Anda di halaman 1dari 28

KELOMPOK 2 PRO PIDANA PENJARA

Diajukan untuk memenuhi Tugas Kelompok Hukum Sanksi

DISUSUN OLEH:
Afmi Alfiani Rahmah (2019200002)
Helda Nurmawadah (2019200021)
Nurfiandi Lesmana (2019200188)

KELAS: C

DOSEN PENGAMPU:
Pathorang Halim, S.H., M.H.
Dr. Aby Maulana, S.H., M.H.

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas kelompok makalah yang
berjudul “Pro Pidana Penjara” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dosen pada Mata Kuliah Hukum Sanksi. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang masih relevannya pidana penjara
dengan sistem pemidanaan di Indonesia dan kedudukan pidana penjara dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Pathorang Halim, S.H.,
M.H. dan Bapak Dr. Aby Maulana, S.H., M.H. selaku dosen Mata Kuliah Hukum
Sanksi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari, makalah yang saya susun ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 22 Maret 2022

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................2

BAB II.....................................................................................................................3

PEMBAHASAN.....................................................................................................3

A. Pidana Penjara...............................................................................................3

1. Pengertian..................................................................................................3

2. Pengaturan Pidana Penjara Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(KUHP).............................................................................................................5

3. Efektivitas Pidana Penjara.........................................................................8

B. Pandangan Penegak Hukum tentang Pidana Penjara....................................9

1. Pandangan Polisi tentang Pidana Penjara..................................................9

2. Pandangan Jaksa tentang Pidana Penjara................................................11

3. Pandangan Hakim tentang Pidana Penjara..............................................13

4. Pandangan Penasehat Hukum tentang Pidana Penjara............................16

BAB III..................................................................................................................20

PENUTUP.............................................................................................................20

A. Kesimpulan.................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Keberadaan Pidana Penjara sebagai pidana pokok di dalam Wetboek van
Strafrecht (WvS) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
ternyata dimanfaatkan oleh negara khususnya penegak hukum untuk
mengefektifkan norma-norma yang ada di dalam aturan perundang undangan,
bukan saja dalam Hukum Pidana tetapi peraturan perundang-undangan lainnya
pun selalu mencantumkan sanksi berupa Pidana Penjara.1
Pidana penjara sebagai bentuk hukuman ataupun derita, sekarang ini
belum dapat dicari penggantinya apalagi dihapuskan. Bila dihitung untung
rugi dari pidana penjara, belum ada hasil penelitian yang mengatakan lebih
banyak ruginya bagi pelaku begitupun sebaliknya. Pidana penjara sebagai
salah satu pilihan aman untuk menjadikan pelaku jera, tobat atau taat hukum,
sangat bergantung dari penilaian orang yang dirugikan langsung ataupun
anggota keluarga masyarakat bahkan negara sekalipun.2
Pidana Penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat dalam
sistem hukum pidana di Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Pasal 10
KUHP. Pidana Penjara menurut Pasal 12 ayat (1) KUHP terdiri dari:
1. Pidana Penjara seumur hidup, dan
2. Pidana Penjara selama waktu tertentu.3
Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling
sering digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Penggunaan pidana penjara sebagai sarana untuk menghukum para pelaku
1
Pandjaitan, Petrus Irwan dan Samuel Kikilaitety. 2007. Pidana Penjara Mau Kemana. Jakarta:
Ind Hill Co. hal. v.
2
Pandjaitan, Petrus Irwan dan Chairijah. 2009. Pidana Penjara (Dalam Perspektif Penegak
Hukum, Masyarakat dan Narapidana). Jakarta: Ind Hill Co. hal. 87.
3
Hamzah, Andi. 2011. KUHP dan KUHAP, Ed. Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. hal. 6.

1
2

tindak pidana baru dimulai pada akhir abad ke-18 yang bersumber pada faham
individualisme dan gerakan perikemanusiaan, maka pidana penjara ini
semakin memegang peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati
dan pidana badan yang dipandang kejam.4 Sebagai catatan, dari seluruh
ketentuan KUHP memuat perumusan delik kejahatan, yaitu sejumlah 587
(perhitungan ini tidak hanya didasarkan pada jumlah pasal, tetapi juga pada
perumusan delik dalam setiap delik dan setiap ayat. Bila dalam satu pasal
disebut beberapa delik dalam pasal lain, maka perumusan delik dan ancaman
pidana untuk masing-masing pasal atau ayat lain itu juga diperhitungkan
sendiri-sendiri), pidana penjara tercantum di dalam 575 perumusan delik
(kurang lebih 97,96%), baik dirumuskan secara tunggal maupun dirumuskan
secara alternatif dengan jenis-jenis pidana lain.5 Ketentuan tersebut masih
ditambah lagi/belum termasuk dengan perumusan sanksi pidana penjara di
luar yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP.6
Atas dasar hal tersebut maka pidana penjara yang merupakan primadona
dalam sistem sanksi pidana yang paling sering dijatuhkan oleh hakim dalam
memutus perkara.7

2. Rumusan Masalah
1. Apakah pidana penjara itu masih relevan dengan sistem pemidanaan di
Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan pidana penjara dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)?

