Anda di halaman 1dari 4

1.

Dalam dunia kerja hubungan antara perusahaan dan karyawan tidak selalu berjalan
mulus. Resiko terkena pemutusan hubungan kerja atau yang lebih dikenal dengan
istilah PHK ini akan selalu ada kapan saja dan di mana saja dengan berbagai alasan.
Apalagi sejak Pandemi Covid-19 melanda Indonesia, jumlah PHK meningkat sangat
drastic sesuai data Kementerian Ketenagakerjaan ada 29,4 juta orang
terdampak pandemi Covid-19. Salah satu alasan mem-PHK yang banyak digunakan
di masa pandemic adalah karena alasan force majure/keadaan memaksa.

Pertanyaan :
a. Apakah PHK dalam keadaan Force Majure oleh perusahaan masih memerlukan
penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ? hubungkan
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan UU
Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Alih-alih melakukan PHK karena alasan force majeure akibat adanya aksi
terorisme bom, alasan PHK yang dapat digunakan yaitu perusahaan melakukan
efisiensi dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan
perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian, di mana pekerja
berhak atas uang pesangon 0,5 kali ketentuan, UPMK 1 kali ketentuan, dan UPH.
Sementara itu di sisi lain, pengusaha memang bisa melakukan PHK dengan alasan
force majeure, hal ini telah tertuang dalam Pasal 45 PP 35/2021 yang mencakup
pengaturan hak karyawan yang bersangkutan. Sebagai contoh mengenai PHK
karena force majeure, misalnya terjadi kebakaran yang menyebabkan perusahaan
tutup, ini bisa menjadi alasan yang membenarkan terjadinya PHK. Atau karena
bencana gempa, perusahaan hancur lebur dan tidak bisa menjalankan kegiatan
usahanya kembali, maka dilakukan PHK.

b. Langkah atau tahapan apa saja yang seharusnya dilakukan perusahaan sebelum
melakukan PHK dimasa Pandemi Covid-19 ?

Pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung sekarang ini membuat dampak yang
beragam, merebaknya virus ini cukup mengkhawatirkan kesehatan bagi masyarakat
dan juga bagi perekonomian bangsa seperti perusahan dan sektor ekonomi yang
ada di Indonesia dan tidak sedikit sektor yang mendapatkan dampak ini karena
tidak adanya pemasukan. Para pengusaha masih berusaha untuk mencari cara untuk
mengelola bisnis yang tepat dikala pandemi COVID-19 melanda. Para pelaku
bisnis akan mencari cara terbaik untuk tetap bertahan sembari menunggu Pandemi
COVID-19 ini segera berakhir di tengah ketidakpastian ini. Dunia bisnis di era
globalisasi ini pemasaran produk baik barang maupun jasa dapat memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi. Media sosial merupakan produk dari teknologi
informasi memberikan manfaat optimal bagi pelaku usaha. Dengan media sosial
pelaku usaha dapat memaparkan spesifikasi produk, kualitas, dan harga sehingga
konsumen bebas untuk memilih barang yang dibutuhkan sesuai dengan yang di
inginkan. Poin lain yang penting adalah komunikasi. Komunikasi menjadi salah
satu kunci yang sangat penting juga dalam mengelola bisnis selama pandemi
berlangsung. Karena itu perlu memastikan komunikasi dengan karyawan tetap
terjaga. Keberadaan teknologi yang semakin maju membuat pekerjaan manusia
menjadi lebih mudah termasuk urusan komunikasi. Selain memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi di era globalisasi di pandemi COVID-19
penting pula untuk memperhatikan beberapa hal agar pelaku bisnis tidak rugi
besar. Hal yang perlu diperhatikan ialah mengutamakan kesehatan. Bisnis akan
tetap berjalan selama para karyawan sehat sehingga kegiatan operasional tidak
terganggu, maka dari itu perlunya Work From Home (WFH) sepertiyang
disarankan pemerintah bisa menjadi solusi yang tepat dengan didukung
penggunaan teknologi untuk pengelolaan bisnis, pemantauan data, dan
pengambilan keputusan. Dengan melakukan pekerjaan melalui WFH maka dapat
mengurangi risiko para karyawan tertular covid maupun risiko biaya kesehatan
yang akan meningkat jika tertular Virus COVID-19. Dalam menjalankan bisnis
menjadi salah satu faktor yang penting dalam kelangsungan sebuah bisnis yaitu
perlu melakukan manajemen risiko. Dalam hal ini perlu melihat bagian apa saja
yang terkena dampak dan merencanakan langkah untuk mencari solusi yang tepat
tehadap kemungkinan buruk yang akan terjadi. Namun jangan lupa untuk melihat
peluang baru di masa yang akan datang. Para pelaku usaha perlu menganalisis tren
pasar yang sedang terjadi agar dapat membuat pola bisnis baru yang tepat

