Oleh Kelompok 2:
AHMAD GAZALI 22.88204.02144
MUHAMMAD JA’FAR 22.88204.02120
MUHAMMAD RAIS AKBAR 22.88204.02210
MUHAMMAD RIDHANI 22.88204.02212
ii
data tentang korupsi, baik dari nilai rupiahnya maupun pelakunya, juga diuraika n
analisis secukupnya tentang fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia.
Perspektif hukum lebih banyak mewarnai analisis tentang berlangsungnya
perbuatan korupsi, sehingga tidak heran jika dalam buku ini banyak disajikan
undang-undang, peraturanperaturan, pasal-pasal, dan ayat-ayat yang mungk in
membosankan bagi pembaca yang tidak biasa membaca naskah buku berbasis
hukum. Penggunaan perspektif hukum ini, hendak meyakinkan pembaca bahwa
perbuatan korupsi benar-benar bertentangan dengan hukum. Selain itu, ada misi
suci, yakni mengajak semua orang untuk berkata “tidak” terhadap korupsi dan
melawannya.
Buku ini lebih banyak ditujukan kepada generasi muda, khususnya mahasiswa,
karena merekalah calon pemimpin bangsa di masa depan yang harus pertama kali
mengerti dan memahami bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus
diperangi. Dengan idealisme dan kemampuan intelektualisme yang dimiliki para
mahasiswa, gerakan antikorupsi akan dapat berjalan lancar, mampu menembus
sekat-sekat etnis, ras, agama, kelompok, dan golongan, serta akan mampu
menciptakan kebiasaan berperilaku antikorupsi yang sangat dibutuhkan oleh
bangsa ini untuk menjadi bangsa yang unggul, mandiri, maju, adil, dan makmur.
Kelompok 2
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak reformasi bergulir tahun 1998 yang lalu hingga kini, berita tentang
korupsi makin gencar. Berbagai harian (surat kabar) di Indonesia hampir tiap hari
dalam terbitannya memberitakan peristiwa korupsi. Dalam berita tersebut, korupsi
tidak hanya melanda kehidupan politik, tetapi juga ekonomi dan sosial. Pelaku
yang ditindak oleh aparat tidak hanya para pelaku bisnis, tetapi juga mereka yang
berasal dari kalangan birokrasi dan pemerintahan, DPR, DPRD, bahkan pula
kalangan kampus perguruan tinggi dan sekolah. Rakyat kecil pun, seperti pedagang
beras, pedagang buah, kondektur bus, sopir angkutan, dan tukang becak pun turut
melakukan korupsi kecil-kecilan. Korupsi tampaknya sudah menjadi budaya
masyarakat Indonesia.
Korupsi sesungguhnya bukan merupakan penyakit di luar diri bangsa. Ia
adalah penyakit bawaan, sebab benih-benih korupsi sudah ada dalam tubuh bangsa
Indonesia tidak hanya pada masamasa ketika Indonesia dijajah bangsa kolonial,
tetapi juga sudah berlangsung pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara.
Upaya untuk mencegah meluasnya perbuatan korupsi dan tindakan hukum
untuk mengatasinya pun telah dilakukan pada masa kerajaan-kerajaan nusantara.
Azra (2006: viii) menulis bahwa pada masa kerajaan Islam nusantara, Undang-
Undang Melaka yang digunakan sebagai rujukan hukum di beberapa kerajaan Islam
di wilayah Sumatera, secara eksplisit memuat hukum larangan suapmenyuap.
Bahkan segala macam hadiah yang diperuntukkan bagi hakim termasuk pemberian
makanan dan uang yang bersumber dari baitul mal dianggap sebagai suap dan
tegas-tegas haram hukumnya1 .
Korupsi menjadi salah satu masalah yang serius di tubuh pemerintahan. Ia
tidak hanya merupakan masalah lokal, tetapi sudah menjadi fenomena internasio na l
1
Azra, Azyumardi. 2006. “Kata Pengantar Pendidikan Anti Korupsi M engapa Penting”. Dalam Karlina
Helmanita dan Sukron Kamil (ed). Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi. Jakarta: CSRC
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1
yang memengaruhi seluruh masyarakat dan merusak seluruh sendi kehidupan.
Perhatian masyarakat internasional sangat tinggi terhadap fenomena korupsi ini.
Komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi didukung oleh lembaga-
lembaga pembiayaan dunia, seperti World Bank, ADB, IMF, dan organisas i
internasional lainnya seperti OECD dan APEC.
