Anda di halaman 1dari 94

EKONOMI SYARIAH

A. Pengantar Ekonomi Syariah, Rancang Bangun ekonomi Syariah Dan Dasar Hukum
Ekonomi Syariah
B. Sejarah Ekonomi Syariah
C. Bunga Dan Riba dalam presfektif agama
D. Subyek Hukum, Amwal
E. Asas Akad, Rukun, Syarat, Kategori Hukum, ‘Aib, Akibat dan Penafsiran Akad
F. Ba’i dan Akibat Ba’i , Syirkah dan Syirkah Milk, Mudharabah, Muzara’ah dan
Musaqah
G. Khiyar dan Ijarah, Kafalah dan Hawalah
H. Rahn dan Wadi’ah,Gashb dan Itlaf, Wakalah dan Shulh,Pelepasan Hak dan Ta’min
I. Obligasi Syariah Mudharabah dan Pasar Modal, Reksadana Syariah
J. Qardh, Pembiayaan Multijasa dan Dana, pensiunan Syariah
K. Zakat dan Hibah
L. Akutansi Syari’ah

A
Rancang Bangun Ekonomi Syariah Pengantar
Ekonomi Syariah,
Dan Dasar Hukum Ekonomi Syariah

1. Konsep Dasar Ekonomi Islam


a. Konsep dasar ekonomi:
• Ekonomi adalah masalah menjamin berputarnya harta diantara manusia,
sehingga manusia dapat memaksimalkan fungsi hidupnya sebagai hamba Allah
untuk mencapai falah di dunia dan akherat (hereafter).
• Ekonomi adalah aktifitas KOLEKTIF!
1

Ekonomi dalam Islam adalah ilmu yang mempelajari segala prilaku manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian &
kesejahteraan dunia-akhirat). Prilaku manusia disini berkaitan dengan
landasanlandasan syariat sebagai rujukan berprilaku dan kecenderungan-
kecenderungan dari fitrah manusia.
b. Definisi Ekonomi Dalam Islam
• S.M. Hasanuzzaman, “ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi
ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang mencegah ketidak adilan dalam
pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya, guna memberikan kepuasan
bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban
mereka terhadap Allah dan masyarakat.”
• M.A. Mannan, “ilmu ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari permasalahan ekonomi dari orang-orang memiliki nilai-nilai
Islam.”
• Khursid Ahmad, ilmu ekonomi Islam adalah “suatu upaya sistematis untuk
mencoba memahami permasalahan ekonomi dan perilaku manusia dalam
hubungannya dengan permasalahan tersebut dari sudut pandang Islam.”
• M.N. Siddiqi, ilmu ekonomi Islam adalah respon “para pemikir muslim
terhadap tantangan-tantangan ekonomi zaman mereka. Dalam upaya ini mereka
dibantu oleh Al Qur’an dan As Sunnah maupun akal dan pengalaman.”
• M. Akram Khan, “ilmu ekonomi Islam bertujuan mempelajari kesejahteraan
manusia (falah) yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber daya bumi
atas dasar kerjasama dan partisipasi.”
• Louis Cantori, “ilmu ekonomi Islam tidak lain merupakan upaya untuk
merumuskan ilmu ekonomi yang berorientasi manusia dan berorientasi
masyarakat yang menolak ekses individualisme dalam ilmu ekonomi klasik.”
c. Definisi Konvensional
• Ilmu yang mempelajari prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang
tak terbatas menggunakan faktor-faktor produksi yang terbatas.
• Masalah utama ekonomi adalah kelangkaan (scarcity) dan pilihan (choices)
d. Ekonomi Islam - Ekonomi Rabbani
• Surah Ali Imran (3) ayat 109:

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


2

Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allah –
lah dikembalikan segala urusan
• Surat Asy-Syura (42) ayat 12:
Kepunyaan-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi; dia melapangkan rezeki
bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (nya). Sesungguhnya Dia
Maha mengetahui segala sesuatu.
• Surah Ar-Ra’d (13) ayat 26:
Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.
Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu
(dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit)
• Surah Hud (11) ayat 6:
Dan tidak ada suatu bintang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan
tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh
mahfuzh).
e. Perkembangan Islam

Ekonomi Islam pada hakikatnya bukanlah sebuah ilmu dari sikap reaksioner
terhadap fenomena ekonomi konvensional. Awal keberadaannya sama dengan
awal keberadaan Islam di muka bumi ini (1500 Th yang lalu), karena ekonomi
Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam sebagai sistem hidup.
Islam yang diyakini sebagai jalan atau konsep hidup tentu melingkupi ekonomi

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


3

sebagai salah satu aktivitas hidup manusia. Jadi dapat dikatakan bahwa ekonomi
Islam merupakan aktivitas agama atau ibadah kita dalam berekonomi.
f. Perbandingan Ekonomi

2. Karakteristik dan Rancang Bangun Sistem Ekonomi Islam


a. Tujuan Ekonomi Islam
• Ekonomi Islam mempunyai tujuan untuk memberikan keselarasan bagi kehidupan
di dunia. Nilai Islam bukan semata-semata hanya untuk kehidupan muslim saja,
tetapi seluruh mahluk hidup di muka bumi.
• Esensi proses Ekonomi Islam adalah pemenuhan kebutuhan manusia yang
berlandaskan nilai-nilai Islam guna mencapai pada tujuan agama (falah). Ekonomi
Islam mampu menangkap nilai fenomena masyarakat sehingga dalam
perjalanannya tanpa meninggalkan sumber hukum teori ekonomi Islam, bisa
berubah.
b. Karateristik Ekonomi Islam
• Harta Kepunyaan Allah dan Manusia merupakan khalifah atas harta
• Ekonomi terikat dengan akidah, syariah (hukum), dan moral.
• Keseimbangan antara kerohanian dan kebendaan.
• Kebebasan individu dijamin dalam Islam
• Negara diberi wewenang turut campur dalam perekonomian.
• Bimbingan konsumsi
• Petunjuk Investasi

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


4

• Zakat
• Larangan Riba
c. Prinsip Ekonomi Islam
• Kerja (resource utilization)
• Kompensasi (compensation)
• Efisiensi (efficiency)
• Professional (professionalism)
• Kecukupan (adequacy)
• Pemerataan kesempatan (equal opportunity)
• Kebebasan (freedom)
• Kerja sama (cooperation)
• Persaingan (competition)
• Keseimbangan (equilibrium)
• Solidaritas (solidarity)
• Information simetri (Symmetris information)
• Hidup hemat/tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurious
living)

d. Nilai Dasar Sistem Ekonomi

e. Nilai Instrumental Sistem Ekonomi

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


5

1) Pandangan Dunia terhadap Riba

2) Zakat

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


6

3) Jaminan Sosial

4) Kerjasama Ekonomi

5) Peranan Negara
Pemerintah dapat berfungsi sebagai distributor maupun pemilik manfaat
sumber-sumber ekonomi serta sebagai lembaga pengawas kehidupan
ekonomi melalui lembaga Hisbah. Hisbah pernah ada di zaman Nabi
Muhammad S.A.W., sebagai lembaga pengawas pasar yang menjamin tidak

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


7

adanya pelanggaran moral di pasar, monopoli, pemaksaan terhadap hak


konsumen, dan sebagainya. Hisbah adalah independen.
f. Basis Kebijakan Ekonomi Islam
• Penghapusan Riba (prohibition of riba)
• Pelembagaan Zakat (implementation of zakat)
• Pelarangan Gharar (risk)
• Pelarangan yang Haram/Menjalankan usaha yang halal (permissible conduct)
g. Paradigma Ekonomi Islam
• Berpikir & Berperilaku (behaviour paradigm)
- Spirit dan pedoman masyarakat berperilaku --- nilai ekonomi islam
• Umum (grand pattern)
- Kapitalisme --- individual materialisme dlm berpikir
---Mekanisme pasar dlm berperilaku ekonomi
h. Rancang Bangun Sistem Ekonomi Islam
• Kepemilikan dalam Islam; individu, umum, dan negara
• Mashalahah sbg Intensif Ekonomi
• Musyawarah sbg Prinsip Pengambilan Keputusan
• Pasar yg Adil sbg Media Koordinasi
• Pelaku Ekonomi dlm Islam; Pasar, Pemerintah, Masyarakat

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


8

B Sejarah Ekonomi
Syariah

1. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam


Ekonomi Islam pada hakikatnya bukanlah sebuah ilmu dari sikap reaksioner
terhadap fenomena ekonomi konvensional. Awal keberadaannya sama dengan awal
keberadaan Islam di muka bumi ini (1500 Th yang lalu), karena ekonomi Islam
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam sebagai sistem hidup. Islam
yang diyakini sebagai jalan atau konsep hidup tentu melingkupi ekonomi sebagai
salah satu aktivitas hidup manusia. Jadi dapat dikatakan bahwa ekonomi Islam
merupakan aktivitas agama atau ibadah kita dalam berekonomi.
2. Perekonomian di Masa Rasulullah SAW
• Mekkah; masyarakat Muslim belum sempat membangun perekonomian;
perjuangan & mempertahankan diri dari intimidasi kaum Quraisy
• Madinah;
- perekonomian sederhana – prinsip2 dasar ekonomi
- Komitmen thdp etika dan norma (syariah Islam)
- Baitul Maal; Institusi pengelola keuangan Negara - kesejahteraan
masyarakat
- Muzaraah, mudharabah, musaqah
- Pemasukan Negara; zakat dan ushr

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


9

- Sadaqah & Ghanimah


- Rikaz, amwal fadhla, wakaf, nawaib
- Jizyah
3. Perekonomian Masa Khulafaurrasyidin 1) Abu Bakar Siddiq (537-634M)
• Melanjutkan dasar-dasar yg dibangun Rasulullah SAW
• Zakat – banyak yg tidak membayar Zakat
• Baitul Maal – Diteruskan

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


10


Sistem penggajain aparat Negara
2) Umar Bin Khattab (584-644M)
• Sektor Pertanian & Irigasi
• Hukum Perdagangan & Pajak
• Baitul Maal, cabang2 nya dan Kebijakan fiskal
• Diwan Islam
3) Usman Bin Affan (577 – 656M)
• Zakat & Jizyah
• Supremasi Kelautan (Pelabuhan Islam Pertama)
• Komposisi kelas sosial
4) Ali Bin Abi Thalib (600-661M)
• Sederhana
• Keuangan Negara
• Mata Uang Negara
4. Periode Pertama/Fondasi (699-767M)
a. Abu Hanifa (699-767M)
• Salam; transaksi penjual & Pembeli
• Menghilangkan ambiguitas & perselisihan
• Murabahah & Perdagangan
• Zakat & Muzara’ah
b. Abu Yusuf (731-798)
• Al-Kharaj; Perpajakan & Peran Negara
• Keuangan Negara
• Tasarruf al-Iman ‘ala Ra’iyyah Manatun bi al-Mashlahah
• Akuntabilitas
c. Muhammad bin Al Hasan (750-804M)
• Ijarah, Tijarah, Ziraah, dan Sinaah)
• Perilaku konsumsi ideal
• Transaksi/kerjasama

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


11


d. Abu Ubayd Al-Qasam (838M)
• Keuangan publik
• Kebijakan fiskal
Zakat, khums, kharaj, fay
e. Harith bin Asad Al-Muhasibi (859M)
• Al-Makasib; memperolehi pendapatan
• Laba & Upah
• Kerjasama & Hukuman (mencari keuntungan)
f. Ibn Miskwaih (1030M)
• Tahdid al-Akhlaq; pertukaran barang, jasa & peranan uang
• Kompensasi
• Emas logam
g. Mawardi (1058M)
• Al-Ahkam al-Sulthoniyyah; pemerintah & administrasi
• Pengawasan Pasar
• Perilaku ekonomi – individu
• Wisdom
• Mudharabah
• Transaksi Dagang
5. Periode Kedua (1058-1446M)
Korupsi & dekadensi moral
a. Al-Ghazali (1055-1111M)
• Perukaran & evolusi pasar
• Produksi & Peranan Negara
• Barter & evolusi uang
• Riba
• Kepentingan individu
b. Ibn Taimaya (1263-1328)
• Persaingan pasar bebas
• Market supervisor

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


12


• Peranan negara
• Kepemilikan & sumber daya ekonomi
• Beban pajak & Konsep harga
c. Ibn Khaldun (1332-1404M)
• Muqaddimah
Perdagangan International
• Hukum permintaan/penawaran
• Industri & kerajinan
• Emas & Perak
• Backward sloping supply curve
d. Nasiruddin Tusi (1093M)
• Akhlaq e-Nasiri
• Political economy
• Pembagian tenaga kerja
• Strategi/kerja sama
• Tabungan/konsumsi berlebihan
• Pajak & pertanian
6. Periode Ketiga (1446-1932M)
a. Shah Waliullah (1703-1763M)
• Hujjatullah al-Baligha
• Kerjasama; pertukaran barang & Jasa
• Pembagian ekonomi alamiah
• Kepemilikan & pengelolaan Negara
• Pajak
b. Muhammad Iqbal (1873-1938M)
• Islam vs Kapitalisme & Komunisme
• Peranan Negara
• Zakat
• Keadilan sosial
7. Periode Kontemporer (1930-sekarang)

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


13


• 1930-an --- kebangkitan kembali intelektualitas di dunia Islam
• Perbandingan sistem ekonomi islam dgn sistem lainnya
• Kritik thdp sistem ekonomi konvensional; filosofi dan
praktikal
• Pembahasan ekonomi islam; mikro dan makro

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


14

C Bunga Dan Riba Dalam Presfektif Agama

1. Yunani
• Plato (427-347 SM):
- Bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam
masyarakat.
- Bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan
miskin
• Aristoteles (384-322 SM):
- Fungsi uang adalah sebagai alat tukar (medium of exchange) bukan alat
menghasilkan tambahan melalui bunga
- “….Istilah riba, yang berarti lahirnya uang dari uang, diterapkan kepada
pengembangbiakan uang karena analogi keturunan dan orang tua.
Dibanding dengan semua cara mendapatkan uang, cara seperti ini adalah
yang paling tidak alami” (Politics, 1258)
2. Yahudi
• Kitab Eksodus (Keluaran) 22: 25
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang umatku, orang yang
miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang
terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
• Kitab Deuteronomy (Ulangan) 23: 19
“Janganlah engkau membungakan uang kepada saudaramu, baik uang maupun
bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan.”
• Kitab Levicitus (Imamat) 35: 7
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau
harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah
engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu
janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
• Lukas 6: 35

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


15

“Cintailah musuhmu… dan janganlah meminjamkan kepada mereka dengan


berharap untuk mendapatkan sesuatu (yang lebih)”
3. Kristen
• “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap
akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang
berdosapun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima
kembali sama banyak. Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada
mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu
akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi,
sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan
terhadap orang-orang jahat” (Lukas 6:34-35)
Karena tidak disebutkan secara jelas, timbul berbagai tanggapan dan tafsiran
tentang boleh tidaknya melakukan praktek pembungaan. Pandangan para sarjana
Kristen terhadap praktek pembungaan terbagi pada tiga periode, yaitu;
a. Pandangan Pendeta Awal (Abad I-XII): Larangan mengambil bunga merujuk
kepada Old Testament yang juga diimani oleh orang Kristen.
- St. Basil (329-379)
- St. Gregory dari Nyssa (335-395)
- St. John Chrysostom (344-407)
- St. Ambrose
- St. Augustine
- St. Alsem dari Centerbury (1033-1109)
Larangan yang dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon)
- Council of Elvira (Spanyol tahun 306)
- Council of Arles (tahun 314)
- First Council of Nicaea (tahun 325)
- Council of Carthage (tahun 345) & Council of Aix la Chapelle (789)
- Council of Latern (1179)
- Council of Lyons (1274)
- Council of Vienne (1311)
Kesimpulan Pandangan para Pendeta Awal (Abad I-XII):
• Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


16

jumlah barang yang dipinjamkan di awal.


• Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang baik dalam Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru.
• Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang
dipinjamkan adalah suatu dosa.
• Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.
• Harga barang yang tinggi untuk penjualan secara kredit juga merupakan
bunga yang terselubung.
b. Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII-XV):
- Robert of Courcon (1152-1218),
- William Auxxerre (1160-1220),
- St.Raymond of Pennafore (1180-1278),
- St.Bonaventure (1221-1274)
- St.Thomas Aquinas (1225-1274)
• Bunga dibedakan menjadi interest dan usury
• Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan
pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan
• Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau
tidaknya tergantung niat si pemberi hutang.
c. Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI- Tahun 1836):
- John Calvin (1509-1564)
- Charles du Moulin (1500-1566)
- Claude Saumaise (1588-1653)
- Martin Luther (1483-1546)
- Melancthon (1497-1560)
- Zwingli (1484-1531)
• Dosa apabila bunga memberatkan
• Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles)
• Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi
• Jangan mengambil bunga dari orang miskin
4. Islam
a. Al-Qur’an

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


17

• Arruum: 39
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar ia bertambah pada
harta manusia, maka pada sisi Allah itu tidak bertambah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang yang
melipatgandakan (pahalanya).”
• Annisaa: 160-161
Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan diatas
mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan
bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta
orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk
orangorang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.
• Ali Imran: 130
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.”
• Albaqarah: 278-279
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba)
maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
b. Al-Hadits
• Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima
riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua
orang saksinya, kemudian beliau bersabda: “Mereka semuanya sama“
(HR. Muslim)
• Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi SAW berkata: “Pada malam
perjalananku Mi’raj, aku melihat orang-orang yang perutnya seperti

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


18

rumah, didalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku
bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa
mereka adalah orang-orang yang menerima riba.”
• Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Riba itu
memiliki tujuh puluh tingkatan, adapun tingkat yang paling rendah
(dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya
sendiri.”
5. Bunga Bank: Pandangan Dunia Islam
a. Dewan Studi Islam AlAzhar, Cairo
• Bunga dalam segala bentuk pinjaman adalah riba yang diharamkan.
(Konferensi DSI Al-Azhar, Muharram 1385 H/ Mei 1965 M)
b. Rabithah Alam Islamy
• Bunga bank yang berlaku dalam perbankan konvensional adalah riba yang
diharamkan. (Keputusan No. 6 Sidang ke 9, Mekkah 12-19 Rajab 1406 H)
c. Majma’ Fiqih Islamy, Organisasi Konferensi Islam
• Seluruh tambahan dan bunga atas pinjaman yang jatuh tempo dan nasabah
tidak mampu membayarnya, demikian pula tambahan (atau bunga) atas
pinjaman dari permulaan perjanjian adalah dua gambaran dari riba yang
diharamkan secara syariah (Keputusan No. 10 Majelis Majma’ Fiqih
Islamy, Koneferensi OKI ke II, 22-28 Desembeer 1985)
6. Bunga Bank: Pandangan Ulama Indonesia
a. Nahdhatul Ulama
• Sebagian ulama mengatakan bunga sama dengan riba, sebagian lain
mengatakan tidak sama dan sebagian lain mengatakan syubhat.
• Rekomendasi: Agar PB NU mendirikan bank Islam NU dengan sistem
tanpa bunga (Bahtsul Masail, Munas Bandar Lampung, 1992)
b. Muhammadiyah
• Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik nagara kepada nasabahnya atau
sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara “mustasyabihat.”
• Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan
terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan
yang sesuai dengan qaidah Islam (Lajnah Tarjih Sidoarjo, 1968)

