Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DAN

ANTI NARKOBA DAN DERADIKALISME

“Korupsi Sebagai Budaya”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi


Dan Anti Narkoba Dan Deradikalisme Yang Diampu Oleh
Bapak Ir. Muragmi Gazali M.Ed

Disusun Oleh:
Kelompok 2

Nita Dwihapsari 2020010108016


Deswita Putri Salsabil 2020010108027
Restiani 2020010108030

PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah


memberikan karunia, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulisan makalah tentang
Pendidikan Anti Korupsi dan Narkoba dan Deradikalisme yang berjudul “Korupsi
Sebagai Budaya” ini dapat diselesaikan. Makalah ini disusun sebagai tugas
semester VI oleh setiap kelompok mahasiswa yang telah diberikan oleh dosen.
Penulisan dan penyusunan makalah ini merupakan serangkaian aktivitas terpadu
dan komprehensif dalam mencapai sasaran pembelajaran agar tercapai secara
maksimal dan optimal.
Penulisan Makalah Pendidikan Anti Korupsi dan Narkoba dan
Deradikalisme “Korupsi Sebagai Budaya” ini tentu saja masih ditemukan
beberapa kekurangan dan kelemahan. Semoga bermanfaat dan saya ucapkan
terimakasih.

Kendari, 7 Maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 4

A. Latar Belakang ............................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 6

A. Pengertian Korupsi ...................................................................................... 6

B. Korupsi Sebagai Budaya .............................................................................. 7

C. Genetis Korupsi ........................................................................................... 9

BAB III PENUTUP .................................................................................... 12

A. Kesimpulan ................................................................................................. 12

B. Saran ........................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu masalah besar yang terjadi di Republik ini adalah
masalah korupsi. Korupsi membuktikan bahwa hampir setiap negara
dihadapkan pada masalah korupsi. Korupsi tersebut memunculkan
indikasi terhadap masyarakat tentang ketidakpercyaan rakyat terhadap
pemerintah. Narasi sifatnya membangun optimisme yang selalu
digelorakan setiap rezimnya, yang seakan menjunjung tinggi
penyelenggara negara yang bebas korupsi dinilai hanya sekedar isapan
jempol belaka (Santoso, 2015, h. 90).

Sebelumnya Persoalan korupsi, tidak lagi terbatas pada


persoalan nasional suatu negara, ter-masuk Indonesia, tetapi juga sudah
merupakan bagian dari permasalahan global, dan sejak
dipublikasikannya panduan praktis dalam meng-hadapi korupsi oleh the
Centre for International Crime Prevention (CICP) pada tahun 1992,
yang bekerjasama dengan Departemen Kehakiman Amerika Serikat,
dunia telah menyaksikan ada-nya peningkatan kesadaran pemerintah
dan lembaga-lembaga internasional, yang belum pernah terjadi
sebelumnya (Syamsudin, 2007, h. 14).

Hampir setiap hari kita menyaksikan di telivisi atau membaca


di media massa korupsi masih tetap terjadi, dimanapun dan kapanpun.
Setiap ada koruptor ditanggkap, meski itu dianggap sebagai prestasi
penegaka hukum, tapi dari sisi kebudayaan, hal ini merupakan sisi tragis
mentalitas korup yang tidak terbendung. Dalam konteks demikian, maka
korupsi merupakan tragedi moralitas kebudayaan yang sedang
bermasalah. Ada suatu kondisi dalam alam kebudayaan kita yang
mendorong orang melakukan tindakan korupsi. Begitu pula, ada
kendala-kendala kultural mengapa korupsi tetap begitu masif terjadi,
sehingga pemberantasan terhadap korupsi selalu tidak pernah tuntas
4
(Listiyono, 2015, h.1).