Independensi, integritas, dan depolitisasi sistem peradilan sebagai bagian
penting dari tegaknya hukum yang akan menjadi tumpuan dari semua upaya
pemberantasan korupsi secara efektif. PBB terus berupaya menebar semangat
antikorupsi kepada semua bangsa di dunia, hingga pada tahun 2003 menetapkan
konvensi melawan korupsi (United Nations Convention Against Corruption).
United Nations Convention Against Corruption 2003 tersebut oleh pemerinta h
Indonesia disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. PBB dalam
sidang umum pada tanggal 16 Desember 1996 mendeklarasikan upaya
pemberantasan korupsi dalam dokumen United Nation Declaration Against
Corruption and Bribery In International Commercial Transaction yang
dipublikasikan sebagai resolusi PBB Nomor A/RES/51/59 tanggal 28 Januari 1997.
Semangat antikorupsi terus berlanjut, ketika wakil-wakil dari masyarakat 93
negara menyatakan Declaration of 8th International Conference Against
Corruption di Lima Peru pada tanggal 11 September 1997. Dalam konferens i
tersebut disepakati bahwa untuk memerangi korupsi diperlukan kerjasama antara
masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Butir-butir kesepakatan lainnya yang
penting, diantaranya adalah semua penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan
secara transparan dan akuntabel serta harus menjamin.
Dalam preambul konvensi tersebut diungkapkan adanya keprihatina n atas
keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas
dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai- nila i
demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang
berkelanjutan dan penegakan hukum. Konvensi juga prihatin terhadap hubunga n
antara korupsi dan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisa s i
dan kejahatan ekonomi termasuk pencucian uang.
Korupsi yang sudah berlangsung lama sejak Indonesia kuno, madya, hingga
modern tampaknya telah membudaya. Bahkan Azra (2006: viii) memandang kultur
2
korupsi telah sampai pada level yang membahayakan bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Bahkan secara universal boleh
dikata korupsi sama tuanya dengan umur manusia atau paling tidak sejak adanya
organisasi negara, korupsi muncul mengiringinya. Korupsi muncul menyerta i
kelahiran negara, sebab negara memiliki kekuasaan (power) yang jika tidak amanah
akan dengan mudah diselewengkan. Persoalan ini sudah diungkap oleh Lord Acton
dalam pernyataannya yang terkenal “power tend to corrupt and absolute power
tend corrupts absolutely”.2
Indonesia bukannya tidak berupaya memberantas korupsi. Sejak era orde lama,
orde baru, hingga era reformasi, pemerintah berusaha keras melakukan
pemberantasan korupsi. Pada masa orde baru bahkan telah dikeluarkan TAP MPR
mengenai pemberantasan korupsi dan puncaknya pada tahun 1971 pemerinta h
Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Meskipun sudah
ada undang-undang dan tim khusus yang dibentuk Presiden Soeharto untuk
menangani kasuskasus korupsi, perbuatan korupsi masih saja dilakukan oleh para
pengkhianat bangsa. Bahkan Soeharto turun dari jabatan, karena disinyalir ada
indikasi KKN. Agenda pemberantasan KKN yang diusung oleh para mahasiswa
pada tahun 1998 telah mendorong Soeharto untuk mengundurkan diri dari
jabatannya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
2
Azra, Azyumardi. 2006. “Kata Pengantar Pendidikan Anti Korupsi M engapa Penting”. Dalam Karlina
Helmanita dan Sukron Kamil (ed). Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi. Jakarta: CSRC
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3
3. Untuk mengetahui jenis perilaku korupsi.
D. Kegunaan penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk para Pembaca,
dosen dan akademisi pada studi pendidikan anti korupsi.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau “corruptus”, yang kemudian
muncul dalam banyak bahasa Eropa, Inggris, Prancis “corruption” bahasa Belanda
“corruptie” yang kemudian muncul pula dalam bahasa Indonesia korupsi3 . Di
Indonesia, kita menyebut korupsi dalam satu tarikan nafas sebagai KKN (korupsi,
kolusi, nepotisme). Korupsi selama ini mengacu kepada berbagai tindakan gelap
dan tidak sah (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi
atau kelompok. Definisi ini kemudian berkembang sehingga pengertian korupsi
menekankan pada penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk
keuntungan pribadi4 .
Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict
of interest), suap (bribery), pemberian ilegal (illegal gratuity), dan pemerasan
(economic extortion). Pengertian korupsi ini tentu saja berbeda dengan pengertian
korupsi yang terkandung dalam UU Tipikor. Dalam bahasa hukum positif tersebut,
pengertian korupsi secara umum, adalah perbuatan yang diancam dengan ketentuan
pasal-pasal UU Tipikor. Misalnya salah satu pasal, korupsi terjadi apabila
memenuhi tiga kriteria yang merupakan syarat bahwa seseorang bisa dijerat dengan
undang-undang korupsi, ketiga syarat tersebut adalah: 1) melawan hukum; 2)
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi; 3) merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara. Dengan kriteria tersebut maka orang yang dapat
dijerat dengan undang-undang korupsi, bukan hanya pejabat Negara saja melainka n
pihak swasta yang ikut terlibat dan badan usaha/korporasi pun dapat dijerat dengan
ketentuan UU Tipikor5 .
