Anda di halaman 1dari 16

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK RIBUT KIWI


KELAS B:
1. ARLI MASTANI DAELI
2. MARNI HULU
3. SUCI WAHYUNI MARUNDURI
4. ZUSTI MEI GULO

DOSEN PENGAMPU : ADRIANUS BAWAMENEWI, S.H., M.H

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) GUNUNGSITOLI


FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
T.A 2017/2018
DAFTAR ISI

Daftar isi ........................................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
C. Tujuan Makalah .................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep dan Urgensi Demokrasi ........................................................................... 3
B. Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik Demokrasi ........................................... 5
C. Dinamika dan Tantangan Demokrasi ................................................................... 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 13
B. Saran .................................................................................................................... 13
Daftar pustaka ............................................................................................................... 14
BAB I

PENDAHULUAN
i

A. Latar Belakang Masalah

Demokrasi di negara Indonesia sudah mengalami kemajuan yang pesat. Hal


tersebut dapat dibuktikan dengan dibebaskan menyelenggarakan kebebasan pers,
kebebasan masyarakat dalam berkeyakinan, berbicara, berkumpul, mengeluarkan
pendapat, mengkritik bahkan mengawasi jalannya pemerintahan. Tapi bukan berarti
demokrasi di Indonesia saat ini sudah berjalan sempurna. Masih banyak persoalan yang
muncul terhadap pemerintah yang belum sepenuhnya bisa menjamin kebebasan warga
negaranya. Seperti meningkatnya angka pengangguran, bertambahnya kemacetan di
jalan, semakin parahnya banjir, dan masalah korupsi.

Dalam kehidupan berpolitik di setiap negara yang kerap selalu menikmati


kebebasan berpolitik namun tidak semua kebebasan berpolitik berjalan sesuai dengan
yang diinginkan, karena pada hakikatnya semua sistem politik mempunyai kekuatan dan
kelemahannya masing-masing. Demokrasi adalah sebuah proses yang terus menerus
merupakan gagasan dinamis yang terkait erat dengan perubahan. Jika suatu negara
mampu menerapkan kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan dengan sempurna, maka
negara tersebut adalah negara yang sukses menjalankan sistem demokrasi. Sebaliknya,
jika suatu negara itu gagal menggunakan sistem pemerintahan demokrasi, maka negara
itu tidak layak disebut sebagai negara demokrasi.

Oleh karena itu, kita sebagai warga negara Indonesia yang menganut sistem
pemerintahan yang demokrasi, kita sudah sepatutnya untuk terus menjaga,
memperbaiki, dan melengkapi kualitas-kualitas demokrasi yang sudah ada. Demi
tercapainya suatu kesejahteraan, tujuan dari cita-cita demokrasi yang sesungguhnya
akan mengangkat Indonesia kedalam suatu perubahan.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep dan Urgensi Demokrasi ?

2. Bagaimana Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik Demokrasi ?

3. Bagaimana Dinamika dan Tantangan Demokrasi ?

C.Tujuan Makalah

1.Mengetahui Konsep dan Urgensi Demokrasi

2.Mengetahui Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik Demokrasi

3.Mengetahui Dinamika dan Tantangan Demokrasi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep dan Urgensi Demokrasi

