A. Pengantar Ekonomi Syariah, Rancang Bangun ekonomi Syariah Dan Dasar Hukum
Ekonomi Syariah
B. Sejarah Ekonomi Syariah
C. Bunga Dan Riba dalam presfektif agama
D. Subyek Hukum, Amwal
E. Asas Akad, Rukun, Syarat, Kategori Hukum, ‘Aib, Akibat dan Penafsiran Akad
F. Ba’i dan Akibat Ba’i , Syirkah dan Syirkah Milk, Mudharabah, Muzara’ah dan
Musaqah
G. Khiyar dan Ijarah, Kafalah dan Hawalah
H. Rahn dan Wadi’ah,Gashb dan Itlaf, Wakalah dan Shulh,Pelepasan Hak dan Ta’min
I. Obligasi Syariah Mudharabah dan Pasar Modal, Reksadana Syariah
J. Qardh, Pembiayaan Multijasa dan Dana, pensiunan Syariah
K. Zakat dan Hibah
L. Akutansi Syari’ah
A
Rancang Bangun Ekonomi Syariah Pengantar
Ekonomi Syariah,
Dan Dasar Hukum Ekonomi Syariah
Ekonomi dalam Islam adalah ilmu yang mempelajari segala prilaku manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian &
kesejahteraan dunia-akhirat). Prilaku manusia disini berkaitan dengan
landasanlandasan syariat sebagai rujukan berprilaku dan kecenderungan-
kecenderungan dari fitrah manusia.
b. Definisi Ekonomi Dalam Islam
• S.M. Hasanuzzaman, “ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi
ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang mencegah ketidak adilan dalam
pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya, guna memberikan kepuasan
bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban
mereka terhadap Allah dan masyarakat.”
• M.A. Mannan, “ilmu ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari permasalahan ekonomi dari orang-orang memiliki nilai-nilai
Islam.”
• Khursid Ahmad, ilmu ekonomi Islam adalah “suatu upaya sistematis untuk
mencoba memahami permasalahan ekonomi dan perilaku manusia dalam
hubungannya dengan permasalahan tersebut dari sudut pandang Islam.”
• M.N. Siddiqi, ilmu ekonomi Islam adalah respon “para pemikir muslim
terhadap tantangan-tantangan ekonomi zaman mereka. Dalam upaya ini mereka
dibantu oleh Al Qur’an dan As Sunnah maupun akal dan pengalaman.”
• M. Akram Khan, “ilmu ekonomi Islam bertujuan mempelajari kesejahteraan
manusia (falah) yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber daya bumi
atas dasar kerjasama dan partisipasi.”
• Louis Cantori, “ilmu ekonomi Islam tidak lain merupakan upaya untuk
merumuskan ilmu ekonomi yang berorientasi manusia dan berorientasi
masyarakat yang menolak ekses individualisme dalam ilmu ekonomi klasik.”
c. Definisi Konvensional
• Ilmu yang mempelajari prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang
tak terbatas menggunakan faktor-faktor produksi yang terbatas.
• Masalah utama ekonomi adalah kelangkaan (scarcity) dan pilihan (choices)
d. Ekonomi Islam - Ekonomi Rabbani
• Surah Ali Imran (3) ayat 109:
Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allah –
lah dikembalikan segala urusan
• Surat Asy-Syura (42) ayat 12:
Kepunyaan-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi; dia melapangkan rezeki
bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (nya). Sesungguhnya Dia
Maha mengetahui segala sesuatu.
• Surah Ar-Ra’d (13) ayat 26:
Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.
Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu
(dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit)
• Surah Hud (11) ayat 6:
Dan tidak ada suatu bintang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan
tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh
mahfuzh).
e. Perkembangan Islam
Ekonomi Islam pada hakikatnya bukanlah sebuah ilmu dari sikap reaksioner
terhadap fenomena ekonomi konvensional. Awal keberadaannya sama dengan
awal keberadaan Islam di muka bumi ini (1500 Th yang lalu), karena ekonomi
Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam sebagai sistem hidup.
Islam yang diyakini sebagai jalan atau konsep hidup tentu melingkupi ekonomi
sebagai salah satu aktivitas hidup manusia. Jadi dapat dikatakan bahwa ekonomi
Islam merupakan aktivitas agama atau ibadah kita dalam berekonomi.
f. Perbandingan Ekonomi
• Zakat
• Larangan Riba
c. Prinsip Ekonomi Islam
• Kerja (resource utilization)
• Kompensasi (compensation)
• Efisiensi (efficiency)
• Professional (professionalism)
• Kecukupan (adequacy)
• Pemerataan kesempatan (equal opportunity)
• Kebebasan (freedom)
• Kerja sama (cooperation)
• Persaingan (competition)
• Keseimbangan (equilibrium)
• Solidaritas (solidarity)
• Information simetri (Symmetris information)
• Hidup hemat/tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurious
living)
2) Zakat
3) Jaminan Sosial
4) Kerjasama Ekonomi
5) Peranan Negara
Pemerintah dapat berfungsi sebagai distributor maupun pemilik manfaat
sumber-sumber ekonomi serta sebagai lembaga pengawas kehidupan
ekonomi melalui lembaga Hisbah. Hisbah pernah ada di zaman Nabi
Muhammad S.A.W., sebagai lembaga pengawas pasar yang menjamin tidak
B Sejarah Ekonomi
Syariah
•
Sistem penggajain aparat Negara
2) Umar Bin Khattab (584-644M)
• Sektor Pertanian & Irigasi
• Hukum Perdagangan & Pajak
• Baitul Maal, cabang2 nya dan Kebijakan fiskal
• Diwan Islam
3) Usman Bin Affan (577 – 656M)
• Zakat & Jizyah
• Supremasi Kelautan (Pelabuhan Islam Pertama)
• Komposisi kelas sosial
4) Ali Bin Abi Thalib (600-661M)
• Sederhana
• Keuangan Negara
• Mata Uang Negara
4. Periode Pertama/Fondasi (699-767M)
a. Abu Hanifa (699-767M)
• Salam; transaksi penjual & Pembeli
• Menghilangkan ambiguitas & perselisihan
• Murabahah & Perdagangan
• Zakat & Muzara’ah
b. Abu Yusuf (731-798)
• Al-Kharaj; Perpajakan & Peran Negara
• Keuangan Negara
• Tasarruf al-Iman ‘ala Ra’iyyah Manatun bi al-Mashlahah
• Akuntabilitas
c. Muhammad bin Al Hasan (750-804M)
• Ijarah, Tijarah, Ziraah, dan Sinaah)
• Perilaku konsumsi ideal
• Transaksi/kerjasama
•
d. Abu Ubayd Al-Qasam (838M)
• Keuangan publik
• Kebijakan fiskal
Zakat, khums, kharaj, fay
e. Harith bin Asad Al-Muhasibi (859M)
• Al-Makasib; memperolehi pendapatan
• Laba & Upah
• Kerjasama & Hukuman (mencari keuntungan)
f. Ibn Miskwaih (1030M)
• Tahdid al-Akhlaq; pertukaran barang, jasa & peranan uang
• Kompensasi
• Emas logam
g. Mawardi (1058M)
• Al-Ahkam al-Sulthoniyyah; pemerintah & administrasi
• Pengawasan Pasar
• Perilaku ekonomi – individu
• Wisdom
• Mudharabah
• Transaksi Dagang
5. Periode Kedua (1058-1446M)
Korupsi & dekadensi moral
a. Al-Ghazali (1055-1111M)
• Perukaran & evolusi pasar
• Produksi & Peranan Negara
• Barter & evolusi uang
• Riba
• Kepentingan individu
b. Ibn Taimaya (1263-1328)
• Persaingan pasar bebas
• Market supervisor
•
• Peranan negara
• Kepemilikan & sumber daya ekonomi
• Beban pajak & Konsep harga
c. Ibn Khaldun (1332-1404M)
• Muqaddimah
Perdagangan International
• Hukum permintaan/penawaran
• Industri & kerajinan
• Emas & Perak
• Backward sloping supply curve
d. Nasiruddin Tusi (1093M)
• Akhlaq e-Nasiri
• Political economy
• Pembagian tenaga kerja
• Strategi/kerja sama
• Tabungan/konsumsi berlebihan
• Pajak & pertanian
6. Periode Ketiga (1446-1932M)
a. Shah Waliullah (1703-1763M)
• Hujjatullah al-Baligha
• Kerjasama; pertukaran barang & Jasa
• Pembagian ekonomi alamiah
• Kepemilikan & pengelolaan Negara
• Pajak
b. Muhammad Iqbal (1873-1938M)
• Islam vs Kapitalisme & Komunisme
• Peranan Negara
• Zakat
• Keadilan sosial
7. Periode Kontemporer (1930-sekarang)
•
• 1930-an --- kebangkitan kembali intelektualitas di dunia Islam
• Perbandingan sistem ekonomi islam dgn sistem lainnya
• Kritik thdp sistem ekonomi konvensional; filosofi dan
praktikal
• Pembahasan ekonomi islam; mikro dan makro
1. Yunani
• Plato (427-347 SM):
- Bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam
masyarakat.
- Bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan
miskin
• Aristoteles (384-322 SM):
- Fungsi uang adalah sebagai alat tukar (medium of exchange) bukan alat
menghasilkan tambahan melalui bunga
- “….Istilah riba, yang berarti lahirnya uang dari uang, diterapkan kepada
pengembangbiakan uang karena analogi keturunan dan orang tua.
