SIFAT
PADA
MELAWAN
HUKUM
PASAL
TINDAK
PIDANA
2
KORUPSI
UUTPK
Suatu perbuatan masuk dalam ruang lingkup hukum pidana, perdata atau
administrasi negara ditentukan oleh sumber pengaturan dan sanksinya. Jika
diatur dalam hukum pidana dan disertai ancaman pidana, maka perbuatan
tersebut masuk ruang lingkup hukum pidana, dan itulah tindak pidana. Jika
perbuatan itu ditentukan dalam hukum administrasi beserta sanksi administrasi,
maka perbuatan itu masuk ruang lingkup hukum administrasi. Jika sumber
pengaturannya dan sanksinya bersifat perdata, maka perbuatan itu masuk ruang
lingkup
hukum
perdata.
Dalam hubungnnya dengan hukum pidana korupsi, khususnya Pasal 2 dan
UUTPK, pelanggaan administrasi dapat merupakan tempat/letak atau penyebab
timbulnya sifat melawan hukum perbuatan, apabila terdapat unsur sengaja
(kehendak dan keinsyafan) untuk menguntungkan diri dengan menyalahgunakan
kekuasaan jabatan, yang karena itu merugikan keuangan atau perekonomian
negara. Perbuatan administrsi yang memenuhi syarat-syarat yang demikian itu
membentuk pertanggungjawaban pidana. Apabila unsur-unsur tersebut tidak
ada, terutama unsur merugikan keuangan / perekonomian negara, maka yang
terjadi adalah kesalahan prosedur/administrasi, dan tidak ada sifat melawan
hukum korupsi dalam hal semata-mata salah prosedur. Perbuaatan itu sekedar
membentuk
pertanggunganjawaban
hukum
administrasi
saja.
Dalam hubungnnya dengan hukum pidana korupsi, khususnya Pasal 2 UUTPK,
kesalahan prosedur atau kesalahan administrasi dibedakan dalam 4 macam.
Pertama, kesalahan administrasi murni. Terjadi apabila melakukan prosedur
administrasi
karena
khilaf
(kulpa)
baik
terhadap
ketentuan
prosedural/tatalaksana maupun akibatnya. Perbuatan khilaf ini tidak membawa
kerugian apapun bagi kepentingan hukum negara. Salah perbuatan adminsitratif
semacam ini bukan korupsi. Pertangungajwaban yang timbul adalah
pertanggungjawaban administrasi. Misalnya dengan mencabut, membatalkan
atau
melalui
klausula
pembetulan
sebagaimana
mestinya.
Kedua, si pembuat khilaf (culpoos) dalam melaksanakan prosedur pekerjaan
tertentu, yang dari pekerjaan ini membawa kerugian negara, misalnya nilai uang
tertentu. Kasus semacam ini masuk pada perbuatan melawan hukum
(onrechtsmatige daad) menurut hukum perdata (Pasal 1365 BW), bukan korupsi.
Perbuatan ini membentuk pertanggungjawaban perdata, diwajibkan untuk
mengganti
kerugian.
Ketiga, si pembuat sengaja mengelirukan pekerjaan adminsitratif tertentu,
namun tidak (dapat) membawa dampak kerugian kepentingan hukum negara.
Kesalahan semacam ini masih di teloransi sebagai kesalahan adminsitrati.
Perbuatan
ini
membentuk
pertanggungjawaban
adminisrasi.
Sanksi
administratitif dapat dijatuhkan pada si pembuat, tidak dapat menjatuhkan
pidana.
Keempat, si pembuat dalam kedudukan administratif tertentu - sadar dan
mengerti (sengaja) bahwa pekerjaan administratif tertentu menyalahi
aturan/prosedur (melawan hukum) dilakukannya juga, yang karena itu
membawa kerugian negara. Apabila perbuatan itu berupa perbuatan
memperkaya maka masuk Pasal 2 UUTPK, dan apabila dilakukan dengan
menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan jabatan maka masuk
Pasal 3. Dalam hal yang keempat ini saja, kesalahan prosedur merupakan sifat
melawan
hukum
korupsi.
Bentuk pertanggungjawaban tindak pidana, administrasi atau perdata ditentukan
oleh sifat pelanggaran (melawan hukumnya perbuatan) dan akibat hukumnya.
Bentuk pertanggungjawaban pidana selalu bersanksi pidana. Pertangungjawaban
administrasi selalu bersanksi administrasi, dan pertanggungjawaban perdata
ditujukan pada pengembalian kerugian keperdataan, akibat dari wanprestasi
atau onrechtsmatige daad. Pada dasarnya setiap bentuk pelanggaran selalu
mengandung sifat melawan hukum dalam perbuatan itu. Dalam hal sifat
melawan hukum tindak pidana, selalu membentuk pertanggunggjawaban pidana
sesuai tindak pidana tertentu yang dilanggarnya. Sementara sifat melawan
hukum administrasi dan perdata, sekedar membentuk pertanggungjawaban
administrasi dan perdata saja sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.
