaan dalam dunia usaha akan berkontribusi kepada pembangunan yang

nyata dan mempunyai peran ganda, yakni memberi kepentingan bagi pemilik usaha dan menjadi

8
pemangku kepentingan dalam pembangunan suatu negara dalam siklus perekonomian nasional.

Dengan demikian, segala sebab yang mengarah pada pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah

suatu keadaan yang sangat mengkhawatirkan, terutamanya bagi para para pekerja. Dengan

begitu, menurut Pasal 61 Undang-Undang Ketenagakerjaan RI No. 13 Tahun 2020 disebutkan

bahwa perjanjian kerja akan berakhir bilamana:

1. Pekerja meninggal dunia;

2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

3. Adanya putusan pengadilan dan/atau penetapan atau putusan lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial yang sudah berkekuatan hukum tetap; atau

4. Adanya keadaan atau peristiwa tertentu yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dapat mengakibatkan berakhirnya hubungan

kerja.

Selain adanya situasi dan kondisi yang dapat mengakibatkanpemutusan

hubungan kerja, sehingga Pasal 53 UU Ketenagakerjaan juga mengatur bahwasanya

perusahaan dilarang melakukan PHK terhadap pekerjanya, antara lain menguraikan

ketentuan sebagai berikut:

1. Karyawan tersebut mengambil absen kerja atau berhalangan karena sakit, disertai

dengan bukti kesehatan berupa surat keterangan dokter dan hal tersebut tidak

terjadi dalam waktu 12 bulan berturut-turut (kontinyu).

2. Karyawan tidak dapat ikut bekerja di perusahaan karena memenuhi panggilan

(kewajiban) membela negara sesuai dengan amanah menurut undang-undang

yang diberlakukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

9
3. Karyawan tersebut menjalankan kewajiban agamanya sesuai dengan perintah

agama dan oleh karena itu berhalangan masuk kerja.

4. Karyawan sedang melangsungkan pernikahan.

5. Karyawan perempuan yang sedang hamil, menjalani persalinan, mengalami

keguguran atau sedang menyusui anaknya.

6. Karyawan mempunyai hubungan sedarah dan/atau perkawinan dengan rekan kerja

dalam satu perusahaan yang sama dan dikecualikan apabila hal tersebut

sebelumnya telah tercantum dalam ketentuan ikatan/perjanjian kerja bersama atau

peraturan perusahaan.

7. Karyawan menyelenggarakan dan menjadi pengurus atau partisipan pada

perserikatan pekerja (ikatan buruh) dengan kegiatan di luar jam kerja atau pada

jam kerja dengan izin dari pimpinan perusahaan (perjanjian) berkaitan dengan

hubungan kerja yang sudah disepakati atau peraturan perusahaan yang

diberlakukan.

8. Karyawan melaporkan terhadap pihak kepolisian bahwa pemilik perusahaan telah

melanggar hukum atau melakukan tindak pidana.

9. Disebabkan perbedaan pemahaman, faktornya antara lain SARA (suku, agama,

ras dan agama), kondisi lingkungan dan fisik serta status tertentu dalam

perkawinan.

10. Karyawan mengalami kecacatan berat (permanen), cacat permanen yang

disebabkan kecelakaan kerja atau menderita penyakit yang mempengaruhi kondisi

kerja dan berdasarkan hasil pemeriksaan dokter belum ada kepastian mengenai

batas waktu kesembuhannya.

10
Pada masa pandemi Covid-19, keadaan force majeure atau keadaan memaksa

sering kali terjadi di berbagai sektor, termasuk ketenagakerjaan. Force majeure ialah

suatu peristiwa yang terjadi di luar kontrol serta mampu mempengaruhi pelaksanaan

perjanjian atau kontrak. Pada konteks ketenagakerjaan, force majeure dapat merujuk pada

kondisi-kondisi yang tidak dapat diantisipasi, seperti pandemi, yang dapat mengakibatkan

pemutusan hubungan kerja atau perubahan signifikan dalam kondisi kerja. Pertanyaan

terkait pihak yang memikul beban kerugian akibat force majeure di masa pandemi Covid-

19 melibatkan berbagai faktor dan kewajiban.

