Anda di halaman 1dari 8

PENGARUH COVID-19 TERHADAP PHK MASAL KARYAWAN

DENGAN ALASAN FORCE MAJURE

ABSTRAK
Pandemi Covid-19 berdampak pada hampir semua bidang termasuk
lapangan kerja. Keuangan Kesulitan yang dihadapi perusahaan berimplikasi
pada munculnya PHK sebagai alasannya efisiensi atau alasan Force Majeure.
Kebijakan pembatasan sosial berskala lebih besar untuk penanganan
pandemi COVID-19 berdampak pada kondisi sosial ekonomi. Masyarakat
terpengaruh pengurangan pekerjaan dan pendapatan pekerja. Studi ini
menganalisis dampak COVID-19 tentang PHK pekerja dan pendapatan di
Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu
adanya pembatasan pada pemberikan gambaran terhadap pengertian
hukum, sehingga memperoleh pemahaman yang mendalam dan ini
dilakukan untuk menemukan bentuk perlindungan hukum yang relevan.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Pemerintah perlu melakukan
pengawasan ketat terhadap perusahaan di setiap daerah. Peran komunitas
adalah dibutuhkan dalam mengatasi masalah yang ada dengan mencari
strategi baru yang memanfaatkan teknologi dan mencari yang baru peluang
kerja, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Kata Kunci : Pandemi Covid-19, PHK, Karyawan, Force Majure

A. Latar Belakang
Di awal tahun 2020, dunia dikejutkan dengan merebaknya virus baru yaitu
virus corona jenis baru (Sars-Cov) dan penyakit yang disebut Corona Virus
Diasease 2019 (Covid19). Kasus pertama terkait Covid-19 (selanjutnya disebut
virus corona) dilaporkan pada 31 Desember 2019, di Wuhan, China. Namun
hingga saat ini belum jelas asal muasal virus corona. Pandemi virus corona tidak
hanya mengguncang Wuhan, tapi juga dunia. Virus ini telah menyebar luas ke
hampir semua negara dalam waktu singkat. Jumlah kasus infeksi virus corona di
seluruh dunia hingga Jumat 20 November 2020 mencapai 57.239.964 orang 1.
Sementara itu, di Indonesia virus corona mulai terdeteksi saat dua warga
negara Indonesia (WNI) dinyatakan positif virus corona pada 1 Maret 2020.
Kedua WNI tersebut sebelumnya pernah melakukan kontak dengan seorang
warga negara asing (WNA) asal Jepang yang tinggal di Malaysia. di sebuah acara.
1
https://m.andrafarm.com/_andra.php?
_i=daftarcorona&jobs=&urut=2&asc=00100000000&sby=&no1=2
di Jakara. Berdasarkan data per Jumat, 20 November 2020, jumlah korban akibat
virus corona sebanyak 488.310 kasus 2. Pemerintah Indonesia sendiri telah
menetapkan virus corona sebagai jenis penyakit yang menyebabkan keadaan
darurat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka mencegah
penyebaran virus corona, Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk
menetapkan pandemi virus corona sebagai bencana nasional dan mengimbau
masyarakat untuk melakukan jarak fisik dan belajar/ bekerja dari rumah. Imbauan
pemerintah ini diikuti dengan keluarnya sejumlah payung hukum yang sebenarnya
dimaksudkan untuk menekan penyebaran virus corona.
Salah satu sektor yang terkena dampak pandemi korona adalah lapangan
kerja. Maraknya penyebaran virus corona di hampir seluruh wilayah Indonesia
sangat mempengaruhi kinerja, produktivitas, keuangan perusahaan dan kewajiban
pengusaha untuk memenuhi biaya operasional, salah satunya pembayaran hak
normatif pekerja seperti upah. Selain itu, adanya pembatasan aktivitas dan
panggilan kerja dari rumah menimbulkan masalah baru bagi perusahaan,
mengingat tidak semua jenis pekerjaan dapat dilakukan di rumah oleh pekerja.
Beberapa perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan kemudian mendorong
pengusaha untuk mengeluarkan beberapa kebijakan yang merugikan pekerja /
buruh, antara lain praktik cuti tidak dibayar (meninggalkan pekerja, tetapi tidak
dibayar), merumahkan pekerja, bahkan mengakhiri pemutusan hubungan kerja
(PHK) oleh pengusaha. kepada pekerjanya. semena-mena.
Untuk melindungi hak-hak pekerja akibat PHK, Pemerintah sebagai salah
satu unsur penyelenggara hubungan industrial telah memberikan jaminan
perlindungan hukum bagi pekerja yang diputus oleh pemberi kerja sebagaimana
diatur dalam Bab XII, tepatnya dalam Pasal 150-172 Undang-Undang Nomor. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) 3.
Sebagai aturan dasar di bidang ketenagakerjaan, UU Ketenagakerjaan tidak hanya
mengatur penyelenggaraan hubungan industrial sejak terbentuknya hubungan
industrial, tetapi juga mengatur pemutusan hubungan industrial yang terjalin
antara pekerja dan pengusaha. Untuk itu, penelitian ini akan mengungkap apakah
pandemi corona bisa dijadikan alasan untuk memberhentikan pekerja oleh
perusahaan dengan alasan Force Majure.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan berikut ini, apakah pandemi corona dapat dijadikan alasan
pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan? Bagaimana melindungi hak-hak
pekerja yang diberhentikan oleh perusahaan sesuai ketentuan UU
Ketenagakerjaan?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penulis mempunyai tujuan
untuk mengungkap apakah pandemi corona dapat dijadikan sebagai alasan
pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan dan bagaimana melindungi hak-hak
pekerja yang telah diberhentikan oleh perusahaan sesuai ketentuan. Hukum
Perburuhan.
2
https://covid19.go.id/
3
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian analisis deskriptif berupa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah penelitian sebagai
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh dari literatur /
buku, jurnal, artikel dan informasi dari media elektronik yang mendukung
penelitian ini. Pengumpulan data diperoleh melalui studi pustaka dan metode
analisis data yang digunakan adalah kualitatif normatif berdasarkan peraturan
perundang-undangan sebagai norma hukum positif yang didukung oleh hasil data
sekunder lainnya. Sedangkan spesifikasi penelitian yang digunakan adalah
deskriptif analitik.

