Anda di halaman 1dari 42

SIFAT MELAWAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

SIFAT
PADA

MELAWAN

HUKUM
PASAL

TINDAK

PIDANA
2

KORUPSI
UUTPK

Suatu perbuatan masuk dalam ruang lingkup hukum pidana, perdata atau
administrasi negara ditentukan oleh sumber pengaturan dan sanksinya. Jika
diatur dalam hukum pidana dan disertai ancaman pidana, maka perbuatan
tersebut masuk ruang lingkup hukum pidana, dan itulah tindak pidana. Jika
perbuatan itu ditentukan dalam hukum administrasi beserta sanksi administrasi,
maka perbuatan itu masuk ruang lingkup hukum administrasi. Jika sumber
pengaturannya dan sanksinya bersifat perdata, maka perbuatan itu masuk ruang
lingkup
hukum
perdata.
Dalam hubungnnya dengan hukum pidana korupsi, khususnya Pasal 2 dan
UUTPK, pelanggaan administrasi dapat merupakan tempat/letak atau penyebab
timbulnya sifat melawan hukum perbuatan, apabila terdapat unsur sengaja
(kehendak dan keinsyafan) untuk menguntungkan diri dengan menyalahgunakan
kekuasaan jabatan, yang karena itu merugikan keuangan atau perekonomian
negara. Perbuatan administrsi yang memenuhi syarat-syarat yang demikian itu
membentuk pertanggungjawaban pidana. Apabila unsur-unsur tersebut tidak
ada, terutama unsur merugikan keuangan / perekonomian negara, maka yang
terjadi adalah kesalahan prosedur/administrasi, dan tidak ada sifat melawan
hukum korupsi dalam hal semata-mata salah prosedur. Perbuaatan itu sekedar
membentuk
pertanggunganjawaban
hukum
administrasi
saja.
Dalam hubungnnya dengan hukum pidana korupsi, khususnya Pasal 2 UUTPK,
kesalahan prosedur atau kesalahan administrasi dibedakan dalam 4 macam.
Pertama, kesalahan administrasi murni. Terjadi apabila melakukan prosedur
administrasi
karena
khilaf
(kulpa)
baik
terhadap
ketentuan
prosedural/tatalaksana maupun akibatnya. Perbuatan khilaf ini tidak membawa
kerugian apapun bagi kepentingan hukum negara. Salah perbuatan adminsitratif
semacam ini bukan korupsi. Pertangungajwaban yang timbul adalah
pertanggungjawaban administrasi. Misalnya dengan mencabut, membatalkan
atau
melalui
klausula
pembetulan
sebagaimana
mestinya.
Kedua, si pembuat khilaf (culpoos) dalam melaksanakan prosedur pekerjaan
tertentu, yang dari pekerjaan ini membawa kerugian negara, misalnya nilai uang
tertentu. Kasus semacam ini masuk pada perbuatan melawan hukum
(onrechtsmatige daad) menurut hukum perdata (Pasal 1365 BW), bukan korupsi.
Perbuatan ini membentuk pertanggungjawaban perdata, diwajibkan untuk
mengganti
kerugian.
Ketiga, si pembuat sengaja mengelirukan pekerjaan adminsitratif tertentu,
namun tidak (dapat) membawa dampak kerugian kepentingan hukum negara.
Kesalahan semacam ini masih di teloransi sebagai kesalahan adminsitrati.
Perbuatan
ini
membentuk
pertanggungjawaban
adminisrasi.
Sanksi
administratitif dapat dijatuhkan pada si pembuat, tidak dapat menjatuhkan