4
Arief, Barda Nawawi. 1996. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. hal. 42.
5
Ibid. hal. 69-70
6
Priyatno, Dwidja. 2013. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Cet. 3). Bandung: PT
Refika Aditama. hal. 2.
7
Ibid.
3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pidana Penjara

3. Pengertian
Menurut P.A.F. Lamintang mengemukakan pidana penjara adalah
suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang
terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah
lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati
semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga
pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi
mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.8
Roeslan Saleh menyatakan bahwa pidana penjara adalah pidana
utama di antara pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dapat
dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu.9 Barda
Nawawi Arief menyatakan bahwa pidana penjara tidak hanya
mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat
negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemer
dekaan itu sendiri. Akibat negatif itu antara lain terampasnya juga
kehidupan seksual yang normal dari seseorang, sehingga sering terjadi
hubungan homoseksual dan masturbasi di kalangan terpidana. Dengan
terampasnya kemerdekaan seseorang juga berarti terampasnya
kemerdekaan berusaha dari orang itu yang dapat mempunyai akibat serius
bagi kehidupan serius bagi kehiduapn sosial ekonomi keluarganya.
Terlebih pidana penjara itu dikatakan dapat memberikan cap jahat (stigma)
yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak lagi
8
Lamintang, P.A.F. 1988. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Armico. hal. 69
9
Saleh, Roeslan. 1983. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru. hal. 62.

4
5

melakukan kejahatan. Akibat lain yang juga sering disoroti ialah bahwa
pengalaman penjara dapat menyebabkan terjadinya degradasi atau
penurunan derajat dan harga diri manusia.10 Menurut Andi Hamzah
Pidana Penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan
kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam
bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan, misalnya di Rusia
pengasingan ke Siberia dan juga berupa pembuangan ke seberang lautan,
misalnya dahulu pembuangan penjahat-penjahat Inggris ke Australia. Pada
zaman kolonial di Indonesia dikenal juga sistem pengasingan yang
didasarkan pada hak istimewa Gubernur Jenderal (exorbitante), misalnya
pengasingan Hatta dan Syahrir ke Boven Digoel kemudian ke Neira,
pengasingan Soekarno ke Endeh kemudian ke Bengkulu. Jadi dapat
dikatakan bahwa pidana penjara pada dewasa ini merupakan bentuk utama
dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan. Dahulu kala pidana
penjara tidak dikenal di Indonesia (Hukum Adat). Yang dikenal ialah
pidana pembuangan, pidana badan berupa pemo tongan anggota badan
atau dicambuk, pidana mati dan pidana denda atau berupa pembayaran
ganti rugi.11
Jan Remmelink, sehubungan dengan pidana penjara juga
menyatakan bahwa pidana penjara adalah satu bentuk pidana perampasan
kemerdekaan (pidana badan) terpenting. Di Negeri Belanda bahkan dimuat
persyaratan penjatuhannya dimuat dalam UUD Belanda yang baru Pasal
113 (3), dengan menetapkan persyaratan bahwa ia hanya boleh dijatuhkan
oleh Hakim (pidana).12
Berdasarkan uraian tersebut di atas pada prinsipnya bahwa pidana
penjara berkaiatan erat dengan pidana perampasan kemerdekaan yang
10
Arief, Barda Nawawi. op.cit., hal. 44.
11
Hamzah, Andi. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita. hal.
36-37.
12
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana (Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Paparannya Dalam Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia) Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal. 465.
6

dapat memberikan cap jahat dan dapat menurunkan derajat dan harga diri
manusia apabila seseorang dijatuhi pidana penjara.

4. Pengaturan Pidana Penjara Dalam Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (KUHP)
Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu
sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) KUHP dan pidana penjara selama waktu
tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun
berturut-turut berdasarkan Pasal 12 ayat (2) KUHP.13 Adapun Pasal 12
ayat (3) KUHP menyatakan:
Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua
puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya
Hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup
dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antara pidana
penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima
belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus),
pengulangan (recidivie) atau karena ditentukan dalam Pasal 52
dan 52a (LN 1958 No. 127).14
Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih
dari duapuluh tahun (Pasal 12 ayat (4) KUHP). 15 Batas dua puluh tahun
harus dipandang sebagai batas absolut, argumen ini muncul dari MvT
yang merupakan penjelasan dari Pasal 10 (4) WvS Belanda bahwa orang-
orang berapapun umurnya yang menjalani pidana penjara 20 tahun tanpa
terputus-putus kemungkinan besar akan kehilangan kemampuan dan
kesiapan untuk kembali menjalani kehidupan bebas. Sebab itu ditetapkan
bahwa dengan alasan apapun juga tidak diperkenankan menjatuhkan
13
Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP. op.cit. hal. 6.
14
Negara Republik Indonesia. 1958. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan
Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum
Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660.
Jakarta: Sekretariat Negara.
15
Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP. loc.cit. hal. 6.
7