3
Andi Hamzah, Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982)
4
16Azyumardi Azra, “Korupsi Dalam Perspektif Good Governance’,‖ Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 2,
no. 1 (2002). Hlm. 31
5
Eddy M ulyadi Soepardi, Peran BPKP Dalam Penanganan Kasus Berindikasi Korupsi Pengadaan Barang
Dan Jasa Konsultasi Instansi Pemerintah,‖ Seminar Nasional Permasalahan Hukum Pada
Pelaksanaan Kontrak Jasa Konsultansi dan Pencegahan Korupsi Di Lingkungan Instansi Pemerintah
(Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan INKINDO, 2010). hlm. 5
5
B. Ciri-ciri Korupsi
Dalam sejarah kehidupan manusia, korupsi bukan hal baru. Sejak manusia
hidup bermasyarakat, sudah tumbuh perilaku koruptif atau menyimpang, yang
tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Manusia dan kelompok sosial yang
hidup dalam persaingan memperebutkan tanah dan sumber daya alam untuk
keperluan hidup, telah mendorongnya bertindak menyimpang, memanipulas i,
menipu, dan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Perilaku koruptif manusia yang dimaksudkan untuk menguntungkan diri
sendiri atau kelompoknya memiliki variasi yang beranekaragam, sehingga pola-
pola tindakan korupsi juga banyak variasinya. Itulah sebabnya, dipahami bahwa
korupsi bukan konsep sederhana. Korupsi merupakan konsep yang kompleks,
sekompleks persoalan yang dihadapi oleh suatu masyarakat atau pemerinta ha n.
Demikian pula, mendefinisikan korupsi bukan pekerjaan yang mudah.
Sebagaimana dinyatakan oleh Phil Williams, meningkatnya ragam korupsi akibat
kecanggihan para pelaku yang menyebabkan pendefinisian korupsi terus dikaji
ulang agar mendapat pemahaman yang sistematis (Sitepu, 2006: 3-4)6 .
Perlu dikemukakan akar kata korupsi dan pengertian secara etimolo gis,
sebelum diketengahkan definisi korupsi dari para pemerhati masalah korupsi.
Korupsi berasal dari bahasa Latin corruption atau corruptus. Corruptio berasal dari
kata corrumpere. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti
Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yakni corruption dan Belanda yaitu
corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata corruptie diserap ke dalam
bahasa Indonesia, yaitu korupsi. Dalam bahasa Muangthai, korupsi dinamakan gin
moung, artinya makan bangsa; dalam bahasa China, tanwu, artinya keserakahan
bernoda; dan dalam bahasa Jepang, oshuku, yang berarti kerja kotor (KPK, 2007:
2)7 .
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi berasal dari kata korup
artinya: buruk, rusak, busuk; suka memakai barang (uang) yang dipercayakan
kepadanya; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi
6
Sitepu, Dewi Sinorita. 2006. “Peran M asyarakat Sipil dan Pemberantasan Korupsi di India: Pembelajaran
bagi Indonesia”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional AIPI XX di M edan tanggal 3-4
M ei 2006.
7
KPK. 2007. Buku Saku untuk Memahami Pandangan Islam terhadap Korupsi: Koruptor, Dunia Akhirat
Dihukum. Jakarta: KPK.
6
(Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 596-596)8 . Dalam kamus tersebut, korupsi
diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan
dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Pusat Bahasa
Depdiknas, 2002: 597)9 . Dari istilah- istilah tesebut, korupsi dipahami sebagai
perbuatan busuk, rusak, kotor, menggunakan uang atau barang milik lain
(perusahaan atau negara) secara menyimpang yang menguntungkan diri sendiri.
Korupsi melibatkan penyalahgunaan kepercayaan, yang umumnya melibatk a n
kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Johnson (2005: 12) mendefinis ika n
korupsi sebagai penyalahgunaan peran, jabatan publik atau sumber untuk
keuntungan pribadi. Dalam definisi tersebut, terdapat empat komponen yang
menyebabkan suatu perbuatan dikategorikan korupsi, yaitu penyalahgunaa n
(abuse), public (public), pribadi (private), dan keuntungan (benefit). Dalam
pandangan Johnson (2005: 16), dalam negara yang melaksanakan liberalisasi dan
privatisasi dalam kegiatan ekonomi, akan muncul kecenderungan terjadinya
pertukaran antara kesejahteraan (wealth) dan kekuasaan (power). Inilah yang oleh
Johnson disebut dengan corruption syndromes.10
Lambsdorff (2007: 35) mengajukan definisi korupsi tidak jauh berbeda dengan
Johnson, yakni “the misuse of public power for private benefit”. Definisi singkat
tersebut bermakna penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi.
