Anda di halaman 1dari 23

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) GANJIL

TAHUN AKADEMIK 2021/2022

Nama : Afmi Alfiani Rahmah

Nim : 2019200002

Kelas :F

Mata Kuliah : Hukum Pajak

Dosen : Surohmat, SH., MH.

Hari/Tanggal : Sabtu, 15 Januari 2022

‫ــــــــــــــــــم ﷲِال َّر ْح َم ِن ال َر ِحيم‬


ِ ‫س‬
ْ ِ‫ب‬

Soal dan Jawaban :

1. Dilihat dari aspek hukum, substansi pengaturan pajak dalam pelbagai undang-
undang di bidang perpajakan dapat digolongkan menurut hukum pajak formil dan
hukum pajak materiil. Saudara kemukakan hal dimaksud!
Jawaban :

a. Hukum Pajak Materiil


Yaitu Segala peraturan yang dibuat dalam rangka untuk menentukan apa yang
menjadi dasar pengenaan pajak. Jadi, hukum pajak materiil itu memuat hal-hal yang
berisfat substansi dan memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan,
perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak
(subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan
hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak.
Secara normatif yang bisa dikategorikan sebagai hukum pajak materiil itu misalnya
adalah undang-undang mengenai ketentuan umum dibidang perpajakan, undang-undang
mengenai pajak penghasilan, undang-undang mengenai pajak pertambahan nilai, undang-
undang mengenai bia materai.
b. Hukum Pajak Formil
Yaitu Hukum dibidang perpajakan yang mengatur bagaimana pelaksanaan hukum
pajak materiil. Hukum pajak formiil ini berkaitan dengan sistem, mekanisme dan
prosedur penegakan hukum dibidang perpajakan.
Misalnya: Undang-undang tentang penagihan pajak dengan surat paksa termasuk
didalamnya yang dikategorikan undang-undang KUP termasuk didalamnya contohnya
yaitu undang-undang tentang ketentuan umum dibidang perpajakan.
Jadi, hukum pajak formil itu memuat bentuk/ tata cara untuk mewujudkan hukum
materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materil). Hukum ini memuat
antara lain:
1. Tata cara penyelanggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
2. Hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai
keadaan, perbuatan dna peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
3. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-
hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan atau banding. Contoh: Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pada pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), hukum pajak
formil dan materil terpisah. Hukum pajak formil untuk kedua jenis pajak tersebut adalah
UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
sebagaimana diubah terakhir dengan UU No16 Tahun 2009. Artinya, kewajiban dan hak
WP dalam urusan PPh dan PPN dapat kita temukan pada UU KUP.
Berbeda dengan hukum pajak formil, hukum pajak materil PPh terpisah dengan
hukum pajak materil PPN.  Hukum pajak materil PPh adalah UU No. 7 Tahun 1983
sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008, sedangkan untuk PPN
adalah UU No. 8 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 42 Tahun
2009.

2. Jelaskan dengan singkat apa yang dimaksud dengan fungsi regulend dari pajak
dalam kehidupan masyarakat negara!
Jawaban :

Fungsi regulerend (fungsi mengatur), yaitu pajak merupakan alat kebijakan


pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Fungsi regulerend juga disebut fungsi
tambahan, karena fungsi regulerend ini hanya sebagai tambahan atas fungsi utama pajak
yaitu fungsi budgetair. Jadi, fungsi pajak regulerend itu ketika pajak dapat dijalankan
tatkala terjadi pemanasan atau pendinginan atau ketidakstabilan sendi-sendi
perekonomian yang berdampak kepada ekonomi makro suatu negara. Dengan adanya
paduan kebijakan pajak dalam bentuk regulasi, diharapkan dapat menyentuh langsung
dan menstimulasi sendi-sendi perekonomian yang sedang berlangsung, sehingga kembali
kepada kondisi ekonomi yang stabil, produktif dan optimal. Optimalisasi fungsi
regulerend pajak dalam kegiatan ekonomi dapat dilakukan karena berkaitan dengan
fungsi dari kegiatan ekonomi secara matematis, yaitu menyangkut hal-hal yang dapat
disentuh pajak secara langsung dengan regulasi.
Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun
luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak.

3. Deskripsikan dengan singkat perbedaan antara pajak, restribusi, dan sumbangan!


Jawaban :