1. Pengertian dan konsep demokrasi

Demokrasi secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani “demos” yang berarti
rakyat dan “kratos/cratein” yang berarti pemerintahan. Khususnya di Athena, kata “demos”
biasanya merujuk pada seluruh rakyat tetapi kadangkala juga berarti orang-orang pada
umumnya atau hanya rakyat miskin, kata demokrasi pada mulanya kadangkala digunakan
oleh kalangan aristokrat sebagai sindiran untuk merendahkan orang-orang
kebanyakan(Dahl,1998:11-12 dalam Yudi Latif,2011:395).
Dari pengertian mengenai demokrasi tersebut dapat ditarik bahwa substansi
demokrasi itu sendiri merupakan kekuasaan Yudikatif,Eksekutif dan Legislatif berasal dari
rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Substansi tersebut
membentuk struktur dalam demokrasi, yakni adanya infrastruktur dan suprastruktur yang
menghasilkan keputusan dan kapabilitas.
Demokrasi merupakan pemusatan kekuasaan ditangan rakyat. Menurut Cholisin
demokrasi di Indonesia memegang prinsip Teo-Demokratis dimana segala keputusan dan
kebijakkan diatur sepenuhnya untuk kepentingan rakyat namun tidak melanggar peraturan
Tuhan. Inilah perbedaan mendasar dari demokrasi yang khas di Indonesia dibandingkan
dengan demokrasi di negara lainnya. Prinsip Teo-demokratis merupakan hasil demokrasi
yang mendasarkan Pancasila terutama sila pertama yakni Ketuhanan yang maha Esa.
Demokrasi bukan hanya suatu sistem yang ada dalam suatu pemerintahan, namun
juga suatu proses yang dilakukan untuk menuju kepada kesejahteraan rakyat dalam
negara tersebut. Demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi yang khas dari bangsa
Indonesia sendiri merupakan hasil dari pendiri negara ini yang memiliki keinginan mulia
untuk melepaskan segala kesulitan masyarakat Indonesia. Proses menuju kesejahteraan
tersebutlah yang kadang dalam perjalanannya ada beberapa negara yang mampu
melaksanakannya dengan baik namun tidak jarang juga banyak negara yang tidak mampu
untuk melakukannya.
Dengan adanya demokrasi ini, maka diharapkan akan terwujud pemerintahan yang
kuat mengingat karena pemerintahan ini diciptakan oleh rakyat itu sendiri. Pemerintahan
yang kuat bukanlah pemerintahan yang diciptakan dalam bentuk pemerintahan otoriter

3
yang mampu mengarahkan kehendaknya kepada rakyat, namun pemerintahan yang kuat
yang didukung sepenuhnya oleh rakyat dan tidak ditumpangi oleh kebutuhan pihak lain.
2. Urgensi demokrasi
Urgensi merupakan pentingnya Demokrasi sebagai sistem pemerintahan
Indonesia. Pancasila sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, nilai dan keyakinan
yang ingin mereka wujudkan dalam kenyataan hidup yang nyata. Pentingnya
Demokrasi Pancasila sebagai sistem pemerintahan Indonesia bisa dilihat dari fungsi
Pancasila itu sendiri. Fungsi Pancasila sebagai sistem pemerintahan negara Indonesia
adalah sebagai sarana pemersatu masyarakat, sehingga dijadikan prosedur
konflik, dapat kita telusuri dari gagasan para pendiri negara Indonesia tentang
pentingnya mencari nilai-nilai bersama yang dapat mempersatukan berbagai
golongan masyarakat di Indonesia. Pentingnya pancasila sebagai sistem
pemerintahan Indonesia, dikarenakan sistem demokrasi pancasila memiliki perinsip:
1) Kebebasan atau persamaan (Freedom/Equality).
Kebebasan/persamaan adalah dasar demokrasi. Kebebasan dianggap sebagai
sarana mencapai kemajuan dan memberikan hasil maksimal dari usaha orang
tanpa pembatasan dari penguasa. Dengan prinsip persamaan semua orang
dianggap sama, tanpa dibeda-bedakan dan memperoleh akses dan kesempatan
bersama untuk mengembangkan diri sesuai dengan potensinya. Kebebasan yang
dikandung dalam demokrasi pancasila ini tidak berarti Free Fight Liberalism yang
tumbuh di Barat, tapi kebebasan yang tidak mengganggu hak dan kebebasan
orang lain.
2) Kedaulatan Rakyat (people’s Sovereignty).
Dengan konsep kedaulatan rakyat, hakikat kebijakan yang dibuat adalah kehendak
rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Mekanismesemacam ini akan mencapai dua
hal; yaitu, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan sangatlah kecil,
dan kepentingan rakyat dalam tugas-tugas pemerintahan lebih terjamin.
Perwujudan lain dari konsep kedaulatan adalah adanya pengawasan oleh rakyat.
Pengawasan dilakukan karena demokrasi tidak mempercayai kebaikan hati
penguasa.

4
3) Pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab yang memiliki prinsip-prinsip

a) Dewan Perwakilan Rakyat yang representatif.

b) Badan kehakiman/peradilan yang bebas dan merdeka.

c) Pers yang bebas,

d) Prinsip Negara hukum,

e) Sistem dwi partai atau multi partai.

f) Pemilihan umum yang demokratis.

g) Prinsip mayoritas.

h) Jaminan akan hak-hak dasar dan hak-hak minoritas.

B. Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik Demokrasi

Setidak-tidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi


dalam kalbu bangsa Indonesia.Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawaratan
desa.Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam
masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai makhluk Tuhan.Ketiga, paham
sosialis Barat, yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena
dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya.

1. Sumber Nilai yang Berasal dari Demokrasi Desa

Demokrasi yang diformulasikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,


dan untuk rakyat merupakan fenomena baru bagi Indonesia ketika
merdeka.Kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan-kerajaan feodal yang
dikuasai oleh raja-raja autokrat.Akan tetapi, nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu
sudah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit
politik terkecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatra Barat, dan banjar di Bali
(Latif, 2011). Mengenai adanya anasir demokrasi dalam tradisi desa kita akan
meminjam dua macam analisis berikut.

Pertama, paham kedaulatan rakyat sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di


Nusantara.Di alam Minangkabau, misalnya pada abad XIV sampai XV kekuasaan

5
raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan.Ada istilah yang
cukup tekenal pada masa itu bahwa “Rakyat ber-raja pada Penghulu, Penghulu
berraja pada Mufakat, dan Mufakat ber-raja pada alur dan patut”. Dengan demikian,
raja sejati di dalam kultur Minangkabau ada pada alur (logika) dan patut (keadilan).
Alur dan patutlah yang menjadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang raja
akan ditolak apabila bertentangan dengan akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan
(Malaka, 2005).

Kedua, tradisi demokrasi asli Nusantara tetap bertahan sekalipun di bawah


kekuasaan feodalisme raja-raja Nusantara karena di banyak tempat di Nusantara,
tanah sebagai faktor produksi yang penting tidaklah dikuasai oleh raja, melainkan
dimiliki bersama oleh masyarakat desa.Karena pemilikan bersama tanah desa ini,
hasrat setiap orang untuk memanfaatkannya harus melalui persetujuan kaumnya.Hal
inilah yang mendorong tradisi gotong-royong dalam memanfaatkan tanah bersama,
yang selanjutnya merembet pada bidang-bidang lainnya, termasuk pada hal-hal
kepentingan pribadi seperti misalnya membangun rumah, kenduri, dan
sebagainya.Adat hidup seperti itu membawa kebiasaan bermusyawarah menyangkut
kepentingan umum yang diputuskan secara mufakat (kata sepakat). Seperti disebut
dalam pepatah Minangkabau: “Bulek aei dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”
(Bulat air karena pembuluh/bambu, bulat kata karena mufakat). Tradisi musyawarah
mufakat ini kemudian melahirkan institusi rapat pada tempat tertentu, di bawah
pimpinan kepala desa.Setiap orang dewasa yang menjadi warga asli desa tersebut
berhak hadir dalam rapat itu. Karena alasan pemilikan faktor produksi bersama dan
tradisi musyawarah, tradisi desa boleh saja ditindas oleh kekuasaan feodal, namun
sama sekali tidak dapat dilenyapkan, bahkan tumbuh subur sebagai adat istiadat. Hal
ini menanamkan keyakinan pada kaum pergerakan bahwa demokrasi asli Nusantara
itu kuat bertahan, “liat hidupnya”, seperti terkandung dalam pepatah Minangkabau
“indak lakang dek paneh, indak lapuak dek ujan”, tidak lekang karena panas, tidak
lapuk karena hujan (Hatta, 1992).

Ada dua anasir lagi dari tradisi demokrasi desa yang asli nusantara, yaitu hak
untuk mengadakan protes bersama terhadap peraturan-peraturan raja yang dirasakan
tidak adil, dan hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja, apabila ia
merasa tidak senang lagi hidup di sana. Dalam melakukan protes, biasanya rakyat
secara bergerombol berkumpul di alun-alun dan duduk di situ beberapa lama tanpa

6
berbuat apa-apa, yang mengekspresikan suatu bentuk demonstrasi damai.Tidak
sering rakyat yang sabar melakukan itu.Namun, apabila hal itu dilakukan, pertanda
menggambarkan situasi kegentingan yang memaksa penguasa untuk
mempertimbangkan ulang peraturan yang dikeluarkannya.Adapun hak menyingkir,
dapat dianggap sebagai hak seseorang untuk menentukan nasib sendiri.Kesemua itu
menjadi bahan dasar yang dipertimbangkan oleh para pendiri bangsa untuk mencoba
membuat konsepsi demokrasi Indonesia yang modern, berdasarkan demokrasi desa
yang asli itu (Latif, 2011).

