Kelompok 5 Dasar Teknik Pembuatan Akta & Kemahiran Kontrak
Kelompok 5 Dasar Teknik Pembuatan Akta & Kemahiran Kontrak
Dosen Pembimbing:
Dr. NIRU ANITA SINAGA, S.H.,M.H.
Kelas F
Mata Kuliah Hukum Dsr Tek. Pembuatan Akta & Kemahiran Kontrak
Fakultas Hukum
Universitas Suryadarma
2021
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kehadirat Allah Swt. Yang masih memberikan karunia
beserta rahmat dan nikmat-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan penulisan
makalah mengenai " Kebijakan Mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu di Masa
Pandemi Covid-19" ini dengan sebaik-baiknya.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Dasar Teknik Pembuatan Akta & Kemahiran Kontrak serta yang lebih
pentingnya yakni untuk menambah ilmu pengetahuan kepada kita sebagai mahasiswa
tentang penyelesaian perjanjian kerja waktu tertentu di sebuah perusahaan. Ucapan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam proses
penyelesaian makalah ini.
Didalam makalah ini tentunya tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, baik
dari segi isi, bahasa, analisa maupun yang lainnya. Untuk itu, kritik dan saran sangat
dibutuhkan oleh kami untuk memperbaiki hasil karya kedepannya. Demikian yang
dapat disampaikan atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
(Kelompok 5)
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau
jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Perjanjian kerja
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
yang menyebutkan perjanjian kerja merupakan suatu perjanjian di mana pihak pekerja/buruh
mengikat diri untuk bekerja pada pihak pengusaha. Dengan menerima upah.
Pada pasal 1 angka (15) Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
hubungan kerja merupakan hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Menurut Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara
pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk
pekerja tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja yang jangka
berlakunya telah ditentukan atau disebut sebagai karyawan kontrak. Bila jangka waktu sudah
habis maka dengan sendirinya terjadi PHK dan para karyawan tidak berhak mendapat
kompensasi PHK seperti uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak
dan uang pisah.
Namun pada awal tahun 2020 dunia dikejutkan dengan adanya peristiwa Pandemi
Covid-19 yang memiliki dampak dalam perkembangan arus globalisasi dunia dan kerjasama
disegala bidang sangat memburuk. Dimana perusahaan banyak mengalami penutupan
dikarenakan peraturan pemerintah dalam menangani covid-19, serta membuat pekerja banyak
mengalami pembatalan perjanjian kerja yang dilakukan sepihak oleh perusahaan. Dan yang
menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pekerja/buruh dengan status
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).hak pekerja/buruh dengan status perjanjian kerja
waktu tertentu (PKWT) apabila pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan tidak
memenuhi syarat sebagai keadaan mendesak (force majeur)pandemi Covid-19 dapat dijadikan
alasan keadaan mendesak (force majeur) untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)
sepihak tanpa melalui lembaga penyelesaian perselisihan industrial dengan persyaratan
3
didalam Perjanjian Kerja telah disebutkan dengan jelas bahwa pandemi Covid-19 sebagai salah
satu alasan force majeur.
4
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar pembaca bisa mengetahui dan memahami
suatu pembelajaran atau pengetahuan yang telah di dapatkan dalam Kebijakan Kontrak
Kerja waktu tertentu dimasa pandemic Covid-19.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Pada awal tahun 2020, dunia digemparkan dengan penemuan virus baru yang disebut
virus corona yang selanjutnya disebut dengan Covid-19. Bahwa virus ini dapat menular
antar manusia dan telah menyebar luar dari China hingga ke lebih 190 negara lainnya.
World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia mengumumkan virus
corona yang selanjutnya disebut novel corona virus (2019-nCOV atau COVID-19) sebagai
Pandemi. Dikarenakan penyebaran Covid-19 telah menjangkit hampir seluruh dunia,
sehingga membuat penambahan jumlah penderita bahkan dapat mengakibatkan meninggal
dunia, penurunan nilai material yang semakin memburuk, sehingga berdampak pada
berbagai aspek seperti aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini
selanjutnya dijelaskan didalam bagian pertimbangan huruf (a) Peraturan Pemerintah No. 1
Tahun 2020. Penyebaran virus ini telah memberikan pengaruh luas tidak hanya pengaruh
terhadap sektor sosial tetapi juga pengaruh pada sektor ekonomi. Salah satu sektor ekonomi
yang paling terdampak yaitu penurunan pendapatan perusahaan atau industrial yang
tersebar diberbagai daerah di Indonesia.
Efisiensi sumber daya manusia dan efisiensi cuti dan lembur merupakan 2 (dua)
kebijakan yang mempengaruhi hak dari pekerja khsususnya pekerja berstatus perjanjian
kerja waktu tertentu (PKWT) Efisiensi sumber daya manusia berkaitan dengan pemutusan
hubungan kerja (PHK) yang dapat dilakukan oleh pengusaha untuk menyelamatkan
kelangsungan perusahaan selama masa pandemi Covid-19.Virus Covid19 yang dinyatakan
sebagai pandemi tersebut selanjutnya dianggap sebagai bencana nasional non-alam
berdasarkan Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non alam
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.
Kesempatan ini digunakan oleh perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) dengan alasan Force Majeure. Force majeure adalah suatu kondisi dimana terjadi
wanprestasi diakibatkan adanya kondisi yang menghalangi atau mengharuskan terjadinya
wanprestasi seperti bencana alam, yang membuat debitur terbebas dari kesalahannya
(wanprestasi) tetapi wanprestasi yang terjadi bukan karna kelalaian debitur. Kondisi yang
dimaksudkan terjadi tidak dapat diprediksikan pada saat melakukan perjanjian (Abdulkadir
Muhammad 2010).