pidana penjara lebih dari apa yang ditetap ketentuan Pasal 10 (4) (KUHP
Indone sia Pasal 12 ayat (4) KUHP).16
Penjatuhan Pidana seumur hidup diterima namun dengan sejumlah
kritik. Alasannya menurut (mantan) menteri kehakiman Belanda,
Modderman, adalah karena pada prinsipnya pidana demikian tidak akan
berdaya guna (efektif). Akan tetapi karena takut masuknya kembali pidana
mati ke dalam sistem hukum (Belanda), ia kemudian mencakupkan sanksi
pidana ini, yakni tindakan membuat terpidana tidak berdaya secara
permanen poena proxima morti (pidana yang berada paling dekat dengan
pidana mati). Dalam arti juridikal murni, seumur hidup akan berarti
sepanjang hayat dikandung badan. Hanya melalui upaya hukum luar biasa,
grasi, pidana penjara seumur hidup dapat diubah menjadi pidana penjara
sementara, misal untuk selama 20 tahun.17 Di Indonesia Pidana penjara
seumur hidup dapat diubah (dikomutasi) menjadi pidana sementara waktu.
Berdasarkan Pasal 9 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174
Tahun 1999 Tentang Remisi, dinyatakan bahwa:
(1) Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan
telah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut
serta berkelakuan baik, dapat diubah pidananya menjadi pidana
penjara sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harus
dijalani paling lama 15 (lima belas) tahun.
(2) Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana
sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
(3) Permohonan perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi
pidana penjara sementara diajukan narapidana yang
bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan

16
Remmelink, Jan. op.cit. hal. 465.
17
Ibid. hal. 466.
8

Perundang-undangan.18 (Dalam Kabinet Indonesia Maju, 2019


disebut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia).
Jenis sanksi pidana yang pada umumnya dicantumkan dalam
perumusan delik menurut pola KUHP, menggunakan sembilan bentuk
perumusan ancaman pidana, yaitu:
1) Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara
tertentu;
2) Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu;
3) Diancam dengan pidana penjara (tertentu);
4) Diancam dengan pidana penjara atau kurungan;
5) Diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau denda;
6) Diancam dengan pidana penjara atau denda;
7) Diancam dengan pidana kurungan;
8) Diancam dengan pidana kurungan atau denda; dan
9) Diancam dengan pidana denda.
Bentuk perumusan yang berhubungan dengan pidana penjara yaitu
nomor 1 (satu) sampai dengan nomor 6 (enam). Dari kesembilan
perumusan di atas terlihat, khususnya untuk perumusan pidana penjara,
KUHP menempuh dua sistem perumusan:
a. Sistem perumusan tunggal, yaitu pidana penjara dirumuskan sebagai
satu-satunya jenis sanksi pidana untuk delik yang bersangkutan; dan
b. Sistem perumusan alternatif, yaitu pidana penjara dirumuskan secara
alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya sampai yang paling
ringan.19
Sistem tunggal untuk kejahatan dalam KUHP, khusus untuk pidana
penjara saja, merupakan bentuk perumusan yang paling banyak digunakan,
yaitu ada sejumlah 395 kejahatan atau sekitar 67,29%. Jumlah ini lebih
banyak lagi apabila digabung dengan delik-delik yang diancam dengan
18
Negara Republik Indonesia. 1999. Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi,
Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 223. Jakarta: Sekretariat Negara.
19
Arief, Barda Nawawi. op.cit., hal. 151-152.
9

"pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu" (bentuk perumusan


nomor 2), yang berjumlah 18 delik atau 3,07%. Bentuk perumusan nomor
2 inipun pada hakekaknya merupakan sistem tunggal, yaitu hanya diancam
dengan satu jenis pidana penjara saja.20
Sistem perumusan alternatif yang paling banyak digunakan di
dalam KUHP ialah berupa ancaman pidana penjara atau denda. Bentuk
perumusan seperti ini terdapat dalam 118 perumusan kejahatan atau sekitar
20,10 %.21

5. Efektivitas Pidana Penjara


Menurut Barda Nawawi Arief, efektivitas pidana penjara dapat
ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek
perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si pelaku. Yang dimaksud
dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah,
mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan
keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan konflik,
mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan,
menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di
dalam masyarakat); sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan si
pelaku meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan rehabilitasi dan
memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan
sewenang-wenang di luar hukum.
a. Dilihat dari Aspek Perlindungan Masyarakat
Dilihat dari aspek perlindungan/kepentingan masyarakat maka
suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat
mencegah atau mengurangi kejahatan. Jadi, kriteria efektivitas dilihat
dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain,
kriterianya terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum

20
Arief, Barda Nawawi. op.cit., hal. 152.
21
Ibid.
10

(general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah warga


masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan.22
b. Dilihat dari Aspek Perbaikan si Pelaku
Dilihat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektivitas
terletak pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dari
pidana. Jadi, ukurannya terletak pada masalah seberapa jauh pidana itu
(penjara) mempunyai pengaruh terhadap si pelaku/terpidana. Ada dua
aspek pengaruh pidana terhadap terpidana, yaitu aspek pencegahan
awal (deterent aspect) dan aspek perbaikan (reformative aspect).
Aspek pertama (deterent aspect), biasanya diukur dengan
menggunakan indikator residivis. Berdasarkan indikator inilah
RM. Jackson menyatakan, bahwa suatu pidana adalah efektif apabila
si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode tertentu.
Selanjutnya ditegaskan, bahwa efektivitas adalah suatu pengukuran
dari perbandingan antara jumlah pelanggar yang dipidana kembali dan
yang tidak dipidana kembali. Aspek kedua yaitu aspek perbaikan
(reformative aspect), berhubungan dengan masalah perubahan sikap
dari terpidana.23

B. Pandangan Penegak Hukum tentang Pidana Penjara

1. Pandangan Polisi tentang Pidana Penjara


Polisi sebagaimana tugasnya menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menunjukkan
keterkaitannya dalam proses peradilan pidana.24 Sebagai pihak pertama
22
Arief, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya
Bakti. hal. 224-225.
23
Ibid. hal. 225.
24
Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4168. Jakarta: Sekretariat Negara. Pasal 12, Tugas Pokok Kepolisian Negara RI adalah: a.
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, b. menegakkan hukum dan c. memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, Pasal 15 h, Polisi berwenang
11

yang mempersangkakan seseorang itu sebagai pelaku kejahatan,


menunjukkan awal dari proses penjatuhan hukuman. Ketepatan Polisi
membuat Berkas Perkara yang diteruskan kepada Jaksa Penuntut Umum,
memberi kesan Polisi mengharapkan pidana yang diberikan kepada pelaku
dapat membuat jera dan masyarakat mendapat keadilan. Bila hal ini
terlaksana, maka Polisi telah melaksanakan salah satu tugas dan
wewenangnya, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Di
sini nyata, bahwa Polisi menganggap pidana penjara itu untuk
menanggulangi kejahatan.25
Hal ini sejalan dengan pikiran Dr. Sahardjo, S.H. (Mantan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia pada Kabinet Kerja I, II, III, 10
Juli 1959-13 November 1963) mengenai pemasyarakatan, yang
menghendaki narapidana itu tidak mengulangi perbuatannya. Apabila hal
itu dapat diwujudkan narapidana, maka prinsip pemasyarakatan
ditegakkan.26 Dengan demikian, Polisi memiliki keyakinan akan manfaat
atau hasil dari suatu hukuman.27
Sebagaimana kita ketahui, bahwa di dalam prinsip pemasyarakatan
itu dikatakan fungsi pidana penjara bukan untuk balas dendam dari negara
terhadap pelaku kejahatan, tetapi mempunyai fungsi pemasyarakatan.
Dalam hal ini fungsi itu dilaksanakan oleh lembaga pemasyarakatan.28
Dari pandangan Polisi tentang pidana penjara, maka dapat ditarik
kesimpulan, bahwa:

mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang, Pasal 16 a, melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan pengintaian, Pasal 16 i, menyerahkan berkas perkara
kepada Penuntut umum.
25
Pandjaitan, Petrus Irwan dan Chairijah. Pidana Penjara (Dalam Perspektif Penegak Hukum,
Masyarakat dan Narapidana). op.cit. hal. 57-58.
26
Hamzah, Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. op.cit. hal. 32.
27
Pandjaitan, Petrus Irwan dan Chairijah. Pidana Penjara (Dalam Perspektif Penegak Hukum,
Masyarakat dan Narapidana). op.cit. hal. 59.
28
Pandjaitan, Petrus Irwan dan Chairijah. Pidana Penjara (Dalam Perspektif Penegak Hukum,
Masyarakat dan Narapidana). op.cit. hal. 60.
12

1) Pidana penjara menurut pandangan Polisi pada hakikatnya untuk


melindungi masyarakat;
2) Pidana penjara itu bertujuan menjadikan ter pidana orang baik dan taat
hukum; serta membuat pelaku kejahatan jera, tobat dan takut;
3) Bagi narapidana itu bertobat atau jera harus dibekali keterampilan;
4) Pidana penjara itu dikatakan pemasyarakatan bila dapat mencegah dan
melindungi pelaku dan melindungi masyarakat;
5) Pidana penjara masih perlu di pertahankan di KUHP;
6) Selama berada di lembaga pemasyarakatan narapidana menjalani
hukuman dan pembinaan;
7) Hasil yang didapatkan selama di lembaga pemasyarakatan adalah,
narapidana sadar, taat hukum serta terampil dalam pekerjaan tertentu;
8) Lembaga pemasyarakatan selama ini sudah berfungsi sebagai tempat
pemasyarakatan;
9) Pidana penjara harus bertujuan pemasyarakatan;
10) Untuk pemasyarakatan narapidana diperlukan psikiater dan sosiolog;
11) Perlu rumah singgah dan diterima masyarakat untuk mencegah bekas
narapidana tidak mengulangi perbuatannya;
12) Narapidana harus membayar ganti kerugian dan meme nuhi kewajiban
adat bila hendak kembali ke masyarakat; dan
13) Pembinaan narpidana pasca menjalani pidana penjara harus dibina
keluarga dan diterima masyarakat.29