Hatta menjelaskan bahwa Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat,
gotong royong, hak mengadakan protes bersama dan hak menyingkir dari daerah
kekuasaan raja, dipuja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang
kuat bagi demokrasi sosial, yang akan dijadikan dasar pemerinahan Indonesia
merdeka di masa datang (Latif, 2011).

2. Sumber Nilai yang Berasal dari Islam

Nilai demokratis yang berasal dari Islam bersumber dari akar teologisnya.Inti
dari keyakinan Islam adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid,
Monoteisme).Konsekuensinya, semua bentuk pengaturan hidup sosial manusia yang
melahirkan kekuasaan mutlak, dinilai bertentangan dengan jiwa Tauhid (Latif,
2011).Pengaturan hidup dengan menciptakan kekuasaan mutlak pada sesama
manusia merupakan hal yang tidak adil dan tidak beradab. Sikap pasrah kepada
Tuhan, yang memutlakkan Tuhan dan tidak pada sesuatu yang lain, menghendaki
tatanan sosial terbuka, adil, dan demokratis (Madjid, 1992).

Kelanjutan logis dari prinsip Tauhid adalah paham persamaan (kesederajatan)


manusia di hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan
pemaksaan kehendak antarsesama manusia.Bahkan seorang utusan Tuhan tidak
berhak melakukan pemaksaan itu.Seorang utusan Tuhan mendapat tugas hanya untuk
menyampaikan kebenaran (tabligh) kepada umat manusia, bukan untuk memaksakan
kebenaran kepada mereka.Dengan prinsip persamaan manusia di hadapan Tuhan itu,
tiap-tiap manusia dimuliakan kehidupan, kehormatan, hak-hak, dan kebebasannya
yang dengan kebebasan pribadinya itu manusia menjadi makhluk moral yang harus
bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya.Dengan prinsip persamaan, manusia juga

7
didorong menjadi makhluk sosial yang menjalin kerjasama dan persaudaraan untuk
mengatasi kesenjangan dan meningkatkan mutu kehidupan bersama (Latif, 2011).

Sejarah nilai-nilai demokratis sebagai pancaran prinsip-prinsip Tauhid itu


dicontohkan oleh Nabi Muhammad S.A.W. sejak awal pertumbuhan komunitas
politik Islam di Madinah, dengan mengembangkan cetakan dasar apa yang kemudian
dikenal sebagai bangsa (nation). Negara-kota Madinah yang dibangun Nabi adalah
sebuah entitas politik berdasarkan konsepsi Negara-bangsa (nation-state), yaitu
Negara untuk seluruh umat atau warganegara, demi maslahat bersama (common
good).Sebagaimana termaktub dalam Piagam Madinah, “negara-bangsa” didirikan
atas dasar penyatuan seluruh kekuatan masyarakat menjadi bangsa yang satu
(ummatan wahidah) tanpa membeda-bedakan kelompok keagamaan yang ada.Robert
N. Bellah menyebutkan bahwa contoh awal nasionalisme modern mewujud dalam
sistem masyarakat Madinah masa Nabi dan para khalifah. Robert N. Bellah
mengatakan bahwa sistem yang dibangun Nabi itu adalah “a better model for modern
national community building than might be imagined” (suatu contoh bangunan
komunitas nasional modern yang lebih baik dari yang dapat dibayangkan).
Komunitas ini disebut modern karena adanya keterbukaan bagi partisipasi seluruh
anggota masyarakat dan karena adanya kesediaan para pemimpin untuk menerima
penilaian berdasarkan kemampuan.Lebih jauh, Bellah juga menyebut sistem
Madinah sebagai bentuk nasionalisme yang egaliter partisipatif (egalitarian
participant nationalism). Hal ini berbeda dengan sistem republik negara-kota Yunani
Kuno, yang membuka partisipasi hanya kepada kaum lelaki merdeka, yang hanya
meliputi lima persen dari penduduk (Latif, 2011).

