Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH DASAR TEKNIK PEMBUATAN AKTA & KEMAHIRAN KONTRAK

“Batalnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu


Akibat Pandemi Covid-19 ”

Dosen Pembimbing:
Dr. NIRU ANITA SINAGA, S.H.,M.H.

Disusun oleh Kelompok 5:


1. Dwi Andriyani (191083003) 2. Dyah Nur Aini (181081021) 3. Vieri
Bastian (181081024) 4. Ilmal Wahyudi (191084003) 5. Lukman Ismail
(191084004) 6. Darrle Leonda A.W.M (201084009)

Kelas F
Mata Kuliah Hukum Dsr Tek. Pembuatan Akta & Kemahiran Kontrak
Fakultas Hukum
Universitas Suryadarma
2021
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kehadirat Allah Swt. Yang masih memberikan karunia
beserta rahmat dan nikmat-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan penulisan
makalah mengenai " Kebijakan Mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu di Masa
Pandemi Covid-19" ini dengan sebaik-baiknya.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Dasar Teknik Pembuatan Akta & Kemahiran Kontrak serta yang lebih
pentingnya yakni untuk menambah ilmu pengetahuan kepada kita sebagai mahasiswa
tentang penyelesaian perjanjian kerja waktu tertentu di sebuah perusahaan. Ucapan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam proses
penyelesaian makalah ini.

Didalam makalah ini tentunya tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, baik
dari segi isi, bahasa, analisa maupun yang lainnya. Untuk itu, kritik dan saran sangat
dibutuhkan oleh kami untuk memperbaiki hasil karya kedepannya. Demikian yang
dapat disampaikan atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, 05 Oktober 2021

(Kelompok 5)

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................... 1


BAB I ......................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN........................................................................................................ 3
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 3
1.2. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 5
1.3. Pokok Masalah ............................................................................................ 5
BAB II ........................................................................................................................ 6
PEMBAHASAN ......................................................................................................... 6
1.1. Pengaturan mengenai Force Majure ..........Error! Bookmark not defined.
1.2. Tanggung jawab perusahaan .......................................................................

BAB III ..................................................................................................................... 12


PENUTUP ................................................................................................................ 12
3.1. Kesimpulan ................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 12

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau
jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Perjanjian kerja
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
yang menyebutkan perjanjian kerja merupakan suatu perjanjian di mana pihak pekerja/buruh
mengikat diri untuk bekerja pada pihak pengusaha. Dengan menerima upah.

Pada pasal 1 angka (15) Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
hubungan kerja merupakan hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Menurut Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara
pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk
pekerja tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja yang jangka
berlakunya telah ditentukan atau disebut sebagai karyawan kontrak. Bila jangka waktu sudah
habis maka dengan sendirinya terjadi PHK dan para karyawan tidak berhak mendapat
kompensasi PHK seperti uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak
dan uang pisah.

Namun pada awal tahun 2020 dunia dikejutkan dengan adanya peristiwa Pandemi
Covid-19 yang memiliki dampak dalam perkembangan arus globalisasi dunia dan kerjasama
disegala bidang sangat memburuk. Dimana perusahaan banyak mengalami penutupan
dikarenakan peraturan pemerintah dalam menangani covid-19, serta membuat pekerja banyak
mengalami pembatalan perjanjian kerja yang dilakukan sepihak oleh perusahaan. Dan yang
menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pekerja/buruh dengan status
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).hak pekerja/buruh dengan status perjanjian kerja
waktu tertentu (PKWT) apabila pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan tidak
memenuhi syarat sebagai keadaan mendesak (force majeur)pandemi Covid-19 dapat dijadikan
alasan keadaan mendesak (force majeur) untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)
sepihak tanpa melalui lembaga penyelesaian perselisihan industrial dengan persyaratan

3
didalam Perjanjian Kerja telah disebutkan dengan jelas bahwa pandemi Covid-19 sebagai salah
satu alasan force majeur.

4
1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah agar pembaca bisa mengetahui dan memahami
suatu pembelajaran atau pengetahuan yang telah di dapatkan dalam Kebijakan Kontrak
Kerja waktu tertentu dimasa pandemic Covid-19.

1.3. Pokok Masalah

1. Bagaimana Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Batalnya Perjanjian Kerja Waktu


Tertentu Akibat Dari Pandemi Covid-19 ?
2. Bagaimana Pertanggungjawaban Hukum Bagi Perusahaan Atas Batalnya Perjanjian?