Pada dasarnya kesalahan administrasi tidak dapat dipertangungjawabkan secara
pidana. Namun apabila kesalahan administrasi tersebut disengaja dan disadari
merugikan keuangan negara, dan dilakukan dengan memperkaya diri atau
dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan, maka
kesalahan administrasi seperti itu merupakan tempat melekatnya/letak atau
penyebab sifat melawan hukumnya korupsi, dan karenanya membentuk
pertanggungjawaban pidana dan dapat dipidana berdasarkan Pasal 2.
Pelanggaran administrasi bukan merupakan letak/tempat tindak pidana
korupsinya, melainkan tempat/letak sifat melawan hukumnya korupsi. Karena
tidak mungkin terjadi korupsi pada perbuatan yang sifatnya semata-mata
pelanggaran administrasi maupun semata-mata bersifat pelanggaran hubungan
keperdataan
saja.
Pelanggaran hukum perdata, seperti wanprestasi dari suatu kontrak/perjanjian
atau perbuatan melawan hukum meskipun akibatnya negara dirugikan, tidak
bisa serta merta membentuk pertanggungjawaban pidana. Dalam hal negara
dirugikan oleh wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, pemulihan kerugian
dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata, bukan melalui penuntutan
pidana
di
peradilan
pidana.
Dalam hal badan publik melakukan perbuatan perdata, maka prosedur, syaratsyarat yang ditentukan dalam hukum perdata harus diikuti. Badan publik
tersebut harus tunduk pada hukum perdata. Namun apabila terdapat aturan lain
(accessoir) bersifat administrasi dalam hal prosedur untuk keabsyahan
perbuatan hukum perdata tersebut, mengingat untuk kepentingan publik, maka
bersifat
tetap.
Kedua, disebut quistion prajudicielle au jugement. Merupkan perselisihan pra
judicial yang dimaksud Pasal 81 KUHP, yang apabila terjadi maka menjadi hak
hakim untuk melakukan skorsing penuntutan. Karena merupakan hak, maka
sifatnya fakultatif. Hakim boleh tidak menggunakan haknya. Namun akibatnya
nanti putusan perkara lain yang berhubungan dan menentukan bisa
bertentangan dengan putusan perkara pidana. Dari sudut kepastian hukum dan
keseragaman putusan pengadilan, keadaan yang demikian tidak dapat
dibenarkan.
Perbuatan memperkaya diri dalam Pasal 2 UUTPK - bentuknya abstrak, yang
terdiri dari banyak wujud-wujud konkret. Wujud konkret itulah yang harus
dibuktikan. Untuk membuktikan wujud memperkaya selain membuktikan
bentuknya, misalnya wujud mencatumkan kegiatan fiktif perlu juga
membuktikan ciri-cirinya, yaitu: Pertama, dari perbuatan itu ybs memperoleh
suatu kekayaan. Kedua, jika hubungkan dengan sumber pendapatannya,
kekayaannya tidak seimbang dengan sumber yang menghasilkan kekayaan
tersebut. Ketiga, jika dihubungkan dengan wujudnya, perbuatan tersebut bersifat
melawan hukum. Keempat, jika dihubungkan dengan akibat, ada pihak lain yang
dirugikan
dalam
hal
ini
merugikan
keuangan
negara.
Perbuatan menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 UUTPK adalah
menggunakan wewenang yang melekat pada jabatan / kedudukan secara
menyimpang dari tatalaksana yang semestinya, sebagaimana yang diatur dalam
peraturan, petunjuk tata kerja, instruksi dinas dll. yang bertentangan dengan
maksud
dan
tujuan
dari
kedudukan/
jabatan
tesebut.
Apabila dalam surat dakwaan di junto-kan Pasal 55 Ayat (1) angka 1 KUHP
tentang bentuk pembuat peserta (medepleger). Maka keterlibatan terdakwa
wajib dibuktikan sebagai medepleger. Pertama harus dibuktikan lebih dulu
bahwa peristiwa yang didakwakan ini adalah sebagai tindak pidana. Barulah
membuktikan tentang terdapatnya syarat medepleger. Dari sudut subjektif
kesengajaan (kehendak) terdakwa sebagai medepleger harus sama dengan
kesengajaan pembuat pelaksana (pleger) dalam hal mewujudkan tindak pidana.
Dari sudut objektif, meskipun wujud perbuatan medepleger tidak perlu sama
dengan wujud pleger, namun harus dibuktikan ada kerjasama yang diinsyafi.
Kerjasma yang diinsyafi adalah keinsyafan bahwa meskipun antara mereka
melakukan perbuatan sendiri-sendiri yang berbeda, namun disadari kesemuanya
ditujukan untuk menyelesaikan tindak pidana yang sama-sama dikehendaki.