Istilah private benefit menunjuk pada penerimaan uang atau aset-aset yang bernila i,
termasuk juga di dalamnya peningkatan kekuasaan atau status. Menerima janji-
janji untuk kesenangan masa depan atau keuntungan-keuntungan relatif dan teman-
teman juga dapat dipandang sebagai private benefit. Keuntungan yang berkaitan
dengan teman-teman diistilahkan sebagai nepotisme dan favoritisme. Kekuasaan
publik (public power) biasanya diselenggarakan oleh birokrat, termasuk juga para
pegawainya dan politisi. Dalam perspektif yang luas, termasuk juga mereka yang
bekerja di kehakiman, pengadaan barang publik, regulasi-regulasi bisnis dan
pemberian izin, privatisasi, pertukaran luar negeri atau bagian devisa, perpajakan,
8
Pusat Bahasa Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
9
Pusat Bahasa Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
10
Johnson, M ichael. 2005. Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy. Cambridge:
Cambridge University Press.
7
kepolisian, bagian subsidi, pelayanan atau utilitas publik dan pelayanan-pelaya na n
pemerintah lainnya11 .
Istilah penyalahgunaan (misuse) merujuk pada perilaku yang menyimp a ng,
baik dari tugas-tugas formal kedinasan dari peran publik maupun yang
bertentangan dengan aturan-aturan informal (yang dibangun melalui harapan-
harapan publik atau kode etik yang telah baku) atau pada umumnya adalah
kepentingankepentingan sempit yang diikuti oleh pengeluaran kepentingan publik
dalam skala besar dan luas.
Webster’s Third New International Dictionary mengartikan korupsi sebagai
ajakan dari seorang pejabat politik dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak
semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas (Klitgaard, 2005:
29)12 .
Oxford English Dictionary mengartikan korupsi sebagai perbuatan tidak wajar
dari integritas melalui penyuapan atau penyogokan. Korupsi juga bermakna
pervert, defile, make venal, bribe (Tarling, 2005: 5). Dalam konteks ini, korupsi
diartikan sebagai perbuatan tidak wajar, kotor, cemar, dapat disogok dan
menyogok13 .
Pope (2007: 6) memaknai korupsi sebagai menyalahgunakan kekuasaan
kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Dalam bukunya berjudul Strategi
Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Jeremy Pope (2007:6-
7) mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas
dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan
menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka. 14
Joseph Nye mengartikan korupsi sebagai behavior which deviates from the
normal duties of a public role because of privateregarding (personal, close family,
11
Lambdorff, Johann Graf. 2007. The institutional Economics of Corruption and Reform Theory, Evidence
and Policy. Cambridge: Cambridge University Press.
12
Klitgaard, Robert. 2005. Membasmi Korupsi. Terjemahan Hermojo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
13
Tarling, Nicholas. 2005. “Introduction”. In Nicholas Tarling (ed). Corruption and Good Governance in
Asia. New York: Routledge.
14
Pope, Jeremy. 2007. Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional. Terjemahan M asri
M aris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
8
private clique) pecuniary or status gains or vialotes rule against the exercise of
certain types of private-ragarding influence (Wibowo, 2006: 5). Definisi tersebut
menjelaskan bahwa korupsi merupakan perilaku menyimpang dari tugas-tugas
normal pejabat publik15 .
Kuper dan Kuper sebagaimana dikutip Nugroho D dan Tri Hanurita S (2005:
113) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang oleh pejabat
pemerintah atau politisi bagi keuntungan mereka sendiri. Tidak jauh berbeda
dengan pengertian tersebut, Senturia memberi batasan korupsi sebagai
penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi
(Nugroho D dan Tri Hanurita S., 2005: 113). 16
Klitgaard (2005: 31) mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku yang
menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntunga n
status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok
sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.
Definisi tersebut mengandung tingkah laku politik, karena menyangk ut
penyimpangan jabatan negara. Ada muatan moral pada kata “korupsi”, sebab
korupsi yang berasal dari kata latin corruptus mengesankan serangkaian gambaran
jahat, yang bermakna apa saja yang merusak keutuhan17 .