a. Pajak
Pajak adalah iuran seseorang atau badan usaha yang terhitung sebagai Wajib Pajak
(WP) kepada negara atas penghasilan dari jasa yang disediakan, barang-barang mewah,
serta harta yang dimiliki. Jadi, pajak bersifat wajib dan berdasarkan atas penghasilan,
barang dan harta yang dimiliki.
Ketaatan dalam pembayaran pajak merupakan ciri dari warga negara yang baik. Hasil
dari pembayaran pajak digunakan pemerintah untuk menyediakan berbagai fasilitas yang
bermanfaat untuk khalayak ramai.
Berdasarkan cakupannya, pajak dibagi menjadi dua kategori, yaitu pajak pusat dan
pajak daerah. Pajak pusat merupakan kategori pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat
melalui Direktorat Jenderal Pajak (DitJen Pajak) dan Kementerian Keuangan. 
Khusus untuk Pajak Penghasilan, cara pembayaran dan pelaporan kewajiban pajak
untuk setiap WP, baik perseorangan atau badan usaha, dapat dilakukan dengan
sistem online. 
Seperti yang sudah kita pahami bahwa pajak adalah sebuah iuran yang harus
disetorkan oleh kita sebagai wajib pajak kepada negara dan sifatnya wajib sebagai suatu
penerimaan negara. Jika suatu wajib pajak tidak menyetorkan kewajiban perpajakannya
atau iuran tersebut, maka akan dikenakan sanksi atas tidak disetorkannya iuran tersebut.
Wajib pajak disini yang disebutkan adalah wajib pajak orang pribadi ataupun wajib pajak
badan yang nantinya pajak yang disetorkan akan digunakan negara untuk kebutuhan
masyarakat secara menyeluruh.  
Pajak ini dibagi menjadi 2 yaitu pajak pusat dan pajak daerah, dimana dalam pajak
pusat pemungutan akan dilakukan oleh pemerintah pusat. Sehingga sebagian besar pajak
pusat ini akan dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Kementerian Keuangan serta
apapun bentuk administrasi yang berhubungan dengan pajak pusat maka setiap wajib
pajak yang bersangkutan akan diarahkan ke Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, dan
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.
macam-macam jenis pajak yang dikenakan di pajak pusat ini diantaranya adalah pajak
penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, serta bea
materai. 
Sedangkan pajak daerah diatur oleh pemerintah daerah yang cakupannya dari provinsi
hingga kabupaten/kota. Sehingga nantinya apapun bentuk administrasi yang berhubungan
dengan pajak daerah, wajib pajak akan diarahkan ke Kantor Dinas Pendapatan Daerah
atau kantor lainnya yang dinaungi oleh pemerintah daerah setempat.
Dimana cakupan untuk pajak daerah bagian provinsi diantaranya adalah Pajak
Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak BBM, Pajak Air
Permukaan, serta Pajak Rokok.
Sedangkan cakupan untuk pajak daerah bagian kabupaten/kota diantaranya adalah
pajak hotel, restoran, reklame, parkir, air tanah, mineral bukan logam atau bebatuan,
penerangan jalan, dan lain sebagainya. 
b. Restribusi
Sama halnya dengan pajak, retribusi juga merupakan sejumlah uang yang dibayarkan
seseorang atas fasilitas umum yang digunakan. Namun, retribusi adalah pungutan yang
ditarik atas jasa atau izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan
perseorangan atau badan usaha. Retribusi wajib dibayarkan atas penggunaan fasilitas
umum.
Undang-Undang yang mengatur tentang retribusi adalah UU No.28 Tahun
2009. Pengelolaan setoran retribusi dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam
penerapannya, retribusi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu retribusi jasa umum, usaha dan
perizinan.
Retribusi ini sebenarnya merupakan iuran sampah atau bayar parkir yang dengan kata
lain merupakan pungutan atas jasa ataupun izin yang telah diberikan pemerintah daerah
untuk kepentingan pribadi atau badan yang nantinya akan dikelola oleh dinas pendapatan
daerah.
Retribusi ini terbagi atas 3 yaitu jasa umum yaitu retribusi atas pelayanan kesehatan
hingga pelayanan pendidikan, jasa usaha yaitu seperti tempat parkir sampai tempat
digunakannya untuk dagang, dan perizinan yang digunakan untuk kepentingan perizinan
seperti pendirian pembangunan dan lainnya. 
c. Sumbangan
Perbedaan paling mencolok antara sumbangan dengan retribusi dan pajak terletak
pada sifat pemungutannya. Retribusi dan pajak bersifat wajib ditunaikan, Sedangkan
sumbangan bersifat sukarela sumbangan ini bersifat tidak wajib atau tidak ada istilah
memaksa. sumbangan ini biasanya bisa diterima dari macam-macam instansi seperti
pemerintah, yayasan, lembaga kemanusian dan lain sebagainya. 
Dalam hal pemungutan sumbangan, pemerintah melalui lembaga-lembaga sosial
biasanya melakukan penggalangan dana untuk menanggulangi bencana nasional atau
kemalangan yang terjadi di daerah tertentu.
Itulah pengertian dari pajak, retribusi, dan sumbangan. Khusus untuk penunaian
kewajiban pajak, para WP harus menyelesaikan beberapa proses penting seperti
penyerahan dokumen penting, pengisian formulir, hingga penghitungan pajak. Proses-
proses tersebut seringkali menghadirkan kesulitan bagi para WP untuk menunaikan
kewajiban pajak mereka.

4. Sebutkan beberapa pajak yang terkategori sebagai Pajak Pusat dan Pajak Daerah!
Jawaban :

1) Pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:


 Pajak Penghasilan (PPh)

PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud
dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian
maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan
lain sebagainya.

 Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak di dalam Daerah Pabean (dalam wilayah Indonesia). Orang Pribadi,
perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.

 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Selain dikenakan PPN, atas pengkonsumsian Barang KenaPajak tertentu yang


tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM. Yang dimaksud dengan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah adalah:

a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau


b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi; atau
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban masyarakat.

 Bea Meterai

Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti
surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek,
yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan
ketentuan.

 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tertentu

PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan
atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi
penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun
Kabupaten/Kota.

2) Pajak Daerah
Dalam administrasi negara, pemerintah daerah terbagi menjadi pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota. Jenis-jenis pajak pun dikelompokkan berdasarkan
provinsi dan kabupaten/kota (Pasal 2 UU 28/2009).

a. Jenis Pajak provinsi terdiri atas:

1. Pajak Kendaraan Bermotor;


2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4. Pajak Air Permukaan; dan
5. Pajak Rokok.

b. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri dari:

1. Pajak Hotel;
2. Pajak Restoran;
3. Pajak Hiburan;
4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
7. Pajak Parkir;
8. Pajak Air Tanah;
9. Pajak Sarang Burung Walet;
10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 

Khusus untuk daerah yang setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak terbagi
dalam daerah kabupaten/kota otonom. Misalnya, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis
Pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk daerah provinsi dan
Pajak untuk daerah kabupaten/kota (Pasal 2 ayat 5).