19 April 2011.
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri,
yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan kepada mereka.[1]
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup
unsur-unsur sebagai berikut:
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang
paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk
memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang
diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti
harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur
pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau
berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan
kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan
membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang
dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang
legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
KONDISI YANG MENDUKUNG
Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal
memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis
kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan
sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi.
Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan
nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan
ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos
niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam
negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena
penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi
ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul
berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan
dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas
proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya
menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan
syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.
Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan
menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor
keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika,
adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan
penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan
ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator
Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator
Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya
(meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui
investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas
Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal
dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang
luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau
kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh
ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah
ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering
menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini
memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar
negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
Australia
Kanada
Denmark
Finlandia
Islandia
Luxemburg
Belanda
Selandia Baru
Norwegia
Singapura
Swedia
Swiss
Israel
Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah:
Azerbaijan
Bangladesh
Bolivia
Kamerun
Indonesia
Irak
Kenya
Nigeria
Pakistan
Rusia
Tanzania
Uganda
Ukraina
Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini
dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut,
bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam
itu juga tidak ada)
[sunting] Sumbangan kampanye dan "uang haram"
Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit
lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada
gosip menyangkut politisi.
Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta
sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk
bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang,
yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.
[sunting] Tuduhan korupsi sebagai alat politik
Sering terjadi dimana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka
dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh
Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan
politik mereka.
[sunting] Mengukur korupsi
Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa
negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada
umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di
bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun:
Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa
korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei
pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi);
dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan
asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan
Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia
mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator
Kepemerintahan.
Korupsi di Indonesia telah menjadi persoalan yang sangat merisaukan, apalagi
sejak era reformasi tuntutan untuk penegakan hukum yang terutama
pemberantasan masalah korupsi sangat diharapkan. Kalau kita lihat berita-berita
media cetak maupun media elektronik banyak para pejabat, penyelenggara
Negara yang terkena dugaan kasus korupsi. Baik itu dari Unsur Legeslatif
(anggota/mantan DPR, DPRD), Penyelanggara Pemerintahan baik itu Kepala
Daerah atau pejabat Negara yang lain. Tidak heran kalau Indonesia menduduki
ranking 5 dunia Negara yang tingkat korupsinya paling tinggi.
Kondisi yang sangat serius menegnai pentingnya pemberantasan tindak pidana
korupsi telah mendorong dunia melalui PBB yang pada tanggal 16 Desember
1999 mengadakan sidang yang kemudian melahirkan suatu deklarasi " United
Nations Declaration Against Coruption and Bribery In Internasional Comercial
Transaction. Dalam deklarasi tersebut menganjurkan kepada negara anggota
untuk mengadopsi ketentuan hukum yang diperlukan sepanjang ketentuan
tersebut belum terdapat dalam sistem hukum masing-masing Negara.
Indonesai sendiri dalam hubungan dengan anjuran tersebut telah melakukan
pembaharuan dalam sistem hukum pidana korupsi dimana ketentuan-ketentuan
yang
tidak
kondusif
bagi
usaha
penanggulangan
korupsi,
perlu
direformasidengan memperhatuikan asas-asas hukum sebagai refleksi negara
hukum.. Reformasi hukum Indonesia dalam penanggulangan Tindak Pidana
Korupsi dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang_undang no 3
tahun 1971.
UU no 31 tahun 1999 ternyata dirasa masih belum dirasakan kuat untuk
menjerat para pelaku korupsi dan juga masih ada kekurangannya, seperti tidak
adanya Aturan Peralihan dalam UU no 31 tahun 1999. Oleh karena itu keluarlah
undang-undang no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU no 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dalam pasal 2 ayat (1) tersebut diatas sangat jelas bahwa melawan hukum
merupakan salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi.
Konsep melawan hukum sejak semula sudah tercantum dalam pasal 1 ayat 1
huruf a UU no 3 tahun 1971. akan tetapi beda rumusannya dengan UU no 24 Prp
tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan tindak Pidana
Korupsi, dalam UU no 24 Prp tahun 1960 unsur melawan hukum yang dimaksud
memakai istilah unsur "melakukan kejahatan atau pelanggaran".