Senada dengan apa yang dikemukakan Klitgaard, Bracking (2007: 4)
memaknai korupsi dalam konteks administrative corruption atau bureaucratic
corruption, petty corruption, dan graft 18 . Korupsi administrasi atau birokrasi
adalah pembayaran haram yang diterima oleh pegawai negeri dari pengguna dalam
menerapkan peraturan-peraturan, kebijaan-kebijakan, dan hukum. melihat ada dua
kategori berbeda mengenai korupsi administrasi. Pertama, korupsi terjadi dalam
situasi, misalnya jasa atau kontrak diberikan sesuai peraturan yang berlaku. Kedua,
korupsi terjadi dalam situasi transaksi berlangsung secara melanggar peraturan
yang Dalam kaitannya dengan korupsi administrasi. Masih dalam hubunga nnya
15
Wibowo, I. 2006. “Pemberantasan Korupsi di Cina: Apa yang Bisa Kita Pelajari”. Makalah. Disampaikan
dalam Seminar Nasional AIPI XX di M edan tanggal 3-4 M ei 2006.
16
Nugraha D, Riant dan Tri Hanurita S. 2005. Tantangan Indonesia Solusi Pembangunan Politik Negara
Berkembang. Jakarta: Elex M edia Komputindo.
17
Klitgaard, Robert, Ronald M aclean-Abaroa dan H. Lindsey Parris. 2005. Penuntun Pemberantasan
Korupsi dalam Pemerintahan Daerah. Terjemahan M asri M aris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
18
Klitgaard, Robert. 2007. Membasmi Korupsi. Terjemahan Hermojo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
9
dengan perilaku pegawai negeri, petty corruption juga merupakan korupsi, berupa
tindakantindakan mengambil uang sewa atau tindakan-tindakan kecil lainnya yang
dilakukan oleh pegawai negeri. Sementara itu, graft adalah pemanfaatan sumber-
sumber publik untuk kepentingan individu atau pribadi. Sir Arthur Lewis secara
singkat memaknai korupsi sebagai pembayaran untuk memperoleh pelayanan (just
a payment for service).
Pemahaman korupsi dalam konteks politik di atas berbeda dengan konsep
korupsi dalam pandangan ekonomi. Teori ekonomi klasik dari korupsi memandang
korupsi sebagai salah satu cara dari beberapa alokasi sumber-sumber langka,
dimana perilaku rasional dari aktor-aktor pasar berhubungan dengan insentif dan
sewa (Bracking, 2007: 10)19 . Dalam pendekatan klasik, optimal amount of
corruption adalah mungkin dan diterima pula pandangan tentang biaya sosial
marginal. Karenanya, korupsi merupakan varian pilihan ekonomi dan seperti
kebanyakan pilihan ekonomi lainnya, ditentukan oleh harga pasar.
Dalam pandangan antropologi ekonomi, korupsi mencakupi perbuatan
menegosiasi aturan-aturan permainan secara fleksibel (cair), sistem norma ganda,
banyak pedagang perantara atau makelar, praktik-praktik pemberian hadiah,
jaringan solidaritas dan kolusi, solidaritas keluarga luas, dan bentuk-bentuk
kewenangan neopatrimonial atau predator (Bracking, 2007: 12)20 .
Di China terdapat perluasan definisi korupsi yang mencakupi:
(1) tanwu, yakni pencurian, (2) shouhui atau menerima suap, (3) nuoyong
artinya menyalahgunakan kedudukan, (4) huihuo langfei bermakna
menghamburkan uang, (5) yiquan mousi yang berarti mencari kemudahan bagi
kerabat, teman dan diri sendiri, (6) feifa shouru, artinya menerima pemberian
ilegal, (7) duzhi, mengandung arti tidak menjalankan tugas dengan baik, (8) touji
daoba, mengandung makna mengambil untung secara berlebihan, (9) weifan
caijing jilu, yaitu melanggar prosedur pembukuan, (10) zouji, berarti
19
Bracking, Sarah. 2007. “Political Development And Corruption: Why ‘Right Here’, Right Now’!” in Sarah
Bracking (ed). Corruption And Development The Anti Corruption Campaigns. New York: Palgrave
M acM illan.
20
Bracking, Sarah. 2007. “Political Development And Corruption: Why ‘Right Here’, Right Now’!” in Sarah
Bracking (ed). Corruption And Development The Anti Corruption Campaigns. New York: Palgrave
M acM illan.