2. Sejak Pandemi Corona Virus Desiase 19 (Covid-19) melanda Indonesia banyak


perusahaan yang terdampak dan merugi sehingga melakukan Pemutusan Hubungan
Kerja yang berujung pada terjadi perselisihan antara Perusahaan dan Pekerja. Dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
Ketenagakerjaan), PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu
yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha. Sejak Undang-Undang Nomo 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
terdapat perubahan yang signifikan terkait alasan, proses dan hak-hak yang harus
diterima ketika terjadi PHK baik oleh Pekerja, Perusahaan maupun lembaga
peradilan.

Pertanyaan :
Buatlah perbedaan alasan PHK dan hak-hak normatif yang harus diterima antara
aturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja ?

Secara singkat, perusahaan memiliki hak yang tercantum dalam uraian Undang-
Undang Ketenagakerjaan, yakni dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan. Hak-hak tersebut antara lain adalah sebagai berikut. 1. Perusahaan
berhak atas hasil dari pekerjaan karyawan. 2. Perusahaan berhak untuk
memerintah/mengatur karyawan atau tenaga kerja dengan tujuan mencapai target. 3.
Perusahaan berhak melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh/karyawan jika melanggar ketentuan yang telah disepakati sebelumnya.
Tiga hal di atas adalah sedikit kutipan mengenai hak yang dimiliki perusahaan atau
pengusaha. Jelas, setiap poinnya memiliki penjabaran yang rinci jika dilihat pada
regulasi baku yang tertulis.

3. Pasal 64 UU Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa :


Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis.
Pertanyaan :
a. Jika merujuk pada Pasal 64 UU Nomor 13 Taun 2013 tersebut Outsourcing dibagi
menjadi dua yaitu pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa pekerja/buruh.
Berikan penjelasan Saudara terhadap hal tersebut ?

No Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh Pemborongan Pekerjaan


1 Di sediakan sejumlah sumber daya manusia Yang diborongkan adalah suatu pekerjaan
untuk satu pekerjaan tertentu yang harga atau tertentu yang nilainya berdasarkan jenis
nilainya berdasarkan gaji pekerja itu sendiri pekerjaannya, raung lingkup pekerja, objek
yang ditambah dengan komisi / fee dari yang mau dipekerjakan.
perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh Cakupan nilainya lebih luas dari pada
perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh.
Yang diperhitungkan adalah suatu jenis
pekerjaan, misalnya pemborongan
mendirikan gedung yg dinilai adalh material
untuk membangun gedung tersebut, sumber
daya manusia yang mengerjakan, berapa
lama waktu penyelesaian, dan sebagainya
2 Hasilnya dinilai dari komisi / fee yang Hasilnya bukan dari komisi yang didapat
didapat pekerja dari perusahaan penyedia pekerja, melainkan sisa hasil proyek yang
jasa pekerja / buruh diborongkan itu.
3 Dilakukan dengan perintah langsung user Dilakukan dengan perintah langsung atau
(perusahaan yang menggunakan jasa pekerja) tidak langsung dari pemeberi pekerja (user),
pekerjanya langsung dikendalikan oleh
perusahaan pemborong itu sendiri.
4 Pekerja bekerja langsung ditempat user dan Pekerja dan pekerjaannya tidak ditempat
kualifikasi pekerja ditentukan oleh user user

b. Terkait ketentuan Outsourcing, Mahkamah Konstitusi pernah melakukan pengujian


dan telah menerbitkan Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011 yang berdampak pada
pro dan kontra di kalangan Pekerja/Buruh. Apa yang Saudara pahami terkait
putusan MK Tersebut

Muatan putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 dan SE Menaker No.