1. Pihak Pekerja

Pekerja umumnya menjadi pihak yang paling terdampak secara langsung

oleh force majeure. Mereka dapat mengalami pemutusan hubungan kerja

(PHK), pengurangan jam kerja, atau perubahan kondisi kerja yang signifikan.

Pekerja biasanya merasakan dampak finansial, emosional, dan kadang-kadang

bahkan dampak terhadap kesejahteraan sosial mereka.

Force majeure di Indonesia ditetapkan dalam beberapa undang-undang,

terutama dalam Hukum Perjanjian (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

atau KUHPerdata) dan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bencana. Force

majeure adalah suatu keadaan atau peristiwa di luar kendali yang mampu

menghalangi atau menghambat pelaksanaan suatu perjanjian. Dalam konteks

kontrak, pihak yang terkena dampak force majeure dapat memiliki hak dan

kewajiban tertentu, tetapi hal ini juga sangat tergantung pada perjanjian antara

pihak-pihak yang terlibat. Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan

mengenai force majeure di Indonesia:

11
1. Hak Pihak yang Terdampak

Pihak yang terdampak force majeure biasanya

memiliki hak untuk menunda atau membebaskan diri dari

pelaksanaan kewajiban mereka dalam kontrak, selama

keadaan force majeure berlangsung. Ini berarti mereka

tidak akan dianggap melanggar kontrak karena tidak dapat

memenuhi kewajiban mereka selama keadaan force

majeure berlangsung.

2. Kewajiban Pemberitahuan

Pihak yang terkena dampak force majeure biasanya

memiliki kewajiban untuk memberitahukan pihak lain sesegera

mungkin tentang kejadian force majeure yang terjadi.

Pemberitahuan ini harus dilaksanakan dengan itikad baik dan

sesuai dengan ketetapan yang ada dalam kontrak.

3. Upaya Wajar

Pihak yang terkena dampak force majeure diharapkan

melakukan upaya yang wajar untuk mengatasi atau mengurangi

dampak force majeure tersebut jika memungkinkan. Ini dapat

mencakup tindakan-tindakan seperti mencari solusi alternatif atau

menginformasikan pihak lain tentang langkah-langkah yang akan

diambil.

4. Pengaturan Kontrak

12
Hal yang sangat penting adalah mengacu pada ketentuan

dalam kontrak yang mengatur force majeure. Setiap kontrak dapat

memiliki klausul yang berbeda, dan hukum kontrak di Indonesia

cenderung menghormati apa yang telah disepakati oleh pihak-

pihak dalam kontrak tersebut.

5. Penyelesaian Sengketa

Jika terjadi sengketa terkait force majeure, pihak-pihak

dapat mencari penyelesaian melalui mediasi, negosiasi, atau, jika

perlu, melalui proses hukum.

2. Pihak Pengusaha atau Perusahaan:

Pengusaha atau perusahaan adalah pihak yang harus menghadapi

tantangan operasional dan keuangan akibat force majeure, terutama dalam situasi

pandemi seperti Covid-19. Banyak perusahaan menghadapi tekanan finansial

yang signifikan, penurunan pendapatan, dan ketidakpastian bisnis yang memaksa

mereka untuk mengambil langkah-langkah ekonomi, termasuk PHK.

Pengusaha dapat menghadapi tanggung jawab moral dan sosial untuk

memitigasi dampak force majeure terhadap pekerja. Dalam beberapa kasus,

terutama di negara-negara dengan kebijakan progresif, pengusaha diharapkan

untuk mencari solusi alternatif sebelum memutuskan untuk melakukan PHK.

Upaya ini dapat mencakup restrukturisasi internal, program pelatihan

keterampilan, atau pengurangan jam kerja.