Dibanding dengan semua cara mendapatkan uang, cara seperti ini adalah
yang paling tidak alami” (Politics, 1258)
2. Yahudi
• Kitab Eksodus (Keluaran) 22: 25
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang umatku, orang yang
miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang
terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
• Kitab Deuteronomy (Ulangan) 23: 19
“Janganlah engkau membungakan uang kepada saudaramu, baik uang maupun
bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan.”
• Kitab Levicitus (Imamat) 35: 7
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau
harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah
engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu
janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
• Lukas 6: 35
• Arruum: 39
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar ia bertambah pada
harta manusia, maka pada sisi Allah itu tidak bertambah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang yang
melipatgandakan (pahalanya).”
• Annisaa: 160-161
Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan diatas
mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan
bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta
orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk
orangorang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.
• Ali Imran: 130
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.”
• Albaqarah: 278-279
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba)
maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
b. Al-Hadits
• Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima
riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua
orang saksinya, kemudian beliau bersabda: “Mereka semuanya sama“
(HR. Muslim)
• Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi SAW berkata: “Pada malam
perjalananku Mi’raj, aku melihat orang-orang yang perutnya seperti
rumah, didalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku
bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa
mereka adalah orang-orang yang menerima riba.”
• Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Riba itu
memiliki tujuh puluh tingkatan, adapun tingkat yang paling rendah
(dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya
sendiri.”
5. Bunga Bank: Pandangan Dunia Islam
a. Dewan Studi Islam AlAzhar, Cairo
• Bunga dalam segala bentuk pinjaman adalah riba yang diharamkan.
(Konferensi DSI Al-Azhar, Muharram 1385 H/ Mei 1965 M)
b. Rabithah Alam Islamy
• Bunga bank yang berlaku dalam perbankan konvensional adalah riba yang
diharamkan. (Keputusan No. 6 Sidang ke 9, Mekkah 12-19 Rajab 1406 H)
c. Majma’ Fiqih Islamy, Organisasi Konferensi Islam
• Seluruh tambahan dan bunga atas pinjaman yang jatuh tempo dan nasabah
tidak mampu membayarnya, demikian pula tambahan (atau bunga) atas
pinjaman dari permulaan perjanjian adalah dua gambaran dari riba yang
diharamkan secara syariah (Keputusan No. 10 Majelis Majma’ Fiqih
Islamy, Koneferensi OKI ke II, 22-28 Desembeer 1985)
6. Bunga Bank: Pandangan Ulama Indonesia
a. Nahdhatul Ulama
• Sebagian ulama mengatakan bunga sama dengan riba, sebagian lain
mengatakan tidak sama dan sebagian lain mengatakan syubhat.
• Rekomendasi: Agar PB NU mendirikan bank Islam NU dengan sistem
tanpa bunga (Bahtsul Masail, Munas Bandar Lampung, 1992)
b. Muhammadiyah
• Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik nagara kepada nasabahnya atau
sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara “mustasyabihat.”
• Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan
terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan
yang sesuai dengan qaidah Islam (Lajnah Tarjih Sidoarjo, 1968)
1 Subyek Hukum
a. Kecakapan Hukum
1) Seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum dalam hal telah mencapai umur paling rendah 18 (delapan belas)
tahun atau pernah menikah.
2) Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, dapat
melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan taflis/pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
3) Dalam hal seseorang anak belum berusia 18 (delapan belas) tahun dapat
mengajukan permohonan pengakuan cakap melakukan perbuatan hukum
kepada pengadilan.
4) Pengadilan dapat mengabulkan dan atau menolak permohonan pengakuan
cakap melakukan perbuatan hukum.
b. Pewalian
1) Orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum berhak mendapat
pewalian.
2) Dalam hal seseorang sudah berumur 18 tahun atau pernah menikah, namun
tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka pihak keluarga dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menetapkan wali bagi
yang bersangkutan.
3) Dalam hal badan hukum terbukti tidak mampu lagi berprestasi sehingga
menghadapi kepailitan, atau tidak mampu membayar utang dan meminta
1. Pengertian Akad
Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqada artinya mengikat atau mengokohkan. Secara
bahasa pengertiannya adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabath)
maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan
mengikatkan salah satunya pada yang lainnya, hingga keduanya bersambung dan
menjadi seperti seutas tali yang satu.
Menurut Fiqh Islam akad berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan (ittifaq).
Dalam kaitan ini peranan Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Qabul
(pernyataan menerima ikatan) sangat berpengaruh pada objek perikatannya, apabila
ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syari’ah, maka munculah segala akibat
hukum dari akad yang disepakati tersebut. Akad merupakan ikatan secara hukum
yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan
mengikatkan dirinya. Kehendak tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati, oleh
karena itu menyatakannya masing-masing harus mengungkapkan dalam suatu
pernyataan yang disebut Ijab dan Qabul.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 20 angka 1, Akad adalah
kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
Dari rumusan tersebut maka Akad harus merupakan perjanjian tertulis kedua belah
pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu
hal yang khusus. Akad tersebut memuat Ijab dan Kabul. Ijab yakni pernyataan
pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan. Sedang Kabul yakni
pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Ijab Kabul ini diadakan untuk
menunjukkan adanya kesuka relaan timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan
oleh dua pihak yang bersangkutan yang sesuai dengan prinsip syariah.
Materi Akad harus sesuai dengan ketentuan Syariah dan Transaksi syariah tidak
boleh mengandung unsur;
• riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam
transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan
waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang
mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang
diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
• maisir (judi), yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang
tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
• gharar (ketidakjelasan), yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak
dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat
transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
• haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah;
• zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidak adilan bagi pihak lain nya;
Syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad menurut ulama fiqh antara lain,
pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum, objek akad
harus ada dan dapat diserahkan ketika akad berlangsung misalnya Maka tidak
sah akad seperti menjual anak kambing yang masih dalam kandungan induknya
atau membeli sesuatu yang masih dalam tanah. Akad dan objek akadnya tidak
dilarang syara’, ada manfaatnya, ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis
dan tujuan akad harus jelas dan diakui syara’.
2. Asas Akad
• Ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar
dariIkhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak,
terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak
lain.keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.
• Amanah/menepati janji (Asas perjanjian itu mengikat); setiap akad
wajibAmanah/menepati janji (Asas perjanjian itu mengikat); setiap akad wajib
dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakan yang ditetapkan oleh
yangdilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakan yang ditetapkan
oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari
ciderajanji.bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji.
• Ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang
matangIkhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan
yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.dan dilaksanakan secara
tepat dan cermat.
• Luzum/tidak berobah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang
jelasLuzum/tidak berobah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan
perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasidan
perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.
• Saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan
paraSaling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi
kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan
merugikan salah satu pihak.pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi
dan merugikan salah satu pihak.
• Taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan
yangTaswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan
yangsetara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.setara, dan
mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
• Transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para
pihakTransparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para
pihak secara terbuka.secara terbuka.
• Kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para
pihak,Kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para
pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang
bersangkutan.sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang
bersangkutan.
• Taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi
kemudahanTaisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling
memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat
melaksanakannya sesuai dengankepada masing-masing pihak untuk dapat
melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.kesepakatan.
• Obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh
masing masing pihak.
• Yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan
dalam akad sewa dan sejenisnya.
• Pemilikan amwal pada dasarnya merupakan titipan dari Allah Subhanahu
wata’ala untuk didaya gunakan bagi kepentingan hidup
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya”. (QS. Al-Baqarah : 275)
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”. (QS. Al-Baqarah : 282)
2) As-Sunah, diantaranya :
“Nabi SAW. ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau
menjawab, “seorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang
mabrur”. (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)
3) Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alas an bahwa
manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan
orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang
dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang barang lainnya yang sesuai.
c. Rukun dan Pelaksanaan Jual-Beli
Dalam menetapkan rukun jal beli, diantara para ulama terjadi perbedaan
pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalahijab dan qabul yang
menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun
perbuatan.
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu :
1. Bai’ (penjual)
2. Mustari (pembeli)
3. Shigat (ijab dan qabul)
4. Ma’qud ‘alaih (benda atau barang)
d. Syarat Jual-Beli
Dalam jual-beli terdapat empat macam syarat, yaitu syarat terjadinya akad
(in’iqad), syarat sahnya akad, syarat terlaksananya akad (nafadz), dan syarat
luzum.
Secara umum tujuan adanya semua syarat tersebut antara lain untuk
menghindari pertentangan di antara manusia, menjaga kemaslahatan orang
yang sedang akad, menghindari jual-bel;i harar i (terdapat unsur penipuan), dan
lain-lain.
Sedangkan ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan persyaratan
jualbeli.
e. Hukum (ketetapan) Ba’i beserta Pembahasan Barang dan Harga
1. Hukum (ketetapan) akad
Hukum akad adalah tujuan dari akad. Dalam jual-beli, ketetapan akad
adalah menjadikan barang sebagai milik pembeli dan menjadikan harga
atau uang sebagai milik penjual.
Secara mutlak hukum akad dibagi 3 bagian :
a) Dimaksudkan sebagai taklif, yang berkaitan dengan wajib, haram,
sunah, makruh, dan mubah.
b) Dimaksudkan sesuai dengan sifat-sifat syara’ dan perbuatan, yaitu sah,
luzum, dan tidak luzum, seperti pernyataan, “Akad yang sesuai dengan
syarat dan rukunnya disebut shahih lazim.”
c) dimaksudkan sebagai dampak tasharruf syara’, seperti wasiat yang
memenuhi ketentuan syara’ berdampak pada beberapa ketentuan, baik
bagi orang yang diberi wasiat maupun bagi orang atau benda yang
diwasiatkan.