E. Kerangka/ Tinjauan Teoritis dan Yuridis


Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan hal yang sangat ditakuti
oleh karyawan. Hal ini dikarenakan kondisi ekonomi yang kacau balau yang
berdampak pada banyak perusahaan yang harus gulung tikar, dan tentunya
dampak pemutusan hubungan kerja secara sepihak merupakan isu yang sensitif,
pengusaha harus bijak dalam memberhentikan pekerja, mengingat PHK dapat
mengurangi kesejahteraan rakyat. , orang kehilangan pekerjaan, dan terlebih lagi,
PHK dapat mengakibatkan pengangguran. Sehingga apa yang diamanatkan oleh
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945) bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan tidak tercapai penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

F. Hasil Pembahasan
Hubungan kerja pada dasarnya adalah hubungan antara pekerja dan
pemberi kerja setelah ada perjanjian kerja, yaitu perjanjian di mana pihak
pertama, pekerja mengikatkan diri pada pihak lain, pemberi kerja untuk bekerja
dengan upah dan pemberi kerja. menyatakan kemampuannya untuk
mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. Hal ini sejalan dengan pendapat
Imam Soepomo yang menyatakan bahwa hubungan kerja terjadi setelah adanya
perjanjian kerja antara pekerja / pekerja dengan pemberi kerja, yaitu kesepakatan
pihak pertama yaitu buruh mengikatkan diri pada pekerjaan dengan menerima.
upah dari pihak lain yang mengikat dirinya untuk mempekerjakan pekerja
tersebut. dengan membayar upah. Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan
menjelaskan hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dan pekerja /
buruh berdasarkan perjanjian kerja yang memiliki unsur pekerjaan, upah dan
pesanan.
Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yang
menyebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dengan pekerja / buruh. Hubungan kerja tersebut kemudian melahirkan
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak (pengusaha
dan pekerja / buruh) 4. Saat ini, masalah ketenagakerjaan sangat kompleks dan
beragam. Hal ini disebabkan karena hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja
tidak selalu berjalan harmonis, namun seringkali terjadi berbagai gejolak dan
ketegangan. Ketegangan antara pekerja dan pengusaha seringkali menimbulkan
4
Isradjuningtias, Agri, Chairunisa (2015, Juni), Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak
(Perjanjian) Indonesia, Veritas et Justitia, Volume 1, Nomor 1.
perselisihan hubungan industrial, yang terkadang mengakibatkan terjadinya PHK
yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja 5. Sejak penyebaran pandemi
korona di Indonesia telah berdampak pada hampir semua sektor baik kesehatan,
ekonomi, industri maupun sosial.
Penurunan jumlah produksi otomatis mengurangi pendapatan yang
diperoleh perusahaan. Akibatnya, beberapa pengusaha mengalami kesulitan dalam
mengatur keuangannya, termasuk untuk memenuhi biaya operasional, salah
satunya adalah membayar hak normatif pekerja seperti upah 6. Kesulitan yang
dihadapi kemudian mendorong pengusaha untuk melakukan langkah-langkah
efisiensi sebagai bentuk mitigasi kerugian, seperti melakukan pemutusan
hubungan kerja, bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang merugikan
pekerja. Selain alasan efisiensi, kerugian yang dialami perusahaan akibat pandemi
corona juga dinilai sebagai peristiwa Force Majure yang kemudian menjadi alasan
PHK. Perusahaan tidak secara otomatis dapat melakukan PHK akibat kerugian,
Force Majure atau efisiensi akibat pandemi dan pembatasan aktivitas yang dapat
merugikan perusahaan. Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan
bahwa:
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau
keadaan memaksa (Force Majure), dengan ketentuan pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).”
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa perusahaan dapat
melakukan PHK jika mengalami kerugian atau Force Majeure. PHK dilakukan
atas dasar forece majeure, sedangkan yang dimaksud dengan Force Majure dalam
UU Ketenagakerjaan tidak dijelaskan, namun umumnya diatur dalam Pasal 1244
dan 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata menjelaskan bahwa :
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya,
rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau
tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan
suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan
padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada
pihaknya.“
Kemudian Pasal 1245 KUH Perdata menyatakan :
“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran
keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang
berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau
lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”