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Batalnya Perjanjian Kerja Waktu


Tertentu Akibat Dari Pandemi Covid-19
Bab IX Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan
bahwa hubungan kerja adalah hubungan yang dihasilkan akibat adanya perjanjian kerja
yang disepakati oleh pemberi kerja dan pekerja. Perjanjian kerja dilakukan dengan adanya
kata sepakat dari pengusaha dan tenaga kerja, kecakapan dalam membuat perjanjian kerja
baik pada pekerja dengan dianggap dewasa dan bagi perusahaan dalam bentuk surat kuasa
melakukan perjanjian kerja, adanya objek perjanjian yang dalam hal ini adalah pekerjaan
bagi pekerja, dan tidak bertentang dengan peraturan hukum yang berlaku. Perjanjian kerja
waktu tertentu menurut dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan yang terdapat dalam Pasal 56 ayat (1) : Perjanjian kerja dibuat untuk
waktu tertentu atau untuk waktu tertentu.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :


Kep.100/Men/Vi/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia, Perjanjian kerja waktu tidak
tertentu terdapat dalam Pasal 1 angka (2) : Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang
selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha
untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.

Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengidentifikasikan perjanjian kerja waktu


tertentu (PKWT) dibuat dengan memenuhi beberapa syarat,yaitu:

a. pekerjaan yang diperjanjikan sifatnya hanya sekali atau sementara (tidak


selamanya);
b. pekerjaan yang diperjanjikan diperkiran hanya dalam wakktu yang singkat dan
paling lama 3 (tiga) tahun lamanya;
c. pekerjaan yang diperjanjikan adalah pekerjaan musiman sehingga pada saat musim
telah berganti maka pekerjaan tersebut tidak membutuhkan tambahan tenaga kerja;
atau pekerjaan yang diperjanjikan merupakan kegiatan memperkenalkan produk
terbaru dari perusahaan sehingga membutuhkan penambahan tenaga kerja dalam
produksinya hingga perkenalan produk tersebut.

6
Pada awal tahun 2020, dunia digemparkan dengan penemuan virus baru yang disebut
virus corona yang selanjutnya disebut dengan Covid-19. Bahwa virus ini dapat menular
antar manusia dan telah menyebar luar dari China hingga ke lebih 190 negara lainnya.
World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia mengumumkan virus
corona yang selanjutnya disebut novel corona virus (2019-nCOV atau COVID-19) sebagai
Pandemi. Dikarenakan penyebaran Covid-19 telah menjangkit hampir seluruh dunia,
sehingga membuat penambahan jumlah penderita bahkan dapat mengakibatkan meninggal
dunia, penurunan nilai material yang semakin memburuk, sehingga berdampak pada
berbagai aspek seperti aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini
selanjutnya dijelaskan didalam bagian pertimbangan huruf (a) Peraturan Pemerintah No. 1
Tahun 2020. Penyebaran virus ini telah memberikan pengaruh luas tidak hanya pengaruh
terhadap sektor sosial tetapi juga pengaruh pada sektor ekonomi. Salah satu sektor ekonomi
yang paling terdampak yaitu penurunan pendapatan perusahaan atau industrial yang
tersebar diberbagai daerah di Indonesia.

Efisiensi sumber daya manusia dan efisiensi cuti dan lembur merupakan 2 (dua)
kebijakan yang mempengaruhi hak dari pekerja khsususnya pekerja berstatus perjanjian
kerja waktu tertentu (PKWT) Efisiensi sumber daya manusia berkaitan dengan pemutusan
hubungan kerja (PHK) yang dapat dilakukan oleh pengusaha untuk menyelamatkan
kelangsungan perusahaan selama masa pandemi Covid-19.Virus Covid19 yang dinyatakan
sebagai pandemi tersebut selanjutnya dianggap sebagai bencana nasional non-alam
berdasarkan Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non alam
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.
Kesempatan ini digunakan oleh perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) dengan alasan Force Majeure. Force majeure adalah suatu kondisi dimana terjadi
wanprestasi diakibatkan adanya kondisi yang menghalangi atau mengharuskan terjadinya
wanprestasi seperti bencana alam, yang membuat debitur terbebas dari kesalahannya
(wanprestasi) tetapi wanprestasi yang terjadi bukan karna kelalaian debitur. Kondisi yang
dimaksudkan terjadi tidak dapat diprediksikan pada saat melakukan perjanjian (Abdulkadir
Muhammad 2010).