10
penyelundupan, dan (11) daode duoluo, artinya keruntuhan moral (Wibowo, 2006:
6).21
Guna mempermudah pemahaman mengenai korupsi, Klitgaard, Maclean-
Abaroa dan Parris membuat rumus korupsi sebagai berikut. C = M + D – A, dimana
korupsi (Corruption = C) sama dengan kekuasaan monopoli (monopoly power atau
M) plus wewenang pejabat (discretion by officials atau D) minus akuntabilitas
(accountability atau A) (Klitgaard, Maclean-Abaroa dan Parris, 2005: 29)22 . Dari
rumus tersebut dapat dijelaskan bahwa jika seseorang memegang monopoli atas
barang dan atau jasa dan memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang berhak
mendapat barang atau jasa itu dan berapa banyak serta tidak ada akuntabilitas,
dalam arti orang lain dapat menyaksikan apa yang diputuskan oleh pemegang
wewenang tersebut, maka kemungkinan besar akan dapat ditemukan perilaku
korupsi.
Perbuatan korupsi berkaitan erat dengan kecurangan atau penipuan yang
dilakukan. Berbuat curang atau menipu, berarti orang tersebut tidak jujur.
Kejujuran memang merupakan suatu sikap dan perilaku yang langka di negeri ini.
Dalam kenyataannya, tidak setiap orang jujur dalam kehidupan sehari-harinya. Ada
4 (empat) katagori kejujuran. Pertama, sejumlah orang jujur untuk setiap saat.
Kedua, sejumlah orang tidak jujur untuk setiap saat. Ketiga, sebagian besar orang
jujur untuk setiap saat. Keempat, sejumlah orang jujur hampir setiap saat. Dari
empat tipe perilaku yang berkaitan dengan kejujuran tersebut, perilaku keempat
yang paling baik dan relevan untuk menumbuhkan perilaku antikorupsi.
Dalam kaitan dengan korupsi, kecurangan bisa mendorong perbuatan
korupsi. Hal ini dapat terjadi karena adanya 3 (tiga) tiang penyangga korupsi, yaitu
tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalize).
Tekanan seperti mengikuti gaya hidup modern, kerugian materi atau uang, terbelit
hutang, akan menyebabkan seseorang berbuat curang atau korupsi. Orang yang
memiliki kedudukan, jabatan, pangkat, dan pendidikan yang lebih tinggi biasanya
21
Wibowo, I. 2006. “Pemberantasan Korupsi di Cina: Apa yang Bisa Kita Pelajari”. Makalah. Disampaikan
dalam Seminar Nasional AIPI XX di M edan tanggal 3-4 M ei 2006.
22
Klitgaard, Robert, Ronald M aclean-Abaroa dan H. Lindsey Parris. 2005. Penuntun Pemberantasan
Korupsi dalam Pemerintahan Daerah. Terjemahan M asri M aris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
11
memiliki kesempatan untuk berbuat korupsi. Kesempatan itu dimiliki karena pihak
koruptor memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kondisi departemen,
kantor, atau lingkungannya. Selain itu, karena mereka memiliki otoritas untuk
mengendalikan kegiatan atau pekerjaan. Demikian pula, mereka mengeta hui
kelemahan di lingkungan departemen, kantor, dan pekerjaannya, sehingga dapat
dimanipulasi yang menyebabkan pihak lain tidak tahu bahwa mereka telah
melakukan korupsi. Perbuatan curang atu korupsi dikemas sedemikian rupa,
sehingga apa yang dilakukan seolah bukan tindakan korupsi. Inilah yang disebut
dengan rasionalisasi perilaku korupsi. Ditambah oleh tidak adanya moral atau etika
yang baik dari pelaku korupsi, menyebabkan perbuatan curang tersebut
mempermudah orang melakukan korupsi.
Albrecht dan Chad O. Albrecht (2003) menyebut tiga penyangga
kecurangan yang mampu mendorong seseorang bertindak korupsi sebagai segitiga
kecurangan. Gambaran tentang segitiga kecurangan dapat dilihat pada gambar
berikut.
12
14) mengemukakan ciri-ciri korupsi sebagai berikut. (1) Korupsi senantiasa
melibatkan lebih dari satu orang; (2) Korupsi pada umumnya melibatka n
keserbarahasiaan; (3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntunga n
timbal balik; (4) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum;
(5) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik
atau masyarakat umum; (6) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhiana ta n
kepercayaan; (7) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif;
dan (8) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat. Kata-kata kunci untuk memaha mi
konsep korupsi di atas adalah: serba rahasia, keuntungan timbal balik, selubung,
penipuan, pengkhianatan kepercayaan, dan melanggar norma 23 .
23
Alatas, Syed Hussein. 1986. Sosiologi Korupsi. Terjemahan Al Ghozie Usman. Jakarta: LP2ES
24
Al-Barbasy, M a’mun M urod. 2006. “Teologi Kritis Pemberantasan Korup si di Indonesia”. Makalah.