2. Pandangan Jaksa tentang Pidana Penjara


Jaksa tugas pokoknya menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia jo. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 30
ayat (1) huruf a dan b adalah melakukan penuntutan dan melaksanakan
29
Pandjaitan, Petrus Irwan dan Chairijah. Pidana Penjara (Dalam Perspektif Penegak Hukum,
Masyarakat dan Narapidana). op.cit. hal. 65.
13

penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan


hukum tetap.30 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 13 dan 14 Jaksa disebut sebagai
Penuntut Umum, serta memiliki wewenang antara lain: membuat surat
dakwaan, melimpahkan perkara ke pengadilan. Tugas yang paling
mendasar bagi Jaksa ialah membuat surat dakwaan atau surat tuduhan.31
Maksud dari surat tuduhan agar Hakim memeriksa dan memutuskan
apakah perbuatan yang dituduhkan dapat dijatuhi hukuman atau tidak.32
Peran surat dakwaan menjadi dasar tuntutan pidana oleh Jaksa.
Memahami ini, dapat dikatakan peranan Jaksa penuntut umum terhadap
seseorang yang menjalani pidana penjara sangat besar, di mana Jaksa
mendakwa seseorang dan dia pula yang memintakan kepada Hakim agar
dijatuhi hukuman. Di sini dapat dikatakan, bahwa Jaksa memahami, bila
kesalahan itu terbukti harus dijatuhi hukuman dan ber harap pidana
penjara yang dijalani, terpidana membuat tobat dan jera pelaku bahkan
masyarakat mendapatkan keadilan.33
Memahami hal itu, hakikat pidana penjara menurut Jaksa adalah
suatu derita agar tidak melakukan kejahatan; untuk melindungi
masyarakat; untuk memperbaiki pelaku, dan pembalasan; untuk
menderitakan pelaku, pembalasan, untuk melindungi pelaku dan
masyarakat. Pidana penjara yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan
menurut Jaksa bertujuan agar terpidana menjadi orang baik dan taat

30
Negara Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 440 jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Lembaran
Negara Tahun 2021 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6755. Jakarta: Sekretariat
Negara.
31
Negara Republik Indonesia. 1981. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209.
Jakarta: Sekretariat Negara.
32
Pandjaitan, Petrus Irwan dan Chairijah. Pidana Penjara (Dalam Perspektif Penegak Hukum,
Masyarakat dan Narapidana). op.cit. hal. 66.
33
Ibid. hal. 66-67.
14

hukum; dan masyarakat menjadi takut melakukan kejahatan, terpidana


menjadi orang baik dan taat hukum. Bagi Jaksa, hukuman adalah salah
satu alternatif agar narapidana tobat atau jera. Bagi Jaksa penuntut umum
pidana penjara itu harus dapat menghasilkan sesuatu pada diri pelaku.34
Sehubungan manfaat diperoleh pelaku saat menjalani pidana
penjara, maka hal itu menunjukkan, bahwa pidana penjara itu mengandung
pemasyarakatan. Oleh karena itu, menurut Jaksa, pidana penjara perlu
dipertahankan di KUHP yang akan datang. Perlunya pidana penjara
dipertahankan di KUHP sebagaimana pendapat Jaksa Penuntut Umum
menunjukkan, bahwa hanya dengan pidana kejahatan dapat dicegah dan
membuat pelaku jera. Di sini pidana penjara dianggap cara yang efektif,
serta sesuai dengan fungsi jaksa sebagai penegak hukum. Oleh karena itu
menurut Jaksa, saat menjalani pidana penjara narapidana cenderung
dikatakan menjalani hukuman.35

3. Pandangan Hakim tentang Pidana Penjara


Hakim seharusnya independen, bebas pengaruh, baik oleh
kekuasaan maupun politik. Di dalam negara-negara yang menganut Rule
of Law, kebebasan kehakiman merupakan hal pokok yang ditentukan
didalam undang-undang. Artinya kekuasaan kehakiman tidak boleh
dipengaruhi oleh kekuasaan lain, bila pengadilan dipengaruhi instansi lain
dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana, hal ini akan mengalami titik
rawan, karena dalam suatu negara hukum, kekuasaan kehakiman tidak
dapat dipengaruhi lembaga lain, Hakim harus mandiri, sehingga keputusan
mereka tidak saja bersifat tidak memihak secara pribadi tetapi juga tidak
memihak di mata masyarakat. Posisi Hakim sangat istimewa sehingga