Pemutusan hubungan kerja (PHK) sendiri sebenarnya telah menjadi polemik bagi
pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Karyawan PKWT (kontrak) yang
dipekerjaan berdasarkan adanya jangka waktu juga membuat karyawan PKWT tidak
mendapatkan pesangon.

7
Dan penggunaan alasan force majeure dalam melakukan pemutusan hubungan kerja
bagi pekerja/buruh berstatus perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dapat membuat
perusahaan (pemberi kerja) tidak melakukan kewajibannya atau tanggung jawabnya yaitu
membayarkan sisa kontrak yang seharusnya seperti yang dijelaskan dalam Pasal 62
Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi:

“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka
waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya
hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja.”

Alasan pemutusan hubungan kerja dimasa-masa pandemi tentunya beragam, namun


tidak dapat dipungkiri juga banyak pengusaha yang menfsirkan wabah Covid-19 yang
telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bencana alam menjadi alasan force majeure untuk
melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja untuk mengurangi kerugian akibat
adanya pandemi covid-19. Jenis keadaan memaksa bedasarkan penyebabnya adalah karena
keadaan darurat, yaitu keadaan memaksa yang ditimbulkan oleh situasi atau kondisi yang
tidak wajar, keadaan khusus yang bersifat segera dan berlangsung dengan singkat, tanpa
dapat diprediksi sebelumnya, misalnya peperangan, blockade, pemogokan, epidemi,
terorisme, ledakan, kerusuhan massa, termasuk di dalamnya adanya kerusakan suatu alat
yang menyebabkan tidak terpenuhinya suatu perikatan.

Force Majeure secara sah dapat dijadikan alasan oleh para pelaku usaha untuk melakukan
PHK kepada pekerjanya. Hal ini sebagaimana disebut dalam Pasal 164 Ayat (1)
UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu :

“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena


perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus
selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2)
uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

8
Keadaan memaksa (force majeure) dapat dijadikan alasan untuk melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK) khususnya bagi pekerja/buruh berstatus perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT). kedudukan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan melindungi hak-hak pekerja/buruh berstatus perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) dalam hal pemutusan hubungan kerja dikarenakan pandemi Covid-19.
Walaupun telah diatur didalam Burgelijk Wetboek (BW) tetapi diperlukan pembuktian
force majeur didalam pengadilan untuk memutuskan perkara yang terjadi. Sebagai salah
satu sumber hukum, yurisprudensi yang telah dikeluarkan Mahkamah Agung memaparkan
bahwa ada 4 unsur yang harus dibuktikan didalam keadaan force majeur, seperti :

1. Keadaan yang terduga tersebut membuat pihak terhalang melaksanakan


prestasinya;
2. Pihak yang terhalang melaksanakan prestasi tidak dapat disalahkan
3. Pemenuhan prestasi yang terhalang bukan karna kelalaian atau di sengaja;
4. Bahkan pihak yang melakukan wanprestasi memiliki itikad baik untuk
melaksanakan prestasinya sesuai isi perjanjian.

Pada hakikatnya, pemutusan hubungan kerja haruslah dihindari oleh setiap pihak yang
berselisih dalam hubungan industrial. Artinya pemutusan hubungan kerja haruslah
merupakan upaya terakhir dalam penyelesaian perselisihan industrial. Undang-undang
ketenagakerjaan secara umum menjelaskan prosedur yang harus ditempuh dalam
melakukan pemutusan hubungan kerja antara lain Pengaturan force majeur lazimnya
didasarkan pada pasal 1244 dan pasal 1245 KUHPerdata. Force majeur dianggap sebagai
upaya perlindungan akibat wanprestasi yang terjadi dengan syarat telah memenuhi syarat
objektif dan syarat subjektif suatu keadaan dalam dikatakan force majeur. Keberadaan
force majeur didalam perjanjian tidak dapat dipisahkan dari perjanjian pokok, yaitu
perjanjian tambahan (accesoir). Force majeur memungkinkan penghilangan beban kerugian
yang ditimbulkan dari keadaan seperti kebakaran, banjir, gempa bumi, dan bencana alam
lainya. oleh pihak penggugat dan pihak tergugat. Dalam persidangan, hakim berkewajiban
mendamaikan para pihak.