Demikian pembahasan tentang jenis pajak daerah. Semoga tidak ada lagi salah paham
mengenai perbedaan jenis pajak daerah dengan pajak pusat. 

5. Bagaimana kebijakan pemerintah RI di bidang perpajakan sebagaimana tertuang


dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan!
Jawaban :

Pemerintah melakukan langkah dalam hal peraturan fiskal dengan menyusun Undang-
Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. UU 7 tahun 2021 tentang HPP
memiliki niat untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan guna
mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan berbagai upaya dari
Pemerintah untuk mengambil berbagai langkah kebijakan fiskal yang konsolidatif.
UU 7 tahun 2021 tentang HPP ingin menempatkan perpajakan sebagai salah satu
perwujudan kewajiban kenegaraan dalam upaya peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan
pembangunan sosial.
Karena untuk menerapkan strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan
defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak, diperlukan penyesuaian-penyesuaian
kebijakan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan, pajak
pertambahan nilai, dan cukai serta pengaturan mengenai pajak karbon dan kebijakan
berupa program pengungkapan sukarela Wajib Pajak dalam 1 (satu) Undang-Undang
secara komprehensif.
Untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan guna
mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan berbagai upaya dari
Pemerintah untuk mengambil berbagai langkah kebijakan fiskal yang konsolidatif.
Kebijakan fiskal yang konsolidatif tersebut dapat diwujudkan dengan melakukan
langkah strategis yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio
pajak (tax ratio) yang antara lain melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja
penerimaan pajak, reformasi administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan,
penciptaan sistem perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian
hukum, serta peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Pada tataran global, negara-
negara di dunia juga menerapkan berbagai kebijakan perpajakan yang diharapkan mampu
untuk meningkatkan penerimaan dengan memperluas basis pajak dan melakukan
penyesuaian tarif pajak.
Dalam rangka peningkatan rasio pajak (tax ratio), Pemerintah telah melakukan
berbagai upaya antara lain melalui reformasi perpajakan yang berfokus pada organisasi,
sumber daya manusia, teknologi informasi berbasis data, proses bisnis, dan regulasi
perpajakan. Hal ini dilaksanakan di antaranya dengan peningkatan fungsi pelayanan,
implementasi program Pengampunan Pajak, pelaksanaan skema Automatic Exchange of
Financial Account Information, penguatan efektifitas fungsi ekstensifikasi, dan
penegakan hukum. Namun, hal tersebut belum cukup untuk mengimbangi perubahan pola
bisnis dan dinamika globalisasi yang sangat dinamis serta mengatasi praktik aggressiue
tax planning yang ada.
Oleh karena itu, sejalan dengan reformasi perpajakan secara berkesinambungan
khususnya pada aspek regulasi dan proses bisnis, diperlukan penyesuaian pengaturan
kebijakan perpajakan yang bersifat komprehensif, konsolidatif, dan harmonis, sehingga
perlu membentuk Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Penyesuaian pengaturan kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan
perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian;
mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara
mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmLlr, dan sejahtera; mewujudkan
sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; melaksanakan
reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis
perpajakan; dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
Kebijakan perpajakan yang bersifat komprehensif, konsolidatif, dan harmonis
dilakukan melalui pengaturan meliputi Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, Pajak Karbon, dan Cukai.
Materi Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memuat beberapa ketentuan yang
diubah dan/atau ditambah antara lain mengenai kerja sama bantuan penagihan pajak
antarnegara, kuasa Wajib Pajak, pemberian data dalam rangka penegakan hukum dan
kerja sama untuk kepentingan negara, dan daluwarsa penuntutan pidana pajak.
Oleh karena itu, sejalan dengan reformasi perpajakan secara berkesinambungan
khususnya pada aspek regulasi dan proses bisnis, diperlukan penyesuaian pengaturan
kebijakan perpajakan yang bersifat komprehensif, konsolidatif, dan harmonis, sehingga
perlu membentuk Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Penyesuaian pengaturan kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan
perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian;
mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara
mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmLlr, dan sejahtera; mewujudkan
sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; melaksanakan
reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis
perpajakan; dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
Kebijakan perpajakan yang bersifat komprehensif, konsolidatif, dan harmonis
dilakukan melalui pengaturan meliputi Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, Pajak Karbon, dan Cukai.
Materi Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memuat beberapa ketentuan yang
diubah dan/atau ditambah antara lain mengenai kerja sama bantuan penagihan pajak
antarnegara, kuasa Wajib Pajak, pemberian data dalam rangka penegakan hukum dan
kerja sama untuk kepentingan negara, dan daluwarsa penuntutan pidana pajak.