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


19

7. Bunga Bank: Pandangan Ulama Indonesia


a. Majelis Ulama Indonesia
• 1) Bunga bank sama dengan riba 2) tidak sama dengan riba 3) Syubhat.
MUI harus mendirikan bank alternatif. (Lokakarya Alim Ulama,
Cisarua 1991)
b. Lajnah Ulama Komisi Fatwa se Indonesia, Majelis Ulama Indonesia
• 1) Bunga bank sama dengan riba (Silaknas MUI, 16 Desember 2003)

8. Sembilan Alasan Bagi Yang Membolehkan Bunga Bank


a. Boleh mengambil Bunga karena darurat.
b. Pada tingkat wajar, tidak mengapa bunga dibebankan.
c. Opportunity Lost yang ditanggung pemilik dana disebabkan penggunaan uang
oleh pihak lain.
d. Bunga untuk konsumtif dilarang, tapi untuk produktif dibolehkan.
e. Uang sebagai komoditi, karena itu ada harganya. Dan harga uang itu adalah
bunga. (Boehm-Bowerk)
f. Bunga sebagai penyeimbang laju inflasi.
g. Bunga sebagai upah menunggu (Abstinence Concept, Senior, Irving Fisher).
h. Nilai uang sekarang lebih besar daripada nilai uang pada masa depan (Time
Value of Money).
i. Di zaman Nabi tidak ada bank, dan bank bukan Syakhsiyyah Mukallafah (yang
terkena kewajiban menjalankan hukum syariah).
9. Upaya Ulama
Istinbath para ulama terhadap sumber-sumber Syariah merupakan upaya
menghindari riba. Diantara hasilnya adalah produk muamalah:
• Musyarakah, Mudharabah (Qiradh), Muzara’ah, Musaqat, Mugharatsah
• Murabahah, Bai’ Muajal, Salam, Istisna, Sharf, Jazzaf,
• Ijarah
• Wadi’ah, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Qardh, I’arah, Sulh, Muqashah,
Ihya Ardhil Mawat, Iqtha’, Hima.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


20

D Subyek Hukum Dan Amwal

1 Subyek Hukum
a. Kecakapan Hukum
1) Seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum dalam hal telah mencapai umur paling rendah 18 (delapan belas)
tahun atau pernah menikah.
2) Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, dapat
melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan taflis/pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
3) Dalam hal seseorang anak belum berusia 18 (delapan belas) tahun dapat
mengajukan permohonan pengakuan cakap melakukan perbuatan hukum
kepada pengadilan.
4) Pengadilan dapat mengabulkan dan atau menolak permohonan pengakuan
cakap melakukan perbuatan hukum.
b. Pewalian
1) Orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum berhak mendapat
pewalian.
2) Dalam hal seseorang sudah berumur 18 tahun atau pernah menikah, namun
tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka pihak keluarga dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menetapkan wali bagi
yang bersangkutan.
3) Dalam hal badan hukum terbukti tidak mampu lagi berprestasi sehingga
menghadapi kepailitan, atau tidak mampu membayar utang dan meminta

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


21

permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka pengadilan


dapat menetapkan kurator atau pengurus bagi badan hukum tersebut atas
permohonan pihak yang berkepentingan.
4) Pengadilan berwenang untuk menetapkan pewalian bagiorang yang
dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
5) Pengadilan berwenang untuk menetapkan orang untuk bertindak sebagai
wali.
6) Pengadilan dapat menetapkan orang yang berutang berada dalam pewalian
berdasarkan permohonan orang yang berpiutang.
7) Pengadilan berwenang menetapkan pewalian bagi orang yang tindakannya
menyebabkan kerugian orang banyak.
c. Muwalla
1) Muwalla dapat melakukan perbuatan hukum yang menguntungkan dirinya,
meskipun tidak mendapat izin wali.
2) Muwalla tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang merugikan dirinya,
meskipun mendapat izin wali.
3) Keabsahan perbuatan hukum muwalla atas hak kebendaannya yang belum
jelas akan menguntungkan atau merugikan dirinya bergantung pada izin
wali.
4) Apabila terjadi perselisihan antara muwalla dengan wali, muwalla dapat
mengajukan permohonan ke pengadilan untuk ditetapkan bahwa yang
bersangkutan memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum.
d. Wali terdiri atas :
1) orang tua muwalla;
2) orang yang menerima wasiat dari orang tua muwalla;
3) orang lain atau badan hukum yang ditetapkan oleh pengadilan.
2 Amwal
a. Pengertian Amwal
Amwal adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan, dan dialihkan,
baik benda berwujud maupun tidak berwujud, baik benda yang terdaftar
maupun yang tidak terdaftar, baik benda yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis.
b. Asas Pemilikan Amwal

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


22

Pemilikan amwal didasarkan pada asas:


1) amanah, bahwa pemilikan amwal pada dasarnya merupakan titipan dari
Allah Subhanahu wata’ala untuk didayagunakan bagi kepentingan hidup.
2) infiradiyah, bahwa pemilikan benda pada dasarnya bersifat individual dan
penyatuan benda dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha atau korporasi.
3) ijtima’iyah, bahwa pemilikan benda tidak hanya memiliki fungsi
pemenuhan kebutuhan hidup pemiliknya, tetapi pada saat yang sama di
dalamnya terdapat hak masyarakat.
4) manfaat, bahwa pemilikan benda pada dasarnya diarahkan untuk
memperbesar manfaat dan mempersempit madharat.
c. Cara Perolehan Amwal
Benda dapat diperoleh dengan cara:
1) pertukaran.
2) pewarisan.
3) hibah.
4) wasiat.
5) pertambahan alamiah.
6) jual-beli.
7) luqathah.
8) wakaf.
9) cara lain yang dibenarkan menurut syariah.
d. Sifat Pemilikan Amwal
Prinsip pemilikan amwal adalah:
1) pemilikan yang penuh, mengharuskan adanya kepemilikan manfaat dan
tidak dibatasi waktu;
2) pemilikan yang tidak penuh, mengharuskan adanya kepemilikan manfaat
dan dibatasi waktu;
3) pemilikan yang penuh tidak bisa dihapuskan, tetapi bisa dialihkan.
4) pemilikan syarikat yang tidak penuh sama dengan kepemilikan terpisah
tasharrufnya.
5) Pemilikan syarikat yang penuh ditasharrufkan dengan hak dan kewajiban
secara proporsional

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


23

Asas Akad, Rukun, Syarat, Kategori Hukum, ‘Aib, Akibat


Dan Penafsiran Akad

1. Pengertian Akad
Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqada artinya mengikat atau mengokohkan. Secara
bahasa pengertiannya adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabath)
maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan
mengikatkan salah satunya pada yang lainnya, hingga keduanya bersambung dan
menjadi seperti seutas tali yang satu.
Menurut Fiqh Islam akad berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan (ittifaq).
Dalam kaitan ini peranan Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Qabul
(pernyataan menerima ikatan) sangat berpengaruh pada objek perikatannya, apabila
ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syari’ah, maka munculah segala akibat
hukum dari akad yang disepakati tersebut. Akad merupakan ikatan secara hukum
yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan
mengikatkan dirinya. Kehendak tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati, oleh
karena itu menyatakannya masing-masing harus mengungkapkan dalam suatu
pernyataan yang disebut Ijab dan Qabul.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 20 angka 1, Akad adalah
kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
Dari rumusan tersebut maka Akad harus merupakan perjanjian tertulis kedua belah
pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu
hal yang khusus. Akad tersebut memuat Ijab dan Kabul. Ijab yakni pernyataan
pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan. Sedang Kabul yakni
pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Ijab Kabul ini diadakan untuk

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


24

menunjukkan adanya kesuka relaan timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan
oleh dua pihak yang bersangkutan yang sesuai dengan prinsip syariah.
Materi Akad harus sesuai dengan ketentuan Syariah dan Transaksi syariah tidak
boleh mengandung unsur;
• riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam
transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan
waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang
mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang
diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
• maisir (judi), yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang
tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
• gharar (ketidakjelasan), yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak
dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat
transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
• haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah;
• zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidak adilan bagi pihak lain nya;
Syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad menurut ulama fiqh antara lain,
pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum, objek akad
harus ada dan dapat diserahkan ketika akad berlangsung misalnya Maka tidak
sah akad seperti menjual anak kambing yang masih dalam kandungan induknya
atau membeli sesuatu yang masih dalam tanah. Akad dan objek akadnya tidak
dilarang syara’, ada manfaatnya, ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis
dan tujuan akad harus jelas dan diakui syara’.
2. Asas Akad
• Ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar
dariIkhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak,
terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak
lain.keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.
• Amanah/menepati janji (Asas perjanjian itu mengikat); setiap akad
wajibAmanah/menepati janji (Asas perjanjian itu mengikat); setiap akad wajib
dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakan yang ditetapkan oleh
yangdilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakan yang ditetapkan

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


25

oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari
ciderajanji.bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji.
• Ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang
matangIkhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan
yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.dan dilaksanakan secara
tepat dan cermat.
• Luzum/tidak berobah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang
jelasLuzum/tidak berobah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan
perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasidan
perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.
• Saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan
paraSaling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi
kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan
merugikan salah satu pihak.pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi
dan merugikan salah satu pihak.
• Taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan
yangTaswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan
yangsetara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.setara, dan
mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
• Transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para
pihakTransparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para
pihak secara terbuka.secara terbuka.
• Kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para
pihak,Kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para
pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang
bersangkutan.sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang
bersangkutan.
• Taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi
kemudahanTaisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling
memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat
melaksanakannya sesuai dengankepada masing-masing pihak untuk dapat
melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.kesepakatan.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


26

• Itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakanItikad baik; akad


dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung unsur
jebakan dankemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan
buruk lainnya.perbuatan buruk lainnya.
• Sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum,Sebab yang halal; tidak
bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.tidak
dilarang oleh hukum dan tidak haram.
3. Rukun Akad dan Syarat Akad
• Pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pihak-pihak yang berakadPasal
22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pihak-pihak yang berakad
• Pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang
memilikiPihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan
usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum.kecakapan
dalam melakukan perbuatan hukum.
• Kecakapan yang dimaksudkan ialah memiliki kemampuan yang cukup untuk
mengikuti prosesKecakapan yang dimaksudkan ialah memiliki kemampuan
yang cukup untuk mengikuti proses perjanjian, sehingga perjanjian atau akad
tersebut dianggap sah.perjanjian, sehingga perjanjian atau akad tersebut
dianggap sah.
• Seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
dalam hal telahSeseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum dalam hal telah mencapai umur paling rendah 18 (delapan
belas) tahun atau pernah menikah.mencapai umur paling rendah 18 (delapan
belas) tahun atau pernah menikah.
• Sedang Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, dapat
melakukanSedang Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan
hukum, dapat melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan
taflis/pailit berdasarkan putusan pengadilan yangperbuatan hukum dalam hal
tidak dinyatakan taflis/pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
4. Obyek Akad

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


27

• Obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh
masing masing pihak.
• Yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan
dalam akad sewa dan sejenisnya.
• Pemilikan amwal pada dasarnya merupakan titipan dari Allah Subhanahu
wata’ala untuk didaya gunakan bagi kepentingan hidup

5. Beberapa Persyaratan Sehingga Akad Tersebut Dianggap Sah


• Barang tersebut harus suci atauBarang tersebut harus suci atau meskipun
terkena najis, bisa dibersihkanterkena najis, bisa dibersihkan Barang tersebut
harus bisa digunakanBarang tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang
disyariatkandengan cara yang disyariatkan.
• Komoditi harus bisa diserahterimakan
• Komoditi Harus diketahui wujudnya oleh orangHarus diketahui wujudnya oleh
orang yang melakukan akad jual beli bilayang melakukan akad beli merupakan
barang-barang yang dijualmerupakan barang-barang yang langsung

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


28

Ba’i Dan Akibat Ba’i , Syirkah Dan Syirkah Milk,

Mudharabah, Muzara’ah Dan Musaqah

1. Ba’i dan Akibat Ba’i.


a. Pengertian Jual-Beli
Menurut etimologi, jual beli diartikan : “Pertukaran sesuatu dengan sesuatu
yang lain”.Kata lain dari al-bai’ adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Berkenaan dengan kata at-tijarah, dalam Al-Qur’an surat Fathir ayat 29
dinyatakan; “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah
dan mendirikan shalat danmenafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami
anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan,
mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”.(Qs. Fathir :
29) Adapun jual beli menurut terminology, para ulma berbeda pendapat dalam
mendefinisikannya, antara lain :
1) Menurut ulama Hanafiyah :
“Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang
dibolehkan)”.
2) MenurutImam Nawawi dalam Al-Majmu’ :
“Pertukaran harta dengnan harta untuk kepemilikan”.
3) Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni :
“Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik”.
b. Landasan Syara
1) Al-Qur’an, diantaranya :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


29

sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya”. (QS. Al-Baqarah : 275)
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”. (QS. Al-Baqarah : 282)
2) As-Sunah, diantaranya :
“Nabi SAW. ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau
menjawab, “seorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang
mabrur”. (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)
3) Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alas an bahwa
manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan
orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang
dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang barang lainnya yang sesuai.
c. Rukun dan Pelaksanaan Jual-Beli
Dalam menetapkan rukun jal beli, diantara para ulama terjadi perbedaan
pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalahijab dan qabul yang
menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun
perbuatan.
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu :
1. Bai’ (penjual)
2. Mustari (pembeli)
3. Shigat (ijab dan qabul)
4. Ma’qud ‘alaih (benda atau barang)
d. Syarat Jual-Beli
Dalam jual-beli terdapat empat macam syarat, yaitu syarat terjadinya akad
(in’iqad), syarat sahnya akad, syarat terlaksananya akad (nafadz), dan syarat
luzum.
Secara umum tujuan adanya semua syarat tersebut antara lain untuk
menghindari pertentangan di antara manusia, menjaga kemaslahatan orang

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


30

yang sedang akad, menghindari jual-bel;i harar i (terdapat unsur penipuan), dan
lain-lain.
Sedangkan ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan persyaratan
jualbeli.
e. Hukum (ketetapan) Ba’i beserta Pembahasan Barang dan Harga
1. Hukum (ketetapan) akad
Hukum akad adalah tujuan dari akad. Dalam jual-beli, ketetapan akad
adalah menjadikan barang sebagai milik pembeli dan menjadikan harga
atau uang sebagai milik penjual.
Secara mutlak hukum akad dibagi 3 bagian :
a) Dimaksudkan sebagai taklif, yang berkaitan dengan wajib, haram,
sunah, makruh, dan mubah.
b) Dimaksudkan sesuai dengan sifat-sifat syara’ dan perbuatan, yaitu sah,
luzum, dan tidak luzum, seperti pernyataan, “Akad yang sesuai dengan
syarat dan rukunnya disebut shahih lazim.”
c) dimaksudkan sebagai dampak tasharruf syara’, seperti wasiat yang
memenuhi ketentuan syara’ berdampak pada beberapa ketentuan, baik
bagi orang yang diberi wasiat maupun bagi orang atau benda yang
diwasiatkan.
2. Tsaman (Harga) dan Mabi’ (Barang Jualan)
a) Pengertian Harga dan Mabi’
Secara umum, mabi’ adalah perkara yang menjadi tentu dengan
ditentukan. Sedangkan pengertian harga secara umum adalah perkara
yang tidak tentu dengan ditentukan.
Definisi tersebut sebenarnya sangat umum sebab sangat bergantung
pada bentuk dan barang yang diperjual belikan. Adakalanya mabi’ tidak
ditentukan, sebaliknya harga memerlukan penentuan, seperti penetapan
uang muka.
b) Penentuan Mabi’ (barang Jualan
Penentuan mabi’ adalah penentuan braang yang akan dijual dari
barangbarang lainnya yang tidak akan dijual, jika penentuan tersebut
menolong atau menentukan akad, baik pada jual beli yang barangnya

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


31

ada ditempat akad atau tidak. Apabila mabi’ tidak ditentukan dalam
akad, penentuanny dengan cara penyerahan mabi’ tersebut.
c) Perbedaan Mabi’ dan Harga
Diantara perbedaan antara mabi’ dan tsaman adalah :
i. Secara umum uang adalah harga, sedangkan barang yang dijual
adalah mabi’
ii. Jika tidak menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah
mabi’ dan penukarannya adalah harga.
Ditinjau dari hukum sifat jual-beli, jumhur ulama membagi jual-beli
menjadi dua macam, yaitu jual-beli yang dikategorikan sah (shahih) dan
jual-beli yang dikategorikan tidak sah. Jual beli shahih adalah jual-beli yang
memenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun syaratnya, sedangkan
jualbeli tidak sah adalah jual-beli yang tidak memenuhi salah satu syarat
dan rukun sehingga jual-beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Adapun
ulama hanafiah membagi hukum dan sifat jual-beli menjadi sah, batal, dan
rusak. Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan ulama hanafiyah
berpangkal pada jual-beli atau akad yang tidak memenuhi ketentuan syara’,
berdasarkan hadist :
Artinya :
“Barang siapa yang berbuat suatu amal yang tidak kami perintahkan,
maka tertolak. Begitu pula barang siapa yang memasukkan suatu
perbuatan kepada agama kita maka tertolak”. (HR. Muslim dari Siti
Aisyah)
f. Jual-Beli yang dilarang dalam Islam
Jual beli yang dilarang dalam Islam sangatlah banyak. Jumhur ulama,
sebagaimana disinggung diatas, tidak membedakan antara fasid dan batal.
Berkenaan dengan jual-beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah Al-
Juhaili meringkasnya sebagai berikut. 1) Terlarang Sebab Ahliah (Ahli
Akad)
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli dikategorikan shahih apabila dilakuka
oleh orng yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu ber-tasharruf

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


32

secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang jual-belinya tidak sah
adalah sebagai berikut : • Jual-beli orang gila
• Jual-beli anak kecil
• Jual-beli orang buta
• Jual-beli terpaksa
• Jual-beli fudhul
• Jual-beli orang yang terhalang
• Jual-beli malja
2) Terlarang Sebab Shighat
Ulama telah sepakat atas sahnya jual-beli yang didasarkan pada keridhaan
diantara piha yang melakukan akad, ada kesesuaian diantara ijab dan
qabul ; berada disuatu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah.
Beberapa jual-beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh
para ulama adalah berikut ini :
• Jual-beli mu’athah
• Jual-beli melalui surat atau utusan
• Jual-beli dengan isyarat atau tulisan
• Jual-beli barang yang tidak ada ditempat akad
• Jual-beli yang tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
• Jual-beli munjiz
3) Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran
oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi (barang jualan) dan harga.
Ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama, tetapi
diperselisihkan oleh ulama lainnya, diantaranya berikut ini : • Jual-beli
benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
• Jual-beli barang yang tidak dapat diserahkan
• Jual beli gharar
• Jual-beli barang yang najis dan terkena najis
• Jual-beli air
• Jual-beli barang yang tidak jelas(majhul)

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


33

• Jual-beli barang yang tidak ada ditempat akad (ghaib), tidak dapat
dilihat.
• Jual-beli sesuatu belum dipegang
• Jual-beli buah-buahan atau tumbuhan
4) Terlarang Sebab Syara’
Ulama sepakat membolehkan jual-beli yang memenuhi persyaratan dan
rukunnya. Namun demikian, ada beberapa masalah yang diperselisihkan
diantara para ulama, diantaranya berikut ini :
• Jual-beli riba
• Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
• Jual-beli barang dari hasil pencegatan barang
• Jual-beli waktu azan jum’at
• Jual-beli anggur untuk dijadikan khamar
• Jual-beli induk tanpaanaknya yang masih kecil
• Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
• Jual beli memakai syarat
g. Macam-macam Jual-Beli
Jual-beli berdasarkan pertukarannya secara umum di bagi empat macam yakni :
1) Jual-beli saham (pesanan)
Jual beli saham adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual-beli dengan cara
menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar
belakangan.
2) Jual-beli muqayadhah (barter)
Jual-beli muqayadhah adalah jual-beli dengan cara menukar barang dengan
barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
3) Jual-beli muthlaq
Jual-beli muthlaq adalah jual-beli barang dengan sesuatu yang telah
disepakati sebagai alat pertukara, seperti uang.
4) Jual-beli alat penukar dengan alat penukar
5) Jual-beli alat penukar dengan alat penukar
6) adalah jual-beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat
penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.
Berdasarkan segi harga, jual-beli dibagi pula mejadi empat bagian yakni :

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


34

1) Jual-beli yang menguntungkan (al-murabbahah).