34
Ibid. hal. 67-68.
35
Ibid. hal. 68.
15

dapat dikatakan, hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan yang


abstrak.36
Sejalan dengan itu, Hakim dalam sistem peradilan pidana sebagai
pihak yang menentukan seseorang itu bersalah atau tidak, dalam hal ini
bila seseorang itu terbukti bersalah, maka Hakim yang menjatuhkan
pidana. Berkaitan dengan tugas menjatuhkan pidana ini, maka Hakim
mempunyai kebebasan memilih jenis pidana (Strafsoort) yang
dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif di dalam pengancaman
pidana didalam undang-undang. Di samping itu, Hakim mempunyai
kebebasan untuk memilih beratnya pidana (Strafmaat), yang akan
dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh pembuat undang-undang hanya
minimum dan maksimumnya.37
Di samping itu, Hakim sepatutnya menjelaskan kepada terpidana
apa arti dan tujuan hukuman yang hendak dijalani di penjara, serta
keberadaan penjara di Indonesia. Bila hal ini dilakukan Hakim, maka di
sini pidana yang dijatuhkan akan berbeda apabila melihat pidana itu
sebagai sarana untuk tujuan yang bermanfaat bagi terpidana maupun
masyarakat.38 Memahami pendapat ini, ada hubungan positif antara Hakim
dan pemasyarakatan. Dengan demikian Keberhasilan pemasyarakatan
narapidana sangat bergantung pada peran Hakim. Sehubungan dengan itu,
perlu diketahui pandangan Hakim tentang pidana penjara.39
Dalam hal ini hakikat pidana penjara menurut Hakim adalah untuk
melindungi masyarakat dan untuk memperbaiki pelaku kejahatan.40
Sejalan dengan hakikat dan alasan Hakim menjatuhkan pidana
penjara, maka Hakim memiliki alasan-alasan tertentu menjatuhkan, pidana
36
Wisnubroto, Aloysius. 1997. Hakim dan Peradilan Indonesia (Dalam Beberapa Aspek Kajian).
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. hal. 2.
37
Pandjaitan, Petrus Irwan dan Chairijah. Pidana Penjara (Dalam Perspektif Penegak Hukum,
Masyarakat dan Narapidana). op.cit. hal. 72
38
Wisnubroto, Aloysius. op.cit. hal. 105.
39
Pandjaitan, Petrus Irwan dan Chairijah. Pidana Penjara (Dalam Perspektif Penegak Hukum,
Masyarakat dan Narapidana). op.cit. hal. 73
40
Ibid.
16

penjara kepada pelaku. Dengan memiliki alasan tertentu itu, maka Hakim
akan memiliki kepuasan tersendiri. Oleh karena itu, Hakim merasa puas
menjatuhkan pidana penjara karena keadilan telah ditegakkan dan karena
telah melaksanakan perintah undang-undang dan memperdulikan korban.
Dengan demikian, Hakim yakin bahwa pidana penjara itu dapat membuat
jera pelaku tindak pidana. Sehubungan dalam hal ini, Hakim menyatakan
pelaku tindak pidana menjadi jera sekaligus takut. Dari tujuan pidana yang
demikian itu menimbulkan keyakinan Hakim akan pidana yang dijatuhkan
berpengaruh pada pelaku kejahatan.41
Di sini menurut Hakim hal itu bergantung pada pelaksanaannya di
lembaga pemasyarakatan, oleh karena itu Hakim percaya, bahwa pelaku
tindak pidana menjadi tobat serta tidak mengulangi kejahatan.42
Dari adanya pandangan Hakim yang demikian, dapat di katakan,
bahwa Hakim melindungi hak-hak narapidana selama menjalani pidana.43
Sehubungan dengan itu, tugas Hakim sebagaimana UU No. 8 Tahun 1981
tentang KUHAP Pasal 277 sampai dengan 282, sebagai Hakim pengawas
dan pengamat, untuk memantau apakah hak-hak narapidana itu dilindungi
selama menjalani pidana penjara.44
Hakim dalam menegakkan hukum pidana, selalu me manfaatkan
pidana penjara untuk membuat pelaku kejahatan menjadi jera bahkan
takut. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim adalah
kesalahan pelaku yang harus diberikan ganjaran berupa hukuman. Dengan
demikian pidana penjara dijadikan alternatif untuk mengganti kerugian
yang diderita korban.45
Bagi Hakim, pidana penjara diharapkan untuk mencegah seseorang
itu tidak mengulangi perbuatannya, khususnya setelah di masyarakat.
41
Ibid. hal. 73-74.
42
Ibid. hal. 74.
43
Ibid.
44
Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. op.cit.
45
Ibid. hal. 74-75.
17