13
Mengenai peraturan yang berlaku bagi tenaga kerja yang diberhentikan

karena alasan force majeure, dilandaskan pada dua ketentuan hukum yang

berbeda. Ketentuan perundang-undangannya ialah pasal 1244 dan 1245

KUHPerdata serta pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Ketika KUHPerdata

tidak memberikan perlindungan hukum dalam bentuk apapun terhadap pekerja

terkait force majeure atau kejadian memaksa. Oleh karena itu, bentuk

perlindungan hukum bagi para karyawan korban PHK tercantumkan dalam UU

No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 164 ayat (1),

memberikan perlindungan hukum bagi pekerja dengan memberikan hak atas

kompensasi, uang pensiun, dan uang pesangon.

2. Pemerintah:

Pemerintah memiliki peran besar dalam merespons force majeure terutama

dalam situasi pandemi. Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dapat

berdampak langsung pada pekerja dan pengusaha. Pemerintah dapat

memberlakukan kebijakan fiskal atau stimulus ekonomi untuk mendukung

perusahaan dan masyarakat yang terdampak. Selain itu, pemerintah juga dapat

mengeluarkan regulasi khusus atau mendesain program-program perlindungan

sosial untuk pekerja yang terkena dampak PHK. Hal ini mencakup subsidi

gaji, tunjangan pengangguran, atau bantuan keuangan langsung kepada

pekerja yang terdampak.

Pemerintah dapat mengambil langkah-langkah tambahan untuk

melindungi pekerja yang terkena dampak PHK dengan mengeluarkan regulasi

khusus atau merancang program-program perlindungan sosial. Ini merupakan

14
tindakan yang penting untuk membantu menangani dampak sosial dan ekonomi

yang disebabkan oleh PHK. Berikut adalah beberapa program perlindungan sosial

yang biasanya dapat diterapkan:

1. Subsidi Gaji

Pemerintah dapat memberikan subsidi gaji kepada

perusahaan agar mereka tetap dapat membayar gaji

karyawan mereka, bahkan dalam situasi ketidakpastian

ekonomi. Ini dapat membantu mencegah PHK massal.

Program semacam ini dapat berlangsung untuk jangka

waktu tertentu dan disesuaikan dengan situasi ekonomi saat

ini.

2. Tunjangan Pengangguran

Program ini memberikan tunjangan keuangan

kepada pekerja yang di-PHK. Tunjangan pengangguran

biasanya diberikan selama jangka waktu tertentu, yang

dapat membantu pekerja bertahan sambil mencari

pekerjaan baru.

3. Bantuan Keuangan Langsung

Pemerintah dapat memberikan bantuan keuangan

langsung kepada pekerja yang terdampak PHK. Bantuan ini

dapat berupa transfer uang tunai atau program bantuan

sosial lainnya yang membantu pekerja dalam pemenuhan

15
kebutuhan dasar mereka, seperti perumahan, kesehatan, dan

makanan.

4. Program Pelatihan dan Rekualifikasi

Pemerintah dapat memberikan dukungan untuk

pelatihan keterampilan dan rekualifikasi pekerja yang

terkena dampak PHK. Hal ini dapat membantu mereka

menemukan pekerjaan baru dalam sektor-sektor yang lebih

stabil.

5. Perlindungan Hukum

Pemerintah juga dapat meningkatkan perlindungan

hukum bagi pekerja, termasuk mengatur aturan-aturan yang

lebih ketat terkait PHK agar perusahaan tidak melakukan

PHK semena-mena.

C. Dampak PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) Pada Karyawan Yang Terdampak

Pandemi Covid-19

Segala bentuk fenomena yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19

membuat banyak perusahaan tidak mampu bertahan hingga akhirnya harus

mengambil tindakan untuk menyelamatkan usahanya, termasuk merumahkan para

pegawainya. Dalam kondisi ini sebagai suatu keputusan yang mempunyai dampak

terutama terhadap pegawai yang terdampak PHK dan di sisi lain juga berkaitan

dengan adanya peraturan berupa undang-undang ketenagakerjaan yang wajib

16
terpenuhi. Segala pertimbangan yang digunakan dalam pengambilan keputusan

pemutusan hubungan kerja perlu dipertimbangkan secara hati-hati, dengan risiko

minimal dan terkendali. Demi kelangsungan operasional usaha atau demi

menyelamatkan perusahaan, pengusaha tidak serta merta membiarkan pekerja

menjadi korban ketidakadilan yang dilakukan pengusaha. Apapun yang terjadi,

para pengusaha harus terus memikirkan nasib karyawannya dikarenakan peran

tenaga kerja merupakan faktor penting bagi pertumbuhan usahanya.