2) Jual-beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya
(at-tauliyah).
3) Jual-beli rugi (al-khasarah).
Jual-beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi
kedua orang yang akad saling meridai, jual-beli seperti inilah yang berkembang
sekarang.

2. Syirkah
a. Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti: "percampuran, yakni
bercampunya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya tanpa dapat
dibedakan antara keduanya.
Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/
expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung
bersama.
Sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama
1) menurut Hanafiah
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang
yang berserikat didalam modal dan keuntungan.
2) Menurut Malikiyah
Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang
dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya
saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta
milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.
3) menurut syafi’iyah
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas
suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama
4) menurut Hanabilah
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas hak
atau tasarruf.
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa para ulama mengenai pengertian
dari syirkah bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


35

orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari harta
yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu
dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama
sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
Transaksi syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama
untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama.
Termasuk dalam golongan musyârakah adalah semua bentuk usaha yang
melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama
memadukan seluruh bentuk sumber daya, baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud. Melalui akad ini, kebutuhan nasabah untuk mendapatkan
tambahan modal kerja dapat terpenuhi setelah mendapatkan pembiyaan dari
bank. Selain digunakan untuk pembiayaan modal kerja, secara umum
pembiayaan musyarakah digunakan untuk pembelian barang investasi dan
pembiayaan proyek, bagi bank, pembiayaan musyârakah dan memberi manfaat
berupa keuntungan dari hasil pembiyayaan usaha.
b. Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an,
Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan
dalil-dalilnya, di antaranya:
1) Al-Qur’an
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang
yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian
yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24) Dan firman-Nya
pula:
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan
adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat
AnNisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris,
sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2) Hadits
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa
jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


36

salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya


berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan
AlHakim no.2322).
3) Ijma’
Ijma’ ulama mengatakan, bahwa muslimin telah berkonsensus akan
legitimasi syarikah secara global, walaupun perbedaan pendapat dalam
beberapa elemen dari padanya. Maka secara tegas dapat dikatakan bahwa
kegiatan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar
hukumnya telah jelas dan tegas.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum muslimin
telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun
terdapat perbedaan dalam beberapa elemen darinya.
c. Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung.
Ada perbedaan terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama Hanafiyah rukun
syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan melakukan penawaran perserikatan)
dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan), istilah ijab dan kabul sering
disebut dengan serah terima. Jika ada yang menambahkan selain ijab dan kabul
dalam rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang berakad dan objek akad
menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun tetapi termasuk syarat. Syarat-
syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi
empat bagian, sebagai berikut.
1) Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta
maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a)
berkenaan dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima
sebagai perwakilan, dan b) berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian
keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2) Semua yang bertalian dengan syirkah mâl. Dalam hal ini terdapat dua
perkara yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek
akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan
rupiah, dan b) benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah
dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


37

3) Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan; a)


modal (harta pokok) harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk
kafalah, dan c) orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan
syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4) Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat
syirkah mufâwadhah.
Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan
akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi’i berpendapat bahwa
syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang
lainnya batal. Akad syirkah ada kalanya hukumnya shahih ataupun fasid.
Syirkah fasid adalah akad syirkah di mana salah satu syarat yang telah
disebutkan tidak dipenuhi, jika semau syarat sudah terpenuhi maka syirkah
dinyatakan shahih.
d. Macam-Macam Syirkah
1) Syirkah Amlâk (Hak Milik)
Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual
beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini
kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak
boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya. Menurut Sayyid Sabiq, yang
dimaksud dengan syirkah amlâk adalah bila lebih dari satu orang memiliki
suatu jenis barang tanpa akad baik bersifat ikhtiâri atau jabari.
Syirkah milk juga dibagi menjadi menjadi dua yaitu:
a) Syirkah milk jabr, ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam
pemilikan suatu benda secara paksa
b) Syirkah milk al-ikhtiyar, ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih
untuk menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh
hasil dengan cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat
memperoleh bagian yang ditentukan dari keuntungan.
Syirkah milk tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang
mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam
musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam dua aset
nyata dan berbagi dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


38

2) Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)


Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan
keuntungan, artinya kerjasama ini didahului oleh transaksi dalam
penanaman modal dan kesepakatan pembagian keuntungan. Misalnya,
dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang
hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkah seperti ini,
pihakpihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan
kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik
barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika
barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.
Macam-Macam Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)
Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil
syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam syarikah, yaitu: a)
syirkah al-‘inân
Yaitu penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak
selalu sama jumlahnya. Boleh satu pihak memiliki modal lebih besar
dari pihak yang lain.
b) syirkah al-abdân
Yaitu perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama
sesuai dengan kesepakatan, tanpa konstribusi modal (mâl), seperti kerja
sama sesama dokter di klinik, tukang besi, kuli angkut atau sesama
arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang
penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah dan
sebagainya.
Kerja sama semacam ini dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah,
Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam Syafi’i melarangnya.[16]
c) syirkah al-mudârabah
Yaitu, persetujuan seseorang sebagai pemilik modal (investor)
menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudhârib)
dalam suatu perdagangan tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai
dengan kesepakatan bersama. Adapun kerugiannya ditanggung oleh
pemilik modal saja.
Syarat-syarat mudârabah antara lain:[17]

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


39

i) modal harus dinyatakan dengan jelas mengenai jumlahnya ii) modal


harus diserahkan kepada mudârib untuk memungkinkannya melakukan
usaha
iii) modal harus dalam bentuk tunai bukan utang iv) pembagian
keuntungan harus dinyatakan dalam persentase dari keuntungan yang
mungkin dihasilkan nanti
v) kesepakatan ratio persentase harus dicapai melalui negosiasi dan
dituangkan dalam kontrak
vi) pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudârib
mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada shahib a-mâl
d) syirkah al-wujûh
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan
nama baik serta ahli dalam bisnis atau perserikatan tanpa modal.
Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan
dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang didapat
dibagi bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka.
e) syirkah al-mufâwadhah.
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan
suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap
pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
e. Hal –Hal Yang Membatalkan Syirkah
1) sebab-sebab yang membatalkan syirkah secara umum
• pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan
akad syirkah merupakan akad yang jâiz dan ghair lâzim, sehingga
memungkinkan untuk di-fasakh.
• meninggalnya salah seorang anggota serikat.
• murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah domisilinya ke
darul harb. Hal ini disamakan dengan kematian.
• gilanya peserta yang terus-menerus, karena gila menghilangkan status
wakil dari wakâlah, sedangkan syirkah mengandung unsur wakâlah.
2) Sebab yang membatalkan syirkah secara khusus
• Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


40

serikat sebelum digunakan untuk membeli dalam syirkah amwâl


• Tidak terwujudnya persamaan modal dalam syirkah mufâwadhah ketika
akad akan dimulai. Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal
pada permulaan akad merupakan syarat yang penting untuk keabsahan
akad
3. Mudharabah
a. Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, artinya memukul atau berjalan. Pengertian
memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang menggerakkan
kakinya dalam menjalankan usaha. Mudharabah merupakan bahasa penduduk
Iraq, sedangkan menurut bahasa penduduk Hijaz disebut dengan istilah qiradh.
Secara teknis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak,
dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang
menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola
usaha (mudharib). Keuntungan usaha yang didapatkan dari akad mudharabah
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, dan biasanya
dalam bentuk nisbah (prosentase).
Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian itu ditanggung
oleh shahibul maal sepanjang kerugian itu bukan akibat kelalain mudharib.
Sedangkan mudharib menanggung kerugian atas upaya, jerih payah dan waktu
yang telah dilakukan untuk menjalankan usaha. Namun, jika kerugian itu
diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib harus bertanggungjawab
atas kerugian tersebut (Zuhaili, 1989, IV, hal. 836).
b. Landasan Syariah
Mudharabah merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandasakan atas
dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur'an, Al Hadits ataupun ijma ulama. Di
antara dalil (landasan syariah) yang memperbolehkan praktik akad mudharabah
adalah sebagai berikut:
1. “…dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah…” QS. Al Muzammil: 20, yang menjadi argumen dan dasar
dilakukannya akad mudharabah dalam ayat ini adalah kata „yadhribun‟ yang
sama dengan akar kata mudharabah yang memiliki makna melakukan suatu
perjalanan usaha.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


41

2. “Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia


mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak
menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu
dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan
yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”.
Hadits riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas merujuk pada keabsahan melakukan
transaksi mudharabah. Kedudukan hadits ini lemah, namun demikian dalam
bab mudharabah selalu dijadikan acuan para fuqaha (ahli fiqh). Hadits ini
menunjukkan praktik pembiayaan mudharabah, khususnya mudharabah
muqayyadah, karena shahibul maal sebagai penyedia dana memberikan
beberapa persyaratan bagi mudharib dalam mengelola dana yang diberikan.
Isi hadits ini jelas sekali memberikan legalitas praktik pembiayaan
mudharabah.
3. “Nabi bersabda, ada tida hal yang mengandung berkah; jual beli tidak secara
tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut
untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual”. Hadits riwayat Ibnu
Majah merupakan dalil lain dibolehkannya praktik mudharabah. Kedudukan
hadits ini lemah, namun demikian banyak ulama yang menggunakannya
sebagai dalil untuk akad mudharabah ataupun jual beli tempo.
Ulama menyatakan bahwa keberkahan dalam arti tumbuh dan menjadi lebih
baik, terdapat pada perniagaan, terlebih pada jual beli yang dilakukan secara
tempo ataupun akad mudharabah sebagaimana disabdakan Rasulullah dalam
hadits tersebut.
Dengan menunjuk adanya keberkahan ini, hal ini mengindikasikan
diperbolehkannya praktik mudharabah. Dengan adanya mudharabah ini,
maka usaha yang dijalankan oleh nasabah akan berkembang dan tumbuh
menjadi lebih baik, begitu juga dengan pihak bank, modalnya akan
bertambah karena akan mendapatkan financial return.
4. Kesepakatan ulama akan bolehnya Mudharabah dikutip dari Dr. Wahbah
Zuhaily dari kitab Alfiqh Al Islamy Wa Adillatuh. Diriwayatkan bahwa
sejumlah sahabat melakukan mudharabah dengan menggunakan harta anak
yatim sebagai modal dan tak seorangpun dari mereka yang menyanggah
ataupun menolak. Jika praktik sahabat dalam suatu amalan tertentu yang

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


42

disaksikan oleh sahabat yang lain lalu tidak seorangpun menyanggahnya, maka
hal itu merupakan ijma‟. Ketentuan ijma' ini secara sharih mengakui keabsahan
praktik pembiayaan mudharabah dalam sebuah perniagaan
(Zuhaili, 1989, IV, hal. 838).
c. Qiyas merupakan dalil lain yang membolehkan Mudharabah dengan
mengqiyaskannya (analogi) kepada transaksi Musaqat, yaitu bagi hasil yang
umum dilakukan dalam bidang perkebunan. Dalam hal ini, pemilik kebun
bekerja sama dengan orang lain dengan pekerjaan menyiram, memelihara dan
merawat isi perkebunan. Dalam perjanjian ini, sang perawat (penyiram)
mendapatkan bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan di depan dari out put
perkebunan (pertanian). Dalam mudharabah, pemilik dana (shahibul maal)
dianalogkan dengan pemilik kebun, sedangkan pemeliharaan kebun dianalogkan
dengan pengusaha (entrepreneur). Mengingat dasar hukum musaqot lebih valid
dan tegas yang diambil dari sunnah Rasululah SAW, maka metodologi qiyas
dapat dipakai untuk menjadi dasar diperbolehkannya mudharabah
d. Rukun dan Macam Mudharabah
Akad mudharabah memiliki beberapa rukun yang telah digariskan oleh ulama
guna menentukan sahnya akad tersebut, rukun yang dimaksud adalah
shahibul maal (pemilik dana), mudharib (pengelola), sighat (ijab qabul),
ra'sul maal (modal), pekerjaan, dan keuntungan. Mudharabah adalah akad
kerjasama antara pemilik dana dengan pengelola yang bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dalam sebuah usaha perniagaan.
e. Syarat Mudharabah
Ulama mengajukan beberapa syarat terhadap rukun-rukun yang melekat dalam
akad mudharabah:
1) Untuk shahibul maal dan mudharib, syarat keduanya adalah harus mampu
bertindak layaknya sebagai majikan dan wakil.
2) Sighat atau ijab dan qabul harus diucapkan oleh kedua pihak untuk
menunjukkan kemauan mereka, dan terdapat kejelasan tujuan mereka dalam
melakukan sebuah kontrak.

Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh shahibul maal kepada
mudharib untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah. Modal disyaratkan

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


43

harus diketahui jumlah dan jenisnya (mata uang), dan modal harus disetor
tunai kepada mudharib.
Sebagian ulama membolehkan modal berupa barang inventori ataupun aset
perdagangan, bahkan madzhab Hambali membolehkan penyediaan aset
nonmoneter (pesawat, kapal, alat transport) sebagai modal. Modal tidak
dapat berbentuk hutang (pada pihak ketiga atau mudharib), modal harus
tersedia untuk digunakan dalam bentuk tunai atau aset. Selain itu, modal
harus diserahkan/ dibayarkan kepada mudharib dan memungkinkan baginya
untuk menggunakannya
3) Keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal,
keuntungan adalah tujuan akhir dari kontrak mudharabah. Syarat keuntungan
yang harus terpenuhi adalah: kadar keuntungan harus diketahui, berapa
jumlah yang dihasilkan. Keuntungan tersebut harus dibagi secara
proporsional kepada kedua pihak, dan proporsi (nisbah) keduanya harus
sudah dijelaskan pada waktu melakukan kontrak. Shahibul maal
berkewajiban untuk menanggung semua kerugian dalam akad mudharabah
sepanjang tidak diakibatkan karena kelalaian mudharib.
4) Pekerjaan/usaha perniagaan adalah kontribusi mudharib dalam kontrak
mudharabah yang disediakan sebagai pengganti untuk modal yang
disediakan oleh shahibul maal, pekerjaan dalam konteks ini berhubungan
dengan manajemen kontrak mudharabah. Syarat yang harus dipenuhi adalah:
usaha perniagaan adalah hak eksklusif mudharib tanpa adanya intervensi
dari pihak shahibul maal, walaupun madzhab Hanbali membolehkan
shahibul maal memberikan kontribusi dalam pekerjaan tersebut.
Pemilik dana tidak boleh membatasi tindakan dan usaha mudharib
sedemikian rupa, sehingga dapat mencegahnya dari mencapai tujuan
kontrak mudharabah, yakni keuntungan. Mudharib tidak boleh menyalahi
aturan syariah dalam usaha perniagaannya yang berhubungan dengan
kontrak mudharabah, serta ia harus mematuhi syarat-syarat yang ditentukan
shahibul maal, sepanjang syarat itu tidak kontradiktif dengan apa yang ada
dalam kontrak mudharabah.
f. Hukum Mudharabah