Untuk mendukung agar bekas narapidana tidak mengulangi perbuatannya,


dicari jalan keluar, maka cara yang paling tepat menurut Hakim
dibutuhkan rumah singgah serta bekas narapidana diterima di masyarakat
serta diperlukan itu untuk penampungan narapidana.46
Dari pandangan Polisi, Jaksa, Hakim, mengenai pidana penjara,
maka dapat dikatakan, bahwa pidana penjara itu dipahami sebagai
pembalasan dengan ciri-ciri berupa pembatasan-pembatasan kebebasan
serta harus mengandung derita terlebih pada saat menjalani pidana penjara.
Oleh karena itu, pidana penjara perlu dipertahankan di KUHP.47

4. Pandangan Penasehat Hukum tentang Pidana Penjara


Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
Pasal 1 butir 13, Penasihat Hukum adalah seorang yang memenuhi syarat
yang ditentukan oleh atau berdasarkan Undang-undang untuk memberi
bantuan hukum. Di samping itu juga, Pasal 69 sampai dengan Pasal 73,
Penasihat Hukum itu mempunyai hak untuk menghubungi dan berbicara
dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan untuk kepentingan
pembelaan perkaranya.48
Sehubungan dengan itu, dapat dikatakan, bahwa peranan Penasihat
Hukum, antara lain:
a. Sebagai jurist consult, yaitu memberikan nasehat dan membantu para
klien diluar sidang pengadilan;
b. Sebagai agent of legislation atau procurator, yaitu menyelenggarakan
kepentingan klien yang diurus melalui hukum;
c. Sebagai pleider atau plieter, yaitu mewakili kliennya dalam
pemeriksaan sidang pengadilan, misalnya memberikan pembelaan
didepan pemeriksaan hakim dengan mengungkapkan fakta-fakta yang

46
Ibid. hal. 76.
47
Ibid. hal. 79.
48
Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. op.cit.
18

riil, mengajukan alat-alat bukti sehingga hakim memperoleh gambaran


yang jelas tentang kejadian yang nyata.49
Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003
tentang Advokat, disebutkan hak dan kewajiban Advokat, seperti pada
Pasal 14 sampai dengan Pasal 19, antara lain dikatakan: "Advokat bebas
mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang
menjadi tanggung jawabnya, Advokat berhak memperoleh informasi, data
dan dokumen, baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain untuk
kepentingan. pembelaan kliennya".50
Memahami isi Undang-Undang tersebut, tugas Advokat (Penasihat
Hukum) terhadap jalannya pemeriksaan suatu perkara dapat dikatakan
membantu hakim dalam menemukan hukum. Dalam hal ini, penasihat
hukum dituntut agar dapat menegakkan proses hukum yang adil (Due
Process of Law) yang tidak hanya mementingkan posisi terdakwa sebagai
kliennya.51
Hal ini beralasan, mengingat posisi Penasihat Hukum berpangkal
tolak dari posisi yang subjektif pula. Oleh karena itu, Penasihat Hukum
berdasarkan legitimasinya yang berpangkal pada etika, ia harus memiliki
penilaian yang objektif terhadap kejadian-kejadian di sidang pengadilan.52
Sehubungan dengan hal itu, maka pembahasan selanjutnya hendak
mengetahui sejauhmana pandangan Penasihat Hukum mengenai pidana
penjara. Dalam hal ini, menurut Penasihat Hukum, hakikat pidana penjara
itu adalah memperbaiki pelaku kejahatan dan suatu derita agar pelaku
tidak melakukan kejahatan kembali.53
49
Riyanto, Sigid. 1995. Peranan, Kewajiban dan Hak Penasihat Hukum. Jurnal Mimbar Hukum
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Nomor 21/V/1995.
50
Negara Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4288. Jakarta:
Sekretariat Negara.
51
Pandjaitan, Petrus Irwan dan Chairijah. Pidana Penjara (Dalam Perspektif Penegak Hukum,
Masyarakat dan Narapidana). op.cit. hal. 82
52
Hamzah, Andi. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia. hal. 88.
53
Pandjaitan, Petrus Irwan dan Chairijah. Pidana Penjara (Dalam Perspektif Penegak Hukum,
Masyarakat dan Narapidana). op.cit. hal. 83.
19