Terjadinya PHK terhadap pekerja haruslah merujuk kepada UU

Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 agar menjadi solusi bersama yang

diterima baik oleh pengusaha, pekerja maupun pemerintah. Sebagaimana

Pasal 164 ayat (1) UU tersebut, diperjelas bahwasanya pengusaha (pemilik

usaha) dapat mengambil tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika

mengalami keadaan darurat memaksa (force majeure). Kemudian, jika

terjadinya pandemi Covid-19 telah ditetapkan melalui Keputusan Presiden

No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Virus

Corona-19 sebagai bencana nasional, sehingga keberadaan pandemi dapat

digolongkan sebagai kondisi force majeure. Oleh karena itu, dengan

pendekatan hukum yang cukup terhormat, maka dapat dikatakan bahwa

perusahaan diperbolehkan untuk memutuskan hubungan kerja karyawannya

dikarenakan mereka terdampak akan terganggunya kelangsungan usaha

akibat pandemi Covid-19.

Dasar terjadinya pandemi Covid-19 adalah force majeure, sehingga

beberapa perusahaan memutuskan untuk memberhentikan karyawannya dengan

17
mem-PHK, hal ini diperbolehkan oleh undang-undang, namun wajib untuk

memenuhi hak-hak karyawan dalam proses penerapannya. Hal ini merupakan

syarat yang tidak dipisahkan dan harus terpenuhi oleh pemberi kerja sehubungan

dengan risiko yang dihadapi pekerja akibat keputusan pemutusan kontrak kerja.

Dalam Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 mengatur

bahwasanya pengusaha dalam hal mem-PHK wajib memenuhi hak-hak pekerja

yang terkena dampak pemberhentian tersebut, termasuk antara lain pembayaran

uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Perlu

ditegaskan bahwa pemberian hak tersebut paling tidak harus memenuhi ketentuan

undang-undang ketenagakerjaan, dengan harapan tidak menimbulkan konflik

antara pekerja dan pengusaha.

Dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada karyawan yang terkena

dampak pandemi Covid-19 sangat kompleks dan sering kali melibatkan

konsekuensi ekonomi, sosial, dan psikologis. Pandemi ini telah memaksa banyak

perusahaan untuk menghadapi tantangan ekonomi yang signifikan, yang pada

gilirannya mendorong keputusan untuk melakukan PHK sebagai salah satu

langkah penghematan biaya.

Pandemi Covid-19 bukan hanya sebuah krisis kesehatan global, tetapi juga

telah membawa dampak ekonomi yang signifikan di seluruh negara. Salah satu

konsekuensi langsung dari pandemi ini ialah meningkatnya Pemutusan Hubungan

Kerja (PHK) atau pengurangan tenaga kerja oleh banyak perusahaan. PHK

menjadi langkah yang sulit namun seringkali tidak terhindarkan untuk menjaga

18
kelangsungan bisnis di tengah ketidakpastian ekonomi yang tinggi. Berikut adalah

beberapa dampak utama PHK pada karyawan:

1. Ketidakpastian Keuangan:

Salah satu dampak langsung dari PHK adalah ketidakpastian keuangan

yang dihadapi oleh karyawan yang terkena dampak. Kehilangan pekerjaan berarti

kehilangan sumber pendapatan yang kritis. Karyawan yang terdampak mungkin

harus menghadapi kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka,

seperti membeli makanan, membayar tagihan, atau membayar sewa rumah. Ini

dapat menciptakan tingkat ketidakpastian dan stres finansial yang tinggi.