pidana.
Keempat, si pembuat dalam kedudukan administratif tertentu - sadar dan
mengerti (sengaja) bahwa pekerjaan administratif tertentu menyalahi
aturan/prosedur (melawan hukum) dilakukannya juga, yang karena itu
membawa kerugian negara. Apabila perbuatan itu berupa perbuatan
memperkaya maka masuk Pasal 2 UUTPK, dan apabila dilakukan dengan
menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan jabatan maka masuk
Pasal 3. Dalam hal yang keempat ini saja, kesalahan prosedur merupakan sifat
melawan
hukum
korupsi.
Bentuk pertanggungjawaban tindak pidana, administrasi atau perdata ditentukan
oleh sifat pelanggaran (melawan hukumnya perbuatan) dan akibat hukumnya.
Bentuk pertanggungjawaban pidana selalu bersanksi pidana. Pertangungjawaban
administrasi selalu bersanksi administrasi, dan pertanggungjawaban perdata
ditujukan pada pengembalian kerugian keperdataan, akibat dari wanprestasi
atau onrechtsmatige daad. Pada dasarnya setiap bentuk pelanggaran selalu
mengandung sifat melawan hukum dalam perbuatan itu. Dalam hal sifat
melawan hukum tindak pidana, selalu membentuk pertanggunggjawaban pidana
sesuai tindak pidana tertentu yang dilanggarnya. Sementara sifat melawan
hukum administrasi dan perdata, sekedar membentuk pertanggungjawaban
administrasi dan perdata saja sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.
Pada dasarnya kesalahan administrasi tidak dapat dipertangungjawabkan secara
pidana. Namun apabila kesalahan administrasi tersebut disengaja dan disadari
merugikan keuangan negara, dan dilakukan dengan memperkaya diri atau
dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan, maka
kesalahan administrasi seperti itu merupakan tempat melekatnya/letak atau
penyebab sifat melawan hukumnya korupsi, dan karenanya membentuk
pertanggungjawaban pidana dan dapat dipidana berdasarkan Pasal 2.
Pelanggaran administrasi bukan merupakan letak/tempat tindak pidana
korupsinya, melainkan tempat/letak sifat melawan hukumnya korupsi. Karena
tidak mungkin terjadi korupsi pada perbuatan yang sifatnya semata-mata
pelanggaran administrasi maupun semata-mata bersifat pelanggaran hubungan
keperdataan
saja.
Pelanggaran hukum perdata, seperti wanprestasi dari suatu kontrak/perjanjian
atau perbuatan melawan hukum meskipun akibatnya negara dirugikan, tidak
bisa serta merta membentuk pertanggungjawaban pidana. Dalam hal negara
dirugikan oleh wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, pemulihan kerugian
dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata, bukan melalui penuntutan
pidana
di
peradilan
pidana.
Dalam hal badan publik melakukan perbuatan perdata, maka prosedur, syaratsyarat yang ditentukan dalam hukum perdata harus diikuti. Badan publik
tersebut harus tunduk pada hukum perdata. Namun apabila terdapat aturan lain
(accessoir) bersifat administrasi dalam hal prosedur untuk keabsyahan
perbuatan hukum perdata tersebut, mengingat untuk kepentingan publik, maka

apabila pengaturan administrasi tersebut dilanggar, dapat merupakan letak sifat


melawan hukum korupsi, apabila memenuhi unsur kesengajaan yang disadari
merugikan keuangan/perekonomian negara yang dilakukan dengan perbuatan
memperkaya
atau
dilakukan
dengan
menyalahgunakan
kewenangan,
kesempatan
atau
sarana
jabatan.
Dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan seseorang yang mewakili badan
publik, misalnya suatu Pemerintah Daerah dalam hal melakukan perbuatan
perdata/kontrak dengan pihak swasta dengan melalui prosedur administrasi
negara. Sepanjang prosedur administrasinya diikuti, maka tidak ada sifat
melawan hukum korupsi di dalamnya. Andaikata ada segi-segi prosedur
administrasi yang tidak diikuti dalam melakukan perbuatan perdata dari suatu
badan publik (misalnya kontrak dengan pihak swasta), asalkan tidak dilakukan
dengan memperkaya diri atau menyalahgunakan kewenangan, sarana atau
kesempatan jabatan dan tidak menimbulkan kerugian keuangan negara, maka
pelanggaran adminstrasi tersebut tidak merupakan letak sifat melawan
hukumnya perbuatan korupsi. Pelanggaran administrasi dipertanggungjawabkan
secara administrasi saja. Sifat melawan hukum korupsi hanya bisa terjadi pada
pelanggaran prosedur adminstrasi yang disengaja dengan kesadaran merugikan
keuangan negara yang dilakukan dengan perbuatan memperkaya diri atau
dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan. Tiga
unsur, ialah: pelanggaran prosedur yang disengaja, merugikan keuangan negara
dan dilakukan dengan memperkaya atau menyalahgunakan kewenangan, sarana
atau kesempatan jabatan, sifatnya kumulatif, sebagai syarat terbentuknya
pertanggungjawaban
pidana
korupsi.
Untuk menentukan kerugian negara dalam perkara korupsi, bisa meminta
bantuan audit invistigasi, namun bukan keharusan. Menentukan kerugian negara
dalam perkara korupsi, hasil audit BPKP tidak mengikat hakim. Hakim bebas
menentukan perhitungannya sendiri berdasarkan alat-alat bukti di dalam sidang
dengan menggunakan akal dan logika hukum serta kapatutan.
Audit investigasi harus dimintakan oleh penyidik, dan bukan oleh pihak lain. Jika
audit tersebut tidak dimintakan oleh penyidik, maka audit itu tidak bersifat
pidana, melainkan bersifat administratif saja. Oleh karenanya tidak mempunyai
nilai
pembuktian
dalam
perkara
pidana.
Mengenai perselisihan pra yudicial dalam hubungannya dengan penghentian
sementara (skorsing) penuntutan, dalam doktrin hukum ada 2 (dua) macam:
Pertama, disebut dengan quistion prejudicielle a laction. Merupakan
perselisihan pra judicial dimana hakim mempunyai kewajiban untuk menskorsing
penuntutan. Dalam hal ini apabila dalam UU disebutkan secara tegas, bahwa
apabila terjadi perselisihnan pra judicial maka hakim wajib mensokrsing
penuntutan. Contohnya dalam Pasal 314 Ayat (3) KUHP., yang mewajibkan pada
hakim untuk menghentikan sementara penuntutan bagi terdakwa fitnah, apabila
orang yang difitnah telah diajukan penunutan ke pengadilan, sampai perbuatan
yng dituduhkan pada orang yang difitnah tersebut mendapatkan putusan yng