6. Uraikan dengan singkat bagaimana proses dan mekanisme penagihan pajak dengan
surat paksa!
Jawaban :

Di dalam UU tentang penagihan pajak dengan surat paksa, didalamnya itu tidak hanya
mengatur substansi dan atau tidak hanya mengatur mengenai aspek materiil nya saja
tetapi juga mengatur aspek formiil ada hukum acaranya, dan hukum acara tersebut
berkaitan dengan tata cara, proses dan mekanisme.
Penagihan pajak dengan surat paksa dilakukan pada saat gagalnya upaya pengihan
pajak secara pasif dan aktif. Yang dimaksud dengan penagihan pasif itu adalah penagihan
dimana aparatur pemungutan atau penagih pajak itu mengirimkan surat pemberitahuan
pajak berhutang.
Artinya penagihan surat paksa dilakukan pada saat tidak berhasilnya penagihan pajak
baik secara pasif maupun secara aktif. Setelah surat itu dikeluarkan, maka ada penagihan.
Jadi, satu poin penagihan pajak dengan surat paksa ini dikeluarkannya surat paksa oleh
pejabat yang diberikan kewenangan untuk itu, setelah dikeluarkannya surat tersebut lalu
disampaikan kepada wajib pajak atau penanggung pajak. Jika wajib pajak atau
penanggung pajak tersebut tidak ada ditempat maka itu bisa diberikan kepada kerabat dari
penanggung wajib itu sendiri. Secara ebtida, maka itu bisa dititipkan kepada aparatur
pemerintah setempat. Dan jika setelah proses itu tidak dilakukan maka bisa saja dilakukan
tindakan dengan penyitaan, pencegahan atau bahkan penyanderaan. Misalnya setelah
dilakukan penyintaan, wajib pajak atau penanggung pajak tersebut tidak mau bayar juga
maka tahapan berikutnya yaitu dengan cara pelelangan. Dari hasil pelelang tersebut akan
dibayarkan menjadi pembayaran dari pajak.

Pencegahan dan Penyanderaan

1) Pencegahan
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak
tertentu untuk keluar dari wilayah Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencegahan berkaitan dengan tindakan
untuk mencegah agar wajib pajak dan penanggung pajak itu tidak berpergian jadi, supaya
ada hal-hal agar penagihan itu bisa dilaksanakan secara maksimal
Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai
jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000,00 dan diragukan itikad
baiknya dalam melunasi utang pajak. Pencegahan dapat dilakukan berdasarkan keputusan
pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan Pejabat atau atasan
Pejabat yang bersangkutan. Jangka waktu pencegahan paling lama 6 bulan dan dapat
diperpanjang selama-lamanya 6bulan.

2) Penyanderaan
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak
dengan menempatkannya di tempat tertentu. Penyanderaan yang dimaksud adalah
pengekangan kebebasan bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang belum melunasi
kewajibannya, sementara yang bersangkutan sudahh diberi teguran, peringatan secara
tertulis maka dari itu wajib pajak atau penanggung pajak tersebut di sandera.
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai
jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000,00 dan diragukan itikad
baiknya dalam melunasi utang pajak. Penyanderaan hanya dapat dilakukan berdasarkan
Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat ijin tertulis
dari Menteri Keuangan atau Gubernur Kepala Daerah Propinsi. Masa penyanderaan
paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang slama-lamanya 6 bulan.
Tujuan penyanderaan ini adalah agar pihak-pihak yang mempunyai hubungan atau
bahkan wajib pajak atau penanngung pajak itu sendiri diharapkan untuk terbuka supaya
segera melaksanakan terlepas penyanderaan itu bisa digugat.

Gugatan

Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah


Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang hanya dapat diajukan kepada Pengadilan
Pajak. Dalam hal gugatan Penanggung Pajak dikabulkan, Penanggung Pajak dapat memohon
pemulihan nama baik dang anti rugi kepada Pejabat paling banyak Rp 5.000.000,00.
Perubahan besarnya ganti rugi ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan atau
Keputusan Kepala Daerah. Gugatan diajukan dalam jangka waktu 14 hari.

Permohonan Pembetulan Atau Penggantian

Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada


Pejabat terhadap Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat
Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga
Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan. Dalam jangka waktu 7
hari sejak tanggal diterima permohonan tersebut, Pejabat harus memberi keputusan atas
permohonan yang diajukan. Apabila dalam jangka waktu tersebut Pejabat tidak memberikan
keputusan, maka permohonan Penanggung Pajak dianggap dikabulkan dan penagihan ditunda
untuk sementara waktu.

Ketentuan Pidana

Penanggung Pajak dilarang:

1. Memindahkan hak, memindah tangankan, menyewakan, meminjamkan,


menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yangtelah disita.
2. Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk
pelunasan utang tertentu.
3. Membebani barang bergerak yangtelah disita dengan fiducia atau diagunkan untuk
pelunasan utang tertentu.
4. Merusak, mencabut, atau menghilakngkan segel sita atau salinan Berita Acara
Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barang sitaan.

Penanggung pajak yang melanggar ketentuan ini dipidana dengan pidana penjara paling
laam 4 tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00. Setiap orang yang dengan sengaja
tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang, atau
dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan tindakan maka akan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu, dan denda paling banyak Rp
10.000.000,00.

7. Sebutkan dan jelaskan upaya yang dapat dilakukan oleh para pihak, baik
penanggung pajak maupun fiskus berkenaan dengan pelaksanaan penagihan pajak
dengan surat paksa!
Jawaban :

Dalam pelaksanaan penagihan aktif tersebut dapat dilakukan dengan 4 tahap, yaitu:

1) Surat Teguran
Penyampaian surat teguran merupakan awal pelaksanaan tindakan penagihan oleh
fiskus untuk memperingatkan Wajib Pajak yang tidak melunasi utang pajaknya sesuai
dengan keputusan penetapan (STP, SKPKB, SKPKBT) sampai dengan saat jatuh tempo.
Surat teguran adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau
memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya. Surat teguran dikeluarkan
apabila utang pajak yang tercantum dalam SPT, SKPKB atau SKPKBT tidak dilunasi
sampai melewati waktu hari dari batas waktu jatuh tempo 1 bulan sejak tanggal
diterbitkannya.
Menurut keputusan Menteri Keuangan no. 561/KMK.04/2000 Pasal 5 ayat 2
menyatakan bahwa surat teguran tidak diterbitkan terhadap penanggungpajak yang
disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya.