Stimulus Islam membawa transformasi Nusantara dari sistem kemasyarakatan


feodalistis berbasis kasta menuju sistem kemasyarakatan yang lebih
egaliter.Transformasi ini tercermin dalam perubahan sikap kejiwaan orang Melayu
terhadap penguasa.Sebelum kedatangan Islam, dalam dunia Melayu berkembang
peribahasa, “Melayu pantang membantah”.Melalui pengaruh Islam, peribahasa itu
berubah menjadi “Raja adil, raja disembah; raja zalim, raja disanggah”.Nilai-nilai
egalitarianisme Islam ini pula yang mendorong perlawanan kaum pribumi terhadap
sistem “kasta” baru yang dipaksakan oleh kekuatan kolonial (Wertheim,
1956).Dalam pandangan Soekarno (1965), pengaruh Islam di Nusantara membawa
transformasi masyarakat feodal menuju masyarakat yang lebih demokratis.Dalam

8
perkembangannya, Hatta juga memandang stimulus Islam sebagai salah satu sumber
yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial di kalbu para pemimpin pergerakan
kebangsaan.

3. Sumber Nilai yang Berasal dari Barat

Masyarakat Barat (Eropa) mempunyai akar demokrasi yang panjang. Pusat


pertumbuhan demokrasi terpenting di Yunani adalah kota Athena, yang sering
dirujuk sebagai contoh pelaksanaan demokrasi patisipatif dalam negara-kota sekitar
abad ke-5 SM. Selanjutnya muncul pula praktik pemerintahan sejenis di Romawi,
tepatnya di kota Roma (Italia), yakni sistem pemerintahan republik. Model
pemerintahan demokratis model Athena dan Roma ini kemudian menyebar ke
kotakota lain sekitarnya, seperti Florence dan Venice. Model demokrasi ini
mengalami kemunduran sejak kejatuhan Imperium Romawi sekitar abad ke-5 M,
bangkit sebentar di beberapa kota di Italia sekitar abad ke-11 M kemudian lenyap
pada akhir “zaman pertengahan” Eropa. Setidaknya sejak petengahan 1300 M,
karena kemunduran ekonomi, korupsi dan peperangan, pemerintahan demokratis di
Eropa digantikan oleh sistem pemerintahan otoriter (Dahl, 1992).

Pemikiran-pemikiran humanisme dan demokrasi mulai bangkit lagi di Eropa


pada masa Renaissance (sekitar abad ke-14 – 17 M), setelah memperoleh stimuls
baru, antara lain, dari peradaban Islam. Tonggak penting dari era Renaissance yang
mendorong kebangkitan kembali demokrasi di Eropa adalah gerakan Reformasi
Protestan sejak 1517 hingga tercapainya kesepakatan Whestphalia pada 1648, yang
meletakan prinsip co-existence dalam hubungan agama dan Negara—yang membuka
jalan bagi kebangkitan Negara-bangsa (nation-state) dan tatanan kehidupan politik
yang lebih demokratis.

Kehadiran kolonialisme Eropa, khususnya Belanda, di Indonesia, membawa


dua sisi dari koin peradaban Barat: sisi represi imperialisme-kapitalisme dan sisi
humanisme-demokratis. Penindasan politik dan penghisapan ekonomi oleh
imperialisme dan kapitalisme, yang tidak jarang bekerjasama dengan
kekuatankekuatan feodal bumi putera, menumbuhkan sikap anti-penindasan, anti-
penjajahan, dan anti-feodalisme di kalangan para perintis kemerdekaan
bangsa.Dalam melakukan perlawanan terhadap represi politik-ekonomi kolonial itu,

9
mereka juga mendapatkan stimulus dari gagasan-gagasan humanisme-demokratis
Eropa (Latif, 2011).

Penyebaran nilai-nilai humanisme-demokratis itu menemukan ruang


aktualisasinya dalam kemunculan ruang publik modern di Indonesia sejak akhir abad
ke-19. Ruang publik ini berkembang di sekitar institusi-institusi pendidikan modern,
kapitalisme percetakan, klub-klub sosial bergaya Eropa, kemunculan bebagai
gerakan sosial (seperti Boedi Oetomo, Syarekat Islam dan lan-lain) yang berujung
pada pendrian partai-partai politik (sejak 1920-an), dan kehadiran Dewan Rakyat
(Volksraad) sejak 1918.

Sumber inspirasi dari anasir demokrasi desa, ajaran Islam, dan sosiodemokrasi
Barat, memberikan landasan persatuan dari keragaman., Segala keragaman ideologi-
politik yang dikembangkan, yang bercorak keagamaan maupun sekuler, semuanya
memiliki titik-temu dalam gagasan-gagasan demokrasi sosialistik (kekeluargaan),
dan secara umum menolak individualisme.