bersifat
tetap.
Kedua, disebut quistion prajudicielle au jugement. Merupkan perselisihan pra
judicial yang dimaksud Pasal 81 KUHP, yang apabila terjadi maka menjadi hak
hakim untuk melakukan skorsing penuntutan. Karena merupakan hak, maka
sifatnya fakultatif. Hakim boleh tidak menggunakan haknya. Namun akibatnya
nanti putusan perkara lain yang berhubungan dan menentukan bisa
bertentangan dengan putusan perkara pidana. Dari sudut kepastian hukum dan
keseragaman putusan pengadilan, keadaan yang demikian tidak dapat
dibenarkan.
Perbuatan memperkaya diri dalam Pasal 2 UUTPK - bentuknya abstrak, yang
terdiri dari banyak wujud-wujud konkret. Wujud konkret itulah yang harus
dibuktikan. Untuk membuktikan wujud memperkaya selain membuktikan
bentuknya, misalnya wujud mencatumkan kegiatan fiktif perlu juga
membuktikan ciri-cirinya, yaitu: Pertama, dari perbuatan itu ybs memperoleh
suatu kekayaan. Kedua, jika hubungkan dengan sumber pendapatannya,
kekayaannya tidak seimbang dengan sumber yang menghasilkan kekayaan
tersebut. Ketiga, jika dihubungkan dengan wujudnya, perbuatan tersebut bersifat
melawan hukum. Keempat, jika dihubungkan dengan akibat, ada pihak lain yang
dirugikan
dalam
hal
ini
merugikan
keuangan
negara.
Perbuatan menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 UUTPK adalah
menggunakan wewenang yang melekat pada jabatan / kedudukan secara
menyimpang dari tatalaksana yang semestinya, sebagaimana yang diatur dalam
peraturan, petunjuk tata kerja, instruksi dinas dll. yang bertentangan dengan
maksud
dan
tujuan
dari
kedudukan/
jabatan
tesebut.
Apabila dalam surat dakwaan di junto-kan Pasal 55 Ayat (1) angka 1 KUHP
tentang bentuk pembuat peserta (medepleger). Maka keterlibatan terdakwa
wajib dibuktikan sebagai medepleger. Pertama harus dibuktikan lebih dulu
bahwa peristiwa yang didakwakan ini adalah sebagai tindak pidana. Barulah
membuktikan tentang terdapatnya syarat medepleger. Dari sudut subjektif
kesengajaan (kehendak) terdakwa sebagai medepleger harus sama dengan
kesengajaan pembuat pelaksana (pleger) dalam hal mewujudkan tindak pidana.
Dari sudut objektif, meskipun wujud perbuatan medepleger tidak perlu sama
dengan wujud pleger, namun harus dibuktikan ada kerjasama yang diinsyafi.
Kerjasma yang diinsyafi adalah keinsyafan bahwa meskipun antara mereka
melakukan perbuatan sendiri-sendiri yang berbeda, namun disadari kesemuanya
ditujukan untuk menyelesaikan tindak pidana yang sama-sama dikehendaki.
19 April 2011.
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri,
yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan kepada mereka.[1]

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup
unsur-unsur sebagai berikut:

perbuatan melawan hukum;

penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;

memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:

memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);

penggelapan dalam jabatan;

pemerasan dalam jabatan;

ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);

menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang
paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk
memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang
diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti
harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur
pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau
berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan
kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan
membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang
dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang
legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
KONDISI YANG MENDUKUNG

Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung


jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim
yang bukan demokratik.

Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah

Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar


dari pendanaan politik yang normal.

Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.

Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman


lama".

Lemahnya ketertiban hukum.

Lemahnya profesi hukum.

Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.

Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan


kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B
Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada umumnya orang menghubunghubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan
adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar
bahwa hal tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan
saling memengaruhi satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling
menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi.
Namun demikian kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor
yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal
ini dikemukakan oleh Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979:
The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123). Begitu pula
J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960
situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai,
gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat
dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari
tambahan dan banyak diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang
ekstra untuk pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi
karya Andi Hamzah, 2007)

Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal
memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.

Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau


"sumbangan kampanye".

[sunting] Dampak negatif


[sunting] Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia
politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good
governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan
umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di
pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan

ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis
kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan
sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi.
Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan
nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan
ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos
niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam
negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena
penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi
ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul
berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan
dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas
proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya
menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan
syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.
Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan
menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor
keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika,
adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan
penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan
ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator
Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator
Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya
(meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui
investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas
Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal
dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang
luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau
kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh
ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah
ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering
menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini
memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar
negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.

[sunting] Kesejahteraan umum negara


Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi
warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering
menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah
bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar,
namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "probisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang
memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
[sunting] Bentuk-bentuk penyalahgunaan
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti
penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor
swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan,
dan penipuan.
[sunting] Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan
Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan
penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua
aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat
penyogokan.
Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak
sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan.
Duabelas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi
(anggapan ttg korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001
adalah sebagai berikut:

Australia

Kanada

Denmark

Finlandia

Islandia

Luxemburg

Belanda

Selandia Baru

Norwegia

Singapura

Swedia

Swiss

Israel

Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah:

Azerbaijan

Bangladesh

Bolivia

Kamerun

Indonesia

Irak

Kenya

Nigeria

Pakistan

Rusia

Tanzania

Uganda

Ukraina

Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini
dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut,
bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam
itu juga tidak ada)
[sunting] Sumbangan kampanye dan "uang haram"
Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit
lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada
gosip menyangkut politisi.
Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta
sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk
bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang,
yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.
[sunting] Tuduhan korupsi sebagai alat politik
Sering terjadi dimana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka
dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh

Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan
politik mereka.
[sunting] Mengukur korupsi
Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa
negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada
umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di
bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun:
Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa
korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei
pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi);
dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan
asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan
Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia
mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator
Kepemerintahan.
Korupsi di Indonesia telah menjadi persoalan yang sangat merisaukan, apalagi
sejak era reformasi tuntutan untuk penegakan hukum yang terutama
pemberantasan masalah korupsi sangat diharapkan. Kalau kita lihat berita-berita
media cetak maupun media elektronik banyak para pejabat, penyelenggara
Negara yang terkena dugaan kasus korupsi. Baik itu dari Unsur Legeslatif
(anggota/mantan DPR, DPRD), Penyelanggara Pemerintahan baik itu Kepala
Daerah atau pejabat Negara yang lain. Tidak heran kalau Indonesia menduduki
ranking 5 dunia Negara yang tingkat korupsinya paling tinggi.
Kondisi yang sangat serius menegnai pentingnya pemberantasan tindak pidana
korupsi telah mendorong dunia melalui PBB yang pada tanggal 16 Desember
1999 mengadakan sidang yang kemudian melahirkan suatu deklarasi " United
Nations Declaration Against Coruption and Bribery In Internasional Comercial
Transaction. Dalam deklarasi tersebut menganjurkan kepada negara anggota
untuk mengadopsi ketentuan hukum yang diperlukan sepanjang ketentuan
tersebut belum terdapat dalam sistem hukum masing-masing Negara.
Indonesai sendiri dalam hubungan dengan anjuran tersebut telah melakukan
pembaharuan dalam sistem hukum pidana korupsi dimana ketentuan-ketentuan
yang
tidak
kondusif
bagi
usaha
penanggulangan
korupsi,
perlu
direformasidengan memperhatuikan asas-asas hukum sebagai refleksi negara
hukum.. Reformasi hukum Indonesia dalam penanggulangan Tindak Pidana
Korupsi dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang_undang no 3
tahun 1971.
UU no 31 tahun 1999 ternyata dirasa masih belum dirasakan kuat untuk
menjerat para pelaku korupsi dan juga masih ada kekurangannya, seperti tidak
adanya Aturan Peralihan dalam UU no 31 tahun 1999. Oleh karena itu keluarlah
undang-undang no 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU no 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UU No 31 tahun 1999 jo UU no 20 tahun 2001 memiliki siuatu kemajuan yang