2. Tsaman (Harga) dan Mabi’ (Barang Jualan)
a) Pengertian Harga dan Mabi’
Secara umum, mabi’ adalah perkara yang menjadi tentu dengan
ditentukan. Sedangkan pengertian harga secara umum adalah perkara
yang tidak tentu dengan ditentukan.
Definisi tersebut sebenarnya sangat umum sebab sangat bergantung
pada bentuk dan barang yang diperjual belikan. Adakalanya mabi’ tidak
ditentukan, sebaliknya harga memerlukan penentuan, seperti penetapan
uang muka.
b) Penentuan Mabi’ (barang Jualan
Penentuan mabi’ adalah penentuan braang yang akan dijual dari
barangbarang lainnya yang tidak akan dijual, jika penentuan tersebut
menolong atau menentukan akad, baik pada jual beli yang barangnya
ada ditempat akad atau tidak. Apabila mabi’ tidak ditentukan dalam
akad, penentuanny dengan cara penyerahan mabi’ tersebut.
c) Perbedaan Mabi’ dan Harga
Diantara perbedaan antara mabi’ dan tsaman adalah :
i. Secara umum uang adalah harga, sedangkan barang yang dijual
adalah mabi’
ii. Jika tidak menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah
mabi’ dan penukarannya adalah harga.
Ditinjau dari hukum sifat jual-beli, jumhur ulama membagi jual-beli
menjadi dua macam, yaitu jual-beli yang dikategorikan sah (shahih) dan
jual-beli yang dikategorikan tidak sah. Jual beli shahih adalah jual-beli yang
memenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun syaratnya, sedangkan
jualbeli tidak sah adalah jual-beli yang tidak memenuhi salah satu syarat
dan rukun sehingga jual-beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Adapun
ulama hanafiah membagi hukum dan sifat jual-beli menjadi sah, batal, dan
rusak. Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan ulama hanafiyah
berpangkal pada jual-beli atau akad yang tidak memenuhi ketentuan syara’,
berdasarkan hadist :
Artinya :
“Barang siapa yang berbuat suatu amal yang tidak kami perintahkan,
maka tertolak. Begitu pula barang siapa yang memasukkan suatu
perbuatan kepada agama kita maka tertolak”. (HR. Muslim dari Siti
Aisyah)
f. Jual-Beli yang dilarang dalam Islam
Jual beli yang dilarang dalam Islam sangatlah banyak. Jumhur ulama,
sebagaimana disinggung diatas, tidak membedakan antara fasid dan batal.
Berkenaan dengan jual-beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah Al-
Juhaili meringkasnya sebagai berikut. 1) Terlarang Sebab Ahliah (Ahli
Akad)
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli dikategorikan shahih apabila dilakuka
oleh orng yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu ber-tasharruf
secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang jual-belinya tidak sah
adalah sebagai berikut : • Jual-beli orang gila
• Jual-beli anak kecil
• Jual-beli orang buta
• Jual-beli terpaksa
• Jual-beli fudhul
• Jual-beli orang yang terhalang
• Jual-beli malja
2) Terlarang Sebab Shighat
Ulama telah sepakat atas sahnya jual-beli yang didasarkan pada keridhaan
diantara piha yang melakukan akad, ada kesesuaian diantara ijab dan
qabul ; berada disuatu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah.
Beberapa jual-beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh
para ulama adalah berikut ini :
• Jual-beli mu’athah
• Jual-beli melalui surat atau utusan
• Jual-beli dengan isyarat atau tulisan
• Jual-beli barang yang tidak ada ditempat akad
• Jual-beli yang tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
• Jual-beli munjiz
3) Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran
oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi (barang jualan) dan harga.
Ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama, tetapi
diperselisihkan oleh ulama lainnya, diantaranya berikut ini : • Jual-beli
benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
• Jual-beli barang yang tidak dapat diserahkan
• Jual beli gharar
• Jual-beli barang yang najis dan terkena najis
• Jual-beli air
• Jual-beli barang yang tidak jelas(majhul)
• Jual-beli barang yang tidak ada ditempat akad (ghaib), tidak dapat
dilihat.
• Jual-beli sesuatu belum dipegang
• Jual-beli buah-buahan atau tumbuhan
4) Terlarang Sebab Syara’
Ulama sepakat membolehkan jual-beli yang memenuhi persyaratan dan
rukunnya. Namun demikian, ada beberapa masalah yang diperselisihkan
diantara para ulama, diantaranya berikut ini :
• Jual-beli riba
• Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
• Jual-beli barang dari hasil pencegatan barang
• Jual-beli waktu azan jum’at
• Jual-beli anggur untuk dijadikan khamar
• Jual-beli induk tanpaanaknya yang masih kecil
• Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
• Jual beli memakai syarat
g. Macam-macam Jual-Beli
Jual-beli berdasarkan pertukarannya secara umum di bagi empat macam yakni :
1) Jual-beli saham (pesanan)
Jual beli saham adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual-beli dengan cara
menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar
belakangan.
2) Jual-beli muqayadhah (barter)
Jual-beli muqayadhah adalah jual-beli dengan cara menukar barang dengan
barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
3) Jual-beli muthlaq
Jual-beli muthlaq adalah jual-beli barang dengan sesuatu yang telah
disepakati sebagai alat pertukara, seperti uang.
4) Jual-beli alat penukar dengan alat penukar
5) Jual-beli alat penukar dengan alat penukar
6) adalah jual-beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat
penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.
Berdasarkan segi harga, jual-beli dibagi pula mejadi empat bagian yakni :
2. Syirkah
a. Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti: "percampuran, yakni
bercampunya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya tanpa dapat
dibedakan antara keduanya.
Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/
expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung
bersama.
Sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama
1) menurut Hanafiah
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang
yang berserikat didalam modal dan keuntungan.
2) Menurut Malikiyah
Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang
dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya
saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta
milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.
3) menurut syafi’iyah
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas
suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama
4) menurut Hanabilah
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas hak
atau tasarruf.
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa para ulama mengenai pengertian
dari syirkah bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua
orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari harta
yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu
dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama
sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
Transaksi syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama
untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama.
Termasuk dalam golongan musyârakah adalah semua bentuk usaha yang
melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama
memadukan seluruh bentuk sumber daya, baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud. Melalui akad ini, kebutuhan nasabah untuk mendapatkan
tambahan modal kerja dapat terpenuhi setelah mendapatkan pembiyaan dari
bank. Selain digunakan untuk pembiayaan modal kerja, secara umum
pembiayaan musyarakah digunakan untuk pembelian barang investasi dan
pembiayaan proyek, bagi bank, pembiayaan musyârakah dan memberi manfaat
berupa keuntungan dari hasil pembiyayaan usaha.
b. Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an,
Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan
dalil-dalilnya, di antaranya:
1) Al-Qur’an
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang
yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian
yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24) Dan firman-Nya
pula:
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan
adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat
AnNisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris,
sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2) Hadits
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa
jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama
disaksikan oleh sahabat yang lain lalu tidak seorangpun menyanggahnya, maka
hal itu merupakan ijma‟. Ketentuan ijma' ini secara sharih mengakui keabsahan
praktik pembiayaan mudharabah dalam sebuah perniagaan
(Zuhaili, 1989, IV, hal. 838).
c. Qiyas merupakan dalil lain yang membolehkan Mudharabah dengan
mengqiyaskannya (analogi) kepada transaksi Musaqat, yaitu bagi hasil yang
umum dilakukan dalam bidang perkebunan. Dalam hal ini, pemilik kebun
bekerja sama dengan orang lain dengan pekerjaan menyiram, memelihara dan
merawat isi perkebunan. Dalam perjanjian ini, sang perawat (penyiram)
mendapatkan bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan di depan dari out put
perkebunan (pertanian). Dalam mudharabah, pemilik dana (shahibul maal)
dianalogkan dengan pemilik kebun, sedangkan pemeliharaan kebun dianalogkan
dengan pengusaha (entrepreneur). Mengingat dasar hukum musaqot lebih valid
dan tegas yang diambil dari sunnah Rasululah SAW, maka metodologi qiyas
dapat dipakai untuk menjadi dasar diperbolehkannya mudharabah
d. Rukun dan Macam Mudharabah
Akad mudharabah memiliki beberapa rukun yang telah digariskan oleh ulama
guna menentukan sahnya akad tersebut, rukun yang dimaksud adalah
shahibul maal (pemilik dana), mudharib (pengelola), sighat (ijab qabul),
ra'sul maal (modal), pekerjaan, dan keuntungan. Mudharabah adalah akad
kerjasama antara pemilik dana dengan pengelola yang bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dalam sebuah usaha perniagaan.
e. Syarat Mudharabah
Ulama mengajukan beberapa syarat terhadap rukun-rukun yang melekat dalam
akad mudharabah:
1) Untuk shahibul maal dan mudharib, syarat keduanya adalah harus mampu
bertindak layaknya sebagai majikan dan wakil.
2) Sighat atau ijab dan qabul harus diucapkan oleh kedua pihak untuk
menunjukkan kemauan mereka, dan terdapat kejelasan tujuan mereka dalam
melakukan sebuah kontrak.
Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh shahibul maal kepada
mudharib untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah. Modal disyaratkan
harus diketahui jumlah dan jenisnya (mata uang), dan modal harus disetor
tunai kepada mudharib.
Sebagian ulama membolehkan modal berupa barang inventori ataupun aset
perdagangan, bahkan madzhab Hambali membolehkan penyediaan aset
nonmoneter (pesawat, kapal, alat transport) sebagai modal. Modal tidak
dapat berbentuk hutang (pada pihak ketiga atau mudharib), modal harus
tersedia untuk digunakan dalam bentuk tunai atau aset. Selain itu, modal
harus diserahkan/ dibayarkan kepada mudharib dan memungkinkan baginya
untuk menggunakannya
3) Keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal,
keuntungan adalah tujuan akhir dari kontrak mudharabah. Syarat keuntungan
yang harus terpenuhi adalah: kadar keuntungan harus diketahui, berapa
jumlah yang dihasilkan. Keuntungan tersebut harus dibagi secara
proporsional kepada kedua pihak, dan proporsi (nisbah) keduanya harus
sudah dijelaskan pada waktu melakukan kontrak. Shahibul maal
berkewajiban untuk menanggung semua kerugian dalam akad mudharabah
sepanjang tidak diakibatkan karena kelalaian mudharib.
4) Pekerjaan/usaha perniagaan adalah kontribusi mudharib dalam kontrak
mudharabah yang disediakan sebagai pengganti untuk modal yang
disediakan oleh shahibul maal, pekerjaan dalam konteks ini berhubungan
dengan manajemen kontrak mudharabah. Syarat yang harus dipenuhi adalah:
usaha perniagaan adalah hak eksklusif mudharib tanpa adanya intervensi
dari pihak shahibul maal, walaupun madzhab Hanbali membolehkan
shahibul maal memberikan kontribusi dalam pekerjaan tersebut.
Pemilik dana tidak boleh membatasi tindakan dan usaha mudharib
sedemikian rupa, sehingga dapat mencegahnya dari mencapai tujuan
kontrak mudharabah, yakni keuntungan. Mudharib tidak boleh menyalahi
aturan syariah dalam usaha perniagaannya yang berhubungan dengan
kontrak mudharabah, serta ia harus mematuhi syarat-syarat yang ditentukan
shahibul maal, sepanjang syarat itu tidak kontradiktif dengan apa yang ada
dalam kontrak mudharabah.
f. Hukum Mudharabah
Mudharabah akan dikatakan fasid jika terdapat salah satu syarat yang tidak
terpenuhi, di antara bentuk mudharabah fasid adalah misalnya, seseorang yang
memiliki alat perburuan (sebagai shahibul maal) menawarkan kepada orang lain
(sebagai mudharib) untuk berburu bersama-sama, kemudian keuntungan dibagi
bersama sesuai kesepakatan. Akad mudharabah ini fasid, mudharib tidak berhak
mendapat keuntungan dari perburuan, keuntungan ini semuanya milik shahibul
maal, mudharib hanya berhak mendapatkan upah atas pekerjaan yang dilakukan.
Dengan alasan, keuntungan yang didapatkan bersumber dari aset yang dimiliki
oleh shahibul maal, begitu juga ia harus menanggung beban kerugian yang ada.
Dalam akad ini, mudharib diposisikan sebagai ajir (orang yang disewa
tenaganya), dan ia berhak mendapatkan upah, baik ketika mendapatkan
keuntungan atau menderita kerugian
Jika semua syarat terpenuhi, maka akad mudharabah dikatakan shahih. Dalam
konteks ini, mudharib diposisikan sebagai orang yang menerima titipan aset
shahibul maal. Ketika mudharib melakukan pembelian, ia layaknya sebagai
wakil dari shahibul maal, ia melakukan transaksi atas aset orang lain dengan
mendapatkan izin darinya. Ketika mudharib mendapatkan keuntungan atas
transaksi yang dilakukan, ia berhak mendapat bagian dari keuntungan yang
dihasilkan, dan bagian lainnya milik shahibul maal. Jika mudharib melanggar
syarat yang ditetapkan shahibul maal, maka ia diposisikan sebagai orang yang
meng-ghosob (menggunakan harta orang tanpa izin) dan memiliki
tanggungjawab penuh atas harta tersebut.
Jika terjadi kerugian atas aset, maka ia tidak diharuskan untuk menanggung
kerugian, karena ia diposisikan sebagai pengganti shahibul maal dalam
menjalankan bisnis, sepanjang tidak disebabkan karena kelalaian. Jika terjadi
kerugian, maka akan dibebankan kepada shahibul maal, atau dikurangkan dari
keuntungan, jika terdapat keuntungan bisnis.
Jaminan dalam kontrak mudharabah merujuk kepada tanggungjawab mudharib
untuk mengembalikan modal kepada pemilik dana dalam semua keadaan. Hal
ini tidak dibolehkan, karena adanya fakta bahwa pegangan mudharib akan dana
itu sifatnya amanah, dan orang yang diamanahkan tidak berkewajiban menjamin
dana itu kecuali melanggar batas atau menyalahi ketentuan.
terkadang ada orang memiliki lahan, namun tidak memiliki keahlian dan
pengalaman di dunia pertanian, sedangkan dipihak lain, ada orang yang
tidak memiliki lahan, namun memiliki keahlian dan pengalaman di dunia
pertanian. Sehingga jika kedua orang tersebut bekerja sama, maka hal itu
bisa memberikan dan menciptakan banyak kebaikan dan keuntungan. Dan
fatwa dalam masalah ini menurut ulama Hanafiyyah adalah memakai
pendapat kedua rekan Imam Abu Hanifah ini. Karena akat seperti itu
memang di butuhkan. Ini adalah pendapat yang raajih.
2) Musaqah
Musaqah menurut ulama Hanafiyah adalah sama seperti muzara’ah baik
dari segi hukumnya, perbedaan pendapat yang ada didalamnya dan syarat-
syarat yang memungkinkan didalamnya. Oleh karena itu musaqah menurut
Imam Abu Hanifah dan Zufar adalah tidak boleh. Akad musaqah dengan
upah sebagian dari buah yang dihasilkan adalah batal dan tidak sah menurut
mereka berdua. Karena itu berarti menyewa atau mempekerjakan dengan
upah sebagian dari buah yang dihasilkan, dan itu adalah dilarang.
Rasulullah saw. bersabda,” barang siapa memiliki suatu lahan, maka
hendaklah ia menanaminya janganlah ia menyewakannya atau mengupah
seseorang untuk menanaminya dengan biaya sewa atau dengan upah
sepertiga atau seperempat (dari hasilnya) atau dengan biaya sewa atau upah
dalam bentuk makanan yang disebutkan.
Sementara itu, dua rekan Imam Abu Hanifah(Muhammad dan Abu Yusuf)
serta jumhur ulama (termasuk diantaranya adalah Imam Malik , Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad), berpendapat bahwa Musaqah hukumnya boleh
dengan sejumlah syarat. Pendapat dilandaskan pada hadits yang
menceritakan tentang praktek Rasulullah saw. yang memasrahkan tanah
khaibar kepada para penduduknya untuk digarap dengan upah sebagian dari
hasil tanah khaibar tersebut. Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar r.a.
“Bahwasanya Rasulullah saw. mempekerjakan penduduk khaibar untuk
mengolah dan menggarap tanah khaibar dengan upah sebagian dari hasilnya
berupa hasil buah kurma atau hasil ladang pertanian yang mereka garap dan
kelola tersebut.”
Hadis ini diriwayatkan oleh al- Jama’ah (al- Bukhari, Muslim, at-Tirmizi,
an-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad). Juga kerena alasan
akad musaqah adalah akad yang sangat dibutuhkan. Sebab, pemilik kebun
terkadang tidak memiliki keahlian dan pengalaman dalam mengelola dan
merawatnya, atau mungkin tidak punya wakyu untuk itu, sementara di sisi
lain ada orang yang memiliki kemampuan dan keahlian merawat dan
mengelola kebun serta memiliki waktu untuk itu, namun ia tidak memiliki
lahan perkebunan, sehingga pemilik lahan perkebunan membutuhkan
pekerja dan pihak pekerja membutuhkan pekerjaan, sehingga terjalin
hubungan mutual simbiosis di antara keduanya.
Fatwa dalam masalah ini di kalangan ulama Hanafiyah adalah berdasarkan
pendapat Muhammad dan Abu Yusup, dengan landasan praktek yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. para istri beliau, Khulafa’urrasyidin
dan penduduk madinah. Juga berdasarkan ijmak para sahabat atas
pembolehan musaqah. Ibnu Juzai, salah satu ulama mazhab maliki
mengatakan , musaqah adalah boleh dan statusnya adalah sebagai bentuk
akad yang dikecualikan dari dua asas yang di larang yaitu, akad Ijaarah
yang tidak jelas dan tidak pasti, serta menjual sesuatu yang belum tercipta.
c. Rukun muzara’ah dan Musaqah
1) Muzara’ah
Rukun muzara’ah menurut ulama Hanafiyah adalah, ijab dan qabul. Yaitu
pemilik lahan berkata kepada pihak penggarap, “aku serahkan lahan ini
kepadamu sebagai muzara’ah dengan upah sekian.” Lalu pihak penggarap
berkata, “aku terima,” atau “aku setuju,” atau perkataan- perkataan yang
menunjukkan bahwa ia menerima dan menyetujuinya. Apabila ijab qabul
ini sudah terjadi, maka mberlakulah akad Muzara’ah diantara keduanya.