Dalam kurun sejarah Indonesia merdeka sampai sekarang ini, ternyata


pelaksanaan demokrasi mengalami dinamikanya.Indonesia mengalami praktik
demokrasi yang berbeda-beda dari masa ke masa.Beberapa ahli memberikan
pandangannya. Misalnya, Budiardjo (2008) menyatakan bahwa dari sudut
perkembangan sejarah demokrasi Indonesia sampai masa Orde Baru dapat dibagi
dalam empat masa, yaitu:

1) Masa Republik Indonesia I (1945-1959) yang dinamakan masa demokrasi


konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen dan partai-partai, karena itu
dinamakan Demokrasi Parlementer;

2) Masa Republik Indonesia II (1959-1965) yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang


banyak penyimpangan dari demokrasi konstitusional yang secara formal
merupakan landasan dan penunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat;

3) Masa Republik Indonesia III (1965-1998) yaitu masa demokrasi Pancasila.


Demokrasi ini merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem
presidensil; dan

10
4) Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang) yaitu masa reformasi yang
menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-
praktik politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III.

C. Dinamika dan Tantangan Demokrasi

1. Dinamika demokrasi

Demokrasi pancasila inilah yang dianut oleh Indonesia sampai sekarang


ini,karena demokrasi inilah yang dianggap paling cocok dengan ideologi
pancasila.Demokrasi akan semakin menjadi baik manakala semakin banyak
masyarakat atau kelompok masyarakat yang ikut serta dalam proses pengambilan
keputusan Negara(Fuady, 2010:108). Maka dari itu kemudian dibentuklah badan
perwakilan masyarakat mulai dari tingkat daerah sampai ke tingkat nasional agar
demokrasi dapat berjalan dengan baik. Selain itu,agar suatu kekuasaan tidak bersifat
mutlak terhadap seseorang saja dibagilah kedalam wadah-wadah tertentu yang sering
dikenal dengan istilah trias politika. Pembagian kekuasaan itu sebagai berikut:

1) Legislatif : Badan yang membuat memiliki kekuasaan membuat undang-undang

2) Eksekutif: Badan yang memiliki kuasa dalam melaksanakan pemerintahan

3) Yudikatif: Badan yang memiliki kuasa dalam peradilan

Namun dalam prakteknya,terjadi perbedaan model demokrasi saat ini dengan


masa orde baru. Hal tersebut dapat dilihat dari segi kebebasan pers. Demokrasi
pancasila yang mengusung kebebasan dalam menyampaikan pendapat nyatanya pada
saat orde baru malah tidak berlaku.

Sebagai contoh ialah jika ada seorang individu maupun sekelompok orang yang
melakukan kritik sosial terhadap pemerintah maka tidak lama kemudian pasti orang
itu akan hilang ataupun dipenjara. Hal tersebut sangat kontras dengan saat ini yang
memanjakan kebebasan pers. Malahan,sekarang ini kebebasan dalam demokrasi
pancasila ini menjadi tidak terbatas dan hampir mendekati liberal. Hal itu dapat kita
lihat semakin dalamnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Belum lagi
tentang campur tangan satu badan kekuasaan terhadap badan kekuasaan yang
lain,contohnya ialah: Presiden yang dalam konteks ini adalah badan eksekutif(karena
sebagai pemimpin dalam pelaksanaan pemerintahan) melakukan campur tangan

11
terhadap pengadilan tinggi dalam hal ini sebagai badan yudikatif dalam kasus yang
menimpa besannya yaitu Aulia pohan tersangka kasus BLBI yang mendapatkan
vonis bebas. Hal tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila. Maka dari itu diperlukan suatu perbaikan dalam sistem pemerintahan kita
agar tidak semakin banyaknya penyimpangan-penyimpangan dan tidak mengkaji
makna pancasila hanya pada satu sudut pandang saja.