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


44

Mudharabah akan dikatakan fasid jika terdapat salah satu syarat yang tidak
terpenuhi, di antara bentuk mudharabah fasid adalah misalnya, seseorang yang
memiliki alat perburuan (sebagai shahibul maal) menawarkan kepada orang lain
(sebagai mudharib) untuk berburu bersama-sama, kemudian keuntungan dibagi
bersama sesuai kesepakatan. Akad mudharabah ini fasid, mudharib tidak berhak
mendapat keuntungan dari perburuan, keuntungan ini semuanya milik shahibul
maal, mudharib hanya berhak mendapatkan upah atas pekerjaan yang dilakukan.
Dengan alasan, keuntungan yang didapatkan bersumber dari aset yang dimiliki
oleh shahibul maal, begitu juga ia harus menanggung beban kerugian yang ada.
Dalam akad ini, mudharib diposisikan sebagai ajir (orang yang disewa
tenaganya), dan ia berhak mendapatkan upah, baik ketika mendapatkan
keuntungan atau menderita kerugian
Jika semua syarat terpenuhi, maka akad mudharabah dikatakan shahih. Dalam
konteks ini, mudharib diposisikan sebagai orang yang menerima titipan aset
shahibul maal. Ketika mudharib melakukan pembelian, ia layaknya sebagai
wakil dari shahibul maal, ia melakukan transaksi atas aset orang lain dengan
mendapatkan izin darinya. Ketika mudharib mendapatkan keuntungan atas
transaksi yang dilakukan, ia berhak mendapat bagian dari keuntungan yang
dihasilkan, dan bagian lainnya milik shahibul maal. Jika mudharib melanggar
syarat yang ditetapkan shahibul maal, maka ia diposisikan sebagai orang yang
meng-ghosob (menggunakan harta orang tanpa izin) dan memiliki
tanggungjawab penuh atas harta tersebut.
Jika terjadi kerugian atas aset, maka ia tidak diharuskan untuk menanggung
kerugian, karena ia diposisikan sebagai pengganti shahibul maal dalam
menjalankan bisnis, sepanjang tidak disebabkan karena kelalaian. Jika terjadi
kerugian, maka akan dibebankan kepada shahibul maal, atau dikurangkan dari
keuntungan, jika terdapat keuntungan bisnis.
Jaminan dalam kontrak mudharabah merujuk kepada tanggungjawab mudharib
untuk mengembalikan modal kepada pemilik dana dalam semua keadaan. Hal
ini tidak dibolehkan, karena adanya fakta bahwa pegangan mudharib akan dana
itu sifatnya amanah, dan orang yang diamanahkan tidak berkewajiban menjamin
dana itu kecuali melanggar batas atau menyalahi ketentuan.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


45

Jika shahibul maal mensyaratkan kepada mudharib untuk menjamin penggantian


modal ketika terjadi kerugian, maka syarat itu merupakan syarat batil dan akad
tetap sah adanya, ini menurut pendapat Hanafiyah dan Hanabalah. Menurut
Syafiiyyah dan Malikiyyah, akad mudharabah menjadi fasid (rusak), karena
syarat tersebut bersifat kontradiktif dengan karakter dasar akad mudharabah
(Zuhaili, 1989, IV, hal. 854).
4. Muzara’ah dan Musaqah
a. Pengertian Muzara’ah dan Musaqah
1) Muzara’ah
Kata “Muzara’ah”, secara etimologi adalah bentuk mashdar dari asal kata,
“az- zar’u” yang artinya adalah, al- inbat ( menanam, menumbuhkan ).
Sedangkan menurut terminologi syara’ adalah, sebuah akad pengolahan
dan penanaman (lahan) dengan upah sebagian dari hasilnya.
Ulama malikiyyah mendepenisikannya dengan, persekutuan atau perjoinan
(kerjasama) dalam mengolah dan menanami lahan.
Ulama hambaliah mendefenisikannya seperti berikut, penyerahan suatu
lahan kepada orang (buruh tani) yang mengolah dan menanaminya,
sedangkan hasil tanamannya dibagi di antara mereka berdua (pemilik lahan
dan pengolah).
Al- muzara’ah juga dengan al- Mukhaabarah (dari asal kata, “al-khabaar)
dan al- muhaaqalah. Sedangkan orang Irak menyebutnya al- qaraah.
Sementara itu, Syafi’iyyah menjelaskan pengertian al- Mukhaabarah
seperti berikut, mengerjakan suatu lahan dengan upah sebagian dari
hasilnya, sementara benihnya dari pihak pekerja. Sedangkan al- Muzara’ah
sama dengan al- Mukhaabarah, hanya saja benihnya dari pemilik lahan.
Kesimpulannya adalah, bahwa al- Muzara’ah adalah akad pemanfa’atan
dan penggarapan lahan pertanian antar pemilik lahan dengan pihak
penggarap, sedangkan hasilnya dibagi di antara mereka berdua dengan
prosentase bagian sesuai yang mereka berdua sepakati.
2) Musaqah
Secara bahasa, musaqah adalah bentuk masdar al- mufaa’alah dari asal kata
“as-saqyu.” Ulama Madinah menyebutnya dengan nama al- muamalah,
bentuk mashdar al- mufaa’alah dari asal kata “al-‘amal.” Namun nama

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


46

musaqah lebih diutamakan untuk digunakan, karena unsur yang dominan


di dalam akad musaqah adalah as-saqyu (penyiraman, pengairan).
Sedangkan secara syara’, musaqah adalah suatu kesepakatan atau kontrak
kerja berupa pemasrahan pepohonan kepada seseorang untuk ia sirami dan
rawat sedangkan hasil buahnya dibagi di antara kedua belah pihak. Atau
dengan kata lain, sebuah kontrak kerja dengan upah sebagian dari hasil
pepohonan yang didapatkan. Atau dengan kata lain, memasrahkan pohon
kepada seseorang untuk ia rawat dengan upah sebagian tertentu dari buah
yang dihasilkan.
Sedangkan menurut Ulama Syafi’iyah, musaqah adalah mempekerjakan
seseorang untuk menyirami dan merawat pohon kurma atau pohon anggur
saja dengan kesepakatan bahwa hasil buahnya untuk mereka berdua.
b. Dasar hukum Muzara’ah dan Musaqah
1) Muzara’ah
Imam abu Hanifah dan Zufar tidak memperbolehkan Muzara’ah. Mereka
berdua mengatakan bahwa akad Muzara’ah adalah faasidah (rusak, tidak
sah). Dengan kata lain, akad Muzara’ah dengan upah sepertiga atau
seperempat dari hasil tanam- tanamannya adalah batal dan tidak sah
menurut pendapat mereka berdua.
Begitu juga, imam Asy- Syafi’i tidak memperbolehkan Muzara’ah.
Menurut ulama Syafi’yyah, yang boleh hanyalah Muzara’ah yang statusnya
mengikuti akad Musaaqah (penyiraman dan perawatan pohon) karena
dibutuhkan. Sedangkan Mukhabarah (Muzara’ah yang benihnya dari pihak
pekerja) menurut ulama Syafi’iyyah hukumnya tidak boleh meskipun
statusnya mengikuti akad Muzaqaah, karena tidak ada dalil yang
menunjukkan pensyari’atannya.
Sementara itu, kedua rekan Abu Hanifah (Muhammad dan Abu Yusuf),
Imam Malik, Imam Ahmad, dan Daud Azh-Zhahiri dan ini merupakan
pendapat jumhur fuqaha bahwa Muzara’ah adalah boleh. Hal ini
berdasarkan, . mengolah dan mengerjakan lahan Khaibar dengan upah
dengan separuhdari hasil pohon kurma atau dari hasil panen pertaniannya.
Juga karena itu adalah sebuah bentuk akad kerja sama (join) antara harta
dan pekerjaan, maka oleh menutupi celah- celah kebutuhan, sebab

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


47

terkadang ada orang memiliki lahan, namun tidak memiliki keahlian dan
pengalaman di dunia pertanian, sedangkan dipihak lain, ada orang yang
tidak memiliki lahan, namun memiliki keahlian dan pengalaman di dunia
pertanian. Sehingga jika kedua orang tersebut bekerja sama, maka hal itu
bisa memberikan dan menciptakan banyak kebaikan dan keuntungan. Dan
fatwa dalam masalah ini menurut ulama Hanafiyyah adalah memakai
pendapat kedua rekan Imam Abu Hanifah ini. Karena akat seperti itu
memang di butuhkan. Ini adalah pendapat yang raajih.
2) Musaqah
Musaqah menurut ulama Hanafiyah adalah sama seperti muzara’ah baik
dari segi hukumnya, perbedaan pendapat yang ada didalamnya dan syarat-
syarat yang memungkinkan didalamnya. Oleh karena itu musaqah menurut
Imam Abu Hanifah dan Zufar adalah tidak boleh. Akad musaqah dengan
upah sebagian dari buah yang dihasilkan adalah batal dan tidak sah menurut
mereka berdua. Karena itu berarti menyewa atau mempekerjakan dengan
upah sebagian dari buah yang dihasilkan, dan itu adalah dilarang.
Rasulullah saw. bersabda,” barang siapa memiliki suatu lahan, maka
hendaklah ia menanaminya janganlah ia menyewakannya atau mengupah
seseorang untuk menanaminya dengan biaya sewa atau dengan upah
sepertiga atau seperempat (dari hasilnya) atau dengan biaya sewa atau upah
dalam bentuk makanan yang disebutkan.
Sementara itu, dua rekan Imam Abu Hanifah(Muhammad dan Abu Yusuf)
serta jumhur ulama (termasuk diantaranya adalah Imam Malik , Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad), berpendapat bahwa Musaqah hukumnya boleh
dengan sejumlah syarat. Pendapat dilandaskan pada hadits yang
menceritakan tentang praktek Rasulullah saw. yang memasrahkan tanah
khaibar kepada para penduduknya untuk digarap dengan upah sebagian dari
hasil tanah khaibar tersebut. Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar r.a.
“Bahwasanya Rasulullah saw. mempekerjakan penduduk khaibar untuk
mengolah dan menggarap tanah khaibar dengan upah sebagian dari hasilnya
berupa hasil buah kurma atau hasil ladang pertanian yang mereka garap dan
kelola tersebut.”

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


48

Hadis ini diriwayatkan oleh al- Jama’ah (al- Bukhari, Muslim, at-Tirmizi,
an-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad). Juga kerena alasan
akad musaqah adalah akad yang sangat dibutuhkan. Sebab, pemilik kebun
terkadang tidak memiliki keahlian dan pengalaman dalam mengelola dan
merawatnya, atau mungkin tidak punya wakyu untuk itu, sementara di sisi
lain ada orang yang memiliki kemampuan dan keahlian merawat dan
mengelola kebun serta memiliki waktu untuk itu, namun ia tidak memiliki
lahan perkebunan, sehingga pemilik lahan perkebunan membutuhkan
pekerja dan pihak pekerja membutuhkan pekerjaan, sehingga terjalin
hubungan mutual simbiosis di antara keduanya.
Fatwa dalam masalah ini di kalangan ulama Hanafiyah adalah berdasarkan
pendapat Muhammad dan Abu Yusup, dengan landasan praktek yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. para istri beliau, Khulafa’urrasyidin
dan penduduk madinah. Juga berdasarkan ijmak para sahabat atas
pembolehan musaqah. Ibnu Juzai, salah satu ulama mazhab maliki
mengatakan , musaqah adalah boleh dan statusnya adalah sebagai bentuk
akad yang dikecualikan dari dua asas yang di larang yaitu, akad Ijaarah
yang tidak jelas dan tidak pasti, serta menjual sesuatu yang belum tercipta.
c. Rukun muzara’ah dan Musaqah
1) Muzara’ah
Rukun muzara’ah menurut ulama Hanafiyah adalah, ijab dan qabul. Yaitu
pemilik lahan berkata kepada pihak penggarap, “aku serahkan lahan ini
kepadamu sebagai muzara’ah dengan upah sekian.” Lalu pihak penggarap
berkata, “aku terima,” atau “aku setuju,” atau perkataan- perkataan yang
menunjukkan bahwa ia menerima dan menyetujuinya. Apabila ijab qabul
ini sudah terjadi, maka mberlakulah akad Muzara’ah diantara keduanya.
Sedankan elemen akad Muzara’ah ada tiga, yaitu, pemilik lahan,
pengagarap, dan yang ketiga adalah objek akad yang memiliki dua
kemungkinan, yaitu kemanfaatan lahan atau pekerjaan penggarap (yang
pertam berarti pihak penggarap menyewa lahan, sedangkan yang kedua
berarti pihak pemilik lahan mempekerjakan atau mengupahnya untuk
menggarap lahannya. Kedua hal ini dalam fiqih disebut akad ijaarah).
Menurut Ulama Hanafiyah, akad Muzara’ah pada awalnya adalah bentuk

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


49

akad ijaarah, sedangkan pada akhirnya berupa syarikah (kerja sama


patungan atau joinan). Apabila benihnya dari pihak penggarap, maka objek
akadnya berarti kemanfaatan lahan.sedangkan jika benihnya dari pihak
pemilik lahan, maka objek akadnya berarti kemanfaatan (baca: pekerjaan)
sipenggarab.
Sementara itu, Ulama Hanabilah mengatakan, bahwa akad Muzara’ah dan
Musaqah tidak perlu kepada qabul secara lisan, akan tetapi qabul cukup
dengan sipenggarap memulai mengerjakan dan mengolah lahan atau
merawat dan menyirami tanaman, sama seperti wakil.
Adapun sifat akad Muzara’ah maka menurut Ulama Hanafiyah adalah sama
seperti akad-akad syarikah yang lain, yaitu statusnya adalah ghairu lazim
(tidak berlaku mengikat). Sementra itu Ulama Malikiyah mengatakan
bahwa akad Muzara’ah statusnya sudah menjadi lazim (berlaku mengikat)
jika benih telah ditaburkan atau telah ditanam. Pendapat yang mu’tamat
menurut Ulama Malikiah adalah, bahwa bentuk-bentuk akad syarikah
(kerja sama joinan), dalam harta statusnya sudah menjadi lazim (mengikat)
jika telah ada ijab qabul. Sementara itu Ulama Hanabilah mengatakan,
bahwa akad Muzara’ah dan Musaqah adalah dua akad yang statusnya
ghairu lazim (tidak berlaku mengikat), sehingga salah satu pihak bisa
membatalkannya dan akad menjadi batal dengan meniggalkannya salah satu
pihak.
2) Musaqah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun Musaqah adalah ijab dan
qabul, seperti pada Muzara’ah. Adapun yang bekerja adalah penggarap saja,
tidak seperti dalam muzara’ah. Ulama Malikiyah berpendapat tidak ijab-
qabul dengan pekerjaan, tetapi harus dengan lafazh. Menurut Ulama
Hanabilah, qabul dalam Musaqah, seperti dalam muzara’ah tidak
memerlukan lafazh, cukup dengan menggarapnya. Sedangkan Ulama
Syafi’iyah mensyaratkan dalam qabul dengan lafazh (ucapan) dan
ketentuannya didasarkan pada kebiasaan umum.
Jumhur ulama menetapkan bahwa rukun Musaqah ada 5 (lima), yaitu
sebagai berikut:
1. Dua oarang yang akad (al- aqidani)

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


50

2. Objek Musaqah
3. Buah
4. Pekerjaan
5. Shighaat
d. Cara Pelaksanaan Muzara’ah dan Musaqah
Muzara’ah dan musaqah dilaksanakan setelah akad (ijab qabul) di antara kedua
belah pihak sudah di ucapkan. Dengan adanya kesepakatan itu maka
sipenggarap melaksanakannya dengan memenuhi syarat- syarat yang telah
disepakati diantara kedua belah pihak. Muzara’ah dan musaqah akan berakhir
apabila:
1) Jangka waktu yang disepakati berakhir. Akan tetapi, apabila jangka
waktunya sudah habis, sedangkan hasil pertanian itu belum layak panen,
maka akad itu tidak dibatalkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai
dengan kesepakatan bersama di waktu akad.
2) Apabila salah seorang yang berakad wafat.
3) Adanya uzur salah satu pihak. Uzur dimaksud antara lain:
a) Pemilik tanah terbelit hutang, sehingga tanah pertanian itu harus ia jual,
karena tidak ada harta lain yang dapatmelunasi hutang itu. Pembatalan
ini harus dilaksanakan melalui campur tangan hakim. Akan tetapi,
apabila tumbuh- tumbuhan itu telah berubah, tetapi belum layak panen,
maka tanah itu tidak boleh dijual sampai panen.
b) Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan suatu
perjalanan di luar kota, sehingga ia tidak mampu melaksanakan
pekerjaannya.

G Khiyar Dan Ijarah, Kafalah Dan

Hawalah

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


51

1 Khiyar dan Ijarah


a. Khiyar
1) Pengertian
Secara bahasa khiyar berarti pilihan. Dalam transaksi jual beli pihak pembeli
maupun penjual memiliki pilihan untuk menentukan apakah mereka betul-betul
akan membeli atau menjual, membatalkannya dan atau menentukan pilihan di
antara barang yang ditawarkan. Pilihan untuk meneruskan atau membatalkan dan
menjatuhkan pilihan di antara barang yang ditawarkan, jika dalam transaksi itu
ada beberapa item yang harus dipilih, dalam fikih muamalat disebut khiyar.
Suatu akad lazim adalah akad yang kosong dari salah satu khiyar yang memiliki
konsekuensi bahwa pihak yang menyelenggarakan transaksi dapat melanjutkan
atau membatalkan kontrak. Khiyar ini penting dalam transaksi untuk menjaga
kepentingan, kemaslahatan dan kerelaan kedua pihak yang melakukan kontrak
serta melindungi mereka dari bahaya yang mungkin menimbulkan kerugian bagi
meretka. Dengan demikian khiyar disyariatkan oleh Islam untuk memenuhi
kepentingan yang timbul dari transaksi bisnis dalam kehidupan manusia.
Sumbersumber yang melandasi khiyar ada dua macam yaitu kesepakatan antara
pihak yang menyelenggarakan akad seperti khiyar khiyar syarat dan ta'yin dan
syara' sendiri seperti khiyar ru'yah dan aib.
2) Macam-macam khiyar.
Khiyar itu banyak sekali macamnya. Dalam literatur fikih muamalat terdapat
kurang lebih 17 (tujuh belas) macam khiyar. Namun untuk kajian kali ini kita
hanya akan membahas lima macam khiyar yang penting yaitu khiyar majlis,
ta'yin, syarat, aib, dan ru'yah. a) Khiyar Majlis
Yang dimaksud dengan khiyar majlis adalah hak pilih dari pihak yang
melangsungkan akad untuk membatalkan (mem-fasakh) kontrak selama
mereka masih berada di tempat diadakannya kontrak (majlis akad) dan belum
berpisah secara fisik. Khiyar ini terbatas hanya pada akad-akad yang
diselenggarakan oleh dua pihak seperti akad muawazhah dan ijarah. Madzhab
yang sangat vokal membela kedudukan khiyar majlis adalah Syafi'i dan
Hambali sementara itu Maliki dan Hanafi menentang keberadaan khiyar majlis
dalam akad.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