Berkaitan dengan hal ini, menurut Penasihat Hukum pidana


penjara itu dapat mengakibatkan masyarakat menjadi takut dan
mengakibatkan terpidana menebus kesalahannya. Bila kecenderungan
pidana penjara mengakibatkan masyarakat menjadi takut melakukan
kejahatan, menunjukkan pidana penjara itu cukup efektif untuk mencegah
kejahatan. Dengan demikian, pemasyarakatan sebagai tujuan pidana
penjara dapat dijadikan dasar pedoman untuk memperbaiki dan membina
narapidana agar bertobat, bahkan jera.54
Sehubungan tobat atau jera narapidana, yang bisa dicapai dengan
pidana penjara, maka menurut Penasihat Hukum ada cara lain yang dapat
ditempuh. Oleh karena itu, menurut Penasihat Hukum cara yang ditempuh
adalah narapidana itu diwajibkan melakukan pekerjaan atau cukup dengan
diberikan pendidikan keterampilan. Diberikannya pekerjaan dan
pendidikan keterampilan bagi narapidana selama menjalani pidana
merupakan manifestasi dianutnya prinsip pemasyarakatan. Di sini
narapidana selama berada di penjara dilindungi. Adapun perlindungan
yang dimaksud adalah untuk mencegah tindakan balas dendam dari korban
atau masyarakat.55
Sejalan dengan ini, maka menurut Penasihat Hukum pidana
penjara mengandung prinsip pemasyarakatan bila bersifat melindungi
pelaku tindak pidana dan melindungi masyarakat, dan pemasyarakatan bila
bersifat membalas. Oleh karena pidana penjara itu mengandung prinsip
pemasyarakatan sebagaimana ide Dr. Sahardjo, S.H., maka menurut
Penasihat Hukum pidana penjara di KUHP perlu dipertahankan, hanya
saja perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum dan keadilan di
masyarakat. Hal ini berkaitan pula dengan pandangan Dr. Sahardjo, S.H.
yang melihat, narapidana itu bukan menjalani hukuman melainkan
menjalani pembinaan. Dengan demikian, kecenderungan saat ini

54
Ibid.
55
Ibid. hal. 83-84.
20

mengatakan narapidana selama di lembaga pemasyarakatan menjalani


pembinaan sekaligus menjalani hukuman, hal ini diakui oleh Penasihat
Hukum.56

56
Ibid. hal. 84.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berbicara tentang tujuan hukum pidana dalam kehidupan bermasyarakat,
berarti membicarakan fungsi hukum pidana itu sendiri. Hukum pidana
dibentuk dengan tujuan mengatur masyarakat agar tidak melakukan perbuatan
yang melanggar hukum. Hukum pidana bersifat ultimum remedium, artinya
baru dipergunakan apabila pelbagai peraturan yang lain sudah tidak mampu
menertibkan masyarakat. Dengan demikian, hukum pidana dapat memaksa
seseorang menaati peraturan melalui sanksi yang dikenakan pada orang yang
melanggar hukum.
Sebagaimana diketahui pidana penjara tujuannya untuk penanggulangan
kejahatan yang di dalamnya terkandung unsur penjeraan dan menakut-nakuti
masyarakat. Di sini, menekan angka kejahatan serta melindungi masyarakat
terlihat sangat jelas dari penjatuhan pidana penjara.
Memahami pendapat tersebut, terungkap bahwa pidana penjara seperti
terdapat di dalam KUHP, sebagai pengamanan terpidana serta alternatif untuk
memperbaiki pelaku kejahatan dan menekan angka kejahatan.
Walaupun pidana penjara mengakibatkan penderitaan bagi narapidana
tersebut, namun di balik penderitaan itu ada hikmah tersendiri bagi narapidana
tersebut, karena narapidana mendapat pembinaan di bidang mental dan
pendidikan di bidang ketrampilan. Dengan mendapat pendidikan di bidang
keterampilan diharapkan bekas narapidana itu lebih siap menghadapi masa
depan yang lebih cerah.

21
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Arief, Barda Nawawi. 1996. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan
Kejahatan dengan Pidana Penjara. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
__________. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Hamzah, Andi. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta:
Ghalia.
__________. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta:
Pradnya Paramita.
__________. 2011. KUHP dan KUHAP, Ed. Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Lamintang, P.A.F. 1988. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Armico.
Pandjaitan, Petrus Irwan dan Samuel Kikilaitety. 2007. Pidana Penjara Mau
Kemana. Jakarta: Ind Hill Co.
__________, dan Chairijah. 2009. Pidana Penjara (Dalam Perspektif
Penegak Hukum, Masyarakat dan Narapidana). Jakarta: Ind Hill Co.
Priyatno, Dwidja. 2013. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,
(Cet. 3). Bandung: PT Refika Aditama.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana (Komentar Atas Pasal-Pasal
Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan
Paparannya Dalam Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Saleh, Roeslan. 1983. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.
Wisnubroto, Aloysius. 1997. Hakim dan Peradilan Indonesia (Dalam
Beberapa Aspek Kajian). Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

Jurnal/Artikel

22
23

 Riyanto, Sigid. 1995. Peranan, Kewajiban dan Hak Penasihat Hukum. Jurnal
Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Nomor
21/V/1995.
Peraturan/Undang-Undang
 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van
Strafrecht (WvS)
 Negara Republik Indonesia. 1958. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958
tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik
Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik
Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660.
Jakarta: Sekretariat Negara.
 Negara Republik Indonesia. 1981. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209. Jakarta: Sekretariat Negara.
 Negara Republik Indonesia. 2002. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2002
Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168. Jakarta: Sekretariat
Negara.
 Negara Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat, Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4288. Jakarta: Sekretariat Negara.
 Negara Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor
67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 440 jo. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Lembaran
Negara Tahun 2021 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6755.
Jakarta: Sekretariat Negara.
24

 Negara Republik Indonesia. 1999. Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun


1999 tentang Remisi, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 223. Jakarta:
Sekretariat Negara.

Anda mungkin juga menyukai