Adanya unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran yang harus dibuktikan
terlebuh dahulu, baru menjatuhkan pidana pada pelaku korupsi. Rumusan unsur
melakukan kejahatan atau pelanggaran, menyebabkan banyak pelaku tindak
Yurisprudensi diatas telah menjadi yurisprudensi yang konstan hal ini bisa dilihat
dalam putusan Mahkamah Agung RI dalam putusannya dalam perkara nomor
71/K/Kr/1970 tanggal 27 Mei 1972 antara lain menyebutkan, meskipun
dituduhkan secara formil, namun secara materiil harus memperhatikan juga
adanya kemungkinan keadaaan dari terdakwa atas dasar mana mereka tidak
dapat dihukum. Sikap tersebut diatas seperti juga yang terdapat dalam putusan
Mahkamah Agung no 81/K/Kr/1973 tanggal 20 Maret 1977. Terdakwa adalah
seorang insinyur kehutanan dengan memperhitungkan biaya reboisasi yang
tidak dikurangi kemanfaatannya dengan tidak mengurangi kemanfaatannya
dengan tidak mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri dan dengan
memperoleh tanah menambah mobilitas serta untuk mensejahterakan pegawai,
kepentingan umum dilayani dan negara tidak dirugikan, secara materiil tidak
melawan hukum walaupun perbuatannya termasuk rumusan delik yang
bersangkutan.
Dari dua kasus tersebut Mahkamah Agung "melepas dari segala tuntutan
hukum" terdakwa berarti tidak melawan hukum secara materiil,
merupakan dasar peniadaan pidana diluar undang-undang..
HUKUM
MATERIIL"
PASCA
PUTUSAN
Oleh karena dimensi demikian maka hakim tidaklah harus berarti menjadi
penyambung lidah atau corong UU (bousche de la loi/mouth of the laws)
akan tetapi hakim harus dapat menerapkan, sebagai filter dan
mengimplementasikan peraturan tersebut yang masih bersifat abstrak
terhadap kasus konkrit. Konsekuensi logis dimensi demikian hakim
dihadapkan kepada pilihan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Di satu
sisi perbuatan korupsi secara formal (perbuatan melawan hukum formal)
tidak ada, akan tetapi di sisi lainnya secara materiil (perbuatan melawan
hukum materril) ada maka hakim sebagai kebijakan aplikasi harus
menggali, memahami dan menghayati norma-norma hukum yang hidup di
dalam masyarakat. Apabila dijabarkan lebih jauh paradigma konteks di
atas dikarenakan hakim hidup di masyarakat, menggali dan menetapkan
hukum untuk masyarakat, peraturan dibuat untuk suatu masyarakat dan
juga tentu harus menjatuhkan hukuman sesuai dengan dimensi keadilan
kepada masyakarat pendukungnya di mana hukum itu hidup (living law).
Dalam paradigma modern sekarang dapat disebutkan dengan paradigma
bahwa, "hakim tidak hidup dalam menara gading".
4. PANDANGAN MAHKAMAH AGUNG PERBUATAN MELAWAN HUKUM
MATERIIL" PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Dimensi, paradigma, aktualitas dan pemikiran progresif sebagaimana apa yang
dikedepankan aliran fragmatic legal realism atau realisme amerika inilah yang
coba dikedepankan oleh Mahkamah Agung RI sebagaimana dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus 2006 atas nama
terdakwa Hamdani Amin dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974
K/Pid/2006 tanggal 13 Oktober 2006 atas nama terdakwa Prof. Dr. Rusadi
Kantaprawira SH. Esensi krusial putusan tersebut hakikatnya tetap
mempertahankan dan menerapkan perbuatan melawan hukum materiil dalam
perkara tindak pidana korupsi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 khususnya terhadap eksistensi ketentuan
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.
Apabila dijabarkan lebih detail ada beberapa argumentasi yang diterapkan oleh
Majelis Hakim Mahkamah Agung dengan melakukan suatu penemuan hukum
terhadap tetap diterapkannya perbuatan melawan hukum materiil
sebagaimana norma yang diatur dalam penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU
Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Pertama,
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli
2006 khususnya terhadap eksistensi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka yang dimaksud
dengan unsur "melawan hukum" menjadi tidak jelas rumusannya. Oleh karena
itu berdasarkan doctrine "Sens-Clair" (la doctrine du senclair) hakim harus
melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28 ayat
(1)
UU
Nomor
4
Tahun
2004
yang
menentukan,
"Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat", karena menurut ketentuan Pasal 16
ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004, "Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya".
Selain itu juga Hakim dalam mencari makna "melawan hukum" seharusnya
mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat unsur pada saat
ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit. Tegasnya, sebagaimana
disebutkan Hamaker bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai
dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup di dalam
masyarakatnya ketika putusan itu dijatuhkan, oleh karena itu menurut I.H.
Hymans hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan
kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan "hukum dalam makna
sebenarnya". Konklusi dasarnya, sebagaimana dikatakan Lie Oen Hock bahwa,
"apabila kita memperhatikan UU, ternyata bagi kita bahwa UU tidak saja
menunjukan banyak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas.
Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam
hal sedemikian UU memberi kuasa kepada hakim untuk menetapkan sendiri
maknanya ketentuan UU itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu
ketentuan UU. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan UU secara gramatikal
atau historis baik "rechts maupun wetshistoris", secara sistimatis atau secara
sosiologis atau dengan cara memperbandingkan hukum.