Korupsi memang bukan dikatakan sebagai kebudayaan yang


diwariskan secara turun menurun oleh para pendahulu namun korupsi
dipandang sebagai suatu kenyataan dimana korupsi tidak lagi
diberantas. lalu bagaimana negara membangun suatu sistem yang
mampu membangun budaya hukum yang anti korupsi masih menjadi
Pekerjaan rumah setiap penguasa atau rezim (Ermansjah, 2012, h. 28).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian korupsi ?
2. Bagaimana korupsi sebagai budaya ?
3. Bagaimana Genetis korupsi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian korupsi.
2. Untuk mengetahui Bagaimana korupsi sebagai budaya.
3. Untuk mengetahui Bagaimana Genetis korupsi.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi
Terminologi korupsi sendiri itu merupakan tindakan perampokan terhadap
uang negara yang bersumber dari rakyat. Rose Ackerman mendefiniskan korupsi
sebagai pembayaran ilegal kepada pejabat publik untuk mendapatkan keuntungan.
Sedangkan menurut johson korupsi sebagai penyalahgunaan peran dan sumber
daya publik atau penggunaan bentuk pengaruh politis yang tidak terlegitimasi
yang dilakukan oleh pihak publik maupun swasta. Jadi korupsi merupakan
tindakan penyelewengan serta penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
seorang individu maupun kelompok yang merugikan orang lain untuk
memperkaya diri sendiri (Radharjo, 2009, h. 171).
Menurut penasehat komisi pemberantasan korupsi (KPK) Abdullah
Hemahua berdasarkan kajian serta pengalaman terdapat 8 penyebab terjadinya
korupsi di indonesia di antaranya : sistem penyelenggara negara yang keliru,
kompensasi PNS yang rendah, pejabat yang serakah, law enforcement tidak
berjalan, hukuman ringan terhadap koruptor, pengawasan yang tidak efektif serta
tidak ada keteladanan (Listiyono, 2015, h. 25).
Pasca 1998 Indonesia mulai berbebenah membangun sebuah landasan
hukum bebas akan unsur Korupsi Kolusi dan Nepotisme dengan di undangkannya
dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan
bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada masa presiden B.J. Habibie, di rezim
berikutnya pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri
mengeluarkan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian pada
tahun 2002 Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Upaya Ini
dinilai merupakan langkah optimis dalam membangun negeri bebas dari KKN
6
melalui rezim yang baru di bangun setiap periode pemerintahan (Listiyono, 2015,
h. 30).
Korupsi berasal dari kata latin yaitu Corrumpere, Corruptio, atau
Corruptus. Secara harfiah kata korupsi berarti penyimpangan dari kesucian
(Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan,
ketidakjujuran atau kecurangan. Korupsi merupakan penyalahgunaan kewenangan
oleh pihak pribadi maupun kelompok. Korupsi memiliki konotasi adanya
tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Korupsi merupakan
penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi
dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi (Hilmawan, 1992, h.
175).

B. Korupsi Sebagai Budaya


Dalam kehidupan manusia, budaya berperan sebagai konsep abstrak yang
mempengaruhi apa yang dianggap penting dan tidak oleh manusia sehingga dapat
menjadi indikator dari perilaku hidup manusia itu sendiri. Akan tetapi perilaku
atau sikap individu sejatinya bukanlah bagian dari kebudayaan karena ia melekat
pada diri individu itu sendiri sebagai bagian dari masyarakat (Mulyono, 2016, h.
17).
Korupsi dikatakan sudah membudaya dan buah dari patrimonial akar-
akarnya sudah ditemukan dalam kerajaan dan masyarakat tradisional indonesia.
Onghokham mengatakan bahwa di dalam kerjaan tradisional, tidak ada perbedaan
antara kerkayaan pribadi dan kekayaan umum. Antara kekayaan milik keluarga
kerajaan atau kekayaan milik negara. Kekayaan dalam kultur demikian seringkali
dijadikan alat untuk membeli loyalitas para pejabat penting, panglima dan bupati
maupun elite lainnya. Nalar feodalisme dan kultur patrimonial telah menjadi
bagian tidak terpisahkan dalam dinamika sosial masyarakat di Indonesia sampai
sekarang. Dominasi sistem kebudayaan yang demikian telah membentuk
solidaritas sosial yang cukup kuat, meskipun juga termasuk kepada hal-hal yang
dianggap melanggar hukum, termasuk di dalamnya korupsi. Solidaritas dan
soliditas sosial pelaku korupsi yang bersifat massal memberikan implikasi begitu
kompleks dan rumit pada upaya pemberantasan korupsi. Tampaknya benar jika
disebutkan bahwa meskipun sistem dalam birokrasi sudah menjadi modern, tetapi
7
kalau cara berpikir dan sistem sosialnya masih kental dengan nuansa patrimonial,
niscaya pemberantasan korupsi selalu terkendala pada mentalitas kebudayaan
yang ada (Onghokham, 1986, h.188)
Masyarakat sudah sering mendengar dan melihat kasus korupsi baik secara
langsung maupun tidak langsung. Korupsi seolah menjadi suatu hal yang biasa
dalam masyarakat Indonesia. Hampir semua alat pemerintah dan ruang
pemerintahan mengalami persoalan korupsi baik itu dari staf terendah hingga
petinggi sekali pun. Dalam masyarakat Indonesia memang sudah menganggap
korupsi sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Hal
tersebut disebabkan oleh tindak korupsi yang sangat merugikan rakyat dan negara
baik dari segi finansial maupun non-finansial.
Menurut E.B Tylor (dalam Soejono, 2012) seorang antropolog
menerjemahkan kebudayaan sebagai berikut: Kebudayaan adalah kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian moral, hukum, adat istiadat dan
lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Dapat disimpulkan jika segala sesuatu disebut
sebagai budaya atau kebudayaan adalah sesuatu yang berasal dari kebiasaan-
kebiasaan masyarakat yang sudah melekat dalam kehidupan mereka. Dalam
penerapannya, korupsi hampir menjadi kebiasaan yang melekat dalam masyarakat
baik itu secara langsung ataupun tidak langsung baik dalam bentuk finansial
ataupun non-finansial.
Masyarakat sendiri menganggap tindakan korupsi seperti suap,
penyalahgunaan jabatan, atau gratifikasi merupakan hal yang wajar dilakukan
oleh pejabat negara maupun masyarakat sipil. Keadaan masyarakat dan
lingkungan yang jauh dari aksi anti korupsi membuat tindak korupsi berkembang
sebagai membudaya di masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan bagaimana
korupsi sebagai suatu kejahatan menjadi suatu kebiasaan dalam masyarakat dan
berkembang membudaya di masyarakat (Satya, 2014, h. 19).