2. Stres dan Kecemasan Psikologis:

PHK bukan hanya sebuah kejadian ekonomi, tetapi juga memiliki dampak

psikologis yang signifikan. Pekerja yang di-PHK sering mengalami tingkat stres

dan kecemasan yang tinggi. Mereka dihadapkan pada ketidakpastian tentang masa

depan mereka, termasuk bagaimana mereka akan mencari pekerjaan baru di

tengah ketidakpastian ekonomi yang sedang berlangsung. Hal ini dapat

berdampak negatif pada kesejahteraan mental karyawan, menciptakan masalah

seperti depresi, kecemasan, dan bahkan bisa menyebabkan permasalahan

kesehatan mental yang cukup serius.

3. Perubahan Gaya Hidup:

PHK sering kali memaksa karyawan untuk mengubah gaya hidup mereka

secara signifikan. Mereka mungkin perlu memangkas pengeluaran, menunda

rencana pribadi, atau bahkan mengubah rencana pendidikan atau pembelian

19
rumah. Ini bukan hanya perubahan finansial, tetapi juga perubahan dalam pola

pikir dan prioritas, yang dapat menimbulkan tekanan tambahan.

4. Kesehatan Mental:

Dampak PHK pada kesehatan mental tidak boleh diabaikan. Karyawan

yang kehilangan pekerjaan mereka dapat mengalami penurunan harga diri dan

rasa identitas yang kuat dengan pekerjaan mereka. Merasa tidak diinginkan atau

tidak bernilai dapat menciptakan beban psikologis yang berat.

5. Ketidakpastian Karir dan Persaingan di Pasar Kerja:

Mencari pekerjaan baru setelah PHK dapat menjadi tantangan yang besar,

terutama di tengah tingginya tingkat pengangguran dan persaingan yang ketat.

Karyawan harus bersaing dengan sesama pencari kerja untuk pekerjaan terbatas,

dan ini memerlukan penyesuaian keterampilan, peningkatan jaringan, dan

adaptabilitas yang tinggi.

6. Dampak pada Kesehatan Fisik:

Tingkat stres dan kecemasan yang tinggi yang diakibatkan oleh PHK juga

dapat berdampak pada kesehatan fisik karyawan. Perihal ini mampu

meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, penyakit jantung, insomnia, dan

masalah kesehatan fisik lainnya. Dengan demikian, PHK tidak hanya berdampak

pada aspek ekonomi dan psikologis, tetapi juga dapat mempengaruhi kesehatan

fisik secara keseluruhan.

D. Studi Kasus

20
Covid-19 berdampak signifikan terhadap aplikasi transportasi online seperti Grab dan

Gojek, karena layanan seperti Grab Car dan Go Car menghadapi tantangan. Pemerintah telah

meningkatkan transportasi online, mengharuskan perusahaan untuk beroperasi dengan layanan

pesan-antar makanan. PT. Gojek Indonesia telah mengurangi waktu tunggu namun masih

menghadapi tantangan dalam menyediakan makanan dan layanan selama pandemi. Perusahaan

belum memberikan bonus selama pandemi karena tidak memiliki aturan yang jelas. Kesenjangan

antara Gojek dan pemerintah adalah 80% untuk pemerintah dan 20% untuk Gojek.

Yusril (48 tahun) mengatakan bahwasanya saat pandemi Covid-29 pertama kali melanda

Kota Makassar, para tukang ojek online sangat khawatir dikarenakan pendapatannya menurun

cukup signifikan, apalagi saat diberlakukan PSBB pada April tahun 2021. Mereka dilarang

melakukan penjemputan penumpang dikarenakan adanya peraturan dari Pemkot Makassar,

khususnya Grab dan Gojek yang mewajibkan untuk menonaktifkan sementara fitur angkutan

orang atau penumpang dalam PSBB, seperti yang tercantum dalam Peraturan Kementerian

Kesehatan No. 9 Tahun 2020 dengan jelas menyatakan bahwasanya Grab dan Gojek tidak boleh

melakukan penjemputan penumpang untuk menjamin keselamatan pengemudi dan penumpang

supaya terhindarkan dari penularan Covid-19.