Kedua,
Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur "secara melawan hukum" dalam
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
memperhatikan doktrin dan Yurispudensi Mahkamah Agung RI yang
berpendapat bahwa unsur "secara melawan hukum" dalam tindak pidana korupsi
adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam
arti materiil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam fungsi positif dan
negatifnya, yang pengertiannya Mahkamah Agung berpedoman pada:
Mahkamah
Agung
dalam
Putusan
Nomor
996
K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus 2006 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
1974 K/Pid/2006 tanggal 13 Oktober 2006 menerapkan perbuatan melawan
hukum materiil, sehingga ajaran sifat melawan hukum materiil seolah terasa
"hidup
kembali".
Tugas,
fungsi
dan
peranan
hakim
asasnya memberikan keadilan karena itu UU memberi independensi kepada
hakim ketika memutus perkara dan doktrin memberikan cara dengan melakukan
penafsiran dan penemuan hukum guna pembentukan hukum baru yang
diterapkan pada kasus konkrit (law in concreto).. Sekarang kembali kepada
Hakim
yang
bersangkutan,
apakah
akan memutus sesuai yurisprudensi ataukah tidak, karena secara normatif,
teoretis, doktrin dan praktik peradilan jurisprudensi di Indonesia tidak bersifat
sebagai "the binding force of precedent" akan tetapi relatif bersifat sebagai
"pressuasieve of precedent". Hakim akan menegakkan Undang-Undang atau
akan menegakan keadilan;
Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada
hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan atau administrasinya. Balas
jasa yang diberikan oleh pejabat, disadari atau tidak, adalah kelonggaran aturan
yang semestinya diterapkan secara ketat. Kompromi dalam pelaksanaan
kegiatan yang berkaitann dengan jabatan tertentu dalam jajaran birokrasi di
Indonesia
inilah
yang
dirasakan
sudah
sangat
mengkhawatirkan.
Korupsi seringkali dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang ditentang
dan dikutuk, dicaci dan dimaki, serta digambarkan sebagai perbuatan yang tidak
bermoral dan berkaitan dengan keserakan, dan ketamakan sekelompok
masyarakat dengan menggunakan harta negara serta melawan hukum,
penyalahgunaan jabatan serta perbuatan lain yang dipandang sebagai
hambatan
dan
gangguan
dalam
membangun
negara.
Berdasarkan hasil penelitian Transparency International (TI) selama enam tahun
berturut-turut dari tahun 1995-2000, Indonesia selalu menduduki posisi sepuluh
besar sebagai negara paling korup didunia. Selanjutnya, berdasarkan penelitian
political and economic risk consultancy (PERC) tahun 1997, Indonesia menempati
posisi negara terkorup di Asia. Pada tahun 2001, posisi Indonesia menjadi negara
terkorup
nomaor
dua
setelah
Vietnam.
Tingkat korupsi Indonesia pada lima tahun berikutnya, dari tahun 2001 samapai
2005, tidak menunjukkan penurunan berarti. Masih menurut hasil penelitian
Teransparency International, pada tahun terakhir, Indonesia betah bertahan
disepuluh besar negara paling korup didunia. Pada tahun 2004, misalnya,
Indonesia menjadi negara paling korup nomor lima didunia dengan corruption
perception index (CPI), serta menjadi negara paling korup nomor satu di Asia
tenggara.
Menyimak laporan hasil survei korupsi yang dirilis oleh Transparency
Internasional (TI) tahun 2006, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia menempati
urutan ke-130 dari 163 negara. Angka ini lebih baik di banding tahun 2005,
dimana Indonesia menempati urutan 137 dari 159 negara yang di survei, selain
itu skor Indonesia tahun 2006 sedikit lebih baik. Dibanding tahun 2005,
Indonesia menempati urutan ketujuh negara paling korup diantara 163 negara.
BAB
PEMBAHASAN
II
A.
Pengertian
Korupsi
Korupsi merupakan suatu bentuk perbuatan melawan hukum yang merugikan
keuangan atau perekonomian negara. Menurut UU No. 31 tahun 1999 yang
termasuk
dalam
tindak
pidana
korupsi
sebagai
berikut:
1. Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian
negara
(Pasal
2);
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau
perekonomian
negara
(Pasal
3)
3. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri mengingat kekuasaan atau
wewenangnya yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan
tersebut
(Pasal
13)
Berdasarkan rumusan-rumusan diatas, maka korupsi merupakan suatu bentuk
tindak pidana yaitu perbuatan melawan hukum yang bertujaun menguntungkan
diri sendiri atau orang lain, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang,
kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatan yang merugikan keuangan
negara.
Ditinjau dari segi istilah Korupsi berasal dari kata Corrupteia dalam bahasa
latin Bribery berarti penyuapan atau Seduction makna yang diartikan
Corrupti atau Corruptus diartikan sebagai memberikan, menyerahkan kepada
seorang untuk agar orang tadi berbuat untuk atau guna keuntungan (dari
pemberi). Sedangkan yang diartikan sebagai Seduction atau penggoda ialah
sesuatu yang menarik untuk membuat seseorang menyeleweng dan dipakai juga
untuk menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi banyak
dikaitkan
dengan
ketidak
jujuran
seseorang
dibidang
keuangan.