Disajikan dalam Seminar Nasional AIPI XX di M edan tanggal 3-4 M ei 2006.
13
Korupsi pemerasan, terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-urus a n
gejolak intern dan ekstern. Perekrutan perwira menengah TNI atau Polisi menjadi
manajer human resources department atau pencantuman nama perwira tinggi
dalam dewan komisaris perusahaan merupakan contoh korupsi pemerasan.
Termasuk pula dalam korupsi jenis ini adalah membuka kesempatan kepemilika n
saham kepada orang kuat tertentu untuk menghindarkan akuisisi perusahaan yang
secara ekonomi tak beralasan.
Dalam literatur fikih ada 6 jenis korupsi yang haram dilakukan, yaitu: (1)
ghulul atau penggelapan, (2) risywah atau penyuapan, (3) ghashab atau
perampasan, (4) ikhtilas atau pencopetan, (5) sirqah atau pencurian, dan (6)
hirabah atau perampokan (KPK, 2007: 7)25 .
Widodo membagi korupsi ke dalam tiga bentuk, yaitu graft, bribery dan
nepotism (Alatas, 1986: 8).26 Graft merupakan korupsi yang dilakukan tanpa
melibatkan pihak ketiga, seperti menggunakan atau mengambil barang kantor, uang
kantor, dan jabatan kantor untuk kepentingan diri sendiri. Korupsi tipe ini bisa
berlangsung karena seseorang memiliki jabatan atau kedudukan di kantor.
Bribery adalah pemberian sogokan, suap, atau pelicin agar dapat memengar uhi
keputusan yang dibuat yang menguntungkan sang penyogok.
Nepotism adalah tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambila n
keputusan yang tidak berdasarkan pertimbangan objektif, tetapi atas pertimbanga n
kedekatan karena kekerabatan, kekeluargaan atau pertemanan.
Dilihat dari sifatnya, Kurniawan, dkk. (2006: 62-63) membagi korupsi ke dalam
tiga bentuk, yaitu:
Tabel 1 Jenis-jenis Korupsi
25
KPK. 2007. Buku Saku untuk Memahami Pandangan Islam terhadap Korupsi: Koruptor, Dunia Akhirat
Dihukum. Jakarta: KPK.
26
Alatas, Syed Hussein. 1986. Sosiologi Korupsi. Terjemahan Al Ghozie Usman. Jakarta: LP2ES.
14
1. Korupsi • Merasa kebutuhannya tidak terpenuhi, sehingga korupsi
Individual menjadi kebutuhan atau korupsi adalah jalan satu-satunya
untuk membiayai kebutuhan (need corruption).
• Adanya keinginan untuk menumpuk harta sebanyak -
banyaknya atau adanya motif serakah (greed corruption).
27
M ashal, Ahmad M . 2011. “Corruption and Resource Allocation Distortion For “ESCWA” Countries”. in
International Journal of Economics and Management Sciences. Vol. 1 No. 4, 2011. Pp. 71-83.
15
implementasi kebijakan nasional untuk melayani kepentingan mereka. Dengan
kewenangannya, mereka juga dapat menggelapkan belanja publik demi
kepentingan mereka. Tipe korupsi ini yang paling sulit diidentifikasi, karena para
elit dapat memanfaatkan celah peraturan atau kebijakan yang mereka buat untuk
memenuhi kepentingan mereka dan kroni-kroninya.
Bureaucratic corruption adalah tindakan korupsi yang dilakukan para birokrat
yang diangkat, yang dilakukan demi dan untuk kepentingan elit politik atau pun
kepentingan mereka sendiri. Dalam bentuknya yang kecil, korupsi birokrasi terjadi
ketika masyarakat (publik) memerlukan pelayanan cepat dari birokrat, dengan
imbalan uang atau materi tertentu. Dalam konteks ini, penyuapan (bribery)
dilakukan untuk memperlancar urusan tertentu. Korupsi jenis ini juga terjadi di
lembaga peradilan, utamanya untuk memengaruhi keputusan pengadilan yang
menguntungkan pihak yang berperkara.
Legislative corruption menunjuk pada perilaku voting dari legislator yang
mungkin dapat dipengaruhi. Dalam korupsi ini, legislator disuap oleh kelompok
kepentingan tertentu membuat legislasi yang dapat mengubah rente ekonomi yang
berkaitan dengan aset.
Amin Rais membagi korupsi dalam empat tipologi yang harus diwaspadai, yaitu:
(1) korupsi ekstortif, (2) korupsi manipulative, (3) korupsi nepotistic, dan (4)
korupsi subversif (Al-Barbasy, 2006: 3). 28
28
Al-Barbasy, M a’mun M urod. 2006. “Teologi Kritis Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Makalah.