Hal serupa diungkapkan oleh Mail (38) bahwasanya pada awal pandemi, pendapatannya

anjlok hingga 60%. Dia hanya menerima satu hingga tiga pesanan antara pukul 07.00 hingga

20.00 dengan penghasilan Rp20.000,- hingga Rp70.000,- setiap harinya. Sementara, sebelum

pandemi, dia bisa mendapatkan hingga 30 pesanan dengan penghasilan Rp300.000,- hingga

Rp400.000,-.

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa

buruh ialah masing-masing individu yang mampu melaksanakan pekerjaannya untuk

menghasilkan barang dan layanan untuk keperluan sendiri dan keperluan masyarakat.

Pekerja ini seringkali diminta untuk bekerja lebih baik, baik di perusahaannya sendiri dan

perusahaan yang berada di bawah tekanan orang lain. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

adalah bentuk perlindungan hukum guna menghapuskan sistem perbudakan dan menjaga

tenaga kerja supaya lebih dimanusiakan secara manusia. PHK mempunyai dampak yang

sangat menguntungkan terhadap upaya negara untuk meningkatkan perekonomian.

Pemutusan kontrak kerja ialah pemutusan hubungan kerja dikarenakan sebab-sebab

terkhusus sehingga menyebabkan berakhirnya hak dan kewajibannya antara pekerja dan

kontraktor. Pemecatan adalah salah hal yang harus dihindari, baik dari pihak pemberi

kerja maupun karyawan.

22
Terjadinya pemutusan hubungan kerja dikarenakan sejumlah alasan seperti

restrukturisasi perusahaan, kinerja buruk, atau alasan lain yang diatur dalam kontrak

kerja. PHK massal adalah faktor penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu tenaga kerja

menjadi korban dari kebijakan penghematan biaya yang diambil oleh perusahaan.

Dalam penelitian ini, berkesimpulan bahwasanya berlandaskan tinjauan yuridis,

keputusan pemberhentian pegawai dan tenaga kerja dibolehkan sebab adanya pandemi

Covid-19 yang dapat diyakini sebagai kondisi force majeure (keadaan memaksa) sesuai

dengan Keputusan Presiden. Sebagaimana diketahui, dalam peraturan perundang-

undangan tentang pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan, masih terdapat kewajiban

perusahaan yang belum dipenuhi, khususnya masalah pembayaran gaji kepada pekerja.

Perlindungan hukum terhadap pegawai apabila terjadi PHK pada masa pandemi

Covid-19 sudah ditetapkan pleh KUH Perdata, Pasal 1244 yang sedikit banyak mengatur

apabila orang yang berhutang tidak membayar dalam jangka waktu yang disebabkan oleh

sebab yang tidak terduga dan tanpa wewenangnya dalam perjanjian karena sebab-sebab

yang serius dan tidak diketahui. Pada konteks ini, bisa diketahui bahwasanya

perlindungan hukum terhadap pekerja tidak mempunyai kekuatan hukum yang mutlak

dan perlu dilakukan revisi. PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dapat memengaruhi

berbagai pihak, termasuk:

1. Karyawan yang Di-PHK

23
Karyawan yang di-PHK adalah pihak yang paling

langsung terdampak. Mereka kehilangan pekerjaan dan sumber

pendapatan, yang dapat mengakibatkan ketidakpastian keuangan

dan sosial. Karyawan juga dapat mengalami dampak emosional

dan psikologis karena kehilangan pekerjaan.

2. Keluarga Karyawan

Keluarga karyawan, seperti pasangan dan anak-anak, juga

dapat terdampak oleh PHK. Mereka mungkin harus beradaptasi

dengan perubahan dalam situasi keuangan keluarga dan mungkin

menghadapi tekanan tambahan.

3. Perusahaan

Perusahaan yang melakukan PHK dapat mengalami biaya

tambahan, seperti uang pesangon dan TPHK, serta kemungkinan biaya

reputasi jika PHK dilaksanakan secara tidak adil atau tidak selaras

dengan hukum. Selain itu, PHK dapat mempengaruhi produktivitas

perusahaan jika karyawan yang memiliki keterampilan khusus

meninggalkan perusahaan.