Sedankan elemen akad Muzara’ah ada tiga, yaitu, pemilik lahan,
pengagarap, dan yang ketiga adalah objek akad yang memiliki dua
kemungkinan, yaitu kemanfaatan lahan atau pekerjaan penggarap (yang
pertam berarti pihak penggarap menyewa lahan, sedangkan yang kedua
berarti pihak pemilik lahan mempekerjakan atau mengupahnya untuk
menggarap lahannya. Kedua hal ini dalam fiqih disebut akad ijaarah).
Menurut Ulama Hanafiyah, akad Muzara’ah pada awalnya adalah bentuk
2. Objek Musaqah
3. Buah
4. Pekerjaan
5. Shighaat
d. Cara Pelaksanaan Muzara’ah dan Musaqah
Muzara’ah dan musaqah dilaksanakan setelah akad (ijab qabul) di antara kedua
belah pihak sudah di ucapkan. Dengan adanya kesepakatan itu maka
sipenggarap melaksanakannya dengan memenuhi syarat- syarat yang telah
disepakati diantara kedua belah pihak. Muzara’ah dan musaqah akan berakhir
apabila:
1) Jangka waktu yang disepakati berakhir. Akan tetapi, apabila jangka
waktunya sudah habis, sedangkan hasil pertanian itu belum layak panen,
maka akad itu tidak dibatalkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai
dengan kesepakatan bersama di waktu akad.
2) Apabila salah seorang yang berakad wafat.
3) Adanya uzur salah satu pihak. Uzur dimaksud antara lain:
a) Pemilik tanah terbelit hutang, sehingga tanah pertanian itu harus ia jual,
karena tidak ada harta lain yang dapatmelunasi hutang itu. Pembatalan
ini harus dilaksanakan melalui campur tangan hakim. Akan tetapi,
apabila tumbuh- tumbuhan itu telah berubah, tetapi belum layak panen,
maka tanah itu tidak boleh dijual sampai panen.
b) Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan suatu
perjalanan di luar kota, sehingga ia tidak mampu melaksanakan
pekerjaannya.
Hawalah
Madzhab Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa khiyar majlis ini tidak ada
dasarnya dalam syariah karena bertentangan dengan nas al-Qur'an S.
alMaidah : 1 yang artinya : " Wahai orang-orang yang beriman penuhilah
akadakad itu" dan an-Nisa : 29 yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu".
Menurut mereka adanya ijab dan qabul dalam akad dipandang sudah
memenuhi seluruh persyaratan akad berdasarkan ayat tersebut. Karena itu
kedudukan khiyar majlis tidak diperlukan lagi karena ijab dan qabul sudah
otomatis mengandung kerelaan dari masing-masing yang melangsungkan akad
sehingga tidak perlu menunggu khiyar majlis.
Sebenarnya tidak ada pertentangan antara khiyar majlis dengan semangat
ayatayat al-Qur'an di atas. Hal ini disebabkan karena akad yang sempurna dan
memiliki kekuatan untuk dijalankan (lazim) adalah akad yang, selain sudah
memenuhi segenap syarat dan rukunnya, juga tidak mengandung khiyar di
dalamnya. Justru khiyar ini disyariatkan untuk menegaskan dan mengokohkan
kesempurnaan "berlaku suka sama suka di antara kamu".
Madzhab Syafi'i dan Hambali berpandangan bahwa jika akad telah disepakati
oleh kedua belah pihak dengan ijab dan qobul, maka kedudukan akad ini
menjadi jaiz selama kedua pihak masih berada di dalam majlis akad. Pada saat
itu masing-masing pihak masih memperoleh khiyar untuk menetapkan apakah
transaksi dibatalkan atau terus dilanjutkan. Untuk menentukan bagaimana
hakekat perpisahan yang mengandung konsekuensi keluar dari majlis akad dan
khiyar majlis telah dilampui sehingga transaksi secara hukum syara' telah
dinilai berlangsung, diserahkan kepada urf atau kebiasaan yang berlaku di
masyarkat itu. Khiyar majlis ini didasarkan pada hadis shahih :
" Kedua pihak (pembeli dan penjual) memiliki khiyar selama keduanya belum
berpisah atau salah satu berkata kepada yang lain : Pilihlah". Maksud
"pilihlah" di sini adalah pemilihan antara apakah transaksi itu jadi dituntaskan
atau dibatalkan.
b) Khiyar Syarat
Khiyar syarat merupakan hak dari masing-masing pihak yang
menyelenggarakan akad untuk melanjutkan atau membatalkan akad dalam
jangka waktu tertentu. Misalnya dalam suatu transaksi jual beli seorang
pembeli berkata kepada penjual : Aku membeli barang ini dari kamu dengan
syarat aku diberi khiyar selama sehari atau tiga hari. Khiyar ini diperlukan
karena si pembeli perlu waktu untuk mempertimbangkan masak-masak
pembelian ini. Ia juga perlu diberikan kesempatan untuk mencari orang yang
lebih ahli untuk diminta pendapatnya mengenai barang yang akan dibeli
sehingga terhindar dari kerugian atau penipuan.
Khiyar syarat sama halnya dengan khiyar majlis dalam arti kata hanya berlaku
bagi akad-akad lazim saja, yaitu akad yang dapat dibatalkan oleh kerelaan
pihak yang menyelenggarakannya seperti jual beli, ijarah, musaqah, dan
mudharabah. Adapun akad yang tidak lazim seperti wakalah, wadiah, hibah
dan wasiyah tidak memerlukan khiyar karena tabiatnya memang tidak
membutuhkannya.
Masa tenggang khiyar syarat
Para ulama berselisih pendapat mengenai lamanya masa tenggang waktu dalam
khiyar syarat. Namun umumnya mereka sepakat bahwa tenggang waktu bagi
khiyar syarat harus ditentukan secara tegas dan jelas sebab kalau tidak akad
terancam fasad (menurut Hanafi) dan batal menurut Syafi'iyah dan
Hambaliyah. Masa tenggang khiyar ini mulai berlaku sesudah akad disepakati
bersama. Pada garis besarnya perbedaan mereka mengenai lamanya masa
tenggang ini dapat dikelompokkan kepada tiga macam.
i) Hanafiyah dan Syafi'iyah berpendapat masanya tidak boleh lebih dari tiga
hari karena hadis yang menetapkan khiyar ini menyebutkan masa tiga hari.
" Jika kamu menjual maka katakanlah : Tidak ada kecurangan. Dan saya
memiliki khiyar selama tiga hari". H. R. Bukhori.
Menurut mereka bahwa masa tiga hari sudah dirasa cukup bagi pembeli
untuk menjatuhkan pilihannya. Karena itu jika ia melanggar lebih dari tiga
hari, akadnya maenjadi fasad dan batal.
ii) Madzhab Hanbali dan sebagian Hanafiyah berpendapat bahwa waktu
tenggang bagi khiyar syarat ini tidak harus merujuk kepada hadis tersebut
melainkan kepada kesepakatan pihak-pihak yang melakukan transaksi
meskipun pada akhirnya harus melebihi dari tiga hari. Hal ini disebabkan
karena khiyar syarat ditetapkan oleh syara' untuk memudahkan transasksi
i) Adanya cacat pada barang atau penukarnya sebelum akad atau sesudahnya
tetapi barang belum diserahkan kepada pembeli. Jika barang itu terlanjur
sudah diserahkan, maka khiyar menjadi tidak berlaku.
ii) Si pembeli tidak mengetahui adanya kecacatan itu pada saat akad dan
penyerahan. Sekiranya ia tahu pada saat itu dan ia menerima penyerahan
barang, maka ia dianggap telah rela terhadap barang itu dan khiyar a'ib tidak
berlaku.
iii) Tidak ada persyaratan dari si pemilik tentang bebasnya barang dari cacat.
Seandainya disyaratkan dalam akad, maka tidak berlaku khiyar bagi si
pembeli jika ia telah membebaskan (barangnya dari cacat), berarti ia telah
menghapuskan haknya sendiri.
iv) Cacat itu tidak boleh hilang sebelum dibatalkan transaksi.
d) Khiyar Ru'yah
Yang dimaksud dengan khiyar ru'yah adalah hak pembeli untuk melanjutkan
transaksi atau membatalkannya ketika melihat (ru'yah) barang yang akan
ditransaksikan. Ini terjadi manakala pada saat akad dilakukan barang yang
ditransaksikan tidak ada di tempat sehingga pembeli tidak melihatnya. Jika ia
telah melihatnya maka khiyar ru'yahnya menjadi hangus dan tidak berlaku.
Khiyar ru'yah, seperti halnya khiyar-khiyar yang telah dijelaskan di depan
berlaku hanya pada akad lazim yang mengandung potensi untuk dibatalkan
seperti jual beli barang yang sudah siaap di tempat dan ijaroh. Adapun jual beli
barang yang belum siap dan hanya diberitahukan lewat ciri-ciri dan sifatnya saja
seperti dalam akad salam, maka khiyar ru'yah tidak berlaku.
Para fukoha umumnya membolehkan khiyar ru'yah dalam transaksi jual beli
barang yang sudah siap tetapi tidak ada di tempat (al-a'in al-ghoibah).