2) Surat Paksa

Penagihan dengan surat paksa dilakukan apabila jumlah tagihan pajak tidak atau
kurang bayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau sampai dengan jatuh
tempo penundaan pembayaran atau tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak. Apabila
Wajib Pajak lalai melaksanakan kewajiban membayar pajak dalam waktu sebagaimana
ditentukan dalam surat teguran maka penagihan selanjutnya dilakukan oleh juru sita
pajak.
Pengertian surat paksa telah diatur dalam Pasal 1 angka 12 Undang-undang no. 19
tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa yang berbunyi: Surat paksa
adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Sedangkan
menurut Rusdji (2005:25), yaitu surat yang diterbitkan apabila Wajib Pajak tidak
melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo.
Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa surat paksa adalah surat
perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak yang diterbitkan apabila
Wajib Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo.
Surat paksa diterbitkan apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak melunasi utang
pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo dan Penanggung Pajak tidak memenuhi
ketentuan dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayarannya.
Sebagai surat yang mempunyai kuasa hukum yang pasif, tentu memiliki cirri-ciri dan
kriteria tersendiri. Dalam Undang-undang no. 19 tahun 2000 sebagai perubahan atas
Undang-undang no.19 tahun 1997 Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa fisik dari surat
paksa sendiri di bagian kepalanya bertuliskan “Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Dalam Pasal 7 ayat 2 disebutkan bahwa surat paksa sekurang-kurangnyaharus memuat:

1) Nama Wajib Pajak atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak
2) Dasar penagihan
3) Besarnya utang pajak
4) Perintah untuk membayar

Selain kriteria di atas, surat paksa juga mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1) Surat paksa langsung dapat digunakan tanpa bantuan putusan peradilan dan tidak
dapat digunakan untuk mengajukan banding.
2) Mempunyai kedudukan hukum yangsama dengan grosse akte, yaitu putusan peradilan
perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3) Mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak dan biaya penagihannya
4) Dapat dilanjutkan dengan tindakan penagihan penyanderaan.

Secara teori surat paksa diterbitkan setelah surat teguran atau surat peringatan atau
surat lain sejenis yang diterbitkan oleh pejabat. Pasal 8 ayat 1 menerangkan tentang
sebab-sebab penerbitan surat paksa, yaitu:

1) Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telahditerbitkan surat
teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis
2) Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketikadan sekaligus
3) Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Surat paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:

1. Penanggung pajak
2. Orang dewasa yang tinggal bersama ataupun bekerja di tempat usaha penanggung
pajak, apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai
3. Salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya
apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi
4. Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah
dibagi.

Surat paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:

1. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal


2. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan, apabila Jurusita Pajak
tidak dapat menjumpai salah seorang.
Apabila utang pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu 2×24 jam
setelah surat paksa diberitahukan, maka pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan
penyitaan. Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan
pelaksanaan Surat Paksa dan apabila Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa
diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas atau Balai Harta Peninggalan.
Sedangkan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi,Surat Paksa
diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untukmelakukan pemberesan atau
likuidator.

3) Surat Penyitaan
Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebit lanjut setelah Surat Paksa. Surat
Penyitaan diterbitkan apabila utang pajak belum dilunasidalam jangka waktu 2×24 jam
setelah Surat Paksa diberitahukan, untuk itu maka dapat dilakukan tindakan penyitaan
atas barang-barang Wajib Pajak. Dalam penagihan pajak dengan surat paksa, juru sita
pajak berwenang melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan Wajib Pajak. Untuk
melaksanakan penyitaan barang milik Penanggung Pajak tersebut diperlukan suatu
prosedur yang mengatur secara rinci, jelas dan tegas yang meliputi status, nilai serta
tempat penyimpanan atau penitipan barang sitaan milik Penanggung Pajak dengan tetap
memberikan perlindungan kepentingan pihak ketiga maupun masyarakat Wajib Pajak.
Menurut Undang-undang no. 19 tahun 2000 tentang Penagihan Dengan Surat Paksa,
Penyitaan adalah tindakan juru sita pajak untuk menguasai barang dengan penanggungan
pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-
undangan.
Sedangkan penyitaan menurut Hadi (2001:4), yaitu serangkaian tindakan dari juru sita
pajak yang dibantu oleh 2 orang saksi untuk menguasai barang-barang dari Wajib Pajak,
guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak sesuai dengan perundang-undangan.
Undang-undang no.19 tahun 2000 Pasal 14 ayat 1 menjelaskan bahwa penyitaan dapat
dilaksanakan terhadap milik Wajib Pajak yang berada di tempat tinggal, di tempat usaha,
di tempat kedudukan atau di tempat lain termasuk penguasaannya yang berada di tangan
pihak lain yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang
tertentu, berupa:

1. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan kapal dengan isi kotor tertentu
2. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening koran ataupun bentuk lainnya.

Barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan adalah:

a. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung
pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
b. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan
memasak yang berada di rumah.
c. Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperbolehkan dari Negara.
d. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alat-
alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan.
e. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan
atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000 (dua
puluh juta rupiah). Besarnya nilai peralatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah.
f. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga
yang menjadi tanggungan. Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang
telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Terhadap
barang yang telah disita tersebut, Jurusita Pajak menyampaikan SuratPaksa kepada
Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Pengadilan Negeri dalam
sidang berikutnya menetapkan barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang
pajak.Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan pembagian
hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak mendahului Negara untuk
tagihan pajak.

Hak mendahului untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahului lainnya, kecuali
terhadap:

1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang


suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak.
2) Biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang tersebut.
3) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan

Penyitaan tambahan dapat dilaksakan apabila:

1. Nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang
pajak.
2. Hasil pelelangan barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan
pajak dan utang pajak.