52

Madzhab Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa khiyar majlis ini tidak ada
dasarnya dalam syariah karena bertentangan dengan nas al-Qur'an S.
alMaidah : 1 yang artinya : " Wahai orang-orang yang beriman penuhilah
akadakad itu" dan an-Nisa : 29 yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu".
Menurut mereka adanya ijab dan qabul dalam akad dipandang sudah
memenuhi seluruh persyaratan akad berdasarkan ayat tersebut. Karena itu
kedudukan khiyar majlis tidak diperlukan lagi karena ijab dan qabul sudah
otomatis mengandung kerelaan dari masing-masing yang melangsungkan akad
sehingga tidak perlu menunggu khiyar majlis.
Sebenarnya tidak ada pertentangan antara khiyar majlis dengan semangat
ayatayat al-Qur'an di atas. Hal ini disebabkan karena akad yang sempurna dan
memiliki kekuatan untuk dijalankan (lazim) adalah akad yang, selain sudah
memenuhi segenap syarat dan rukunnya, juga tidak mengandung khiyar di
dalamnya. Justru khiyar ini disyariatkan untuk menegaskan dan mengokohkan
kesempurnaan "berlaku suka sama suka di antara kamu".
Madzhab Syafi'i dan Hambali berpandangan bahwa jika akad telah disepakati
oleh kedua belah pihak dengan ijab dan qobul, maka kedudukan akad ini
menjadi jaiz selama kedua pihak masih berada di dalam majlis akad. Pada saat
itu masing-masing pihak masih memperoleh khiyar untuk menetapkan apakah
transaksi dibatalkan atau terus dilanjutkan. Untuk menentukan bagaimana
hakekat perpisahan yang mengandung konsekuensi keluar dari majlis akad dan
khiyar majlis telah dilampui sehingga transaksi secara hukum syara' telah
dinilai berlangsung, diserahkan kepada urf atau kebiasaan yang berlaku di
masyarkat itu. Khiyar majlis ini didasarkan pada hadis shahih :
" Kedua pihak (pembeli dan penjual) memiliki khiyar selama keduanya belum
berpisah atau salah satu berkata kepada yang lain : Pilihlah". Maksud
"pilihlah" di sini adalah pemilihan antara apakah transaksi itu jadi dituntaskan
atau dibatalkan.
b) Khiyar Syarat
Khiyar syarat merupakan hak dari masing-masing pihak yang
menyelenggarakan akad untuk melanjutkan atau membatalkan akad dalam

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


53

jangka waktu tertentu. Misalnya dalam suatu transaksi jual beli seorang
pembeli berkata kepada penjual : Aku membeli barang ini dari kamu dengan
syarat aku diberi khiyar selama sehari atau tiga hari. Khiyar ini diperlukan
karena si pembeli perlu waktu untuk mempertimbangkan masak-masak
pembelian ini. Ia juga perlu diberikan kesempatan untuk mencari orang yang
lebih ahli untuk diminta pendapatnya mengenai barang yang akan dibeli
sehingga terhindar dari kerugian atau penipuan.
Khiyar syarat sama halnya dengan khiyar majlis dalam arti kata hanya berlaku
bagi akad-akad lazim saja, yaitu akad yang dapat dibatalkan oleh kerelaan
pihak yang menyelenggarakannya seperti jual beli, ijarah, musaqah, dan
mudharabah. Adapun akad yang tidak lazim seperti wakalah, wadiah, hibah
dan wasiyah tidak memerlukan khiyar karena tabiatnya memang tidak
membutuhkannya.
Masa tenggang khiyar syarat
Para ulama berselisih pendapat mengenai lamanya masa tenggang waktu dalam
khiyar syarat. Namun umumnya mereka sepakat bahwa tenggang waktu bagi
khiyar syarat harus ditentukan secara tegas dan jelas sebab kalau tidak akad
terancam fasad (menurut Hanafi) dan batal menurut Syafi'iyah dan
Hambaliyah. Masa tenggang khiyar ini mulai berlaku sesudah akad disepakati
bersama. Pada garis besarnya perbedaan mereka mengenai lamanya masa
tenggang ini dapat dikelompokkan kepada tiga macam.
i) Hanafiyah dan Syafi'iyah berpendapat masanya tidak boleh lebih dari tiga
hari karena hadis yang menetapkan khiyar ini menyebutkan masa tiga hari.
" Jika kamu menjual maka katakanlah : Tidak ada kecurangan. Dan saya
memiliki khiyar selama tiga hari". H. R. Bukhori.
Menurut mereka bahwa masa tiga hari sudah dirasa cukup bagi pembeli
untuk menjatuhkan pilihannya. Karena itu jika ia melanggar lebih dari tiga
hari, akadnya maenjadi fasad dan batal.
ii) Madzhab Hanbali dan sebagian Hanafiyah berpendapat bahwa waktu
tenggang bagi khiyar syarat ini tidak harus merujuk kepada hadis tersebut
melainkan kepada kesepakatan pihak-pihak yang melakukan transaksi
meskipun pada akhirnya harus melebihi dari tiga hari. Hal ini disebabkan
karena khiyar syarat ditetapkan oleh syara' untuk memudahkan transasksi

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


54

dan bermusyawarah. Masa tiga hari kadang-kadang tidak cukup untuk


mengambil keputusan yang bijak. Meskipun dalam hadis tersebut
dinyatakan tiga hari dan itu dianggap cukup, namun bagi orang-orang
tertentu tiga hari belum tentu cukup. Karena itu persoalan lamanya
tenggang ini diserahkan kepada pihak yang melangsungkan transaksi.
iii)Madzhab Maliki berpendapat bahwa tenggang masa khiyar syarat
ditentukan oleh keadaan kebutuhan di lapangan dan ini akan berbeda-beda
tergantung kepada keadaan masing-masing barang. Kalau barang yang
dibeli itu mudah rusak seperti buah-buahan, masanya cuma sehari; kalau
pakaian dan barang-barang tahan lama bisas mencapai tiga hari; tetapi kalau
barang itu jauh dari jangkauan si pembeli, maka bisa melebihi dari tiga hari.
c) Khiyar A'ib
Yang dimaksud dengan khiyar a'ib adalah hak yang ada pada pihak yang
melakukan akad untuk membatalkan atau meneruskan akad bila mana
ditemukan a'ib pada barang yang ditukar atau alat tukarnya (harga) yang
disepakati sementara si empunya tidak tahu tentang hal itu pada saat akad
berlangsung. Persoalan ini muncul bilamana barang yang ditransaksikan itu
cacat atau alat penukarnya berkurang nilainya dan itu tidak diketahui oleh si
empunya. Ketetapan adanya khiyar ini dapat diketahui secara terang-terangan
atau secara implisit. Dalam setiap transaksi, pihak yang terlibat secara implisit
menghendaki agar barang dan penukarnya bebas dari cacat. Hal ini masuk akal
karena pertukaran itu harus dilangsungkan secara suka sama suka dan ini hanya
mungkin jika barang dan penukarnya tidak mengandung cacat.
Khiyar ini berlaku pada transaksi-transaksi pada akad lazim yang mengandung kemungkinan
untuk dibatalkan seperti akad jual beli, ijarah dan lain-lain. Diceritakan bahwa suatu hari
Rasulullah SAW berjalan di suatu pasar dan melewati seorang pedagang yang menjual
makanan. Beliau lalu memasukkan tangannya ke dalam makanan itu dan mendapati di
dalamnya basah. Seketika itu beliau berkata : " Barang siapa curang (menipu) bukanlah dari
golongan kami". Rasulullah SAW juga bersabda : "Seorang Muslim ada saudara bagi Muslim
yang lain, tidak halal bagi seorang Muslim yang menjual barang dagangan kepada
saudaranya, di mana di dalamnya ada cacat, melainkan ia memberitahukan kepadanya." H.R.
Ibnu Majah.
Syarat ditetapkannya khiyar a'ib.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


55

i) Adanya cacat pada barang atau penukarnya sebelum akad atau sesudahnya
tetapi barang belum diserahkan kepada pembeli. Jika barang itu terlanjur
sudah diserahkan, maka khiyar menjadi tidak berlaku.
ii) Si pembeli tidak mengetahui adanya kecacatan itu pada saat akad dan
penyerahan. Sekiranya ia tahu pada saat itu dan ia menerima penyerahan
barang, maka ia dianggap telah rela terhadap barang itu dan khiyar a'ib tidak
berlaku.
iii) Tidak ada persyaratan dari si pemilik tentang bebasnya barang dari cacat.
Seandainya disyaratkan dalam akad, maka tidak berlaku khiyar bagi si
pembeli jika ia telah membebaskan (barangnya dari cacat), berarti ia telah
menghapuskan haknya sendiri.
iv) Cacat itu tidak boleh hilang sebelum dibatalkan transaksi.
d) Khiyar Ru'yah
Yang dimaksud dengan khiyar ru'yah adalah hak pembeli untuk melanjutkan
transaksi atau membatalkannya ketika melihat (ru'yah) barang yang akan
ditransaksikan. Ini terjadi manakala pada saat akad dilakukan barang yang
ditransaksikan tidak ada di tempat sehingga pembeli tidak melihatnya. Jika ia
telah melihatnya maka khiyar ru'yahnya menjadi hangus dan tidak berlaku.
Khiyar ru'yah, seperti halnya khiyar-khiyar yang telah dijelaskan di depan
berlaku hanya pada akad lazim yang mengandung potensi untuk dibatalkan
seperti jual beli barang yang sudah siaap di tempat dan ijaroh. Adapun jual beli
barang yang belum siap dan hanya diberitahukan lewat ciri-ciri dan sifatnya saja
seperti dalam akad salam, maka khiyar ru'yah tidak berlaku.

Para fukoha umumnya membolehkan khiyar ru'yah dalam transaksi jual beli
barang yang sudah siap tetapi tidak ada di tempat (al-a'in al-ghoibah).
Diriwayatkan bahwa Utsman bin Affan pernah menjual sebidang tanahnya di
Basrah kepada Tholhah bin Abdullah RA. Keduanya sama-sama belum melihat
tanah tersebut. Dikatakan kepada Utsman:" Anda bermain curang?". Maka ia
berkata : " Saya punya khiyar (ru'yah), karena saya menjual sesuatu yang belum
saya lihat." Lalu dikatakan kepada Tholhah:" Anda juga berlaku curang." Maka
ia menjawab : " Saya punya khiyar (ru'yah) karena saya membeli sesuatu yang
belum saya lihat." H.R Baihaqi.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


56

Selain dari hadis di atas para ulama juga berpendapat bahwa khiyar ru'yah ini
sangat diperlukan dalam berbagai transaksi bisnis. Misalnya saja, seseorang
mungkin membutuhkan suatu barang yang belum ia lihat, dengan adanya khiyar
ru'yah maka kasus ini dapat diselesaikan dengana mudah karena ia dapat diberi
kesempatan melihat barang yang akan dibeli sehingga terhindar dari
kecurangan, tipuan dan permainan yang akan merugikan dirinya.
Syarat-syarat berlakunya khiyar ru'yah.
i) Tidak/ belum terlihatnya barang yang akan dibeli ketika akad atau sebelum
akad.
ii) Barang yang diakadkan harus berupa barang konkrit seperti tanah,
kendaraan, rumah dan lain-lain.
iii) Jenis akad ini harus dari akad-akad yang tabiatnya dapat menerima
pembatalan seperti jual beli dan ijarah. Bila tidak bersifat menerima
pembatalan maka khiyar ini tidak berlaku seperti kawin dan khulu' tidak
berlaku khiyar ru'yah di dalamnya.
e) Khiyar Ta'yin
Yang dimaksud dengan khiyar ta'yin adalah hak yang dimiliki oleh orang yang
menyelenggarakan akad (terutama pembeli) untuk menjatuhkan pilihan di antara
tiga sifat barang yang ditransaksikan. Biasanya barang yang dijual memiliki tiga
kualitas yaitu biasa, menengah dan istimewa. Pembeli diberikan hak pilih
(ta'yin) untuk mendapatkan barang yang terbaik menurut penilaiannya sendiri
tanpa menadapatkan tekanan dari manapun juga. Khiyar inipun hanya berlaku
bagi akad-akad mu’awazhat yaitu akad-akad yang mengandung tukar balik
seperti macam-macam jual beli dan hibah.
Tidak semua fuqaha sepakat dengan khiyar ini karena menurut mereka wujud
khiyar ini mengindikasikan adanya ketidakjelasan dalam barang yang
ditransaksikan. Padahal dalam persyaratan akad, barang yang akan dijual harus
jelas dan terang. Karena itu dibolehkannya khiyar ta'yin dalam akad seolah-olah
bertetangan dengan persyaratan akad. Sementara itu Abu Hanifah (Imam
Hanafi) dan kedua sahabatnya (Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad)
membolehkan khiyar ta'yin secara istihsan karena hal ini sangat diperlukan
dalam kehidupan bisnis. Misalnya ada orang yang mau membeli suatu barang
yang ia butuhkan, tetapi ia tidak mengetahui banyak tentang kegunaan secara

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


57

optimal, kualitas, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan manfaat dan
kualitasnya. Untuk itu ia perlu konsultasi dengan orang lain yang lebih ahli
dalam bidang itu sehingga dapat memilih secara bijak dan tepat.
Syarat-syarat khiyar ta'yin
i) Biasanya kualitas suatu barang itu dari biasa, menengah dan istimewa.
Karena itu khiyar dibatasi hanya pada tiga klasifikasi di atas. Lebih dari itu
tidak diperlukan lagi khiyar.
ii) Adanya kualitas dan jenis barang atau harganya bertingkat-tingkat.
iii) Masa khiyar ta'yin harus tertentu dan dijelaskan, misalnya 3 hari.
2. Ijarah
1) Definisi dan Konsep al-Ijarah
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.
Pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya
terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang, pada
ijarah objek transaksinya adalah barang maupun jasa.
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran
sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan
dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.”

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


58

Berkatalah dia (Syu’aib): ”Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan


salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku
delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu
kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya
Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik. Hadis Riwayat Ibn Majah
dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering”. Hadis riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id
al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:“Barang siapa mempekerjakan pekerja,
beritahukan-lah upahnya”.
2) Rukun dan Jenis Ijarah
Rukun Ijarah
Menurut ulama’ Hanafiyah rukun ijarah adalah ijab dan qabul, dengan menggunakan
kalimat: al-Ijarah, al-Isti’jar, al-Ikra’ dan al-Iktira’. Akan tetapi menurut jumhur
ulama’ rukun Ijarah ada empat:
a. Orang yang berakad (Muajir atau penyewa dan musta’jir atau yang menyewakan
barang).
b. Sighat (ijab dan qabul)
c. Ujrah (ongkos sewa)
d. Manfa’ah (Manfaat)
Jenis Ijarah Menurut Objeknya
Berdasarkan obyeknya, Ijarah terdiri dari:
a. Ijarah dimana obyeknya manfaat dari barang, seperti sewa mobil, sewa rumah,
dsb.
b. Ijarah dimana obyeknya adalah manfaat dari tenaga seorang seperti jasa
konsultan, pengacara, buruh, kru, jasa guru/dosen,dll.
3) Konsekuensi Hukum dan Pemeliharaan Asset dalam Akad Ijarah
Terdapat beberapa konsekuensi hukum dan ketentuan tentang tanggungjawab
pemeliharaan asset dalam akad Ijarah:
a) Konsekuensi hukum dan keuangan yang timbul dari akad ijarah adalah
timbulnya hak atas manfaat dari asset yang disewa oleh penyewa (musta’jir) dan
penerimaan fee/ujrah bagi pemilik asset (muajjir).
b) Pemberi sewa (mu’jir) wajib menyediakan manfaat bagi penyewa dari asset
yang disewa dengan cara menjaga agar manfaat itu tersedia selama periode

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


59

penyewaan dalam batas yang normal. Apabila terjadi sesuatu yang membuat
manfaat itu terhenti, maka pemberi sewa wajib memperbaikinya/menggantinya.
c) Pada prinsipnya dalam kontrak ijarah harus dinyatakan dengan jelas siapa yang
menanggung biaya pemeliharaan asset obyek sewa. Sebagian ulama menyatakan
jika kontrak sewa menyebutkan biaya perbaikan ditanggung penyewa, maka
kontrak sewa itu tidak sah, karena penyewa menangung biaya yang tidak jelas.
Hal ini sesuai dengan kaedah Al-Ajru wa adh Dhaman La Yajtami’ani. Artinya:
pembayaran fee (bayaran sewa) tidak boleh berhimpun dengan biaya perbaikan
kerusakaan.
3. Kafalah dan Hawalah
a. Kafalah
1) Pengertian Kafalah
Dalam pengertian bahasa kafalah berarti adh dhamman (jaminan), sedangkan
menurut pengertian syara‟ kafalah adalah proses penggabungan tanggungan kafiil
menjadi tanggungan ashiil dalam tuntutan/permintaan dengan materi sama atau
hutang, atau barang atau pekerjaan.
Pengertian Kafalah menurut beberapa para ulama adalah sebagai berikut: a)
Mazhab Hanafi
Menggabungkan dzimah dengan dzimah yang lain dalam penagihan, dengan
jiwa, utang, atau zat benda. Menggabungkan dzimah kepada dzimah yang
lain dalam pokok (asal) utang.
b) Mazhab Maliki
“Orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta
bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai
(sama) maupun pekerjaan yang berbeda”.
c) Mazhab Hambali
“Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda
tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak
menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak”.
d) Mazhab Syafi’
“Akad yang menetapkan itizam hak yang tetap pada tanggungan (beban)
yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan
badan oleh orang yang berhak menghadirkannya”. Kafalah adalah

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


60

penjaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga


untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful 'anhu,
ashil) atau mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan
berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Pihak penjamin
bisa perorang maupun institusi tertentu.
2) Dasar Hukum Kafalah
Dalam hukum Islam, seseorang diperkenankan mendelegasikan suatu tindakan
tertentu kepada orang lain yang mana orang lain tersebut bertindak atas nama
pemberi kuasa atau yang mewakilkan sepanjang kegiatan yang didelegasikan
diperkenankan oleh agama. Dalil yang dipergunakan, antara lain adalah:
AL-QUR’AN:
“Penyeru- penyeru itu berkata: Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta dan aku menjamin terhadapnya “(QS. Yusuf : 72).
Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.....”
(QS. al- Ma‟idah : 2)
AS-SUNNAH:“Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin

hendaklah membayar” (Riwayat Abu Dawud).“Bahwa Nabi Saw. pernah


menjamin sepuluh dinar dari seorang laki-laki yang oleh penagih ditetapkan
untuk menagih sampai sebulan, maka hutang sejumlah itu dibayar kepada
penagih” (Riwayat Ibnu Majah).
3) Rukun Dan Syarat-Syarat Dalam Kafalah
Menurut kelompok Hanafiah, rukun Kafalah itu hanya ijab qabul. Ijab
merupakan pernyataan menjamin sesuatu dari pihak yang memberi jaminan
(kafil) dan qabul adalah penerimaan jaminan dari pihak yang diberi
jaminan(Madmun lah) tanpa harus terkait dengan menggunakan sesuatu lafaz
tertentu. Menurut Jumhur ulama tidak sependapat dengan pandangan
kelompok hanafiah. Mereka berpendirian bahwa rukun dan syarat Kafalah itu
adalah sebagai berikut:

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


61

a) Dhamin, kafil, atau zaim, yaitu orang yang menjamin dimana ia


disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya
(mahjur) dan dilakukan dengan sekehendak sendiri.
b) Madmun lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang
berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin.
c) Madmun lah disebut juga makful lah, madmun lah disyaratkan dikenal oleh
penjamin karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, hal ini dilakukan
demi kemudahan dan kedisiplinan.
d) Madmun “anhu atau makful” anhu adalah orang yang berutang.
b. Hawalah
1) Pengertian Hawalah
Hawalah secara etimologi, berarti pengalihan, pemindahan, perubahan warna
kulit, memikul sesuatu di atas pundak.
Pendapat Ulama
• Menurut Hanafiyah, yang dimaksud dengan hawalah adalah pemindahan
kewajiban membayar hutang dari orang yang berhutang (al-muhil) kepada
orang yang berhutang lainnya (al-muhal‟alaih).
• Menurut Malikiyah, Syafi‟iyah, Hanabilah, hawalah adalah pemindahan atau
pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada
pihak lain.
• Menurut Sayid Sabiq yang dimaksud dengan hiwalah adalah : “Hiwalah
adalah pemindahan utang dari tanggungan orang yang memindahkan (Muhil)
kepada tanggungan orang yang di pindahi utang (Muhal alaih).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hawalah adalah akad


pengalihan hutang atau piutang dari pihak yang berhutang atau berpiutang
kepada pihak lain yang wajib menanggung atau menerimanya.
2) Dasar Hukum Hawalah
a. Sunnah
Hiwalah merupakan suatu akad yang dibolehkan oleh syara‟ karena
dibutuhkan oleh masyarakat.hal ini didasarkan pada hadis nabi yang
diriwayatkan dari abu hurairah bahwa rasul saw bersabda :

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


62

Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu


adalah suatu kedzaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak
penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah
(HR. Bukhari).
b. Ijma Ulama
Para ulama sepakat (ijma) atas kebolehan akad hawalah atau hiwalah.
Hawalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang atau benda,
karena hawalah adalah pemindahan utang, oleh karena itu harus pada utang
atau kewajiban finansial.
3) Rukun Dan Syarat-Syarat Dalam Hawalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hawalah hanya ijab (pernyataan melakukan
hawalah ) dari pihak pertama dan kabul (pernyataan menerima hawalah) dari
pihak kedua dan ketiga. Sedangkan menurut jumhur ulama yang terdiri dari
mazhab Maliki, Hanbali, dan Syari‟i, rukun hawalah ada enam, yaitu:
a. Pihak pertama adalah pihak yang berhutang dan berpiutang (muhil).
b. Pihak kedua adalah pihak yang berpiutang disebut sebagai (muhal).
c. Pihak ketiga adalah pihak yang berhutang dan berkewajiban membayar
hutang kepada muhil disebut sebagai (muhal„alaih).
d. Hutang muhil kepada muhal (muhal bih 1)
e. Hutang muhal‟alaih kepada muhil (muhal bih 2).
f. Ijab qabul (sighat).
Dengan demikian muhal adalah orang yang berpiutang atau memberi pinjaman
kepada muhil, muhil berpiutang kepada muhal alaih namun juga berhutang
kepada muhal. Sedangkan muhalalaih adalah orang yang berhutang kepada
muhil, bila hawalah dilaksanakan posisinya tinggal antara muhal dan muhal
alaih. Pihak yang berpiutang dan pihak yang harus membayar utang.
4) Jenis Hawalah
Hawalah dapat di bagi menjadi beberapa jenis yang diantaranya yaitu :
a. Hawalah haqq (pemindahan hak) terjadi apabila yang dipindahkan itu
merupakan hak menuntut uang atau dengan kata lain pemindahan piutang.
b. Hawalah dayn (pemindahan hutang) terjadi jika yang dipindahkan itu
kewajiban untuk membayar hutang.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


63

c. Hawalah muqayyadah (pemindahan bersyarat) adalah pemindahan sebagai


ganti dari pembayaran hutang pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua
(muhal).
d. Hawalah mutlaqah (pemindahan mutlak) adalah pemindahan hutang yang
tidak ditegaskan sebagai ganti pembayaran hutang pihak pertama (muhil)
kepada pihak kedua (muhal ).
5) Hukum Yang Terkait Dengan Hawalah
Apabila hawalah telah dilaksanakan dan berjalan sah, maka tanggungan muhil
menjadi gugur. Andai kata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau
membantah hawalah, atau meninggal dunia, muhal tidak boleh lagi menuntut
muhil, demikian pendapat mayoritas ulama. Namun sebagian ulama lain
mengatakan, bahwa orang yang menghutangkan (muhal) dapat kembali lagi
kepada muhil, seandainya muhal alaih meninggal dunia, bangkrut, atau
mengingkari hawalah. Sebagian ulama berpendapat jika muhil telah menipu
muhal, karena ia menghawalahkan kepada orang yang kafir, maka tanggungan
muhil kepada muhal tidak gugur. Muhal boleh menagih kembali kepada muhil
untuk mengembalikan piutangnya. Muhal mempunyai kewenangan untuk
menuntut atau menagih muhal alaih atas hutang muhil kepada muhal. Alasannya
hawalah adalah mengalihkan utang kepada muhal alaih dengan hutang yang
dalam tanggungannya.
6) Berakhirnya Hawalah
Akad hawalah akan berakhir apabila terdapat hal-hal sebagai berikut :
a) Fasakh, apabila akad hiwalah telah fasakh (batal), maka hak muhal untuk
menuntut utang kembali kepada muhil, pengertian fasakh dalam istilah
fukaha adalah berhentinya akad sebelum tujuan akad tercapai.
b) Hak muhal (utang) sulit untuk dapat kembali karena muhal alaih meninggal
dunia, boros, (safih) atau lainnya, dalam keadaan semacam ini dalam urusan
penyelesaian utang kembali kepada muhil.
c) Penyerahan harta oleh muhal alaih kepadamuhal.
d) Meninggalnya muhal atau muhal alaih mewarisi harta hiwalah.
e) Muhal menghibahkan hartanya kepada muhal alaih dan ia menerimanya.
f) Muhal menyerahkan hartanya kepada muhal alaih dan dia menerimanya
g) Muhal membebaskan muhal alaih.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


64

H Pelepasan Hak Dan Ta’min Rahn Dan Wadi’ah, Gashb


Dan Itlaf, Wakalah Dan Shulh,

1. Rahn dan Wadi’ah


a. Rahn
1) Pengertian Rah’n ( Pinjaman dengan Jaminan )
Menurut bahasa, gadai (al-rahn) berarti al isubut dan al-habs yaitu
penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah
terkurung atau terjerat. Menurut istilah Syara’ yang dimaksud Rahn ialah :
“Aqad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh bayaran dengan sempurna darinya”.
Gadai adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan
barang sebagai tanggungan utang.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


65

Sedangkan berdasarkan refrensi lain Menurut bahasa gadai adalah (al-rahn)


yaitu penetapan dan penahanan. Menurut istilah syara’ adalah akad yang
objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh
bayaran dengan sempurna darinya, gadai juga dapat diartikan sebagai akad
perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagi
tanggungan utang. Ada pula yang berpendapat bahwa gadai adalah
menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai
tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu
seluruh atau sebagian uang dapat diterima.
2) Dasar Hukum Rahn
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam meminjam dengan jaminan
(borg) adalah firman Allah Swt. :
“Apabila kamu dalam perjalanan dan tidak ada orang yang menuliskan
utang, maka hendaklah dengan rungguhan yang diterima ketika itu”
(Albaqarah : 283)
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai dan Ibnu Majah dari Anas r.a ia
berkata: “Rasulullah saw. Maerungguhkan baju besi kepada seorang
yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang
yahudi.”

Dari hadis diatas dapat dipahami bahwa agama islam tidak


membedabedakan antara orang muslim dan non muslim dalam bidang
muamalah, maka seorang muslim tetap wajib membayar utangnya skalipun
kepada non-muslim.
3) Rukun dan Syarat Rahn
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda mamiliki beberapa rukun,
antara lain :
a) Akad Ijab dan Qabul, seperti seseorang berkata “aku gadaikan mejaku
ini dengan harga Rp 10.0000,00 dan satu lagi menjawab “Aku terima
gadai mejamu seharga Rp 10.000,00”, atau bisa pula dilakukan selain
dengan kata-kata seperti dengan surat, isyarat atau yang lainya.
b) Aqid, yaitu yang menggadaikan (rah’n) dan yang menerima gadai
(murtahin). Adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf yaitu

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


66

mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami


persoalanpersoalan yang berkaitan dengan gadai.
c) Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang
dijadikan jaminan keadaanya tidak rusak sebelum janji utang harus
dibayar. Rasul Saw. Bersabda:
i. “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan borg
gadai “
ii. Menurut Ahmad bin Hijazi bahwa yang dapat dijadikan jaminan
dalam masalah gadai ada tiga macam, yaitu : Kesaksian, barang
gadai, barang tanggunan.
d) Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
b. Wadi’ah
1) Pengertian Wadi’ah (Barang Titipan )
Barang titipan dalam bahasa fiqih dikenal dengan al-wadi’ah, yaitu sesuatu
yang dittempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaga ( Ma wudi’a ‘inda
Ghair Malikihi Layahfadzahu ), dari situ dapat dipahami bahwa al-wadi’ah
yaitu memberikan. Selanjutnya makna al-wadi’ah dari segi bahasa ialah
menerima, seperti orang yang berkata “awda’tuhu” artinya aku menerima
harta tersebut darinya (qabiltuMinhu Dzalika al-Mal Liyakuna Wadi’ah
“Indi). Secara bahasa al wadi’ah memiliki dua makna, yaitu memberikan
harta untuk dijaganya dan pada penerimanya (I’tha’u al-Mal Liyahfadzahu
wa fi qabulihi )
Menurut istilah a-lwadi’ah dijelaskan oleh para ulama’ sebagai berikut :
a) Menurut Malikiyah al-wadi’ah memiliki dua arti, arti yang pertama
ialah: “Ibrah perakilan untuk pemeliharaan harta secara mujarad”
Artinya yang kedua adalah “Ibrah pemindahan pemeliharaan
sesuatu yang dimiliki secara mujarad yang sah dipindahkan kepada
penerima titipan”.
b) Menurut Hanafiyah bahwa al-wadi’ah ialah berarti al-Ida’, yaitu : “
Ibarah seseorang menyempurnakan harta kepada yang lain untuk dijaga
secara jelas atau dilalah “. Makna yang kedua al-wadi’ah ialah sesuatu
yang dititipkan ( al-syar’i al-Maudi ), yaitu :

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


67

“Sesuatu yang ditinggalkan pada orang terpercaya supaya dijaganya”


Menurut Syafi’iyah yang dimaksud al-wadi’ah ialah: “Akad yang
dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan “
c) Menurut Hasbi Ash-shidiqie al-wadi’ah ialah: “Akad yang intinya
minta pertolongen kepada seseorang dalam memelihara harta penitip “
d) Menurut Idris Ahmad bahwa titipan artinya barang yang diserahkan
( diamanahkan ) kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik – baik.
Setelah diketahui beberapa definisi al-wadi’ah yang dijelaskan oleh para
ahli, maka dapat kita pahami bahwa yang dimaksud al-wadi’ah adalah
penitipan, yaitu aqad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan
sesuatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya
kebiasaan). Apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda
tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka penerima titipan tidak
wajib menggantikanya, tetapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalainya
maka ia wajib menggantinya.
2) Dasar Hukum Al-wadiah
Al-wadiah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib
mengembalikanya pada waktu pemilik meminta kembali, firman Allah
Swt :

“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah


yang dipercaya itu menunaikan amanatnya dan bertaqwalah kepada Allah
sebagai Tuhanya”(Al-baqarah : 283)
Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali
bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau
melaksanakan jinayah terhadap barang titipan. Berdasarkan sabda Nabi
yang diriwayatkan oleh Imam Dar al-Quthni dan riwayat Arar bin Syu’aib
dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi Saw. Bersabda: “Siapa saja yang
dititipi, ia tidak berkwajiban menjamin” ( Riwayat Daruquthni), “Tidak ada
kewajiban menjamin untuk orang yang diberi amanat” (Riwayat al-baihaqi)

c. Ghasab
1) Pengertian Ghasab

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


68

Secara etimologis ghasab berasal dari kata kerja Yang berarti mengambil
secara paksa dan zalim, Muhammad al khatib al Syarbini menjelaskan
definisi ghasab secara etimologis “Gasab secara bahasa berarti mengambil
sesuatu secara zalim, sebelum mengambilnya secara zalim (ia juga
melakukan) secara terang-terangan. sedangkan al-Jurjani secara etimologis
mendefinisikan ghasab dengan (mengambil sesuatu secara zalim baik yang
diambil itu harta atau yang lain). Sedangkan secara terminologis ghasab
didefinisikan sebagai upaya untuk menguasai hak orang lain secara
permusuhan/terang-terangan.
Menurut penulis ghasab adalah mengambil harta atau menguasai hak orang
lain tanpa izin pemiliknya dengan adanya unsur pemaksaan dan terkadang
adanya kekerasan serta dilakukan secara terang terangan. Oleh karena ada
batasan tanpa izin pemilik, maka bila yang diambil berupa harta titipan atau
gadai, jelas tidak termasuk perbuatan ghasab, tetapi khianat. Karena
terdapat unsur pemaksaan atau terkadang dengan kekerasan maka ghasab
bisa mirip dengan perampokan, hanya dalam ghasab tidak sampai ada
tindakan pembunuhan. Karena terdapat unsur terang-terangan maka ghasab
jauh berbeda dengan pencurian yang didalamnya terdapat unsur
sembunyisembunyi. Kemudian karena yang diambil bukan hanya harta
melainkan termasuk mengambil atau menguasai hak orang lain maka
beberapa hak seseorang seperti hak untuk membuat batas kepemilikan
tanah, hak untuk menduduki jabatan, hak untuk beristirahat dengan duduk-
duduk dimasjid, ditempat-tempat umum dan hak-hak lain termasuk hak-hak
privasi maka kalau hak- hak dimaksud dikuasai, direbut atau diambil oleh
seseorang maka perbuatan ini jelas merupakan tindakan ghasab.
2) Hukum dan dalil-dalil tentang larangan ghasab
Para ulama sepakat menyatakan bahwa ghasab merupakan perbuatan
terlarang dan hukumnya haram dilakukan. Dalam hal ini imam al nawawi
mengatakan bahwa prinsipnya seluruh kaum muslimin sepakat menyatakan
bahwa hukum ghasab hukumnya haram, al zuhaili menambahi bahwa hal itu
haram meskipun tidak mencapai nisab mencuri. “….Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


69

sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;


Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu “……dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu
mengetahui.
Dalam kedua ayat tersebut secara tegas bahwa allah melarang memakan
harta antara satu dengan orang lain dengan cara batil masuk dalam kategori
memakan harta sesama dengan cara batil ini adalah perbuatan ghasab,
karena didalamnya terdapat unsur merugikan pihak lain atau tepatnya
ghasab termasuk melanggar ketentuan Allah SWT, ketika menafsirkan ayat
ini, al Qurtubi secara tegas memasukkan ghasab sebagai salah satu bentuk
perbuatan yang dilarang dan termasuk dalam kategori memakan harta
sesama dengan cara batil.
Disamping kedua ayat diatas larangan dan ketentuan haramnya ghasab
didasarkan atas beberapa hadis nabi SAW. Beliau pernah bersabda bahwa
“sesungguhnya darah kalian haram(untuk saling diganggu) seperti
haramnya hari (nahr) kalian ini, seperti bulan zulhijjah) kalian ini di negri
(makkah/mina/tanah haram) kalian ini”.
d. Wakalah
1. Pengertian Wakalah
Perwakilan adalah al-wakalah atau al-wikalah, menurut bahasa artinya
adalah al-Hifdz, al-Kifalah, al-Dhaman dan al-Tafwidh (penyerahan,
pendelegasihan dan pemberian mandat). Al-Wakalah atau al-wakilah
menurut istilah para tokoh ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut.
1) Malikiyyah berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang
menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban),
dia yang mengelola pada posisi itu.
2) Hanafiyyah berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang menempati
diri orang lain dalam tasharruf (pengelolahan).