Diriwayatkan bahwa Utsman bin Affan pernah menjual sebidang tanahnya di
Basrah kepada Tholhah bin Abdullah RA. Keduanya sama-sama belum melihat
tanah tersebut. Dikatakan kepada Utsman:" Anda bermain curang?". Maka ia
berkata : " Saya punya khiyar (ru'yah), karena saya menjual sesuatu yang belum
saya lihat." Lalu dikatakan kepada Tholhah:" Anda juga berlaku curang." Maka
ia menjawab : " Saya punya khiyar (ru'yah) karena saya membeli sesuatu yang
belum saya lihat." H.R Baihaqi.
Selain dari hadis di atas para ulama juga berpendapat bahwa khiyar ru'yah ini
sangat diperlukan dalam berbagai transaksi bisnis. Misalnya saja, seseorang
mungkin membutuhkan suatu barang yang belum ia lihat, dengan adanya khiyar
ru'yah maka kasus ini dapat diselesaikan dengana mudah karena ia dapat diberi
kesempatan melihat barang yang akan dibeli sehingga terhindar dari
kecurangan, tipuan dan permainan yang akan merugikan dirinya.
Syarat-syarat berlakunya khiyar ru'yah.
i) Tidak/ belum terlihatnya barang yang akan dibeli ketika akad atau sebelum
akad.
ii) Barang yang diakadkan harus berupa barang konkrit seperti tanah,
kendaraan, rumah dan lain-lain.
iii) Jenis akad ini harus dari akad-akad yang tabiatnya dapat menerima
pembatalan seperti jual beli dan ijarah. Bila tidak bersifat menerima
pembatalan maka khiyar ini tidak berlaku seperti kawin dan khulu' tidak
berlaku khiyar ru'yah di dalamnya.
e) Khiyar Ta'yin
Yang dimaksud dengan khiyar ta'yin adalah hak yang dimiliki oleh orang yang
menyelenggarakan akad (terutama pembeli) untuk menjatuhkan pilihan di antara
tiga sifat barang yang ditransaksikan. Biasanya barang yang dijual memiliki tiga
kualitas yaitu biasa, menengah dan istimewa. Pembeli diberikan hak pilih
(ta'yin) untuk mendapatkan barang yang terbaik menurut penilaiannya sendiri
tanpa menadapatkan tekanan dari manapun juga. Khiyar inipun hanya berlaku
bagi akad-akad mu’awazhat yaitu akad-akad yang mengandung tukar balik
seperti macam-macam jual beli dan hibah.
Tidak semua fuqaha sepakat dengan khiyar ini karena menurut mereka wujud
khiyar ini mengindikasikan adanya ketidakjelasan dalam barang yang
ditransaksikan. Padahal dalam persyaratan akad, barang yang akan dijual harus
jelas dan terang. Karena itu dibolehkannya khiyar ta'yin dalam akad seolah-olah
bertetangan dengan persyaratan akad. Sementara itu Abu Hanifah (Imam
Hanafi) dan kedua sahabatnya (Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad)
membolehkan khiyar ta'yin secara istihsan karena hal ini sangat diperlukan
dalam kehidupan bisnis. Misalnya ada orang yang mau membeli suatu barang
yang ia butuhkan, tetapi ia tidak mengetahui banyak tentang kegunaan secara
optimal, kualitas, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan manfaat dan
kualitasnya. Untuk itu ia perlu konsultasi dengan orang lain yang lebih ahli
dalam bidang itu sehingga dapat memilih secara bijak dan tepat.
Syarat-syarat khiyar ta'yin
i) Biasanya kualitas suatu barang itu dari biasa, menengah dan istimewa.
Karena itu khiyar dibatasi hanya pada tiga klasifikasi di atas. Lebih dari itu
tidak diperlukan lagi khiyar.
ii) Adanya kualitas dan jenis barang atau harganya bertingkat-tingkat.
iii) Masa khiyar ta'yin harus tertentu dan dijelaskan, misalnya 3 hari.
2. Ijarah
1) Definisi dan Konsep al-Ijarah
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.
Pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya
terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang, pada
ijarah objek transaksinya adalah barang maupun jasa.
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran
sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan
dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.”
penyewaan dalam batas yang normal. Apabila terjadi sesuatu yang membuat
manfaat itu terhenti, maka pemberi sewa wajib memperbaikinya/menggantinya.
c) Pada prinsipnya dalam kontrak ijarah harus dinyatakan dengan jelas siapa yang
menanggung biaya pemeliharaan asset obyek sewa. Sebagian ulama menyatakan
jika kontrak sewa menyebutkan biaya perbaikan ditanggung penyewa, maka
kontrak sewa itu tidak sah, karena penyewa menangung biaya yang tidak jelas.
Hal ini sesuai dengan kaedah Al-Ajru wa adh Dhaman La Yajtami’ani. Artinya:
pembayaran fee (bayaran sewa) tidak boleh berhimpun dengan biaya perbaikan
kerusakaan.
3. Kafalah dan Hawalah
a. Kafalah
1) Pengertian Kafalah
Dalam pengertian bahasa kafalah berarti adh dhamman (jaminan), sedangkan
menurut pengertian syara‟ kafalah adalah proses penggabungan tanggungan kafiil
menjadi tanggungan ashiil dalam tuntutan/permintaan dengan materi sama atau
hutang, atau barang atau pekerjaan.
Pengertian Kafalah menurut beberapa para ulama adalah sebagai berikut: a)
Mazhab Hanafi
Menggabungkan dzimah dengan dzimah yang lain dalam penagihan, dengan
jiwa, utang, atau zat benda. Menggabungkan dzimah kepada dzimah yang
lain dalam pokok (asal) utang.
b) Mazhab Maliki
“Orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta
bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai
(sama) maupun pekerjaan yang berbeda”.
c) Mazhab Hambali
“Iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda
tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak
menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak”.
d) Mazhab Syafi’
“Akad yang menetapkan itizam hak yang tetap pada tanggungan (beban)
yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan
badan oleh orang yang berhak menghadirkannya”. Kafalah adalah
c. Ghasab
1) Pengertian Ghasab
Secara etimologis ghasab berasal dari kata kerja Yang berarti mengambil
secara paksa dan zalim, Muhammad al khatib al Syarbini menjelaskan
definisi ghasab secara etimologis “Gasab secara bahasa berarti mengambil
sesuatu secara zalim, sebelum mengambilnya secara zalim (ia juga
melakukan) secara terang-terangan. sedangkan al-Jurjani secara etimologis
mendefinisikan ghasab dengan (mengambil sesuatu secara zalim baik yang
diambil itu harta atau yang lain). Sedangkan secara terminologis ghasab
didefinisikan sebagai upaya untuk menguasai hak orang lain secara
permusuhan/terang-terangan.
Menurut penulis ghasab adalah mengambil harta atau menguasai hak orang
lain tanpa izin pemiliknya dengan adanya unsur pemaksaan dan terkadang
adanya kekerasan serta dilakukan secara terang terangan. Oleh karena ada
batasan tanpa izin pemilik, maka bila yang diambil berupa harta titipan atau
gadai, jelas tidak termasuk perbuatan ghasab, tetapi khianat. Karena
terdapat unsur pemaksaan atau terkadang dengan kekerasan maka ghasab
bisa mirip dengan perampokan, hanya dalam ghasab tidak sampai ada
tindakan pembunuhan. Karena terdapat unsur terang-terangan maka ghasab
jauh berbeda dengan pencurian yang didalamnya terdapat unsur
sembunyisembunyi. Kemudian karena yang diambil bukan hanya harta
melainkan termasuk mengambil atau menguasai hak orang lain maka
beberapa hak seseorang seperti hak untuk membuat batas kepemilikan
tanah, hak untuk menduduki jabatan, hak untuk beristirahat dengan duduk-
duduk dimasjid, ditempat-tempat umum dan hak-hak lain termasuk hak-hak
privasi maka kalau hak- hak dimaksud dikuasai, direbut atau diambil oleh
seseorang maka perbuatan ini jelas merupakan tindakan ghasab.
2) Hukum dan dalil-dalil tentang larangan ghasab
Para ulama sepakat menyatakan bahwa ghasab merupakan perbuatan
terlarang dan hukumnya haram dilakukan. Dalam hal ini imam al nawawi
mengatakan bahwa prinsipnya seluruh kaum muslimin sepakat menyatakan
bahwa hukum ghasab hukumnya haram, al zuhaili menambahi bahwa hal itu
haram meskipun tidak mencapai nisab mencuri. “….Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
b) Dimiliki oleh orang yang berwakil ketika ia berwakil itu, maka batal
mewakilkan sesuatu yang akan di beli.
c) Diketahui denga jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih
samar, seperti seseorang berkata: “ aku jadikan engaku sebagai
wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku”.
4) Shigat, yaitu lafazh mewakili, shigat di ucapkan dari yang berwakil
sebagai simbol keridlaannya untuk mewakilkan, dan wakil menerimanya.
4. Macam-Macam Wakalah
Ada beberapa macam-macam wakalah, antara lain:
1) Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan
waktu dan untuk segala urusan.
2) Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas
namanya dalam urusan-urusan tertentu.
3) Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah
tetapi lebih sederhana daripada al mutlaqah
I
Obligasi Syariah Mudharabah Dan Pasar Modal, Reksadana
Syariah
Modal (Capital) adalah segala sesuatu yang diproduksi atau diadakan pada sistim ekonomi
yang digunakan sebagai inputs dalam kegiatan produksi dan distribusi dari produk (mal)
dan jasa (amal) di masa mendatang.