sangat mendasar yang secara ilmiah menjadi ajang dikusi akademik. Aspek yang
mendasar tersebut adalah ajaran sifat melawan hukum materiil (materiele
werechtelijkheid) yang penulis akan bahan dalam makalah ini. Sejak semula sifat
melawan hukum materiil dianggap bersinggungan bahkan bertentangan dengan
asas legalitas yang mana asas legalitas adalah merupakan asas fundamental
dalam hukum pidana.
Ajaran sifat melawan hukum dalam UU Korupsi (No 31 tahun 1999 jo UU no 20
tahun 2001) sering menjadi ajang perdebatan para kalangan praktisi hukum
maupun kaum akademisi. Bahkan tidak terkecuali hakim yang menangani suatu
perkara korupsi bisa menilai atau berpendapat berbeda dalam penerapan fungsi
positif unsur melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dan ini bisa kita lihat
dalam putusan hakim tersebut. Biasanya perbedaan pandangan hakim tersebut
biasanya bisa kita temui dalam Disenting opinion yang diberikan hakim dalam
putusan perkara korupsi.
Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis akan berusaha memaparkan bagaimana
perkembangan pemahaman unsur melawan hukum dalam tindak pidana korupsi
yang termuat dalam UU No 31 tahun 1999 jo UU no 20 tahun 2001.

1. MELAWAN HUKUM SEBAGAI UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI


UU No 31 tahun 1999 jo UU no 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang berkaitan demngan unsur melawan hukum terdapat pada
pasal 2 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :
" setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- ( satu milyar
rupiah)"

Dalam pasal 2 ayat (1) tersebut diatas sangat jelas bahwa melawan hukum
merupakan salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi.
Konsep melawan hukum sejak semula sudah tercantum dalam pasal 1 ayat 1
huruf a UU no 3 tahun 1971. akan tetapi beda rumusannya dengan UU no 24 Prp
tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan tindak Pidana
Korupsi, dalam UU no 24 Prp tahun 1960 unsur melawan hukum yang dimaksud
memakai istilah unsur "melakukan kejahatan atau pelanggaran".
Adanya unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran yang harus dibuktikan
terlebuh dahulu, baru menjatuhkan pidana pada pelaku korupsi. Rumusan unsur
melakukan kejahatan atau pelanggaran, menyebabkan banyak pelaku tindak

pidana tidak terjangkau oleh hukumpidana, ini disebabkan karena perbutan


sipelaku harus didahului oleh suatu kejahatan atau pelanggaran sebagai mana
yang dipersyartakan dalam Undang-Undang no 24 Prp tahun 1960.
Persyaratan untuk membuktikan Unsur melakukan kejahatan dan pelanggran
inilah yang menyebabkan kesulitan-kesulitan dalam memberantas kejahatn
korupsi pada waktu itu. Sebelum memasuki unsur yang lain terlebih dahulu
harus dibuktikan " Unsur melakukan kejahatan dan pelanggran '. Jikia unsur ini
tidak terbukti maka perbuatan pelaku tidak bias dikategorikan kedalam tindak
pidana korupsi, walaupun menurut rasa keadilan dimasyarakat perbuatan pelaku
merupakan perbutan yang koruptif dan perbutannya dapat di pidana;
Unsur melawan hukum dalam UU no 3 tahun 1971 sebagai pengganti UndangUndang no 24 Prp tahun 1960. memiliki pengertian yang cukup luas. Melawan
hukum dalam Undang-Undang itu tidak hanya bersifat formil namun juga bersifat
Materiel. Tujuan diperluasnya mengenai unsur tersebut semata-mata untuk
memudahkan pembuktian dialin pihak untuk menjerat pelaku.
Yang menjadi permasalahan UU no 3 tahun 1971 tidak memberikan definisi
tentang Unsur melawan hukum secara materiil. Apakah unsur melawan hukum
materiil dalam tindak pidana Korupsi sama dengan perbuatan melawan hukum
dalam pasal 1365 BW. Secara Terminologis melawan hukum di dalam bahasa
Belanda disebut dengan istilah "wederrechtelijk", yang mana memiliki beberapa
pengertian,
Van Hammel mengelompokkan Wenderrechtelijk kedalam 2 paham, yaitu yang
pertama yang berpaham positif yang mengartikan Wenderrechtelijk sebagai
perbuatan yang bertentangan dengan hukum (in strijd met het recht) atau
melanggar hak orang lain (met krenking van eens anders recht). Kedua
kelompok paham negatif yang mengartikan Wenderrechtelijk sebagai perbuatan
yang tidak berdasar hukum (niet steunend op het recht) atau sebagai tanpa hak
(zonder bevoegdheid). (PAF.Lamintang :1991-372)
Dalam penjelasan UU no 3 tahun 1971 yang dimaksud unsur melawan hukun
adalah suatu perbuatan yang menjadi sarana untuk melakukan perbuatan yang
dapat dihukum, bukan berati suatu perbuatan yang dapat dihukum. Perbuatan
yang dapat dihukum itu adalah perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain
atau badan usaha.
Adanya perbedaan pendapat tentang ajaran sifat melawan hukum telah
melahirkan dua pengertian sifat melawan hukum yaitu, sifat melawan hukum
secara formil (formiele Wenderrechtelijk) dan melawan hukum secara materiel
(materiele Wenderrechtelijk)
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah apabila
perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang (hukum
tertulis). Dengan pengertian seperti tersebut diatas maka suatu perbuatan
bersifat melawan hukum tidak perlu melihat rasa keadilan yang ada didalam