Disajikan dalam Seminar Nasional AIPI XX di M edan tanggal 3-4 M ei 2006.
16
Korupsi nepotistic merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan kepada
anak, keponakan dan saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan
perlakuan istimewa ini, para kroni pejabat tadi dapat menangguk keuntungan yang
besar. Korupsi jenis ini umumnya berjalan dengan cara melanggar aturan main
yang sudah ada. Pelanggaran tersebut tidak dapat dihentikan karena di belakang
korupsi nepotistic ini berdiri seorang pejabat yang biasanya merasa kebal hukum.
Korupsi subversive berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang
dilakukan oleh pejabat negara. Berbekal kekuasaan dan wewenang yang dimilik i,
mereka dapat membobol kekayaan negara yang seharusnya diselamatkan. Korupsi
ini bersifat subversif terhadap negara, karena negara telah dirugikan besarbesaran
dan dalam jangka panjang dapat mengganggu jalannya roda negara.
Secara lebih rinci, Syed Hussain Alatas membedakan jenis-jenis korupsi ke
dalam tujuh bentuk, yaitu: (1) transactive corruption, (2) exortive corruption, (3)
investive corruption, (4) nepotistic corruption, (5) defensive corruption, (6)
antogenic corruption, dan (7) supportive corruption (Al-Barbasy, 2006: 3-4)29 .
Korupsi transaksi (transactive corruption) muncul karena adanya kesepakatan
timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua
belah pihak. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dengan pemerint a h
atau antara masyarakat dan pemerintah.
Pihak pemberi dipaksa menyuap guna mencegah kerugian yang sedang
mengancam diri, kepentingan, orang dan hal-hal yang dihargai, termasuk dalam
kategori exortive corruption.
Investive corruption adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian
langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan
diperoleh di masa yang akan datang.
Nepotistic corruption adalah penunjukan yang tidak sah kepada teman atau
sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan atau tindakan yang
memberikan perlakuan yang istimewa dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain
kepada mereka secara bertentangan atau melawan hukum yang ada.
29
Al-Barbasy, M a’mun M urod. 2006. “Teologi Kritis Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Makalah.
Disajikan dalam Seminar Nasional AIPI XX di M edan tanggal 3-4 M ei 2006.
17
Defensive corruption adalah pemerasan yang dilakukan para korban korupsi
dengan dalih untuk mempertahankan diri.
Antogenic corruption adalah korupsi yang dilakukan seorang diri tanpa
melibatkan orang lain. Misalnya, pembuatan laporan keuangan yang tidak benar
atau membocorkan informasi mengenai kebijakan pembangunan wilayah baru
kepada kerabat terdekat.
Supportive corruption adalah korupsi berupa tindakantindakan yang dilakuka n
untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada. Misalnya, menyewa
preman untuk mengancam pemeriksa (auditor) atau menghambat pejabat yang jujur
dan cakap agar tidak dapat menempati posisi atau menduduki jabatan tertentu.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yang secara
langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan
korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri denganmenggunaka n
kedudukannya dan aspek penggunaan uang Negara untukkepentingannya.Adap un
penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan pemimpin,kelema ha n
pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan rendahnya pendidikan, kemiskina n,
tidak adanya hukuman yang keras, kelangkaanlingkungan yang subur untuk
perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia,serta struktur ekonomi.Korups i
dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu Adminstrative Coruption dan
Against The Rule Corruption. Serta ada hukumyang mengatur tindakan tersebut
dan ada lembaga tersendiri yang menanganikasus tersebut.
B. Saran
Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak
dini.Dan pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil. Dan seharusnya
pemerintahlebih tegas terhadap terpidana korupsi. Undang-undang yang adapun
dapatdipergunakan dengan sebaik-baiknya. Agar korupsi tidak lagi menjadi budaya
dinegara ini.
19
DAFTAR PUSTAKA
20
Pusat Bahasa Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Sitepu, Dewi Sinorita. 2006. “Peran Masyarakat Sipil dan Pemberantasan Korupsi
di India: Pembelajaran bagi Indonesia”. Makalah. Disampaikan dalam
Seminar Nasional AIPI XX di Medan tanggal 3-4 Mei 2006.
Tarling, Nicholas. 2005. “Introduction”. In Nicholas Tarling (ed). Corruption and
Good Governance in Asia. New York: Routledge.
Wibowo, I. 2006. “Pemberantasan Korupsi di Cina: Apa yang Bisa Kita
Pelajari”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional AIPI XX di
Medan tanggal 3-4 Mei 2006.
21