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


70

3) Sayyid al-bakri ibnu al-Arif billah al- sayyid Muhammad Syatha


alDhimyati berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang
menyerahkan urusannya kepada yang lain yang didalamnya terdapat
penggantian.
4) Imam Taqy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini berpendapat
bahwa al-Wakalah ialah seseorang yang menyerahkan hartanya untuk
dikelolahnya yang ada penggantinya kepada yang lain supaya
menjaganya ketika hidupnya.
5) Hasbi Ash-Shiddiqy berpendapat bahwa al-Wakalah ialah Akad
penyerahan kekuasan, pada akad itu seseorang menunjuk orang lain
sebagai gantinya dalam bertindak.
6) Idris Ahmad berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang yang
menyerahkan suatu urusanya kepada orang lain yang dibolehkan oleh
syara’. Supaya yang diwakilkan dapat mengerjakan apa yang harus
dilakukan dan berlaku selama yang mewakilih masih hidup.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, kami dapat mengambil kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan al -Wakalah ialah penyerahan dari seseorang
kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu, dimana perwakilan berlaku
selama yang mewakilkan masih hidup.
2. Dasar Hukum Al-Wakalah
1) Al-Qur’an
Adapun yang dijadikan dasar hukum al-Wakalah adalah firman Allah
SWT, berikut; “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir).
Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi
berpengalaman.” (Yusuf: 55)
“Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di
antara mereka sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka agar
saling bertanya, ‘Sudah berapa lamakah kamu berdiri di sini?’ Mereka
menjawab, ‘Kita sudah berada di sini satu atau setengah hari.’ Berkata
yang lain, ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada
di sini. Maka, suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini dan hendaklah ia lihat manakah

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


71

makanan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makanan itu


untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah
sekalikali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (al-Kahfi: 19).
Ayat ini menggambarkan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang
bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka
dalam memilih dan membeli makanan.
2) Al-Hadits
Hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan Wakalah diantaranya:
• “Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang
Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”.
(HR. Malik dalam al-Muwaththa’)
• “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perda
maian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram.”(HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang
lain untuk berbagai urusan. Diantaranya membayar utang, mewakilkan
penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta,
membagi kandang hewan, dan lain-lain.
3) Ijma
Para ulama pun bersepakat dengan ijma’ atas dibolehkannya wakalah.
Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya dengan alasan
bahwa hal tersebut jenis taa’wunatau tolong menollong atas kebaikan
dan taqwa. Seperti firman Allah swt“… dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (Qs. Al-Maidah 2), ... Dan
Rasulullah bersabda (HR Muslim no 4867)… “Dan Allah menolong
hamba selama hamba menolong saudaranya“ Dalam perkembangan fiqih
Islam status wakalah sempat diperdebatkan: apakah wakalah masuk
dalam niabah yakni sebatas mewakili atau kategori wilayaha tauwali ?
hingga kini dua pendapat tersebut terus berkembang.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


72

Pendapat pertama menyatakan bahwa wakalaha dalah niabah atau


mewakili. Menurut pendapat ini, siwakil tidak dapat menggantikan
seluruh fungsi muwakkil. Pendapat kedua menyatakan bahwa wakalah
adalah wilayah karena khilafah (menggantikan) dibolehkan untuk yang
mengarah kepada yang lebih baik, sebagaimana dalam jual beli,
melakukan pembayaran secara tunai lebih baik, walaupun diperkenankan
secara kredit.
3. Rukun dan Syarat Wakalah
Rukun-rukun al-wakalah adalah sebagai berikut :
1) Yang mewakilkan, syarat-syarat bagi yang mewakilkan ialah bahwa
yang mewailkan adalah pemilik barang atau dibawah kekuasaanya dan
dapat bertindak pada harta tersebut, jika yang mewakilkan bukan pemilik
atau pengampun, maka al-wakalah tersebut batal.Anak kecil yang dapat
membedahkan baik dan buruk dapat (boleh) mewakilkan dalam
tindakan-tindakan yang bermanfaat mahdhah, seperti perwakilan untuk
menerima hibah, sedekah dan wasiat, jika tindakan itu termasuk tindakan
berbahaya seperti thalak, memberikan sedekah, menghibahkan dan
mewasiatkan, maka tindakan itu adalah batal.
2) Wakil (yang mewakilli), syarat- syarat bagi yang mewakili ialah bahwa
yang mewakili adalah orang yang berakal, bila seorang wakil itu idiot,
gila atau belum dewasa, maka perwakilan batal, menurut Hanafiyah anak
kecil yang sudah dapat membedahkan yang baik dan buruk adalah sah
untuk menjadi wakil, alasanya ialah bahwa Amar Bin Sayyid Ummuh
Salah mengawinkan ibunya kepada Rasulullah SAW, ketika itu Amar
masih menjadi anak kecil yang masih belum baligh.
3) Muwakkal fih(sesuatu yang diwakilkan), syarat-syarat sesuatu yang
diwakilkan ialah :
a) Menerima penggantian, maksudnya bolah diwakilkan pada orang
lain untuk mengerjakannya, maka tindaklah sah mewakilkan untuk
mengerjakan shalad, puasa, dan membaca ayat Al-quran, karena hal
ini tidak bisa diwakilkan.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


73

b) Dimiliki oleh orang yang berwakil ketika ia berwakil itu, maka batal
mewakilkan sesuatu yang akan di beli.
c) Diketahui denga jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih
samar, seperti seseorang berkata: “ aku jadikan engaku sebagai
wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku”.
4) Shigat, yaitu lafazh mewakili, shigat di ucapkan dari yang berwakil
sebagai simbol keridlaannya untuk mewakilkan, dan wakil menerimanya.
4. Macam-Macam Wakalah
Ada beberapa macam-macam wakalah, antara lain:
1) Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan
waktu dan untuk segala urusan.
2) Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas
namanya dalam urusan-urusan tertentu.
3) Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah
tetapi lebih sederhana daripada al mutlaqah

I
Obligasi Syariah Mudharabah Dan Pasar Modal, Reksadana

Syariah

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


74

Modal (Capital) adalah segala sesuatu yang diproduksi atau diadakan pada sistim ekonomi
yang digunakan sebagai inputs dalam kegiatan produksi dan distribusi dari produk (mal)
dan jasa (amal) di masa mendatang.
Jenis Modal terdiri dari:
• Tangible (Physical) Capital
• Social (Infrastructure) Capital
• Intangible (Human/Intellectual) Capital
Dimensi Waktu dari Modal
• Manfaat = The value of services rendered over time
• Kemampuan memberi manfaat berubah dengan waktu
Penentuan Nilai dari Modal
• Current Market Value = Potensi Pemanfaatan vs Depresiasi
• Demand-Supply
1. Peran Modal dalam Ekonomi Non-Syariah
• Memperbolehkan adanya partisipasi secara penuh terhadap kekayaan perusahaan
bagi investor
• Memungkinkan pemegang saham dan surat hutang untuk memperoleh likuiditas
dengan menjual saham atau obligasi perusahaan ke pasar modal
• Memperbolehkan perusahaan meningkatkan dana eksternal dalam rangka ekspansi
aktivitas perusahaan.
2. Tujuan utama Pasar Modal:
Memfasilitasi perdagangan atas klaim terhadap bisnis perusahaan pasar modal dapat
memberikan dampak yang signifikan terhadap investasi karna 2 alasan:
a. Hal ini tidak bermanfaat dalam menaikkan perusahaan baru, jika perusahaan sejenis
dpt memperolehi dengan membeli saham di pasar modal.
b. Mungkin akan bermanfaat untuk membuat perusahaan baru bukan karena
perusahaan tersebut menawarkan keuntungan ekonomis jangka panjang tapi karena
perusahaan dapat memberikan keuntungan dalam waktu dekat dengan mendaftarkan
perusahaan dalam pasar modal dan menjual surat berharga
3. Fungsi, struktur dan kinerja pasar modal dalam ekonomi islam
Fungsi dasar pasar modal: memfasilitasi pihak yang membutuhkan dana dengan pihak
yg kelebihan dana.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


75

4. Konsep Waktu dalam Ekonomi


a. Konsep Waktu dalam Produksi
• Produktivitas Modal (Faktor Produksi) berubah = waktu
• Tangible umumnya mengikuti pola Life Cycle (S-Curve)
• Social/Infrastructure mengikuti kondisi sosial
• Intangible umumnya mengikuti gaya hidup
• Waktu sendiri adalah salah satu Faktor Produksi
b. Konsep Waktu dalam Distribusi
• Distribusi berfungsi menyampaikan supply = demand
• Demand mempunyai dimensi waktu & berubah = waktu
c. Konsep Waktu dalam Konsumsi
• Demand-supply merupakan refleksi kondisi konsumsi karena konsumsi
menentukan dimensi waktu dari demand
d. Konsep Time vs Value vs Money
1) Uang dalam Transaksi & Produksi adalah alat pertukaran dalam memperoleh
barang/jasa (mal/amal) yang dapat memberi manfaat
• Manfaat kegunaan sendiri  Konsumsi
• Manfaat untuk Produksi  Modal (Capital)
2) Transaksi & Produksi dalam Ekonomi = sarana untuk memperoleh pertambahan
nilai pada produk/jasa
• Fungsi dari perubahan produktivitas-supply-demand vs waktu
3) Kebutuhan akan uang vs Ketersediaan uang
• Kebutuhan yang sah vs Kebutuhan yg tidak sah (spekulasi)
• Fungsi dari perubahan nilai mal/amal yg akan dibeli dgn uang
4) Net Present Value & Discounted Cash Flow dirumuskan dengan asumsi uang
pasti dapat dirubah menjadi modal dan pasti akan memberikan hasil

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


76

J Qardh, Pembiayaan Multijasa Dan Dana, Pensiunan Syariah

1. Qardh
a. Pengertian dan Konsep Qardh
Qardh adalah Akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh)
yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Muqridh dapat
meminta jaminan atas pinjaman kepada Muqtaridh. Pengembalian pinjaman dapat
dilakukan secara angsuran ataupun sekaligus.
Qardh yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apapun karena meminjamkan uang
untuk memperoleh imbalanadalah riba.
Qardh adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan.
Dalam literatur fiqh, qard dikategorikan sebagai aqd tathawwu’, yaitu akad saling
membantu dan bukan transaksi komersial. Dalam rangka mewujudkan tanggung
jawab sosialnya, bank Islam dapat memberikan fasilitas yang disebut qard al hasan,
yaitu penyediaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya.
Atau dapat digunakan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan
berjangka pendek. Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan
social. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq dan shadaqah. Secara syariah
peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun
syariah memperbolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan
keikhlasannya, tetapi bank sama sekali dilarang untuk meminta imbalan apapun.
Qardh-ul Hasan Akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu
(Muqtaridh) untuk tujuan sosial yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama
sesuai pinjaman.
Pinjaman Qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak
yang meminjamkan yang mewajibkan peminjam melunasi hutangnya setelah jangka
waktu tertentu. Pihak yang meminjamkan dapat menerima imbalan, namun tidak
diperkenankan untuk dipersyaratkan di dalam perjanjian.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


77

b. Rukun Qardh
• Peminjam (Muqtaridh)
• Pemberi Pinjaman (Muqridh)
• Dana (Qardh)
• Ijab qabul (Sighat)
c. Landasan syariah Qardh
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa: Nabi SAW berkata: "Tidaklah seorang
muslim yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya
adalah (senilai) sadaqah" (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Baihaqi).
Dari Anas berkata, berkata Rasulullah SAW : "Aku melihat pada waktu malam
di isra'kan, pada pintu surga tertulis : Sedeqah dibalas 10 kali lipat dan qard 18
kali. Aku bertanya: Wahai Jibril Mengapa Qard lebih utama dari sadaqah ? ia
menjawab: Karena peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang
meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan". (HR. Ibnu Majah
dan Baihaqi).
d. Definisi al-Qardh
Secara umum pinjaman merupakan pengalihan hak milik harta atas harta.
dimana pengalihan tersebut merupakan kaidah dari Qardh.
Qardh secara bahasa, bermakna Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang
disodorkan kepada orang yang berhutang disebut Qardh, karena merupakan
potongan dari harta orang yang memberikan hutang. Kemudian kata itu
digunakan sebagai bahasa kiasan dalam keseharian yang berarti pinjam
meminjam antar sesama. Salah seorang penyair berkata, “Sesungguhnya orang
kaya bersaudara dengan orang kaya, kemudian mereka saling meminjamkan,
sedangkan orang miskin tidak memiliki saudara” Secara syar’i para ahli fiqh
mendefinisikan Qardh:
a) Menurut pengikut Madzhab Hanafi, Ibn Abidin mengatakan bahwa suatu
pinjaman adalah apa yang dimiliki satu orang lalu diberikan kepada yang
lain kemudian dikembalikan dalam kepunyaannya dalam baik hati.
b) Menurut Madzhab Maliki mengatakan Qardh adalah Pembayaran dari
sesuatu yang berharga untuk pembayaran kembali tidak berbeda atau
setimpal.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


78

c) Menurut Madzhab Hanbali Qardh adalah pembayaran uang ke seseorang


siapa yang akan memperoleh manfaat dengan itu dan kembalian sesuai
dengan padanannya.
d) Menurut Madzhab Syafi’i Qardh adalah Memindahkan kepemilikan sesuatu
kepada seseorang, disajikan ia perlu membayar kembali kepadanya.
e. Aspek Syariah Al-Qardh
Transaksi qardh diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan hadits riwayat ibnu
majjah dan ijma ulama. Sungguhpun demikian, Allah SWT mengajarkan
kepada kita agar meminjamkan sesuatu bagi “agama Allah”.
1) Al-Qur’an
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan. (Al-Baqarah : 245) Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.(Al-Maidah : 2)
Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru untuk
“meminjamkan kepada Allah”,artinya untuk membelanjakan harta di jalan
Allah. Selaras dengan memeinjamkan kepada Allah,kita juga diseru untuk
“meminjamkan kepada sesama manusia”.Sebagai bagian dari kehidupan
bermasyarakat.
2) As-Sunnah
Dari Anas ra, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Pada malam
peristiwa Isra’ aku melihat di pintu surga tertulis ’shadaqoh (akan diganti)
dengan 10 kali lipat, sedangkan Qardh dengan 18 kali lipat, aku berkata :
“Wahai jibril, mengapa Qardh lebih utama dari shadaqoh?’ ia menjawab
“karena ketika meminta, peminta tersebut memiliki sesuatu, sementara
ketika berutang, orang tersebut tidak berutang kecuali karena kebutuhan”.
(HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abas bin Malik ra, Thabrani dan Baihaqi
meriwayatkan hadits serupa dari Abu Umamah ra) Ibnu Mas’ud
meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata,”Bukan seorang muslim (mereka)

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


79

yang meminjamkan muslim (lainya) dua kali lipat kecuali yang satunya
adalah (senilai) sedekah” (HR Ibnu Majah,Ibnu Hibban dan Baihaqi). 3)
Ijma’
Secara ijma’ juga Para ulama menyatakan bahwa Qardh diperbolehkan.
Qardh bersifat mandub (dianjurkan) bagi muqridh (orang yang mengutangi)
dan mubah bagi muqtaridh (orang yang berutang) kesepakatan ulama ini
didasari tabiat manusia yang tidak bias hidup tanpa pertolongan dan
bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang
yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu
bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.
f. Aplikasi dalam Perbankan
Akad qard biasanya diterapkan sebagai berikut:
1) Sebagai produk perlengkapan kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas
dan bonafiditasnya, yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa
yang relatif pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya
sejumlah uang yang dipinjamnya itu.
2) Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat, sedangkan ia tidak
bisa menarik dananya karena, misalnya tersimpan dalam bentuk deposito.
3) Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kcil atau
memebayar sector sosial. Guna pemenuhan skema khusus ini telah dikenal
suatu produk khusus yaitu al-qardh Al-hasan
Hal yang diperbolehkan pada Qardh
Madzhab Hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan pada harta yang memiliki
kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan nilainya tidak menyolok, seperti
barang-barang yang ditakar, ditimbang, biji-bijian yang memiliki ukuran serupa
seperti kelapa, telur. Tidak diperbolehkan melakukan qardh atas harta yang
tidak memiliki kesepadanan, baik yang bernilai seperti binatang, kayu dan
agrarian, dan harta biji-bijian yang memiliki perbedaan menyolok, karena tidak
mungkin mengembalikan dengan semisalnya.
Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpendapat, diperbolehkan melakukan
qardh atas semua harta yang bisa diperjualbelikan objek salam, baik ditakar,
atau ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai,

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


80

seperti barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti harta-harta,


biji-bijian.

g. Hukum Qardh
Hak kepemilikan dalam Qardh menurut Abu Hanifah dan Muhammad –
berlaku melalui Qardh (penyerahan). Jika seseorang berhutang satu mud
gandum dan sudah terjadi qardh, maka ia berhak menggunakan dan
mengembalikan dengan semisalnya meskipun muqridh meminta pengembalian
gandum itu sendiri, karena gandum itu bukan lagi miliki muqridh. Yang
menjadi tanggung jawab muqtaridh adalah gandum yang semisalnya dan bukan
gandum yang telah diutangnya, meskipun Qardh itu berlangsung.
Abu yusuf berkata : muqtaridh tidak memiliki harta yang menjadi objek Qardh
selama Qardh itu berlangsung. Mazhab hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan
pada harta yang memiliki kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan nilainya
tidak menyolok, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang, biji-bijian yang
memiliki ukuran serupa seperti kelapa dan telur, dan yang diukur, seperti kain
bahan. Di perbolehkan juga meng-qardh roti, baik dengan timbangan atau biji.
Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali berpendapat, diperbolehkan melakukan
qardh atas semua harta yang bisa dijualbelikan obyek salam, baik itu ditakar,
ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai,
seperti barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti harta-harta
biji-bijian, karena pada riwayat Abu Rafi’ disebutkan bahwa Rasulullah SAW
berutang unta berusia masih muda, padahal untuk bukanlah harta yang ditakar
atau ditimbang, dan karena yang menjadi obyek salam dapat di hakmiliki
dengan jual beli dan ditentukan dengan pensifatan. Maka bisa menjadi obeyek
qardh. Sebagaimana harta yang ditakar dan ditimbang. Dari sini, menurut
jumhur ahli fiqih, diperbolehkan melakukan qardh atas semua benda yang
boleh diperjualbelikan kecuali manusia, dan tidak dibenarkan melakukan qardh
atas manfaat/jasa, berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyah, seperti membantu
memanen sehari dengan imbalan ia akan dibantu memanen sehari, atau
menempati rumah orang lain dengan imbalan orang tersebut menempati
rumahnya.
h. Manfaat al-qardh

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


81

1) Memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk


mendapat talangan jangka pendek.
2) Al-qardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri syariah dan bank
konvensional yang didalamnya terkandung pembeda antara bank misi
sosial, disamping misi komersial.
3) Adanya misi kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan
meningkatkan loyalitas masyarakat kepada bank syariah.
4) Risiko al-qardh terhitung tinggi karena ia di anggap pembiayaan yang tidak
ditutup dengan jaminan.
2. Pembiayaan Multijasa
a. Pengertian Pembiayaan Multijasa
Pembiayaan Multijasa adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu berupa transaksi multijasa dengan menggunakan akad
ijarah berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan nasabah
pembiayaan yang mewajibkan nasabah pembiayaan untuk melunasi
hutang/kewajibannya sesuai dengan akad.
b. Mekanisme Pembiayaan Multijasa atas dasar akad Ijarah adalah ;
• Bank bertindak sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi Ijarah dengan
nasabah;
• Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan objek sewa yang
dipesan nasabah;
• Pengembalian atas penyediaan dana bank dengan cara cicilan.
c. Landasan hukum
Landasan hukum pembiayaan multi jasa adalah fatwa DSN
No.44/DSNMUI/VIII/2004 Tentang Pembiayaan Multijasa. Yang berbunyi:
• Pembiayaan Multijasa hukumnya boleh (jaiz) dengan menggunakan akad Ijarah
atau Kafalah.
• Dalam hal Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menggunakan akad ijarah, maka
harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam Fatwa Ijarah.
• Dalam kedua pembiayaan multijasa tersebut, LKS dapat memperoleh imbalan
jasa (ujrah) atau fee.
d. Tinjauan Fiqih Terhadap Pembiayaan Multijasa

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


82

Akad yang terjadi dalam pembiayaan multijasa adalah Ijarah al Musta’jir (Penyewa
menyewakan kembali jasa yang telah ia sewa). Dimana LKS bertindak sebagai
penyewa pertama dari pemilik barang/jasa kemudian LKS menyewakan jasa kepada
penyewa kedua (nasabah). Dan LKS mendapat keuntungan dari selisih upah sewa
nasabah yang lebih tinggi dari upah sewa LKS kepada pemilik barang/jasa, karena
nasabah membayarnya dengan cara angsuran.
Dalam hal ini ada 3 pembahasan fikih yang akan dirincikan untuk mengetahui
tentang hakikat akad produk ini.
e. Hukum Ijarah al Musta’jir
Berbeda halnya dengan jualbeli yang sepakat para ulama tentang hukum boleh
pembeli menjual barang yang dibelinya kepada pihak lain bila terpenuhi persyaratan
jualbeli. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Ijarah al Musta’jir (penyewa
menyewakan kembali manfaat yang telah dimilikinya kepada pihak lain).
Pendapat pertama: penyewa tidak boleh menyewakan kembali barang yang telah di
sewanya, ini merupakan salah satu riwayat dalam mazhab Imam Ahmad. (Ibnu
Qudamah, Al Mughni , jilid. V, hal. 354)
Dalil pendapat ini hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak halal keuntungan
barang yang tidak dalam jaminanmu”. (HR. Abu Daud. Menurut Al-Albani derajat
hadis ini hasan shahih).
Dalam akad ijarah al Musta’jir penyewa tidak menanggung risiko sama sekali,
karena risiko ditanggung oleh pemilik barang. Maka ini termasuk meraih
keuntungan tanpa menanggung risiko. Maka tidak dibolehkan. Berdasarkan hadis di
atas.
Tanggapan: dalil ini tidak kuat karena penyewa yang menyewakan kembali tetap
ada risiko, yaitu apabila barang yang disewakan ternyata tidak layak untuk
disewakan atau barang tidak berfungsi maka dia bertanggung jawab kepada
penyewa kedua.
Pendapat kedua: penyewa boleh menyewakan kembali jasa yang telah dikuasainya
dengan diterimanya barang. Pendapat ini merupakan pendapat seluruh para ulama
mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Dalil pendapat ini adalah qiyas, bahwa
menjual barang yang telah dibeli dengan akad dan telah diterima hukumnya
dibolehkan syariat maka menyewakan kembali manfaat barang yang telah disewa

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


83

dengan akad dan telah diterima barangnya hukmnya boleh, karena akad sewa
menyewa merupakan bentuk lain dari jualbeli. Yaitu jualbeli jasa/manfaat.