B.31/PHIJSK/2012, menimbulkan polemik. Terjadi demo terus menerus secara
nasional menuntut agar outsourcing dihapuskan. Untuk mengatasi kondisi
perburuhan ini yang semakin banyak menimbulkan keresahan, akhirnya Menteri
Tenaga Kerja Transmigrasi mengeluarkan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012
yang membatasi hanya ada lima jenis pekerjaan penunjang yang dapat dilakukan
dengan sistim kerja outsourcing, yakni security, catering, cleaning service,
transportasi, dan penunjang pekerjaan pertambangan dan perminyakan. Ketentuan
ini menunjukkan bahwa negara telah mencampuri urusan privat. Seharusnya yang
berhak menentukan pekerjaan inti atau penunjang hanyalah pemberi kerja bukan
orang lain termasuk negara17. Meskipun demikian kalau dihubungkan dengan
pendapat Mahfud MD yang menyatakan bahwa bahwa vonis-vonis MK tentang
Judicial Review tak perlu lembaga eksekutor sebab vonis judicial review sama
dengan UU, langsung berlaku begitu dinyatakan dalam Lembaran Negara. UU
langsung berlaku dan dieksekusi dalam praktik begitu diundangkan tanpa harus ada
eksekutor khusus begitu pula vonis Mahkamah Konstitusi untuk pengabulan
Judicial Review Selanjutnya terjadinya ketidaksinkronan substansi dalam
pengaturan outsourcing. Outsourcing berasal dari teori ekonomi yang bertujuan
untuk mencapai efisiensi kerja dibandingkan apabila menggunakan in house
manufacturing. Dari segi tinjauan teori hukum, outsourcing adalah bentuk
pemborongan pekerjaan. Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan telah salah memberikan
batasan outsourcing yang memperluas pengertian outsourcing ke dalam bentuk
outsourcing pekerja (bukan outsourcing pekerjaan). Lebih lanjut, dalam tataran
praktik hukum terdapat putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011, yang
memutuskan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU 13 Tahun 2003 adalah bertentangan
secara bersyarat dengan UUD 1945 (conditionaly unconstitutional).
Selanjutnya, dengan mendasarkan pada Permenakertrans No. 19 Tahun 2012,
timbul demo buruh secara nasional untuk merubah status hubungan kerja
outsourcing bagi jenis pekerjaan (yang tidak termasuk dalam jenis pekerjaan
penunjang yang dapat dilakukan dengan sistim kerja outsourcing, yakni security,
catering, cleaning service, transportasi, dan penunjang pekerjaan pertambangan dan
perminyakan) menjadi status pekerja/buruh tetap. Tidak ada keadilan substansi
bagi pemberi kerja untuk mendapatkan jaminan atas kebebasan berusaha. Tidak
ada pilihan bagi pemberi kerja untuk mengatur cara kerjanya. Seharusnya Negara
menjamin kebebasan berusaha bagi pemberi kerja untuk menentukan bagian dari
rangkaian pekerjaannya yang sangat penting, penting, kurang penting dan tidak
penting. Kriteria tingkat kepentingan dari sebagian pekerjaan hanya dapat
didasarkan pada sisi originalitas dari hasil pekerjaan. Berkaitan dengan hal ini,
tidaklah salah apabila muncul anggapan bahwa Negara mempunyai andil yang
sangat besar dalam menciptakan konflik sosial.

NAMA : GLORIAN SIMAMORA


NIM : 030831319

Anda mungkin juga menyukai