Penyitaan dilakukan oleh juru sita pajak yang telah disumpah terlebih dahulu dengan
didampingi oleh 2 orang saksi, penduduk Indonesia yang telah dewasa, yang dikenal juru
sita pajak dan dapat dipercaya(undang-undang No 19 tahun 2000 tentang Penagihan
dengan Surat Paksa).
Tujuan dilakukannya penyitaan adalah untuk memperoleh jaminan pelunasan utang
pajak dari penanggung pajak. Setiap pelaksanaan penyitaan, juru sita pajak membuat
berita acara pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh juru sita pajak, penanggung pajak
dan saksi-saksi.Jika penanggung pajak adalah badan maka berita acara pelaksanaan sita
ditandatangani oleh pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung pajak,
pemilik modal atau pegawai tetap perusahaan.
Salinan berita acara pelaksanaan sita dapat ditempelkan di tempat umum dan berlaku
sebagai pemberitahuan maksud tindakan juru sita pajak pada penanggung pajak atas
barang yang disita atau diberi segel sita.
Penyitaan dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup
untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.Hal lainnya yang dapat disita
diatur dengan peraturan pemerintah.Pencabutan sita dilaksanakan apabila penanggung
pajak telah melunasi biaya penagihan dan utang pajak atau berdasarkan putusan
pengadilan atau putusan Badan Peradilan Pajak atau ditetapkan lain dengan Keputusan
Menteri Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah.

4) Lelang
Apabila Wajib Pajak telah melunasi utang pajak tetapi belum melunasi biaya
penagihan pajak maka penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita tetap
dapat dilakukan.
Pengertian lelang menurut Keputusan Menteri Keuangan no.13/KMK.01/2002, yaitu
lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara langsung maupun
media elektronik dengan carapenawaran harga secara lisan dan tertulis melalui usaha
pengumpulan peminat atau calon pembeli. Apabila Wajib Pajak atau penanggung pajak
tidak melunasi kewajiban perpajakannya dan terhadap fiskus telah melakukan segala
upaya hukum agar Wajib Pajak atau penanggung pajak melunasi kewajiban
perpajakannya dengan jalan menyampaikan Surat Teguran, Surat Paksa dan melakukan
penyitaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka barang-barang milik Wajib Pajak
atau penanggung pajak dapat dilelang oleh Kantor Lelang Negara.
Pengertian lelang menurut Rusdji (2005:26), yaitu setiap penjualan barang dimuka
umum dengan cara penawaran harga secara lisan atau tertulis melalui pengumpulan calon
pembeli.

Syarat-syarat lelang
Syarat yang terkandung dalam pengertian lelang adalah:

a. Lelang dilakukan dimuka umum.


b. Lelang dilakukan berdasarkan hukum.
c. Lelang dilakukan dihadapan pejabat.
d. Lelang dilakukan dengan penawaran harga.
e. Lelang dilakukan dengan usaha pengumpulan peminat.
f. Lelang ditutup dengan berita acara.

Pencegahan dan Penyanderaan

3) Pencegahan
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak
tertentu untuk keluar dari wilayah Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencegahan berkaitan dengan tindakan
untuk mencegah agar wajib pajak dan penanggung pajak itu tidak berpergian jadi, supaya
ada hal-hal agar penagihan itu bisa dilaksanakan secara maksimal
Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai
jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000,00 dan diragukan itikad
baiknya dalam melunasi utang pajak. Pencegahan dapat dilakukan berdasarkan keputusan
pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan Pejabat atau atasan
Pejabat yang bersangkutan. Jangka waktu pencegahan paling lama 6 bulan dan dapat
diperpanjang selama-lamanya 6bulan.

4) Penyanderaan
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak
dengan menempatkannya di tempat tertentu. Penyanderaan yang dimaksud adalah
pengekangan kebebasan bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang belum melunasi
kewajibannya, sementara yang bersangkutan sudahh diberi teguran, peringatan secara
tertulis maka dari itu wajib pajak atau penanggung pajak tersebut di sandera.
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai
jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp 100.000.000,00 dan diragukan itikad
baiknya dalam melunasi utang pajak. Penyanderaan hanya dapat dilakukan berdasarkan
Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat ijin tertulis
dari Menteri Keuangan atau Gubernur Kepala Daerah Propinsi. Masa penyanderaan
paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang slama-lamanya 6 bulan.
Tujuan penyanderaan ini adalah agar pihak-pihak yang mempunyai hubungan atau
bahkan wajib pajak atau penanngung pajak itu sendiri diharapkan untuk terbuka supaya
segera melaksanakan terlepas penyanderaan itu bisa digugat.

Gugatan

Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah


Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang hanya dapat diajukan kepada Pengadilan
Pajak. Dalam hal gugatan Penanggung Pajak dikabulkan, Penanggung Pajak dapat memohon
pemulihan nama baik dang anti rugi kepada Pejabat paling banyak Rp 5.000.000,00.
Perubahan besarnya ganti rugi ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan atau
Keputusan Kepala Daerah. Gugatan diajukan dalam jangka waktu 14 hari.

Permohonan Pembetulan Atau Penggantian

Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada


Pejabat terhadap Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat
Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga
Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan. Dalam jangka waktu 7
hari sejak tanggal diterima permohonan tersebut, Pejabat harus memberi keputusan atas
permohonan yang diajukan. Apabila dalam jangka waktu tersebut Pejabat tidak memberikan
keputusan, maka permohonan Penanggung Pajak dianggap dikabulkan dan penagihan ditunda
untuk sementara waktu.