8
C. Genetis Korupsi
Sebelumnya, genetis (membudayanya) korupsi itu sebenarnya dapat dilihat
dalam lima latar.
 Pertama, genetis kesalahan orang dalam memersepsikan eksistensi uang
(materi). Uang (materi) diposisikan sebagai tujuan utama sebelum
mendahulukan kerja (karya) yang seharusnya justru menjadi tujuan utama.
Dalam persepsi, uang (materi) harus diposisikan sebagai instrumen
sekaligus dampak penghargaan atas kerja (karya). Jika orang bekerja
(berkarya) dengan optimal dan bermanfaat besar bagi masyarakat, pastilah
akan dihargai dengan sesuatu yang berharga yang berupa uang (materi).
Atau, dengan kata lain, tak menganut aliran materialisme.
 Kedua, genetis kesalahan orang dalam memaknai negara. Herbert Mead
seorang sosiologi kontemporer dalam teorinya, interaksi simbolik,
menyebut bahwa tindakan orang sangat ditentukan oleh bagaimana orang
memaknai sesuatu. Jika sesuatu itu adalah negara, bagaimana seseorang
memaknai negara. Negara seharusnya dimaknai sebagai rumah bersama
kita (warga bangsa), yang harus dikembangkan, dan dimajukan dibela,
dipertahankan, terus-menerus kemampuan dan potensi kita masing-
masing. Bukan dimaknai dengan sebagai "sapi perah" yang menyebabkan
orang selalu ingin mengambil dan merampas kekayaan dari negara alias
korupsi.
 Ketiga, genetis kesalahan orang dalam mengidentifikasi halal-haram.
Orang sering mewacanakan secara fasih soal halal-haram, namun banyak
orang yang tidak bisa membedakan mana uang (materi) yang halal dan
haram. Ini sama dengan tidak dapat membedakan antara baik dan buruk
(etika). Apa akibat jika makan uang halal dan haram, digunakan untuk
menghidupi keluarga, orang yang korup tidak memikirkan sejauh itu. Jadi,
orang mesti berpikir seribu kali dan memastikan tentang sumber uang
(materi) itu. Yang namanya uang (materi) dalam benak koruptor akan
selalu menjadi halal sehingga atas persepsi ini tindak korupsi terjadi.

 Keempat, genetis kesalahan orang dalam bergaya hidup mewah


(hedonisme). Orang boleh memiliki keinginan, tetapi tidak terbelenggu
9
keinginan, karena keinginan itu tak terbatas (unlimited), sehingga biasanya
orang akan selalu merasa kurang. Dalam hidup, orang mesti hidup atas
dasar kebutuhan sehingga selalu bisa hidup sederhana dan bersahaja. Yang
memang memiliki uang (materi) mungkin tak masalah, tetapi jangan
sampai mengikuti keinginan dengan menggunakan uang negara, yang
diperoleh dengan berbagai kecerdasan, kecerdikan, dan tipu daya.
 Kelima, genetis kesalahan orang beriman kepada uang (materi). Dalam
kondisi ini, orang menganggap uang adalah segala-galanya. Orang sering
tak menyadari bahwa dalam kondisi ini orang itu kemudian terbelenggu
oleh uang (materi) sehingga yang dipikirkan bukan lagi keutamaan-
keutamaan orang untuk apa dan bagaimana hidup di dunia, tetapi
semuanya demi uang (materi).
Arifin C. Noer, dramawan Indonesia, menggambarkan orang yang
berada dalam kondisi ini ibarat pernah sumur tanpa dasar. Apabila orang
sudah terbelenggu dengan uang (materi), semua akan dilabraknya, entah
hukum, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan. Jika semua genetis korupsi itu
tersadari, niscaya orang tidak akan melakukan tindak korupsi. Pada titik ini,
diandaikan orang telah memiliki kesadaran pada pentingnya hidup, bekerja,
dan berkarya. Kapan kira-kira bangsa kita terbebas dari tindak korupsi?
Jawabannya, jika kesadaran antikorupsi sudah membudaya di negara kita.
Karena itu, setelah mengetahui genetis korupsi itu, (mungkin) program besar
untuk mengantisipasi tindak korupsi adalah memutus rantai dan gurita korupsi
sejak anak usia dini dengan pendidikan antikorupsi.
Pernyataan korupsi sebagai sebuah kebudayaan tetap menjadi
sebuah pernyataan yang melahirkan dua pandangan yang berbeda. Ada pihak
yang mengatakan bahwa tindakan korupsi merupakan sebuah budaya dan ada
juga yang menentang hal ini. Namun perbedaan pendapat ini didasarkan pada
pemahaman kebudayaan yang berbeda-beda pula. Korupsi bisa dilihat sebagai
sebuah kebudayaan jika kebudayaan memiliki diartikan sebagai sebuah
tingkah laku yang terus diwariskan dari generasi ke generasi, sebuah
kebiasaan yang terus terpelihara dalam masyarakat baik secara pribadi
maupun kelompok masyarakat. Namun secara filosofis, korupsi itu di satu
pihak, bukanlah sebuah kebudayaan, sebab korupsi itu sendiri sangat