Secara Harfiah korupsi adalah kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat
disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata bernuansa menghina atau
mefitnah, penyuapan, niet ambtelijk corruptie; dalam bahasa Indonesia kata
korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok
dan
sebagainya.
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20
tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa korupsi adalah
kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum
maupun
bukan
badan
hukum.
Makna korupsi berkembang dari waktu ke waktu sebagai pencerminan kehidupan
masyarakat dari sisi negatif. Semula istilah korupsi merupakan istilah yang
banyak dipakai dalam ilmu politik, kemudian menjadi sorotan berbagai disiplin
ilmu.
Ada beberapa definisi lain yang dimuat dalam berbagai literatur, yang
menjelaskan tentang pengertian korupsi menurut para sarjana, antara lain;
1.
Syed
Hussein
Alatas
Korupsi adalah pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau kelompokkelompok politik pada jabatan-jabatan kedinasan aparatur pemerintah tanpa
memandang keahlian mereka, maupun konsekuensinya pada kesejahteraan
masyarakat yang dinamakan nepotisme, sehingga dapat diketahui adanya
empat jenis perbuatan yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni; penyuapan,
nepotisme,
pemerasan,
dan
penggelapan.
2.
Ediwarman
Korupsi adalah merupakan salah satu bentuk kejahatan atau tindak pidana yang
bertujuan untuk memperkaya diri dan secara langsung merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
3.
T.
Gayus
Lumbuun
Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak secara
luas, bahkan dengan menggunakan sarana teknologi seperti media elektronik
atau alat optik yang sulit diungkapkan.
B.
Sebab-sebab
Korupsi
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi
menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya
bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi
lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini
adalah
aspek-aspek
penyebab
seseorang
berbuat
Korupsi.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua
hal
yang
jelas,
yakni
:
a) Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan
sebagainya),
b) Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang
kontrol
dan
sebagainya.
Dr. Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa penyebab
korupsi,
yakni
:
a) Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin
meningkat;
b) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber
atau
sebab
meluasnya
korupsi;
c) Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien,
yang
memberikan
peluang
orang
untuk
korupsi;
d)
Modernisasi
pengembangbiakan
korupsi
Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul
Strategi Pemberantasan Korupsi, antara lain :
1.
Aspek
Individu
Pelaku
a.
Sifat
tamak
manusia
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau
penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi
masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada
pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
b.
Moral
yang
kurang
kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan
korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau
pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
c.
Penghasilan
yang
kurang
mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi
kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan
berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya
dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi
peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga,
pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan
yang seharusnya.
d.
Kebutuhan
hidup
yang
mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi
terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang
untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
e.
Gaya
hidup
yang
konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar seringkali mendorong gaya hidup seseong
konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan
pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan
berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan
itu adalah dengan korupsi.
f.
Malas
atau
tidak
mau
kerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar
keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan
tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan
korupsi.
g.
Ajaran
agama
yang
kurang
diterapkan
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak
korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi
masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan
bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
2.
Aspek
Organisasi
a.
Kurang
adanya
sikap
keteladanan
pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai
pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi
keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka
kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.
b.
Tidak
adanya
kultur
organisasi
yang
benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila
kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi
III
1.
Apakah asset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan negara?
2. Apakah kerugian dari satu transaksi dalam PT. BUMN (Persero) berarti kerugian
PT.
BUMN
(persero)
dan
otomatis
menjadi
kerugian
negara?
3. Apakah ada upaya hukum bagi Pemerintah sebagai pemegang saham
menuntut Direksi atau Komisaris bila tindakan mereka dianggap merugikan
Pemerintah
sebagai
pemegang
saham?
4. Apakah Pemerintah sebagai pemegang saham dalam PT. BUMN (Persero)
dapat mengajukan tuntutan pidana kepada Direksi dan Komisaris PT. BUMN
(Persero) bila tindakan mereka dianggap merugikan Pemerintah sebagai
Pemegang
Saham?
5.
Apakah
yang
dimaksud
dengan
kerugian
negara?
6. Langkah-langkah apakah yang perlu dilakukan untuk terciptanya sinkronisasi
peraturan
perundang-undangan
dan
pelaksanaannya?
1. Apakah asset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan negara?
Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut Persero,
adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam
saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya
dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar
keuntungan. Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan terhadap Persero berlaku segala
ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan
hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu
Badan Hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang
terpisah dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai
pengawas), dan Pemegang Saham (sebagai pemilik). Begitu juga kekayaan
yayasan sebagai Badan Hukum terpisah dengan kekayaan Pengurus Yayasan dan
Anggota Yayasan, serta Pendiri Yayasan. Selanjutnya kekayaan Koperasi sebagai
Badan Hukum terpisah dari Kekayaan Pengurus dan Anggota Koperasi.