Ketentuan Pidana

Penanggung Pajak dilarang:

5. Memindahkan hak, memindah tangankan, menyewakan, meminjamkan,


menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yangtelah disita.
6. Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk
pelunasan utang tertentu.
7. Membebani barang bergerak yangtelah disita dengan fiducia atau diagunkan untuk
pelunasan utang tertentu.
8. Merusak, mencabut, atau menghilakngkan segel sita atau salinan Berita Acara
Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barang sitaan.

Penanggung pajak yang melanggar ketentuan ini dipidana dengan pidana penjara paling
laam 4 tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00. Setiap orang yang dengan sengaja
tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang, atau
dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan tindakan maka akan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu, dan denda paling banyak Rp
10.000.000,00.

8. Sebutkan dan jelaskan jenis sengketa pajak dan cara penyelesaian sengketanya!
Jawaban :
A. Jenis-jenis Sengketa Pajak
Jenis sengekta pajak yang mungkin timbul sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan adalah:

1. Yang penyelesaiannya di Ditjen Pajak, yaitu:


1. Pembetulan ketetapan pajak.
2. Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
3. Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak.
4. Keberatan.
2. Yang penyelesaiannya di Pengadilan Pajak, yaitu:
1. Banding.
2. Gugatan.
3.  Yang penyelesaiannya di Mahkamah Agung, yaitu peninjauan kembali (PK).

B. Cara Penyelesaian Sengketa Pajak

1) Pembetulan Ketetapan Pajak


Pembetulan ketetapan pajak di atur di pasal 16 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang KUP Tahun 1984),
yang pada prinsipnya mengatur pembetulan ketetapan pajak atau surat tagihan pajak
karena terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pembetulan ketetapan pajak bercirikan hal-hal sebagai berikut :
Pembetulan dapat dilakukan atas :
 Surat Ketetapan Pajak (SKPKB, SKPKBT, SKPLB, dan SKPN).
 Surat Tagihan Pajak.
 Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
 Surat Keputusan Keberatan.
 Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi.
 Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak.
 Kesalahan yang dibetulkan adalah kesalahan yang manusiawi, tidak
mengandung sesuatu yang dipersengketakan atau mengandung argumentasi
yuridis.
 Pembetulan dapat dilakukan secara jabatan oleh fiskus atau permohonan
Wajib Pajak dan bisa dilakukan lebih dari satu kali pembetulan

Ruang lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas pada kesalahan atau
kekeliruan sebagai akibat dari:

1. kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor
Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau
Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;
2. kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau
pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
3. kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan
penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan
penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak,
kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan
dalam pengkreditan pajak.

Pengertian “membetulkan”, antara lain adalah menambahkan, mengurangkan, atau


menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.
Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan
ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat
mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
Persyaratan permohonan pembetulan adalah dengan diajukan secara tertulis dengan
bahasa Indonesia melalui KPP tempat WP terdaftar, dengan melampirkan :
 Alasan pengajuan permohonan.
 Fotocopy surat yang diajukan permohonannya
 Satu surat untuk satu keputusan/ketetapan pajak
 Tidak ada batas waktu paling lambat kapan permohonan pembetulan harus
diajukan.

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak
tanggal surat permohonan harus memberikan keputusan. Apabila dalam jangka waktu
tersebut belum ada keputusan, maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
Keputusan tersebut dapat:
 Menerima seluruhnya.
 Menerima sebagian.
 Menolak.

2) Pengurangan/Penghapusan Sanksi Administrasi


Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP Tahun 1984 mengatur pengurangan
atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terhutang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya. Sanksi
administrasi yang dikurangkan atau dihapuskan tersebut dapat berasal dari ketetapan
pajak atau surat tagihan pajak.
Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib
Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak
yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian,
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat
dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda,
dan kenaikan harus memenuhi syarat-syarat sbb :

1. permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan


memberikan alasan yang jelas dan meyakinkan untuk mendukung permohonannya;
2. disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Dirjen Pajak melalui KPP yang
mengenakan sanksi administrasi tersebut;
3. tidak melebihi jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Pajak kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak kurang
Bayar Tambahan, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka
waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya;
4. permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi hanya boleh
diajukan oleh Wajib Pajak yang tidak mengajukan keberatan atas ketetapan
pajaknya dan diajukan atas suatu Surat Tagihan Pajak, suatu Surat Ketetapan Pajak
kurang Bayar, atau suatu Surat Ketetapan Pajak kurang Bayar Tambahan;

Keputusan atas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi


dikeluarkan oleh Dirjen Pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan
diterima sehingga apabila jangka waktu ini telah lewat dan Dirjen Pajak tidak memberi
suatu keputusan maka permohonan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

3) Pengurangan/Pembatalan Ketetapan Pajak Yang Tidak Benar


Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP 1984, Dirjen
Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur
keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar,
misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi
persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun
persyaratan material terpenuhi.
Permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:

1. permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan


memberikan alasan yang jelas dan meyakinkan untuk mendukung permohonannya
dengan satu surat untuk satu ketetapan pajak;
2. menyebutkan jumlah pajak terutang menurut Wajib Pajak.

Keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak harus


dikeluarkan oleh Dirjen Pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan
diterima sehingga apabila jangka waktu ini telah lewat dan Dirjen Pajak tidak memberi
suatu keputusan maka permohonan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

4) Keberatan
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan
atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan
keberatan hanya kepada Dirjen Pajak.
Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu
jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah
besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan “suatu”
pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1
(satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak.
Keberatan hanya dapat diajukan atas SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN dan
pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Syarat permohonan keberatan :

 Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;


 Mencantumkan perhitungan pajak menurut WP disertai alasan-alasan yang
menjadi dasar penghitungan pajak berupa alasan-alasan yang jelas dan dilampiri
dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau bukti pemotongan;
 Diajukan satu surat permohonan untuk satu ketetapan/keputusan pajak
 Keberatan diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal surat, tanggal
pemotongan atau pemungutan, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan
bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
Apabila surat keberatan tidak lengkap atau tidak memenuhi persyaratan maka tidak
dianggap sebagai surat keberatan. Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan
Ditjen Pajak atau melalui pos tercatat menjadi bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut
bagi kepentingan Wajib Pajak.
Apabila diminta Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, maka Dirjen
Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan,
pemotongan, atau pemungutan pajak.
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak, dan Dirjen Pajak
dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus
memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila dalam jangka waktu yang telah
ditentukan Dirjen Pajak tidak memberikan jawaban, maka keberatan dianggap diterima.
Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak dalam hal Wajib Pajak
mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan. Surat
ketetapan pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib Pajak tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan meskipun telah ditegur secara
tertulis, tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan, atau menolak untuk
memberikan kesempatan kepada pemeriksa memasuki tempat-tempat tertentu yang
dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan besarnya jumlah pajak
yang terutang. Apabila Wajib Pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran surat
ketetapan pajak secara jabatan, pengajuan keberatannya ditolak
Keputusan Dirjen Pajak dapat berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian,
menolak atau menambah jumlah pajak terutang.

5) Banding
Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Yang dimaksud dengan
keputusan yang dapat diajukan banding adalah surat keputusan keberatan dalam hal WP
belum puas dengan keputusan tersebut.
Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli, warisnya, seorang pengurus, atau
kuasa hukumnya. Apabila selama proses Banding, pemohon Banding meninggal dunia,
Banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau
pengampunya dalam hal pemohon Banding pailit atau apabila selama proses Banding
pemohon Banding melakukan penggabungan, pefeburan, pemecahan/pemekaran usaha,
atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima
pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha,
atau likuidasi dimaksud.

Syarat-syarat pengajuan banding :

1. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada


Pengadilan Pajak.
2. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima
Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan.
3. Jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas tidak mengikat apabila jangka waktu
dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon
Banding.
4. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
5. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan
tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
6. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding.
7. Selain dari persyaratan sebagaimana di atas; dalam hal Banding diajukan terhadap
besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila
jumlah yang terutang dlmaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).

Terhadap Banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan


Pajak Banding yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihapus dari daftar
sengketa dengan:

1. penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang
dilaksanakan;
2. putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan
pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding.

Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan sebagaimana di atas, tidak
dapat diajukan kembali.

Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa:

1. menolak;
2. mengabulkan sebagian atau seIuruhnya;
3. menambah Pajak yang harus dibayar;
4. tidak dapat diterima;
5. membetulkah kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau
6. membatalkan.
Terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau
Kasasi.

6) Gugatan
Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagjhan Pajak atau terhadap keputusan yang
dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
Gugatan hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Pajak terhadap:

1. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau


Pengumuman Lelang;
2. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
3. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain
yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
4. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam
penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Syarat-syarat pengajuan gugatan :

1. Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan


Pajak.
2. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan
Pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
3. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan selain Gugatan
nomor 2  adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima keputusan yang
digugat.
4. Jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas tidak mengikat apabila jangka
waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan
penggugat.
5. Perpanjangan jangka waktu karena diluar kekuasaan penggugat adalah 14 harit
terhitung sejak berakhirnya keadaan diluar kekuasaan penggugat.
6. Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1
(satu) Surat Gugatan.

Yang dapat mengajukan gugatan:

Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa
hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima,
pelaksanaan penagihan, atau Keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen
yang digugat.

1. Apabila selama proses Gugatan penggugat meninggal dunia. Gugatan dapat


dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya
dalam hal penggugat pailit.
2. Apabila selama proses Gugatan, penggugat melakukan penggabungan, peleburan,
pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat
dilanjutkan oleh pihak yang menerina pertanggungjawaban karena penggabungan,
peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.

Terhadap Gugatan, dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan


Pajak Gugatan yang dicabut/dihapus dari daftar sengketa dengan:
1. penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang
2. putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan
pencabutan diajukan setelah sidang atas persetujuan tergugat.

Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan tersebut tidak dapat
diajukan kembali.
Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan Pajak atau
kewajiban perpajakan. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut
pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan Sengketa Pajak sedang
berjalan, sampai ada putusan Pengadilan Pajak. Permohonan tersebut dapat diajukan
sekaligus dalam Gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
Permohonan penundaan  dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat
mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika pelaksanaan
penagihan Pajak yang digugat itu dilaksanakan

Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa:

1. menolak;
2. mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
3. menambah Pajak yang harus dibayar;
4. tidak dapat diterima;
5. membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau
6. membatalkan.
Terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau Kasasi.

7) Peninjauan Kembali
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap. Pengadilan Pajak dapat mengeluarkan putusan sela atas Gugatan berkenaan
dengan permohonan. Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan
kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.
Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3)
hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.
Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan
putusan Pengadilan Pajak. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum
diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak
dapat diajukan lagi.
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan
sebagai berikut :

1. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
2. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang
apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan
putusan yang berbeda;
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut;
4. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya; atau
5. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan
terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim
pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap
Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan
terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus
dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali dengan
ketentuan:

1. dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan peninjauan kembali


diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan
Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara biasa;
2. dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima
oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak
mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat.

Putusan atas permohonan peninjauan kembali tersebut harus diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.

Anda mungkin juga menyukai