10
bertentangan dengan nilai dan unsur kebudayaan itu sendiri dan di pihak lain
korupsi dapat dikatakan sebuah kebudayaan jika meneliti motif dari korupsi
itu sendiri. Nilai kebahagiaan yang merupakan hal yang mendasar dari
manusia itu sendiri merupakan motif di balik tindakan korupsi itu sendiri.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Korupsi berasal dari kata latin yaitu Corrumpere, Corruptio, atau
Corruptus. Secara harfiah kata korupsi berarti penyimpangan dari kesucian
(Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan,
ketidakjujuran atau kecurangan. Korupsi merupakan penyalahgunaan
kewenangan oleh pihak pribadi maupun kelompok. Jadi korupsi merupakan
tindakan penyelewengan serta penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
oleh seorang individu maupun kelompok yang merugikan orang lain untuk
memperkaya dirisendiri (Radharjo, 2009, h. 171).
Jika segala sesuatu disebut sebagai budaya atau kebudayaan adalah
sesuatu yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang sudah
melekat dalamkehidupan mereka. Dalam penerapannya, korupsi hampir
menjadi kebiasaan yang melekat dalam masyarakat baik itu secara langsung
ataupun tidak langsung baik dalam bentuk finansial ataupun non-finansial.
Bebicara tentang Genetis (membudayanya) korupsi itu sebenarnya
dapat dilihat dalam lima latar yag di bahas di atas Check it dot.

B. Saran
Dalam perspektif budaya hukum, korupsi menunjukkan perilaku
yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma baik itu dari kejujuran,
sosial, agama, atau hukum. Antikorupsi tidak lain untuk membangun
karakter jujur agar anak tidak melakukan korupsi. Anak-anak juga dapat
menjadi promotor pemberantas korupsi. Karena itu, sejak usia dini generasi
muda perlu ditanamkan mental antikorupsi serta nilai-nilai yang baik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ermansjah Djaja. 2012. Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar


Grafika
Himawan, C. 2006. Hukum sebagai Panglima. Editor Abu Sunda. Jakarta: Kompas.
Mulyono, Andi, 2016, Pengaruh Aspek Kultur Hukum Terhadap Perkembangan
Tindak Pidana Gratifikasi di Indonesia (Perspektif Penegakan Hukum
Pidana), Jurnal Jurisprudence Vol. 3 No. 2
Listiyono. 2015, Model Strategi Kebudayaan Pemberantasan Korupsi di Indonesia,
Jurnal Review Politik Vol.6
Onghokham, Korupsi dan Pengawasan Perspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1986),
hal. 6
Rahardjo, Satjipto, 2009, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologi,
Yogyakarta: Genta Publishing
Santoso, Listiyono dan Meyrasyawti, Dewi, 2015, Model Strategi Kebudayaan
Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jurnal Review Politik Vol.5.
Satya Widyananda, Adhyta. 2014. Peran Pendidikan Anti Korupsi Dini Dalam
Mencegah Terjadinya Tindak Korupsi. Makalah. Tidak diterbitkan. Malang.
Univesrsitas Negeri Malang
Syamsudin, M, 2007, Korupsi Dalam Perspektif Budaya Hukum, Jurnal UNISIA
Vol. XXX. Onghokham, 1986, Korupsi dan Pengawasan Perspektif Sejarah,
Jakarta: LP3ES

13

Anda mungkin juga menyukai