BUMN yang berbentuk Perum juga adalah Badan Hukum. Pasal 35 ayat (2)
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
menyatakan, Perum memperoleh status Badan Hukum sejak diundangkannya
Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya. Berdasarkan Pasal 7 ayat (6)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, BUMN Persero
memperoleh status badan hukum setelah akte pendiriannya disahkan oleh
Menteri
Kehakiman
(sekarang
Menteri
Hukum
dan
HAM).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kekayaan BUMN Persero maupun kekayaan
BUMN Perum sebagai badan hukum bukanlah kekayaan negara. Sebenarnya
tidak ada yang salah dengan perumusan mengenai keuangan negara dalam
penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
yang menyatakan : Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan
negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,
termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan
kewajiban
yang
timbul
karena
:
a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat
lembaga
Negara,
baik
ditingkat
pusat
maupun
di
daerah;
b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Kekayaan negara yang dipisahkan dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan harta
kekayaan Badan Hukum Milik Negara (BUMN) itu. Seseorang baru dapat
dikenakan tindak pidana korupsi menurut Undang- Undang bila seseorang
dengan sengaja menggelapkan surat berharga dengan jalan menjual saham
tersebut secara melawan hukum yang disimpannya karena jabatannya atau
membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Namun dalam prakteknya sekarang ini
tuduhan
korupsi
juga
dikenakan
kepada tindakan-tidakan Direksi BUMN dalam transaksi-transaksi yang didalilkan
dapat merugikan keuangan negara. Dapat dikatakan telah terjadi salah
pengertian dan penerapan apa yang dimaksud dengan keuangan negara. Begitu
juga tidak ada yang salah dengan definisi keuangan negara dalam UndangUndang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan
keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban
tersebut
(Pasal
1
angka
1).
Pasal 2 menyatakan Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 1, meliputi, antara lain kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta
hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Saya berpendapat
bahwa kekayaan yang dipisahkan tersebut dalam BUMN dalam lahirnya adalah
berbentuk saham yang dimiliki oleh negara, bukan harta kekayaan BUMN
tersebut. Kerancuan mulai terjadi dalam penjelasan dalam Undang-undang ini
tentang pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang menyatakan :
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari
sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan
Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter
dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik
berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek
yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana
tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah daerah, Perusahaan Negara/Daerah, san badan lain yang ada
Apakah
yang
dimaksud
dengan
kerugian
negara?
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2001tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, yang berbunyi:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). (garis
bawah
dari
saya).
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi itu bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Perubahan Keempat) yang berbunyi : Negara
Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :2
a. Para penyusun Rancangan Undang-Undang atau perancang undang-undang
memiliki kewajiban mematuhi prinsip Rule of Law. Sebagai bagian dari kewajiban
itu, mereka harus memastikan agar kerangka rancangan mereka ada kejelasan,
ketelitian, dan konsistensi. Tanpa kejelasan dan ketelitian, undang-undang tidak
dapat diprediksi. Prinsip Negara Hukum menuntut agar sebanyak mungkin orang
mengetahui tentang apa yang diperintahkan kepada mereka berdasarkan
undang-undang, hal-hal apa yang diberikan kepada mereka berdasarkan undangundang, dan perilaku apa yang mereka harapkan dari pejabat. Adanya kejelasan
dan ketelitian dalam RUU itu sendiri menempatkan tugas penyusun RUU sebagai
dasar
dari
pemerintahan
yang
bersih
dan
pembangunan.
b.
Kewajiban penyusun RUU yang jelas dan teliti berasal juga dari
tuntutantuntutan pemerintahan demokrasi yang berupaya mengadakan
reformasi; untuk menggunakan hukum yang mengubah perilaku-perilaku
bermasalah dan dalam pengambilan keputusan secara tidak sepihak. Kedua hal
tersebut menuntut agar menggunakan hukum dalam mendorong perilakuperilaku yang menjadi sasaran dari peraturan perundang-undangan baik warga
masyarakat maupun para pejabat. Dalam pembangunan tugas utama hukum
yaitu mengatur perilaku-perilaku, baik perilaku peran utama maupun dari para
pejabat
dalam
lembaga-lembaga
pelaksanaan
(Penegak
Hukum).
c.
