Anda di halaman 1dari 8
1. Pendidikan Sebagai Tolak Ukur Seorang Perempuan “Pendidikan merupakan senjata terampuh yang dapat kamu pakai untuk mengubah dunia.” - Nelson Mandela. Lihatlah sedikit petikan quote yang dilontarkan oleh Nelson Mandela itu. Maka bisa kita tarik kesimpulan apabila pendidikan merupakan senjata atau hal yang sangat di nomor satukan guna mengubah dunia. Mengubah dunia dalam artian bagaimana? Tentu saja dalam hal banyak. Kita anggap dunia kita ini sudah tidak lagi jelas, dimana terdapat kehancuran yang membabi buta, peperangan tidak terelakkan sera kedamaian sangat tidak diacuhkan. Banyak orang beranggapan, apabila pendidikan tinggi itu tidak penting. Terlebih lagi untuk para perempuan. Untuk apa perempuan sekolah tinggi — tinggi? Toh, nantinya ia juga akan menjadi istri yang balik ke dapur. Hal — hal semacam itulah yang banyak dilontarkan oleh para para orangtua — orangtua kita. Yang mana mereka masih percaya akan zaman Siti Nurbaya. Siti Nurbaya saja, dapat dipinang oleh Datok Maringgih yang kaya raya, kata mereka. Pemikiran-pemikiran close minded semacam itulah yang hanya akan terus menurunkan kualitas negara kita. Apa salahnya jika seorang perempuan ingin mengenyam pendidikan yang tinggi? Apa salahnya jika seorang perempuan ingin mengejar gelar Doktor hingga ia rela harus meninggalkan kampung halamannya? Tentu tidak ada yang salah! Kalian ingat, seorang anak cerdas lahir dari rahim ibu yang cerdas jugabab. Banyak contoh yang bisa kita lihat dari perempuan — perempuan cerdas di Indonesia. Sebut saja seperti Maudy Ayunda dan Tasya Kamila. Tasya Kamila menempuh pendidikan di Columbia University, AS. Sementara Maudy Ayunda baru saja menyelesaikan study S2 nya di Oxford University, Inggris. Hal tersebut merupakan pembuktian dari mereka, jika perempuan juga bisa mempunyai gelar setinggi langit. Pandangan orang — orang pada perempuan zaman dahulu dan sekarang juga sepertinya mulai berubah. Namun memang tak banyak orang yang setuju jika seorang perempuan menjadi “wanita karier” karena akan gila bekerja. Hal tersebut tentunya masih menjadi pro dan kontra di kalangan laki — laki dan juga perempuan. Banyak laki — laki berpikiran, jika hanya laki - laki yang pantas untuk mengenyam pendidikan tinggi serta bekerja. Namun, akankah lebih baik apabila laki — laki dan perempuan menikah, mereka juga sama — sama bekerja? Mengapa bekerja? Tentu saja sebab pendidikan mereka sama — sama tinggi. Dampak positif dan negatif juga seharusnya telah mereka ketahui. Apa dampaknya apabila seorang perempuan menyamakan derajatnya dengan laki- laki, dengan mengenyam pendidikan yang sama? Seperti yang telah kita ketahui bersama, kebanyakan wanita yang berpendidikan tinggi, juga sama ingin bekerja. Oleh sebab itu, anak mereka kemungkinan akan dititipkan dengan neneknya, atau baby sitter. Hal — hal seperti itulah yang memang tidak bisa terelakkan, namun jangan sampai menyurutkan semangat kita, seorang perempuan, yang akan mengenyam pendidikan. Setinggi, sejauh, dan juga seluas apapun. 2. Melemahnya Rupiah Semakin tahun, nilai tukar Rupiah cenderung semakin melemah. Hal tersebut tentunya bukan merupakan suatu yang bagus, namun juga tak bisa dihindarkan khusunya dari negara-negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Nilai tukar Rupiah melemah bukan tanpa alasan, melainkan adanya banyak faktor yang turut menunjang hal tersebut. Salah satu hal yang paling riskan dimana hal tersebut menunjang melemahnya nilai tukar Rupiah yaitu kecenderungan melambatnya ekonomi di negara Indonesia, sementara di negara — negara maju tengah terjadi pemulihan ekonomi. Tak hanya itu saja, merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) serta ketidakpastian pemerintah dalam menaikkan harga BBM juga turut mempengaruhi melemahnya Rupiah. Nilai tukar pada mata uang sangat ditentukan dengan adanya hubungan penawaran — permintaan atas mata uang. Apabila permintaan atas suatu mata uang meningkat sedangkan penawarannya menurun, maka nilai tukar mata uang tersebut akan naik, begitu juga sebaliknya. Dengan begitu, Rupiah melemah sebab adanya penawaran yang tinggi, sedangkan permintaannya rendah. Melemahnya Rupiah tentunya mempunyai beberapa dampak, seperti dalam dinamika ekspor serta impor dan juga kenaikan nominal Rupiah dari utang luar negeri, sebab utang luar negeri dipatok dengan menggunakan mata uang asing. Uang Rupiah tersebut harus ditukar dengan menggunakan mata uang asing. Yang mana mengakibatkan nilai tukar Rupiah juga semakin melemah. Bukan tak mungkin jika nilai tukar Rupiah pada Dollar juga akan naik. Di tahun 1999, kurs tengah Rupiah pada US Dollar mencapai 7.100, hal tersebut amat jauh berbeda pada tahun 2018 yang mencapai 14.000. Penguatan Rupiah ini juga didukung dari perbaikan IHSG pada Bursa Efek Indonesia yang mencapai 691,9 poin atau menguat sampai 62,8% di akhir 2003. Keluarnya investasi dari portofolio asing juga telah menjadi salah satu faktor yang amat berpengaruh kepada melemahnya Rupiah. Hal tersebut disebabkan pada proses ini, investor asing menukar Rupiah kepada US Dollar untuk diputar serta diinvestasikan pada negara lain. Yang mana berarti akan terjadi peningkatan penawaran kepada mata uang Rupiah. Faktor lain yakni neraca perdagangan yang defisit. Yakni ekspor yang dikerjakan oleh negara Indonesia lebih kecil dibandingkan impor. Hal tersebut sebetulnya bisa ditanggulangi apabila negara Indonesia bisa merubah kultur budaya nya menjadi bangsa yang unggul pada bidang swasembada di semua bidang. Ini tentunya akan sangat memungkinkan dengan kekayaan alam serta potensi sumber daya manusia yang dimiliki oleh negara Indonesia. Faktor ketiga yang juga sangat berpengaruh dalam melemahkan Rupiah ialah bangsa Indonesia yang umumnya bersifat konsumtif dan juga boros, bukan menjadi negara produktif. Bayangkan saja apabila negara Indonesia bisa menjadi negara produktif serta warga negara nya tidak melulu konsumtif, dengan itu selain menguatnya Rupiah, utang negara Indonesia ke luar negeri juga bisa dicicil bahkan dilunasi.

Anda mungkin juga menyukai