9
2.2 Pertanggungjawaban Hukum Bagi Perusahaan Atas Batalnya Perjanjian

Pengertian perusahaan dalam Pasal 1 UU No.3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan, yang menyatakan sebagai berikut.

“Perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang menjalankan setiap jenis usaha
yang bersifat tetap dan terus-menerus didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah
negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan/laba”.

Dalam pertanggungjawaban hukum bagi perusahaan atas batalnya perjanjian kerja


waktu tidak tertentu akibat dari pandemi covid-19 termasuk dalam peristiwa force majeure
atau keadaan memaksa yang dialami oleh pemberi kerja untuk mempertahankan
perusahaan. Istilah “keadaan memaksa”, yang berasal dari istilah overmacht atau force
majeure, dalam kaitannya dengan suatu perikatan atau kontrak tidak ditemui rumusannya
secara khusus dalam Undang-Undang, tetapi disimpulkan dari beberapa pasal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dari pasal-pasal KUHPerdata,
sebagaimana akan ditunjukkan di bawah ini, disimpulkan bahwa overmacht adalah keadaan
yang melepaskan seseorang atau suatu pihak yang mempunyai kewajiban untuk
dipenuhinya berdasarkan suatu perikatan (si berutang atau debitur), yang tidak atau tidak
dapat memenuhi kewajibannya, dari tanggung jawab untuk member ganti rugi, biaya dan
bunga, dan/atau dari tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya tersebut.

Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai keadaan memaksa membawa


konsekuensi bagi para pihak dalam suatu perikatan, di mana pihak yang tidak dapat
memenuhi prestasi tidak dinyatakan wanprestasi. Dengan demikian, dalam hal terjadinya
keadaan memaksa, debitur tidak wajib membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal
balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap
gugur/terhapus. Adanya keadaan atau kejadian tertentu dicantumkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.

Pada saat ini yang sedang terjadi wabah penyakit virus covid-19 termasuk dalam
hal terpenuhinya unsur pemutusan hubungan kerja yang terdapat pada Pasal 61 ayat (1)
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang sering disebut force majeure dalam batalnya
perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Adapun yang merupakan syarat dan akibat yang harus
dipenuhi agar suatu kejadian oleh hukum dapat dianggap sebagai force majeure, sehingga

10
membebaskan debitur untuk melaksanakan kewajiban yang telah sebelumnya
diperjanjikan, adalah sebagai berikut:

1. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah tidak terduga
pada waktu dibuatnya perjanjian yang bersangkutan.

2. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang harus


melaksanakan prestasi (debitur).
3. Peristiwa tersebut di luar kesalahan pihak debitur.
4. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut bukan karena kesalahan
debitur (vide Pasal 1245 KUHPerdata juncto Pasal 1545 KUHPerdata)
5. Debitor tidak dalam keadan beriktikad buruk.
6. Jika terjadi force majeure, perjanjian menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak
dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah ada perjanjian.
7. Tidak ada tuntutan ganti rugi jika terjadi force majeure.
8. Risiko dari force majeure ditanggung oleh kreditor sejak saat seharusnya barang objek
jual beli diserahkan, vide Pasal 1545 KUHPerdata.

11
BAB III

PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pandemi Covid-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana, penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dapat
dikualifikasikan sebagai Bencana Non Alam. Pandemi Covid-19 Ditinjau dari Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
terdapat pada Pasal 56 ayat (1) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan yaitu : Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu
tertentu, lazimnya disebut dengan perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap.

Batalnya perjanjian kerja waktu tertentu akibat dari pandemi covid-19, yaitu pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan pengusaha pada masa pandemi Covid 19. Pandemi Covid 19
dijadikan alasan Force Majeure bagi pengusaha dalam melakukan pemutusan hubungan kerja.
Force Majeure secara sah dapat dijadikan alasan oleh para pelaku usaha untuk melakukan PHK
kepada pekerjanya. Hal ini sebagaimana disebut dalam Pasal 164 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu “Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan
perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan
memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar
1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

3.2 Saran

Diharapkan kepada pengusaha yang melakukan PKWT agar tetap memberikan hakhak
pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika terpaksa harus
melakukan pemutusan hubungan kerja. Diharapkan kepada lembaga legislatif agar dapat
merevisi UU Ketenagakerjaan khusus mengenai PKWT, dengan membuat aturan-aturan
mengenai PKWT yang lebih mendetail dan memberi perlindungan hukum kepada pekerja
dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWT).

12

Anda mungkin juga menyukai