4. Pemerintah

Pemerintah juga dapat terlibat, terutama jika ada program

perlindungan sosial atau bantuan keuangan yang diberikan kepada pekerja

yang terkena dampak PHK. Pemerintah juga dapat menghadapi masalah

sosial dan ekonomi yang lebih besar jika PHK massal terjadi dalam

sektor-sektor tertentu.

24
5. Masyarakat dan Ekonomi Lokal

PHK dapat memengaruhi masyarakat dan ekonomi lokal di

wilayah tempat perusahaan beroperasi. Penurunan pengeluaran oleh

karyawan yang di-PHK dapat mempengaruhi bisnis lokal, seperti toko-

toko dan restoran.

DAFTAR PUSTAKA

Ari Hermawan, “Keberadaan Uang Pesangon dalam Pemutusan Hubungan Kerja demi Hukum di
Perusahaan yang Sudah MMenyelenggarakan Program Jaminan Pensiun”, KerthaPatrika,
Vol. 38, 2016.

Denisa Dominggus dan Johnson Dongoran, “Tingkat PHK Dan Faktor-Faktor Penyebab PHK
Pada Industri Otomotif Selama Masa Pandemi Covid-19”, Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Sains dan Humaniora, Vol. 3, No.2, 2021.

Elvira, Elvira, et al. “Tinjauan Yuridis Peraturan Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap Pekerja
Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.” PROSIDING
SENANTIAS: Seminar Nasional Hasil Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat,
openjournal.unpam.ac.id/index.php/Senan/article/view/33850/15991. Accessed 2 Oct.
2023.

Gunawan, G., & Sugiyanto, S. (2017). Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Pasca Pemutusan
Hubungan Kerja. Sosio Konsepsia, 16

Muslim, M. (2021). PHK PADA MASA PANDEMI COVID-19. ESENSI: Jurnal Manajemen
Bisnis, 23(3), 404-417. https://doi.org/10.55886/esensi.v23i3.218

25
Randi, Y. (2020). Pandemi Corona Sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerja Pekerja Oleh
Perusahaan Dikaitkan Dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Yurispruden, Vol 3,
(No. 2, Juni),. 119- 136.

RHAMADAN, RAHMAT. “Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Yang Di-Phk


(Pemutusan ... - Uir.” Https://Repository.Uir.Ac.Id/17361/1/181010724.Pdf,
repository.uir.ac.id/17361/1/181010724.pdf. Accessed 2 Oct. 2023.

Rifaih, Putri. “Dampak Phk Bagi Perusahaan Dan Karyawan.” Edufund, 14 Sept. 2023,
edufund.co.id/blog/dampak-phk-bagi-karyawan/.

Robed, Gede Odhy Suryawiguna, and I Made Dedy Priyanto. “Covid-19 Sebagai Keadaan
Memaksa (Force Majeure) Dalam Pemutusan Hubungan Kerja.” Kertha Wicara :
Journal Ilmu Hukum, ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/66353.

Rosidah, S. (2017). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Seleksi Pegawai Dan


Pemutusan Hubungan Kerja Cv. Ngesti Prima Makmur. Jurnal Online ahasiswa (JOM)
Bidang Manajemen, 1

Saputra, Ardiyan Firman, and Roziana Ainul Hidayati. “Analisis Dampak Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) Pada Karyawan Yang Masih Bekerja Di PT. Nelayan Tenggara
Pada Masa Pandemi Covid-19.” Portable Document Format (PDF),
conference.umg.ac.id/index.php/SNEKBIS/2022/paper/view/2/1. Accessed 2 Oct. 2023.

Silaban, Eggy Septyadi, et al. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Akibat Pemutusan
Hubungan ... - Warmadewa,
www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/juprehum/article/download/3998/2826/.
Accessed 4 Oct. 2023.

Wibowo, Rudi Febrianto, and Ratna Herawati. "Perlindungan bagi pekerja atas tindakan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak." Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia 3.1 (2021): 109-120.

Yusuf Randi. (2020). Pandemi Corona Sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerja Pekerja Oleh
Perusahaan Dikaitkan Dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Yurispruden.

26

Anda mungkin juga menyukai