2. Tantangan demokrasi

Konsep demokrasi pancasila digali dari nilai masyarakat asli Indonesia dengan
nilai-nilai yang melekat kepadanya, seperti desa demokrasi, rapat kolektivisme,
musyawarah mufakat, tolong-menolong dan istilah-istilah lain yang berkaitan dengan
itu. Tujuannya, memberikan pendasaran empiris sosiologis tentang konsep
demokrasi yang sesuai dengan sifat kehidupan masyarakat asli Indonesia, bukan
sesuatu yang asing yang berasal dari Barat dan dipaksakan pada realitas kehidupan
bangsa Indonesia. Namun, tantangan penggunaan sistem Demokrasi amatlah besar
seperti:

1) Melemahnya rasa Nasionalisme bangsa Indonesia dengan hasil karya, bahasa dan
budaya Indonesia sehingga mereka lebih memilih untuk mengikuti kebiasaan
warga negara lain agar disebut kekinian.
2) Kurangnya pemahaman akan Pancasila dan penerapannya dalam berdemokrasi.
3) Kemajuan teknologi yang pesat tanpa di imbangi pola pikir dan pemanfaatan yang
teknologi tersebut sehingga mengakibatkan kurangnya kualitas masyarakat.
4) Hilangnya budaya dan adab dalam bersosialisasi.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian demokrasi yang sangat popular ialah pemerintahan dari
rakyat,untuk rakyat, dan oleh rakyat. Pemerintahan dari rakyat artinya presiden, gubernur,
bupati, kepala desa pemimpin politik telah dipilih dan mendapatkan mandat dari rakyat
sehingga mengemban kepentingan rakyat. Pemerintahan oleh rakyat artinya Negara
dijalankan oleh rakyat melalui mandat sehingga rakyat menjadi pengawas, yang dijalankan
oleh rakyat. Pemerintahan untuk rakyat artinya hasil dan kebijaksanaan diarahkan pada
kesejahteraan rakyat dan atas dasar aspirasi rakyat. Jadi demokrasi adalah pemerintahan
yang berdasarkan kedaulatan rakyat. (Minto rahayu,2009: 124)

Demokrasi Pancasila pada hakikatnya merupakan norma yang mengatur


penyelenggaraan kedaulatan rakyat dan penyelenggaraan pemerintahan negara, dalam
kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, bagi setiap warga
negara Republik Indonesia, organisasi kekuatan sosial politik, organisasi
kemasyarakatan, dan lembaga kemasyarakatan lainnya serta lembaga-lembaga negara
baik di pusat maupun di daerah.

Konsep demokrasi pancasila digali dari nilai masyarakat asli Indonesia dengan
nilai-nilai yang melekat kepadanya, seperti desa demokrasi, rapat kolektivisme,
musyawarah mufakat, tolong-menolong dan istilah-istilah lain yang berkaitan dengan
itu.

B. Saran

Sebagai warga negara yang baik, ketika telah mengetahui bahwa sistem
demokrasi diterapkan di negaranya, sudah seharusnya tindakan dan perilaku warga negara
mencerminkan demokrasi yang penuh tanggung jawab.Sistem demokrasi yang
dilaksanakan di Indonesia melalui lembaga-lembaga perwakilan.Lembaga-lembaga
perwakilan tersebut dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga sudah sepatutnya bahwa
anggota dari lembaga-lembaga perwakilan bercermin bahwa jabatan yang mereka emban
merupakan amanah dari rakyat untuk dijalankan sebaik mungkin dengan tujuan
kesejahteraan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Sarinah, Harmaini dan Dahri, Muhtar. 2016. Pendidikan Pancasila dan


Keewarganegaraan (PPKN di Perguruan Tinggi). Yogyakarta: Deepublish.

Abdulgani, Roeslan. 1979. Pengembangan Pancasila di Indonesia. Jakarta: Yayasan


Idayu

Ali, As’ad Said. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa.Jakarta: Pustaka
LP3ES.

Asdi, Endang Daruni. 2003. Manusia Seutuhnya dalam Moral Pancasila. Yogyakarta:
Pustaka Raja.

Darmodihardjo, D. 1978. Orientasi Singkat Pancasila. Jakarta: PT. Gita Karya.

Delors, J. et al. 1996. Learning the Treasure Within, Education for the 21th Century. New
York: UNESCO.

Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2013.


Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila. Jakarta: Departeman Pendidikan
Nasional Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Toyyibin, M. Aziz dan A. K. Djahiri. 1997. Pendidikan Pancasila. Jakarta: PT Rineka


Cipta.

Kaelan, H. 2014. Pendidikan Pancasila. Jakarta: Paradigma.

Jimly Asshiddiqie., 2011. Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi . Jakarta: Sinar
Grafika

Fuady, Munir., 2010. Konsep Negara Demokrasi. Bandung: Refika Aditama

14

Anda mungkin juga menyukai