5
Maringan, Nikodemus, (2015), Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Secara Sepihak Oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 3, Volume 3, Nomor 3.
6
Putra, Anak Agung Ngurah Wisnu Manika dkk,( 2018, 24, Oktober) Perlindungan Hukum Bagi
Pekerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pemberi Kerja Karena Force Majeure,
Kertha Semaya, Volume 5 , Nomor 1.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka unsur utama yang dapat
menyebabkan terjadinya Force Majure adalah:
1. Ada kejadian yang tidak terduga;
2. Ada kendala yang membuat pencapaian menjadi tidak mungkin;
3. Ketidakmampuan tersebut bukan karena kesalahan debitur;
4. Ketidakmampuan ini tidak dapat menimbulkan risiko pada debitur.
Jika dicermati, regulasi mengenai Force Majure yang terdapat dalam KUH
Perdata tidak memiliki pasal yang mengatur Force Majure secara umum untuk
kontrak bilateral, sehingga tidak ada patokan yuridis umum yang dapat digunakan
untuk menafsirkan apa yang dimaksud dengan Force Majure 7. Adanya kebijakan
Pemerintah yang menetapkan pandemi corona sebagai bencana nasional dan
keluarnya sejumlah produk hukum dapat memperkuat alasan pengusaha
menyatakan pandemi corona sebagai peristiwa yang menimbulkan situasi
memaksa (Force Majure) karena hal tersebut. Secara eksplisit menyimpulkan
bahwa pandemi corona dikategorikan sebagai bencana non alam nasional.
Pemutusan hubungan kerja merupakan suatu peristiwa yang tidak
diharapkan terjadi khususnya di kalangan pekerja/ pekerja karena dengan
diberhentikannya pekerja/ pekerja yang bersangkutan akan kehilangan mata
pencaharian untuk menghidupi diri dan keluarganya, oleh karena itu semua pihak
yang terlibat dalam hubungan industrial baik itu pengusaha, pekerja/ buruh/
buruh, atau Pemerintah, dengan segala upaya, harus berupaya untuk mencegah
pemutusan hubungan kerja. Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan mengartikan
pemecatan sebagai bentuk pemutusan hubungan kerja karena alasan tertentu yang
mengakibatkan putusnya hak dan kewajiban antara pekerja/ buruh dengan
pengusaha. Ketentuan ini terjadi setelah ditetapkan oleh lembaga penyelesaian
perselisihan perburuhan seperti mediator, konsiliator, atau Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI)8.
Ketika terjadi PHK, UU Ketenagakerjaan sebagai ketentuan utama telah
memberikan perlindungan hukum terkait hak-hak pekerja yang pernah mengalami
PHK. antara lain Pasal 156 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi
pemutusan hubungan kerja (PHK), pengusaha wajib membayar uang pesangon
atau uang jasa serta kompensasi hak yang seharusnya diterima. Mengenai
perlindungan hukum bagi TKI yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena
alasan Force Majure, ketentuan terkait telah diatur dalam Pasal 164 ayat (1) yang
menyatakan bahwa:
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau
keadaan memaksa (Force Majure), dengan ketentuan pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal

7
Randi, Yusuf, (2020, 1, Maret), Penerapan Perjanjian Bersama Berupa Pemberian Kompensasi
Pemutusan Hubungan Kerja Yang Bertentangan Dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, Jurnal
Hukum De'rechtsstaat, Volume 6, Nomor 1.
8
Putra, Andika, Pramana ( 2018, Juli), Kajian Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Agung Atas
Perkara No.825k/Pdt.Sus-Phi/2015 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Karena Alasan Efisiensi,
Jurnal Hukum Adigama, Volu me 1, Nomor 1.
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).”
Selain itu, pekerja juga berhak atas masa kerja pembayaran, yaitu uang
imbalan yang diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerja terkait dengan masa
kerja, yang diatur dalam Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dan berhak atas
uang kompensasi sebagaimana ditetapkan. dalam Pasal 156 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan yaitu pembayaran uang dari pemberi kerja kepada pekerja
sebagai kompensasi istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan ke
tempat-tempat di mana pekerja dapat diterima bekerja, fasilitas kesehatan, fasilitas
perumahan, dan lain-lain sebagai akibat dari PHK.

G. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan semua yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis
menyimpulkan bahwa tidak menutup kemungkinan bagi para pengusaha untuk
menggunakan pandemi corona sebagai alasan Force Majure untuk melakukan
PHK, mengingat pengaruhnya yang besar terhadap kegiatan operasional
perusahaan. Selain itu, pandemi corona juga dikategorikan sebagai peristiwa
Force Majure mengingat sifatnya yang tidak terduga karena muncul di luar
kendali para pihak. Adanya kebijakan pemerintah yang menetapkan pandemi
corona sebagai bencana nasional dan keluarnya sejumlah regulasi hukum semakin
memperkuat alasan pengusaha menyatakan pandemi corona sebagai peristiwa
Force Majure karena secara tegas menyimpulkan bahwa pandemi corona
dikategorikan sebagai a bencana non alam nasional.
Sedangkan apabila pemberhentian dilakukan oleh perusahaan dengan
alasan efisiensi, maka berdasarkan ketentuan Pasal 164 ayat (3) perusahaan wajib
membayar hak pekerja yang terdiri dari pesangon sebanyak 2 (dua) kali ketentuan.
Pasal 156 ayat (2), imbalan uang masa kerja sebanyak (satu) kali lipat ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan santunan hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
2. Saran
Penulis menyarankan sebelum PHK dilakukan dengan alasan Force
Majure dapat dilakukan oleh perusahaan yang terkena pandemi corona jika
perusahaan tutup permanen atau tidak tutup sementara, dan penutupan perusahaan
merupakan bentuk efisiensi. Selain itu, perseroan juga telah melakukan langkah-
langkah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

H. Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(COVID-19)
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang
Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19)
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam
Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
SE907/MEN/PHIPPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan
Kerja Massal
HariPutri, Ayu, Ratna dan Sonhaji, Solechan, (2016, 30, Maret), Perlindungan
Hukum Terhadap Hak-Hak Pekerja Yang Terkena Pemutusan Hubungan
Kerja Akibat Efisiensi Perusahaa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan di Kota Semarang (Studi Putusan
MA Nomor 474/K/Pdt.Sus-PHI/2013), Diponegoro Law Review, Volume
5, Nomor 2.
Isradjuningtias, Agri, Chairunisa (2015, Juni), Force Majeure (Overmacht) Dalam
Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia, Veritas et Justitia, Volume 1,
Nomor 1.
Kasim, Umar (2004), Hubungan Kerja Dan Pemutusan Hubungan Kerja,
Informasi
Hukum, Volume 2.
Maringan, Nikodemus, (2015), Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pemutusan \
Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak Oleh Perusahaan Menurut
Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Jurnal Ilmu Hukum
Legal Opinion, Edisi 3, Volume 3, Nomor 3.
Putra, Anak Agung Ngurah Wisnu Manika dkk,( 2018, 24, Oktober) Perlindungan
Hukum Bagi Pekerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Oleh
Pemberi Kerja Karena Force Majeure, Kertha Semaya, Volume 5 , Nomor
1.
Putra, Andika, Pramana ( 2018, Juli), Kajian Hukum Terhadap Putusan
Mahkamah
Agung Atas Perkara No.825k/Pdt.Sus-Phi/2015 Tentang Pemutusan
Hubungan Kerja Karena Alasan Efisiensi, Jurnal Hukum Adigama, Volu
me 1, Nomor 1.
Randi, Yusuf, (2020, 1, Maret), Penerapan Perjanjian Bersama Berupa Pemberian
Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja Yang Bertentangan Dengan
Undang-Undang Ketenagakerjaan, Jurnal Hukum De'rechtsstaat, Volume
6, Nomor 1.
Santoso, Budi, (2013, Maret) Justifikasi Efisiensi Sebagai Alasan Pemutusan
Hubungan Kerja”, Mimbar Hukum, Volume 25, Nomor 3. Yuliana ,(2020,
Februari), Corona Virus disease (Covid-19); Sebuah Tinjauan Literatur,
Wellness and healthy magazine, Volume 2, Nomor 1.
https://m.andrafarm.com/_andra.php?
_i=daftarcorona&jobs=&urut=2&asc=00100000000&sby=&no1=2
https://covid19.go.id/

Anda mungkin juga menyukai