Pemutusan hubungan kerja (PHK) sendiri sebenarnya telah menjadi polemik bagi
pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Karyawan PKWT (kontrak) yang
dipekerjaan berdasarkan adanya jangka waktu juga membuat karyawan PKWT tidak
mendapatkan pesangon.
7
Dan penggunaan alasan force majeure dalam melakukan pemutusan hubungan kerja
bagi pekerja/buruh berstatus perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dapat membuat
perusahaan (pemberi kerja) tidak melakukan kewajibannya atau tanggung jawabnya yaitu
membayarkan sisa kontrak yang seharusnya seperti yang dijelaskan dalam Pasal 62
Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi:
“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka
waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya
hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja.”
Force Majeure secara sah dapat dijadikan alasan oleh para pelaku usaha untuk melakukan
PHK kepada pekerjanya. Hal ini sebagaimana disebut dalam Pasal 164 Ayat (1)
UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu :
8
Keadaan memaksa (force majeure) dapat dijadikan alasan untuk melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK) khususnya bagi pekerja/buruh berstatus perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT). kedudukan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan melindungi hak-hak pekerja/buruh berstatus perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) dalam hal pemutusan hubungan kerja dikarenakan pandemi Covid-19.
Walaupun telah diatur didalam Burgelijk Wetboek (BW) tetapi diperlukan pembuktian
force majeur didalam pengadilan untuk memutuskan perkara yang terjadi. Sebagai salah
satu sumber hukum, yurisprudensi yang telah dikeluarkan Mahkamah Agung memaparkan
bahwa ada 4 unsur yang harus dibuktikan didalam keadaan force majeur, seperti :
Pada hakikatnya, pemutusan hubungan kerja haruslah dihindari oleh setiap pihak yang
berselisih dalam hubungan industrial. Artinya pemutusan hubungan kerja haruslah
merupakan upaya terakhir dalam penyelesaian perselisihan industrial. Undang-undang
ketenagakerjaan secara umum menjelaskan prosedur yang harus ditempuh dalam
melakukan pemutusan hubungan kerja antara lain Pengaturan force majeur lazimnya
didasarkan pada pasal 1244 dan pasal 1245 KUHPerdata. Force majeur dianggap sebagai
upaya perlindungan akibat wanprestasi yang terjadi dengan syarat telah memenuhi syarat
objektif dan syarat subjektif suatu keadaan dalam dikatakan force majeur. Keberadaan
force majeur didalam perjanjian tidak dapat dipisahkan dari perjanjian pokok, yaitu
perjanjian tambahan (accesoir). Force majeur memungkinkan penghilangan beban kerugian
yang ditimbulkan dari keadaan seperti kebakaran, banjir, gempa bumi, dan bencana alam
lainya. oleh pihak penggugat dan pihak tergugat. Dalam persidangan, hakim berkewajiban
mendamaikan para pihak.
9
2.2 Pertanggungjawaban Hukum Bagi Perusahaan Atas Batalnya Perjanjian
Pengertian perusahaan dalam Pasal 1 UU No.3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan, yang menyatakan sebagai berikut.
“Perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang menjalankan setiap jenis usaha
yang bersifat tetap dan terus-menerus didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah
negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan/laba”.
Pada saat ini yang sedang terjadi wabah penyakit virus covid-19 termasuk dalam
hal terpenuhinya unsur pemutusan hubungan kerja yang terdapat pada Pasal 61 ayat (1)
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang sering disebut force majeure dalam batalnya
perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Adapun yang merupakan syarat dan akibat yang harus
dipenuhi agar suatu kejadian oleh hukum dapat dianggap sebagai force majeure, sehingga
10
membebaskan debitur untuk melaksanakan kewajiban yang telah sebelumnya
diperjanjikan, adalah sebagai berikut:
1. Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah tidak terduga
pada waktu dibuatnya perjanjian yang bersangkutan.
11
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pandemi Covid-19 Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana, penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dapat
dikualifikasikan sebagai Bencana Non Alam. Pandemi Covid-19 Ditinjau dari Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
terdapat pada Pasal 56 ayat (1) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan yaitu : Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu
tertentu, lazimnya disebut dengan perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap.
Batalnya perjanjian kerja waktu tertentu akibat dari pandemi covid-19, yaitu pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan pengusaha pada masa pandemi Covid 19. Pandemi Covid 19
dijadikan alasan Force Majeure bagi pengusaha dalam melakukan pemutusan hubungan kerja.
Force Majeure secara sah dapat dijadikan alasan oleh para pelaku usaha untuk melakukan PHK
kepada pekerjanya. Hal ini sebagaimana disebut dalam Pasal 164 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu “Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan
perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan
memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar
1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
3.2 Saran
Diharapkan kepada pengusaha yang melakukan PKWT agar tetap memberikan hakhak
pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika terpaksa harus
melakukan pemutusan hubungan kerja. Diharapkan kepada lembaga legislatif agar dapat
merevisi UU Ketenagakerjaan khusus mengenai PKWT, dengan membuat aturan-aturan
mengenai PKWT yang lebih mendetail dan memberi perlindungan hukum kepada pekerja
dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWT).
12