Demokrasi menuntut kejelasan dan ketelitian dari para perancang
undangundang. Pada prinsipnya, melalui peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh badan pembuat undang-undang yang dipilih secara demokratis,
Rakyat menentukan perilaku penguasa. Prinsip Negara Hukum akan runtuh
apabila para pejabat yang menjadi sasarannya para hakim dan penegak hukum
lainnya tidak mematuhi hukum. Tanpa itu demokrasi berada dalam posisi yang
sangat lemah. Para perancang undang-undang wajib memastikan agar RUU
mereka mendorong perilaku-perilaku pejabat yang diinginkan, karena sesuai
dengan prinsip Negara Hukum (Rule of Law), yaitu pemerintahan harus
berdasarkan hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 :
Negara
Indonesia
adalah
negara
hukum.
d. Untuk memastikan bahwa prediksi dapat dibuat, guna mendorong adanya
perilaku yang sesuai dengan pemerintahan yang bersih, dan memastikan bahwa
khususnya para pejabat pemerintah mematuhi ketentuan-ketentuan dalam
undang-undang, serta para pihak yang dituju undang-undang memiliki akses
yang mudah terhadap isi dari undang-undang yang bersangkutan. Sebagai
syarat pertama dari kemudahan untuk memperoleh akses, kerangka undangundang pengungkapan dari strukturnya secara keseluruhan, perincian tentang
siapa melakukan apa, serta kejelasan, ketelitian dan konsistensi kalimat-kalimat
dalam undang-undang sehingga memberikan kepastian bagi para pihak yang
dituju tentang kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum. Untuk memastikan
bahwa prediksi dapat dibuat, dan memastikan agar undang-undang
sesungguhnya mendorong perilaku-perilaku yang diinginkan baik untuk
mencapai pembangunan maupun pengambilan keputusan tidak secara sepihak,
dan untuk melindungi pengendalian demokratis terhadap pemerintah, maka
para penyusun RUU harus mampu menghasilkan undang-undang yang
terperinci,
teliti,
jelas
dan
dapat
diakses.
e. Pasal 2 ayat (1) yang memuat kalimat : ... yang dapat merugikan keuangan
Negara ..., menggunakan kata-kata yang samar-samar. Bagaimana hukum
harus ditetapkan atau hukuman dijatuhkan berdasarkan suatu peristiwa yang
belum terjadi, belum tentu terjadi atau mungkin tidak terjadi. Kata-kata ... yang
dapat merugikan keuangan Negara ..., pada prakteknya kata-kata ini dapat
berarti apa saja sesuai dengan pilihan pembacanya. Bagaimana besar akibatnya
bagi tersangka yang dijatuhi hukuman berdasarkan kata-kata di atas, tetapi
ternyata kemudian kerugian Negara itu tidak terjadi. Ketika sebuah kasus dibawa
ke pengadilan, hal tersebut secara implisit memberikan wewenang kepada
hakim untuk merumuskan peraturan-peraturan terperinci yang diperlukan.
Ketidakpastian kata-kata demikian tentu saja tidak diinginkan. Membuat RUU
yang samar-samar adalah tidak baik, sebuah istilah yang samar-samar
memberikan kewenangan kepada setiap pejabat yang melaksanakan undangundang tersebut, secara tanpa batas. Hal ini dapat menimbulkan apa yang
disebut Judicial Dictatorship yang tentu saja bertentangan dengan Pasal 1 ayat
(3)
UUD
1945
:
Negara
Indonesia
adalah
Negara
hukum.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut yang memuat
kata-kata ... yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara ..., telah bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (garis
bawah
dari
saya),
berdasarkan
alasan-alasan
berikut
:
a. Kata-kata : ... yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara ..., yang dapat ditafsirkan menurut kehendak siapa saja yang
membacanya tidak mendatangkan kepastian hukum kepada pencari keadilan
dan Penegak Hukum, karena perbuatan atau peritiwa tersebut belum nyata atau
belum
tentu
terjadi
dan
belum
pasti
jumlahnya.
b. Telah ada definisi Kerugian Negara yang menciptakan kepastian hukum,
yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat (22) : Kerugian Negara/Daerah
adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai
(garis bawah dari saya). Kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya...,
memberi
kepastian
hukum.
Kesimpulan saya dari sudut hirarki peraturan perundang-undangan :
a. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut agar tidak
diperlakukan karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (1)
UUD 1945, atau kata dapat dihilangkan sehingga, berbunyi : Setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara....
b. Hal tersebut di atas tidak akan menimbulkan kekosongan hukum, dengan
adanya pengertian yang mendatangkan kepastian hukum, sebagaimana
tercantum dalam pengertian kerugian sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat
(22) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
c. Alasan tidak berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, sesuai pula
dengan azas Hukum Pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP :
Jika undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada
tersangka
dikenakan
ketentuan
yang
menguntungkan
baginya.
Menurut hemat saya telah terjadi perubahan pengertian Kerugian Negara itu
oleh pembuat undang-undang karena Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara tersebut juga memuat sanksi-sanksi pidana, Pasal 64
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 menyatakan : Bendahara, Pegawai Negeri
bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti
kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi
pidana.
Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi. (garis bawah dari
saya)
d.
Terjadinya suatu perubahan undang-undang ditandai dengan perubahan