masyarakat, apakah perbuatan itu tidak patut dilakukan di masyarakat, yang


penting jika perbutan melawan hukum itu memenuhi suatu unsur delik pidana.
Pengertiam melawan hukum secara Materiil diartikan bahwa apabila perbuatan
tersebut tidak hanya bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis saja, tetapi
disamping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memenuhi unsur dalam
rumusan delik, perbuatan haruslah benar-benar dirasakan oleh masyarakat
sebagi perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, jadi dalam
kontruksi yang demikian suatu perbutan dikatakan sebagai perbuatan melawan
hukum apabila perbuatan itu dipandang tercela dalam suatu masyarakat.
Loeby Luqman menegaskan bahwa ukuran untuk mengatakan bahwa suatu
perbuatan melawan hukum secara materiil bukan didasarkan pada ada atau
tidaknya ketentuan dalam suatu undang-undang, akan tetapi ditinjau dari nilai
yang ada dalam masyrakat (Jon Efendi : 2005-40). Pandangan yang menitik
beratkan melawan hukum secara formil lebih menitik beratkan pada sisi obyek
atau perbuatan pelaku. Artinya apabila perbuatannya telah cocok dengan
rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tidaklah perlu diuji apakah
perbuatan itu melawan hukum secara materiil atau tidak. Sebaliknya melawan
hukum secara materiil merupakan pandangan yang menitik beratkan melawan
hukum dari segi subyek atau pelaku. (Jon Efendi : 2005-40). Dari sisi ini, apabila
perbuatan telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka
tindakan selanjutnya adalah dibuktikan ada atau tidaknya perbutaan melawan
hukum secara materiil dari diri sipelaku.

1. FUNGSI NEGATIF DARI AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIL


Penerapan fungsi negatif dari ajaran sifat melawan hukum materiil erat kaitanya
dengan masalah pertanggung jawaban pidana, dimana seseorang dapat
dilepaskan dari segala tuntutan hukum apabila perbutannya tidak melawan
hukum secara materiil, sekalipun perbutan itu melawan hukum secara formil.jadi
dengan fungsi negatif sifat melawan hukum materiil hanya digunakan sebagai
alasan menghapuskan pidana yang berada diluar Undang-Undang, yaitu sebagai
alsan pembenar. (Jon Efendi : 2005-40)
Mahakamah Agung RI dalamm putusannya no 42/K/kr/1965 tanggal 8 Januari
1966 dalam terdakwa Machrus Effendi secara tegas telah menerapkan ajaran
sifat melawan hukum materiil sebagai alasan pembenar. Kaidah Hukum yang
dapat ditarik adalah bahwa suatu tindakan umumnya dapat hilang sifat
melawan hukum bukannya hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam
perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan
atau asas-asas hukum tidak tertulis dan sifatnya umum. Dalam hal ini
misalnya faktor-faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum
dilayani dan terdakwa tidak mendapat keuntungan. Jadi faktor ini oleh
yurisprudensi telah diterima dan ditetapkan sebagai alasan pembenar
diluar ketentuan Undang-Undang, karena hal tersebut tidak ditemukan
dalam KUHP khususnya perihal alasan penghapusan pidana.

Yurisprudensi diatas telah menjadi yurisprudensi yang konstan hal ini bisa dilihat
dalam putusan Mahkamah Agung RI dalam putusannya dalam perkara nomor
71/K/Kr/1970 tanggal 27 Mei 1972 antara lain menyebutkan, meskipun
dituduhkan secara formil, namun secara materiil harus memperhatikan juga
adanya kemungkinan keadaaan dari terdakwa atas dasar mana mereka tidak
dapat dihukum. Sikap tersebut diatas seperti juga yang terdapat dalam putusan
Mahkamah Agung no 81/K/Kr/1973 tanggal 20 Maret 1977. Terdakwa adalah
seorang insinyur kehutanan dengan memperhitungkan biaya reboisasi yang
tidak dikurangi kemanfaatannya dengan tidak mengurangi kemanfaatannya
dengan tidak mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri dan dengan
memperoleh tanah menambah mobilitas serta untuk mensejahterakan pegawai,
kepentingan umum dilayani dan negara tidak dirugikan, secara materiil tidak
melawan hukum walaupun perbuatannya termasuk rumusan delik yang
bersangkutan.
Dari dua kasus tersebut Mahkamah Agung "melepas dari segala tuntutan
hukum" terdakwa berarti tidak melawan hukum secara materiil,
merupakan dasar peniadaan pidana diluar undang-undang..