Jenis Modal terdiri dari:
• Tangible (Physical) Capital
• Social (Infrastructure) Capital
• Intangible (Human/Intellectual) Capital
Dimensi Waktu dari Modal
• Manfaat = The value of services rendered over time
• Kemampuan memberi manfaat berubah dengan waktu
Penentuan Nilai dari Modal
• Current Market Value = Potensi Pemanfaatan vs Depresiasi
• Demand-Supply
1. Peran Modal dalam Ekonomi Non-Syariah
• Memperbolehkan adanya partisipasi secara penuh terhadap kekayaan perusahaan
bagi investor
• Memungkinkan pemegang saham dan surat hutang untuk memperoleh likuiditas
dengan menjual saham atau obligasi perusahaan ke pasar modal
• Memperbolehkan perusahaan meningkatkan dana eksternal dalam rangka ekspansi
aktivitas perusahaan.
2. Tujuan utama Pasar Modal:
Memfasilitasi perdagangan atas klaim terhadap bisnis perusahaan pasar modal dapat
memberikan dampak yang signifikan terhadap investasi karna 2 alasan:
a. Hal ini tidak bermanfaat dalam menaikkan perusahaan baru, jika perusahaan sejenis
dpt memperolehi dengan membeli saham di pasar modal.
b. Mungkin akan bermanfaat untuk membuat perusahaan baru bukan karena
perusahaan tersebut menawarkan keuntungan ekonomis jangka panjang tapi karena
perusahaan dapat memberikan keuntungan dalam waktu dekat dengan mendaftarkan
perusahaan dalam pasar modal dan menjual surat berharga
3. Fungsi, struktur dan kinerja pasar modal dalam ekonomi islam
Fungsi dasar pasar modal: memfasilitasi pihak yang membutuhkan dana dengan pihak
yg kelebihan dana.
1. Qardh
a. Pengertian dan Konsep Qardh
Qardh adalah Akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh)
yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Muqridh dapat
meminta jaminan atas pinjaman kepada Muqtaridh. Pengembalian pinjaman dapat
dilakukan secara angsuran ataupun sekaligus.
Qardh yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apapun karena meminjamkan uang
untuk memperoleh imbalanadalah riba.
Qardh adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan.
Dalam literatur fiqh, qard dikategorikan sebagai aqd tathawwu’, yaitu akad saling
membantu dan bukan transaksi komersial. Dalam rangka mewujudkan tanggung
jawab sosialnya, bank Islam dapat memberikan fasilitas yang disebut qard al hasan,
yaitu penyediaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya.
Atau dapat digunakan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan
berjangka pendek. Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan
social. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq dan shadaqah. Secara syariah
peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun
syariah memperbolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan
keikhlasannya, tetapi bank sama sekali dilarang untuk meminta imbalan apapun.
Qardh-ul Hasan Akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu
(Muqtaridh) untuk tujuan sosial yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama
sesuai pinjaman.
Pinjaman Qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak
yang meminjamkan yang mewajibkan peminjam melunasi hutangnya setelah jangka
waktu tertentu. Pihak yang meminjamkan dapat menerima imbalan, namun tidak
diperkenankan untuk dipersyaratkan di dalam perjanjian.
b. Rukun Qardh
• Peminjam (Muqtaridh)
• Pemberi Pinjaman (Muqridh)
• Dana (Qardh)
• Ijab qabul (Sighat)
c. Landasan syariah Qardh
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa: Nabi SAW berkata: "Tidaklah seorang
muslim yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya
adalah (senilai) sadaqah" (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Baihaqi).
Dari Anas berkata, berkata Rasulullah SAW : "Aku melihat pada waktu malam
di isra'kan, pada pintu surga tertulis : Sedeqah dibalas 10 kali lipat dan qard 18
kali. Aku bertanya: Wahai Jibril Mengapa Qard lebih utama dari sadaqah ? ia
menjawab: Karena peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang
meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan". (HR. Ibnu Majah
dan Baihaqi).
d. Definisi al-Qardh
Secara umum pinjaman merupakan pengalihan hak milik harta atas harta.
dimana pengalihan tersebut merupakan kaidah dari Qardh.
Qardh secara bahasa, bermakna Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang
disodorkan kepada orang yang berhutang disebut Qardh, karena merupakan
potongan dari harta orang yang memberikan hutang. Kemudian kata itu
digunakan sebagai bahasa kiasan dalam keseharian yang berarti pinjam
meminjam antar sesama. Salah seorang penyair berkata, “Sesungguhnya orang
kaya bersaudara dengan orang kaya, kemudian mereka saling meminjamkan,
sedangkan orang miskin tidak memiliki saudara” Secara syar’i para ahli fiqh
mendefinisikan Qardh:
a) Menurut pengikut Madzhab Hanafi, Ibn Abidin mengatakan bahwa suatu
pinjaman adalah apa yang dimiliki satu orang lalu diberikan kepada yang
lain kemudian dikembalikan dalam kepunyaannya dalam baik hati.
b) Menurut Madzhab Maliki mengatakan Qardh adalah Pembayaran dari
sesuatu yang berharga untuk pembayaran kembali tidak berbeda atau
setimpal.
yang meminjamkan muslim (lainya) dua kali lipat kecuali yang satunya
adalah (senilai) sedekah” (HR Ibnu Majah,Ibnu Hibban dan Baihaqi). 3)
Ijma’
Secara ijma’ juga Para ulama menyatakan bahwa Qardh diperbolehkan.
Qardh bersifat mandub (dianjurkan) bagi muqridh (orang yang mengutangi)
dan mubah bagi muqtaridh (orang yang berutang) kesepakatan ulama ini
didasari tabiat manusia yang tidak bias hidup tanpa pertolongan dan
bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang
yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu
bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.
f. Aplikasi dalam Perbankan
Akad qard biasanya diterapkan sebagai berikut:
1) Sebagai produk perlengkapan kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas
dan bonafiditasnya, yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa
yang relatif pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya
sejumlah uang yang dipinjamnya itu.
2) Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat, sedangkan ia tidak
bisa menarik dananya karena, misalnya tersimpan dalam bentuk deposito.
3) Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kcil atau
memebayar sector sosial. Guna pemenuhan skema khusus ini telah dikenal
suatu produk khusus yaitu al-qardh Al-hasan
Hal yang diperbolehkan pada Qardh
Madzhab Hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan pada harta yang memiliki
kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan nilainya tidak menyolok, seperti
barang-barang yang ditakar, ditimbang, biji-bijian yang memiliki ukuran serupa
seperti kelapa, telur. Tidak diperbolehkan melakukan qardh atas harta yang
tidak memiliki kesepadanan, baik yang bernilai seperti binatang, kayu dan
agrarian, dan harta biji-bijian yang memiliki perbedaan menyolok, karena tidak
mungkin mengembalikan dengan semisalnya.
Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpendapat, diperbolehkan melakukan
qardh atas semua harta yang bisa diperjualbelikan objek salam, baik ditakar,
atau ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai,
g. Hukum Qardh
Hak kepemilikan dalam Qardh menurut Abu Hanifah dan Muhammad –
berlaku melalui Qardh (penyerahan). Jika seseorang berhutang satu mud
gandum dan sudah terjadi qardh, maka ia berhak menggunakan dan
mengembalikan dengan semisalnya meskipun muqridh meminta pengembalian
gandum itu sendiri, karena gandum itu bukan lagi miliki muqridh. Yang
menjadi tanggung jawab muqtaridh adalah gandum yang semisalnya dan bukan
gandum yang telah diutangnya, meskipun Qardh itu berlangsung.
Abu yusuf berkata : muqtaridh tidak memiliki harta yang menjadi objek Qardh
selama Qardh itu berlangsung. Mazhab hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan
pada harta yang memiliki kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan nilainya
tidak menyolok, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang, biji-bijian yang
memiliki ukuran serupa seperti kelapa dan telur, dan yang diukur, seperti kain
bahan. Di perbolehkan juga meng-qardh roti, baik dengan timbangan atau biji.
Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali berpendapat, diperbolehkan melakukan
qardh atas semua harta yang bisa dijualbelikan obyek salam, baik itu ditakar,
ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai,
seperti barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti harta-harta
biji-bijian, karena pada riwayat Abu Rafi’ disebutkan bahwa Rasulullah SAW
berutang unta berusia masih muda, padahal untuk bukanlah harta yang ditakar
atau ditimbang, dan karena yang menjadi obyek salam dapat di hakmiliki
dengan jual beli dan ditentukan dengan pensifatan. Maka bisa menjadi obeyek
qardh. Sebagaimana harta yang ditakar dan ditimbang. Dari sini, menurut
jumhur ahli fiqih, diperbolehkan melakukan qardh atas semua benda yang
boleh diperjualbelikan kecuali manusia, dan tidak dibenarkan melakukan qardh
atas manfaat/jasa, berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyah, seperti membantu
memanen sehari dengan imbalan ia akan dibantu memanen sehari, atau
menempati rumah orang lain dengan imbalan orang tersebut menempati
rumahnya.
h. Manfaat al-qardh
Akad yang terjadi dalam pembiayaan multijasa adalah Ijarah al Musta’jir (Penyewa
menyewakan kembali jasa yang telah ia sewa). Dimana LKS bertindak sebagai
penyewa pertama dari pemilik barang/jasa kemudian LKS menyewakan jasa kepada
penyewa kedua (nasabah). Dan LKS mendapat keuntungan dari selisih upah sewa
nasabah yang lebih tinggi dari upah sewa LKS kepada pemilik barang/jasa, karena
nasabah membayarnya dengan cara angsuran.