K Zakat Dan
Hibah

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


84

1. Zakat
a. Pengertian zakat
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau lembaga
yang dimiliki oleh muslim untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Pengertian hibah adalah penyerahan kepemilikan suatu barang kepada orang
lain tanpa imbalan apa pun.
b. Ketentuan Umum Zakat
Zakat wajib bagi setiap orang atau badan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Muslim
b. Mencapai nishab dengan kepemilikian sempurna walaupun sifat harta itu
berubah disela-sela haul.
c. Memenuhi syarat satu haul bagi harta-harta tertentu
d. Harta itu tidak bergantung pada penggunaan seseorang.
e. Harta itu tidak terikat oleh utang sehingga menghilangkan nishab.
f. Harta bersama dipersamakan dengan harta perseorangan dalam hal
mencapai nishab.
c. Harta Yang Wajib Dizakati
Zakat wajib pada emas dan perak apabila: a.
Telah melampaui satu haul.
b. Banyaknya nishab emas adalah 85 gram, sedangkan nishab perak adalah
595 gram.
c. Besarnya zakat emas dan perak adalah 2,5 %.
d. Tidak disyaratkan emas dan perak yang dizakati itu harus dicetak atau
dibentuk.
Zakat Uang dan yang Senilai dengannya
Zakat wajib pada uang baik uang lokal maupun asing, saham, jaminan, cek,
dan seluruh kertas-kertas berharga yang senilai dengan uang, harta-harta yang
disimpan dengan ketentuan:

a. Harta-harta tersebut di atas harus mencapai nishab dan


b. melampaui satu haul.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


85

c. Nishab harta tersebut senilai dengan 85 gram emas.


d. Besarnya zakat yang harus dibayarkan adalah 2,5 %.
Zakat Barang yang Memiliki Nilai Ekonomis dan Produksi
Zakat wajib pada barang-barang yang memiliki nilai ekonomis, baik barang
bergerak maupun tidak bergerak, yang meliputi tanaman, buah-buahan, binatang
ternak dan binatang peliharaan, yang diperuntukkan untuk dijual dengan
syaratsyarat:
a. mencapai nishab, dan adanya maksud atau niat diperdagangkan;
b. besarnya nishab zakat barang-barang perdagangan adalah senilai dengan 85
gram emas;
c. zakat yang harus dibayarkan adalah sebesar 2,5 %; dan
d. waktu pembayaran zakat barang-barang perdagangan setelah melalui satu haul
kecuali pada barang-barang tidak bergerak yang digunakan untuk
perdagangan, zakatnya satu kali ketika menjualnya, dan untuk pertanian pada
saat memanennya.
Zakat Tanaman dan Buah-buahan
Zakat wajib pada berbagai macam tanaman dan buah-buahan dan wajib
dikeluarkan pada saat panen. Zakat diwajibkan pula pada pemilik tanah yang
ditanami, demikian juga wajib terhadap penyewa tanah. Besarnya zakat yang
wajib dikeluarkan adalah 10% jika pengairan tanah itu diperoleh secara alami dan
5% jika pengairan tanah itu diusahakan sendiri.
Zakat Pendapatan
Zakat diwajibkan dari pendapatan angkutan baik angkutan darat, laut dan udara
dan kendaraan-kendaraan lainnya. Nishab zakat pendapatan senilai dengan zakat
emas yaitu 85 gram. Besarnya zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5%.
Zakat Madu dan Sesuatu yang Dihasilkan dari Binatang
Zakat wajib dikeluarkan pada madu jika telah mencapai 70 Kg setelah dikurangi
biaya produksi dengan besarnya zakat yang harus dikeluarkan sebanyak 5%.
Zakat diwajibkan pula terhadap sesuatu yang dihasilkan dari binatang seperti
susu, telur, sarang burung, sarang ulat sutera, dan lain-lain. Ketentuannya
mengikuti ketentuan zakat barang-barang yang bernilai ekonomis.
Zakat wajib dikeluarkan pula pada setiap yang dihasilkan dari laut seperti ikan,
mutiara, dan lain-lain dengan besarnya zakat sebanyak 2,5%.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


86

Zakat Profesi
Yang berkewajiban zakat adalah orang atau badan hukum. Zakat dihitung dari
seluruh penghasilan yang didapatkan kemuadian dikurangi oleh biaya kebutuhan
hidup. Besarnya nishab sama dengan besarnya nishab pada zakat barang yang
memiliki nilai ekonomis, yaitu 85 gram emas.
Zakat Barang Temuan dan Barang Tambang
Zakat wajib dikeluarkan sebanyak 20% pada barang-barang temuan dan barang
tambang yang dihasilkan baik dari dalam tanah maupun laut, baik berbentuk
padatan, cairan, atau gas setelah dikurangi biaya penelitian dan produksi.
Zakat Fitrah
Zakat fitrah diwajibkan atas setiap muslim baik tua atau muda, baik dikeluarkan
oleh diri sendiri atau orang yang menanggungnya dan diserahkan kepada Faqir
pada 15 hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai sebelum melaksanakan shalat
'Id. Seorang muslim yang terkena wajib zakat fitrah ini apabila memiliki
kemampuan untuk makan selama sehari semalam. Besarnya zakat yang harus
dikeluarkan adalah sebanyak satu sha' (2,5 kg) makanan pokok atau yang senilai
dengannya.
d. Mustahik Zakat
Mustahik zakat adalah kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat yang
telah ditentukan dalam Alquran dan terdiri dari: fakir, miskin, 'amilin, muallaf,
hamba sahaya, gharimin, di jalan Allah, dan ibnu sabil.
e. Hasil Zakat dan Pendistribusiannya
Yang berhak mengelola zakat adalah negara yang kemudian didistribusikan
kepada 8 mustahik zakat. Zakat terlebih dulu didistribusikan kepada mustahik
zakat yang berada di daerah pengumpulan zakat.
f. Sanksi Zakat
Barang siapa yang melanggar ketentuan zakat ini maka akan dikenai sanksi
sebagaimana diatur sebagai berikut:
1) Barangsiapa yang tidak menunaikan zakat maka akan dikenai denda dengan
jumlah tidak melebihi dari besarnya zakat yang wajib dikeluarkan.
2) Denda sebagaimana dimaksud dalam angka (1) didasarkan pada putusan
pengadilan.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


87

3) Barangsiapa yang menghindar dari menunaikan zakat, maka dikenakan denda


dengan jumlah tidak melebihi (20%) dari besarnya zakat yang harus
dibayarkan.
4) Zakat yang harus dibayarkan ditambah dengan denda dapat diambil secara
paksa oleh juru sita untuk diserahkan kepada badan amil zakat daerah
kabupaten/kota.
2. Hibah
a. Rukun Hibah dan Penerimaannya
1) Suatu transaksi hibah dapat terjadi dengan adanya ijab dan kabul.
2) Kepemilikan menjadi sempurna setelah barang hibah diterima oleh penerima
hibah..
3) Ijab dalam hibah dapat dinyatakan dengan kata-kata, tulisan, atau isyarat, yang
mengandung arti beralihnya kepemilikan harta secara cuma-cuma.
4) Transaksi hibah juga dapat terjadi dengan suatu tindakan seperti seseorang
penghibah memberikan sesuatu dan diterima oleh penerima hibah.
5) Pengiriman dan penerimaan barang hibah dan shadaqah adalah sama dengan
pernyataan lisan dalam ijab dan kabul.
6) Penerimaan barang dalam transaksi hibah seperti penerimaan dalam transaksi
jual beli.
7) Penghibah dengan menyerahkan barang dianggap telah memberi izin kepada
penerima hibah untuk menerima barang yang diserahkan sebagai hibah.
Apabila penghibah telah memberi izin dengan jelas untuk penerimaan barang
hibah, maka penerima berhak mengambil barang yang diberikan sebagai
hibah, baik ditempat pertemuan ke kedua belah pihak, atau setelah mereka
berpisah. Jika izin itu hanya berupa isyarat atau tersamar, hal itu hanya
berlaku sepanjang mereka belum berpisah di tempat itu.
b. Persyaratan Akad Hibah
1) Harta yang diberikan sebagai hibah disyaratkan harus berasal dari harta
penghibah.
2) Harta yang bukan milik penghibah jika dihibahkan dapat dianggap sah apabila
pemilik harta tersebut mengizinkannya meskipun izin tersebut diberikan
setelah harta tersebut diserahkan.
3) Suatu harta yang dihibahkan harus pasti dan diketahui.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


88

4) Seorang penghibah diharuskan sehat akalnya dan telah dewasa.


5) Hibah menjadi batal bila hibah tersebut terjadi karena ada paksaan
c. Menarik Kembali Hibah
1) Penerima hibah menjadi pemilik harta yang dihibahkan kepadanya setelah
terjadinya penerimaan harta hibah.
2) Penghibah dapat menarik kembali hibahnya atas keinginannya sendiri sebelum
harta hibah itu diserahkan.
3) Jika penghibah melarang penerima hibah untuk mengambil hibahnya setelah
transaksi hibah, berarti ia menarik kembali hibahnya itu.
4) Penghibah dapat menarik kembali harta hibahnya setelah penyerahan
dilaksanakan, dengan syarat si penerima menyetujuinya.
5) Jika seorang penghibah menarik kembali barang hibahnya yang telah
diserahkan tanpa ada persetujuan dari penerima hibah, atau tanpa keputusan
Pengadilan, maka penghibah adalah orang yang merampas barang orang lain;
dan apabila barang itu rusak atau hilang ketika berada ditangannya, maka ia
harus mengganti kerugian itu.
6) Jika seseorang memberi hibah sesuatu kepada orang tuanya atau anakanaknya,
atau kepada saudara laki-laki atau perempuannya, atau kepada anakanak
saudaranya, atau kepada paman-bibinya, maka ia tidak berhak menarik
kembali hibah itu setelah transaksi hibah.
7) Jika suami atau isteri, tatkala masih dalam ikatan pernikahannya, saling
memberi hibah pada yang lain, mereka tidak berhak menarik kembali
hibahnya masing-masing setelah adanya penyerahan harta.
8) Jika sesuatu diberikan sebagai pengganti harta hibah dan diterima oleh
penghibah, maka penghibah itu tidak berhak menarik kembali hibahnya.
9) Jika sesuatu ditambahkan dan menjadi bagian yang melekat pada harta hibah,
maka hibah itu tidak boleh ditarik kembali. Tetapi suatu penambahan yang
tidak menjadi bagian dari suatu barang hibah, tidak menghalangi dari
kemungkinan penarikan kembali.
10) Jika orang yang menerima hibah memanfaatkan kepemilikannya dengan cara
menjual hibah itu atau membuat hibah lain dari hibah itu dan memberikannya
kepada orang lain, maka penghibah tidak mempunyai hak untuk menarik
kembali hibahnya.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


89

11) Jika barang hibah itu rusak ketika sudah berada di tangan orang yang
menerima hibah, barang hibah seperti itu tidak boleh ditarik kembali.
12) Dalam hal penghibah atau penerima hibah meninggal dunia, maka hibah itu
tak dapat ditarik kembali.
d. Hibah Orang yang Sedang Sakit Keras
1) Jika seseorang yang tidak punya ahli waris menghibahkan seluruh
kekayaannya pada orang lain ketika sedang menderita sakit keras lalu
menyerahkan hibah itu, maka hibah tersebut adalah sah, dan bait al-mal (balai
harta peninggalan) tidak mempunyai hak untuk campur tangan dengan barang
peninggalan tersebut setelah yang bersangkutan meninggal.
2) Jika seorang suami yang tidak memiliki keturunan, atau seorang isteri yang
tidak mempunyai keturunan dari suaminya, menghibahkan seluruh
kekayaannya kepada isteri atau suami, ketika salah seorang dari mereka
sedang menderita sakit keras dan lalu menyerahkannya, pemberian hibah itu
adalah sah, dan bait al-mal tidak mempunyai hak untuk campur tangan pada
harta peninggalan dari salah seorang dari mereka yang meninggal.
3) Jika seseorang memberi hibah kepada salah seorang ahli warisnya ketika
orang itu sedang menderita sakit keras, dan kemudian meninggal, hibah itu
tidak sah kecuali ada persetujuan dari ahli waris yang lain. Tetapi jika hibah
itu diberi dan diserahkan kepada orang lain yang bukan ahli warisnya dan
hibah itu tidak melebihi sepertiga harta peninggalannya, maka hibah itu adalah
sah. Tetapi bila hibah itu melebihi sepertiganya dan para ahli waris tidak
menyetujui hibah tersebut, hibah itu masih sah, untuk sepertiga dari seluruh
harta peninggalan dan orang yang diberi hibah harus mengembalikan
kelebihannya dari sepertiga harta itu.
4) Jika seseorang yan g harta peninggalannya habis untuk membayar utang, dan
orang tersebut waktu sakit keras menghibahkan hartanya kepada ahli warisnya
atau kepada orang lain, lalu menyerahkannya dan kemudian meninggal. Maka
kreditor berhak mengabaikan penghibahan tersebut, dan memasukkan barang
yang dihibahkan tadi untuk pembayaran utangnya.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


90

L AKUTANSI
SYARI’AH

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


91

1. Pengertian Akuntansi Syariah


Akuntansi: Proses Identifikasi transaksi, pencatatan, penggolongan, pengikhtisaran,
sehingga dihasilkan informasikeuangan dalam bentuk laporan keuangan yang dapat
digunakan untuk pengambilan keputusan.
Syariah: Aturan yang telah ditetapkan Allah SWT untuk dipatuhi oleh manusia dalam
menjalani segala aktivitasnya di dunia. Akuntansi Syariah: Akuntansi yang sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
2. Arti Penting Akuntansi Syariah Akuntansi Syariah dibutuhkan karena:
a. Kewajiban atas pelaksanaan Syariah
b. Kebutuhan akibat pesatnya perkembangan transaksi keuangan syariah
c. Kebutuhan akuntabilitas/ pertanggungjawaban, entitas/ kelembagaan
yang menerapkan prinsip Syariah
3. Konsep Dasar Akuntansi Syariah
a. Entitas Bisnis
Entitas atau kesatuan bisnis adalah perusahaan atau lembaga yang dianggap sebagai
entitas ekonomi dan hukum yang terpisah dari pihak-pihak yang berkepentingan atau
para pemiliknya secara pribadi.
b. Kesinambungan
Suatu aktivitas dianggap akan berjalan terus
c. Stabilitas Daya Beli Unit Moneter
Uang atau alat tukar yang digunakan harus bersifat stabil atau tetap. Satu-satunya
uang yang memungkinkan hal ini adalah uang yang memiliki bahan dasar emas
sehingga nilainya relatif setara dengan benda.
d. Periode Akuntansi
Salah satu tujuan dari akuntansi syariah adalah perhitungan zakat. Zakat diwajibkan
ketika harta telah mencapai nishob dan haul. Nishob adalah jumlahnya sementara
haul adalah periodenya yang merupakan setahun. Periode akuntansi syariah
mengikuti haul zakat yaitu setahun. Perhitungan dilakukan setiap akhir tahun.
4. Prinsip Akuntansi Syariah
a. Prinsip Pengungkapan Penuh
Prinsip ini mengharuskan laporan keuangan akuntansi untuk mengungkapkan hal-hal
yang penting agar laporan tersebut jelas dan tidak menyesatkan. Tidak ada

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


92

manipulasi. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Landasannya adalah Surat Al-Baqarah


ayat 282;
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan
jangan-lah dia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika
tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah
dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang
demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya dia adalah orang yang berdosa hatinya;
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.\” (Al-Baqarah: 282-283) b.
Prinsip Konsistensi

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ


93

Prosedur yang digunakan sebagaimana yang disepakati diawal harus dianut dan
dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu.
c. Prinsip Dasar Akrual
Kas diakui pada saat terjadinya. Sebagai gambaran adalah seorang ibu yang ingin
membeli barang tertentu tetapi lupa membawa uang. Sang penjual mempersilahkan
untuk membawa terlebih dahulu barang tersebut. Sang ibu mengatakan akan
langsung kembali tetapi lupa sehingga baru mengembalikan keesokan harinya.
Apabila seperti itu, uang ibu tetap masuk ke dalam hitungan kas pada hari dimana
barang dibawa.
d. Prinsip Nilai Tukar yang Sedang Berlaku
Harta, hutang, modal, laba, dan elemen-elemen lain dari laporan keuangan
menggunakan nilai tukar yang sedang berlaku. Sebagai gambaran sebuah laporan
berisi sebuah transaksi beberapa bulan yang lalu. Katakanlah salah satu item yang
dibeli adalah bensin yang pada waktu itu berharga 6500 perliternya. Ketika
dimasukkan ke dalam laporan sekarang harga bensin sudah 8000 perliter. Maka yang
dimasukkan ke dalam laporan tetap harga bensin ketika dibeli lima bulan lalu yaitu
6500 perliter. Tidak berubah.
e. Prinsip Penandingan
Beban harus diakui pada periode yang sama dengan pendapatan.

Diktat Ekonomi Syariah – FH UMJ

Anda mungkin juga menyukai