1. PERGESERAN PEMIKIRAN AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM


UNDANG-UNDANG NO 31 TAHUN 1999 JO UU NO 20 TAHUN 2001
Melawan Hukum materiil dalam Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo UU no 20
tahun 2001 diartikan sebagai suatu perbuatan tercela yang menurut perasaan
keadilan masyarakat harus dituntut pidana. Hal tersebut seperti yang tercantum
dalam penjelasan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo UndangUndang no 20 tahun 2001, yaitu sebagai berikut :
"Meskipun suatu perbuatan tidak diatur dalam peraturan Perundang-undangan
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan
tersebut dapat dipidana"
Dengan adanya penjelasan seperti tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa
pembuat undang-undang korupsi telah menggeser berlakunya ajaran sifat
melawan hukum materiil negatif yang telah dianut selama ini. Walaupun tidak
secara eksplisit disebutkan dalam rumusan delik, dan hanya ditegaskan dalam
penjelasan pasal,pembuat Undang-Undang korupsi dapat dikatakan telah
mengimplementasikan ajaran sifat melawan hukum materiil dengan fungsi yang
positif.
Dengan penerapan fungsi yang demikian, berarti pembuat Undang-Undang telah
membuka peluang dan memberikan kemungkinan kepada praktek peradilan
pidana untuk mengadili seseorang yang telah melakukan perbuatan yang
sifatnya koruptif, hanya semata-mata berdasarkan perasaan keadilan
masyarakat atau norma kehidupan sosial yang menganggap perbuatan itu
tercela. Dalam kontruksi seperti itu tidaklah perlu selalu diperhatikan, apakah

perbuatan itu telah memenuhi rumusan Undang-undang sebagai tindak pidana


korupsi atau tidak. Sepanjang perasaan keadilan masyarakat atau norma-norma
social dalam masarakat menganggap perbuatan itu tercela, maka itu sudah
cukup untuk memidana seseorang.
Penerapan fungsi ajaran sifat melawan hukum materiil, selama ini dianggap
bertentangan dengan azas legalitas sebagi suatu asas fundamental negara
hukum dan merupakan soko gurunya hukum pidana. Oleh karena itu penolakan
terhadap asas legalitas sebagai suatu asas dalam lapangan hukum pidana
adalah bertentangan dengan makna dari hukum pidana itu sendiri. (roeslan
Saleh : 1981)
Akan tetapi bila dikaitkan dengan karateristik Undang-Undang korupsi sebagai
Undang-undang hukum pidana khusus (extra ordinary Crime), maka penerapan
fungsi positif dari sifat melawan hukum materiiil patut dipertimbangkan sebagai
sesuatu yang eksepsional sifatnya. Kenyataan yang berkembang dewasa ini,
apabila pemberantasan tindak pidana korupsi hanya bersandar pada segi
melawan hukum formil saja, maka banyak pelaku perbuatan tercela yang
menurut perasaan keadilan masyarakat bersifat koruptif dan merugikan
keuangan Negara dalam skala sangat besar tidak mampu dijangkau oleh
ketentuan Undang-Undang yang ada. Akibatnya para pelaku perbutaan yang
dipandang koruptif dan tercela itu manjadi tidak dapat dijatuhi pidana.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang hanya bersandar pada kontruksi
melawan hukum hukum secara formil saja, akan mengakibatkan pelaku
perbuatan yang dipandang koruptif dan tercela akan dilindungi dibalik asas
legalitas (Andi Hamzah : 1991).Sebagai contoh adanya pelaku crime as business
yaitu kejahatan yang bertujuan mendapat keuntungan melalui kegitan bisnis
atau industri yang pada umumnya dilakukan secara terorganosir dan dilakukan
oleh mereka yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dikemukakan suatu pemikiran
konklusif, bahwa terdapat alasan yang rasional untuk menerapkan fungsi positif
dari ajaran sifat melawan hukum materiil dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi. Akan tetapi di dalam penerapannya harus dilakukan degan sikap kehatihatian agar tidak menjurus kea rah penerapan yang membati buta,.Artinya
fungsi positif dari ajaran sifat melawan hukum materiil harus diterapkan secara
ketat, situatif dan kasuistis. Apabila terjadi suatu perbuatan yang tidak
memenuhi rumuasan delik, namun dipandang dari segi kepentingan hukum,
perbutan itu menimbulkan kerugian yang besar dan kurang seimbang bagi
masyarakat dan Negara dibandingkan dengan keuntungan yang disebabkan
perbutaan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik itu dan perbuatan itu
dicela oleh masyarakat, maka dalam kondisi semacam itu perlu dipertimbangkan
untuk menerapkan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum materiil.
1. "PERBUATAN MELAWAN
MAHKAMAH KONSTITUSI