Dalam hal ini ada 3 pembahasan fikih yang akan dirincikan untuk mengetahui
tentang hakikat akad produk ini.
e. Hukum Ijarah al Musta’jir
Berbeda halnya dengan jualbeli yang sepakat para ulama tentang hukum boleh
pembeli menjual barang yang dibelinya kepada pihak lain bila terpenuhi persyaratan
jualbeli. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Ijarah al Musta’jir (penyewa
menyewakan kembali manfaat yang telah dimilikinya kepada pihak lain).
Pendapat pertama: penyewa tidak boleh menyewakan kembali barang yang telah di
sewanya, ini merupakan salah satu riwayat dalam mazhab Imam Ahmad. (Ibnu
Qudamah, Al Mughni , jilid. V, hal. 354)
Dalil pendapat ini hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak halal keuntungan
barang yang tidak dalam jaminanmu”. (HR. Abu Daud. Menurut Al-Albani derajat
hadis ini hasan shahih).
Dalam akad ijarah al Musta’jir penyewa tidak menanggung risiko sama sekali,
karena risiko ditanggung oleh pemilik barang. Maka ini termasuk meraih
keuntungan tanpa menanggung risiko. Maka tidak dibolehkan. Berdasarkan hadis di
atas.
Tanggapan: dalil ini tidak kuat karena penyewa yang menyewakan kembali tetap
ada risiko, yaitu apabila barang yang disewakan ternyata tidak layak untuk
disewakan atau barang tidak berfungsi maka dia bertanggung jawab kepada
penyewa kedua.
Pendapat kedua: penyewa boleh menyewakan kembali jasa yang telah dikuasainya
dengan diterimanya barang. Pendapat ini merupakan pendapat seluruh para ulama
mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Dalil pendapat ini adalah qiyas, bahwa
menjual barang yang telah dibeli dengan akad dan telah diterima hukumnya
dibolehkan syariat maka menyewakan kembali manfaat barang yang telah disewa
dengan akad dan telah diterima barangnya hukmnya boleh, karena akad sewa
menyewa merupakan bentuk lain dari jualbeli. Yaitu jualbeli jasa/manfaat.
K Zakat Dan
Hibah
1. Zakat
a. Pengertian zakat
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau lembaga
yang dimiliki oleh muslim untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Pengertian hibah adalah penyerahan kepemilikan suatu barang kepada orang
lain tanpa imbalan apa pun.
b. Ketentuan Umum Zakat
Zakat wajib bagi setiap orang atau badan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Muslim
b. Mencapai nishab dengan kepemilikian sempurna walaupun sifat harta itu
berubah disela-sela haul.
c. Memenuhi syarat satu haul bagi harta-harta tertentu
d. Harta itu tidak bergantung pada penggunaan seseorang.
e. Harta itu tidak terikat oleh utang sehingga menghilangkan nishab.
f. Harta bersama dipersamakan dengan harta perseorangan dalam hal
mencapai nishab.
c. Harta Yang Wajib Dizakati
Zakat wajib pada emas dan perak apabila: a.
Telah melampaui satu haul.
b. Banyaknya nishab emas adalah 85 gram, sedangkan nishab perak adalah
595 gram.
c. Besarnya zakat emas dan perak adalah 2,5 %.
d. Tidak disyaratkan emas dan perak yang dizakati itu harus dicetak atau
dibentuk.
Zakat Uang dan yang Senilai dengannya
Zakat wajib pada uang baik uang lokal maupun asing, saham, jaminan, cek,
dan seluruh kertas-kertas berharga yang senilai dengan uang, harta-harta yang
disimpan dengan ketentuan:
Zakat Profesi
Yang berkewajiban zakat adalah orang atau badan hukum. Zakat dihitung dari
seluruh penghasilan yang didapatkan kemuadian dikurangi oleh biaya kebutuhan
hidup. Besarnya nishab sama dengan besarnya nishab pada zakat barang yang
memiliki nilai ekonomis, yaitu 85 gram emas.
Zakat Barang Temuan dan Barang Tambang
Zakat wajib dikeluarkan sebanyak 20% pada barang-barang temuan dan barang
tambang yang dihasilkan baik dari dalam tanah maupun laut, baik berbentuk
padatan, cairan, atau gas setelah dikurangi biaya penelitian dan produksi.
Zakat Fitrah
Zakat fitrah diwajibkan atas setiap muslim baik tua atau muda, baik dikeluarkan
oleh diri sendiri atau orang yang menanggungnya dan diserahkan kepada Faqir
pada 15 hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai sebelum melaksanakan shalat
'Id. Seorang muslim yang terkena wajib zakat fitrah ini apabila memiliki
kemampuan untuk makan selama sehari semalam. Besarnya zakat yang harus
dikeluarkan adalah sebanyak satu sha' (2,5 kg) makanan pokok atau yang senilai
dengannya.
d. Mustahik Zakat
Mustahik zakat adalah kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat yang
telah ditentukan dalam Alquran dan terdiri dari: fakir, miskin, 'amilin, muallaf,
hamba sahaya, gharimin, di jalan Allah, dan ibnu sabil.
e. Hasil Zakat dan Pendistribusiannya
Yang berhak mengelola zakat adalah negara yang kemudian didistribusikan
kepada 8 mustahik zakat. Zakat terlebih dulu didistribusikan kepada mustahik
zakat yang berada di daerah pengumpulan zakat.
f. Sanksi Zakat
Barang siapa yang melanggar ketentuan zakat ini maka akan dikenai sanksi
sebagaimana diatur sebagai berikut:
1) Barangsiapa yang tidak menunaikan zakat maka akan dikenai denda dengan
jumlah tidak melebihi dari besarnya zakat yang wajib dikeluarkan.
2) Denda sebagaimana dimaksud dalam angka (1) didasarkan pada putusan
pengadilan.
11) Jika barang hibah itu rusak ketika sudah berada di tangan orang yang
menerima hibah, barang hibah seperti itu tidak boleh ditarik kembali.
12) Dalam hal penghibah atau penerima hibah meninggal dunia, maka hibah itu
tak dapat ditarik kembali.
d. Hibah Orang yang Sedang Sakit Keras
1) Jika seseorang yang tidak punya ahli waris menghibahkan seluruh
kekayaannya pada orang lain ketika sedang menderita sakit keras lalu
menyerahkan hibah itu, maka hibah tersebut adalah sah, dan bait al-mal (balai
harta peninggalan) tidak mempunyai hak untuk campur tangan dengan barang
peninggalan tersebut setelah yang bersangkutan meninggal.
2) Jika seorang suami yang tidak memiliki keturunan, atau seorang isteri yang
tidak mempunyai keturunan dari suaminya, menghibahkan seluruh
kekayaannya kepada isteri atau suami, ketika salah seorang dari mereka
sedang menderita sakit keras dan lalu menyerahkannya, pemberian hibah itu
adalah sah, dan bait al-mal tidak mempunyai hak untuk campur tangan pada
harta peninggalan dari salah seorang dari mereka yang meninggal.
3) Jika seseorang memberi hibah kepada salah seorang ahli warisnya ketika
orang itu sedang menderita sakit keras, dan kemudian meninggal, hibah itu
tidak sah kecuali ada persetujuan dari ahli waris yang lain. Tetapi jika hibah
itu diberi dan diserahkan kepada orang lain yang bukan ahli warisnya dan
hibah itu tidak melebihi sepertiga harta peninggalannya, maka hibah itu adalah
sah. Tetapi bila hibah itu melebihi sepertiganya dan para ahli waris tidak
menyetujui hibah tersebut, hibah itu masih sah, untuk sepertiga dari seluruh
harta peninggalan dan orang yang diberi hibah harus mengembalikan
kelebihannya dari sepertiga harta itu.
4) Jika seseorang yan g harta peninggalannya habis untuk membayar utang, dan
orang tersebut waktu sakit keras menghibahkan hartanya kepada ahli warisnya
atau kepada orang lain, lalu menyerahkannya dan kemudian meninggal. Maka
kreditor berhak mengabaikan penghibahan tersebut, dan memasukkan barang
yang dihibahkan tadi untuk pembayaran utangnya.
L AKUTANSI
SYARI’AH
Prosedur yang digunakan sebagaimana yang disepakati diawal harus dianut dan
dilaksanakan secara konsisten dari waktu ke waktu.
c. Prinsip Dasar Akrual
Kas diakui pada saat terjadinya. Sebagai gambaran adalah seorang ibu yang ingin
membeli barang tertentu tetapi lupa membawa uang. Sang penjual mempersilahkan
untuk membawa terlebih dahulu barang tersebut. Sang ibu mengatakan akan
langsung kembali tetapi lupa sehingga baru mengembalikan keesokan harinya.
Apabila seperti itu, uang ibu tetap masuk ke dalam hitungan kas pada hari dimana
barang dibawa.
d. Prinsip Nilai Tukar yang Sedang Berlaku
Harta, hutang, modal, laba, dan elemen-elemen lain dari laporan keuangan
menggunakan nilai tukar yang sedang berlaku. Sebagai gambaran sebuah laporan
berisi sebuah transaksi beberapa bulan yang lalu. Katakanlah salah satu item yang
dibeli adalah bensin yang pada waktu itu berharga 6500 perliternya. Ketika
dimasukkan ke dalam laporan sekarang harga bensin sudah 8000 perliter. Maka yang
dimasukkan ke dalam laporan tetap harga bensin ketika dibeli lima bulan lalu yaitu
6500 perliter. Tidak berubah.
e. Prinsip Penandingan
Beban harus diakui pada periode yang sama dengan pendapatan.