HUKUM

MATERIIL"

PASCA

PUTUSAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 telah


menghilangkan dimensi perbuatan melawan hukum materiil dalam Pasal 2 ayat
(1) kalimat bagian pertama UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001. Ada beberapa Alasan atau argumentasi yang mendasari Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, diantaranya yaitu : Pertama penjelasan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) kalimat bagian pertama UU Nomor 31 tahun 1999 jo
UU Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi,
"Yang dimaksud dengan secara melawan hukum" dalam pasal ini mencakup
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana",
hakikatnya penjelasan pasal tersebut memperluas kategori unsur "melawan
hukum" dalam hukum pidana, tidak lagi sebagai formele wederrechtelijkheid
melainkan juga dalam arti materiele wederrechtelijkheid. Konsekuensi logisnya
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan
secara formil dalam pengertian bersifat onwetmatig, namun apabila menurut
ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu norma-norma sosial yang
memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela sehingga telah
melanggar kepatutan, kehatihatian dan keharusan dalam masyarakat maka
dipandang telah memenuhi unsur melawan hukum (wederrechtelijk). Ukuran
yang dipergunakan adalah hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan
(rectsgevoel), norma kesusilaan atau etik, dan norma-norma moral yang berlaku
di masyarakat telah cukup menjadi kretaria perbuatan tersebut bersifat melawan
hukum, meskipun hanya dikaji dari perspektif secara materiil. Konsekuensi logis
penjelasan UU tersebut telah melahirkan norma baru karena digunakan ukuran
tidak tertulis dalam UU secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat
dipidana.
Selain itu, penjelasan demikian juga telah menyebabkan kriteria perbuatan
melawan hukum (pasal 1365 KUH Perdata) yang dikenal dalam hukum perdata
yang dikembangkan sebagai yurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum
(onrechtmatigedaad),seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan
hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang
patut dan memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam
masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan
mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang
melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan melawan
hukum.
Kedua, dikaji dari praktik pembentukan perundang-undangan yang baik
sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 yang juga
diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan
substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma
baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma

yang dijelaskan. Ketentuan Butir E Lampiran UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan antara lain menentukan
penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundangundangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan
hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang
tubuh sehingga penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang
tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang
dijelaskan, berikutnya penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum
untuk membuat peraturan lebih lanjut dan oleh karena itu dalam penjelasan
dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap
ketentuan perundangundangan yang bersangkutan.
Ketiga,
Mahkamah
Konstitusi
menilai
memang
terdapat
persoalan
konstitusionalitas dalam kalimat pertama penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor
31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 karena ketentuan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk
memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam
bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum
dimana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu perundangundangan yang tertulis (lex scripta) yang telah ada terlebih dahulu. Hal demikian
menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang
harus secara tertulis lebih dahulu berlaku, yang merumuskan perbuatan apa
atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang
sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum
crimen sine lege stricta. Oleh karena itu konsep melawan hukum yang secara
formil tertulis (formele wederrechtelijk), yang mewajibkan pembuat UU untuk
merumuskan secermat dan serinci mungkin merupakan syarat untuk menjamin
kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan istilah
bestimmheitsgebot.
Keempat, Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa konsep melawan hukum
materiil (materiele wederrechtelijkheid) dengan titik tolak pada hukum tidak
tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup
dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran
yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu
kelingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu
tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah
dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan
masyarakat setempat sehingga penjelasan Pasal 2 ayat (1) kalimat pertama UU
Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 merupakan hal yang tidak
sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang
dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sehingga dengan demikian
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001 sepanjang mengenai frasa "Yang dimaksud dengan secara melawan
hukum" dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil
maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur

dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut


dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana",
adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Lilik Mulyadi mengungkapkan ada beberapa implikasi terhadap perbuatan
melawan hukum materiil pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUUIV/2006 tanggal 25 Juli 2006 khususnya terhadap eksistensi ketentuan Pasal 2
ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:
1. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menentukan penjelasan Pasal 2
ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
mengakibatkan perbuatan melawan hukum materiil tidak diatur dan
mempunyai landasan pijakan sebagai payung hukumnya. Konsekuensi dan
implikasi demikian akan mengakibatkan secara normatif pengertian
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20
Tahun 2001 menjadi tidak jelas secara normatif dan implementasinya.
Tegasnya, di satu sisi perbuatan melawan hukum materiil dalam perkara
tindak pidana korupsi ada dalam kenyataan di masyarakat akan tetapi di
sisi lain secara normatif tidak diatur dalam perundang-undangan oleh
karena payung hukum perbuatan melawan hukum materiil sebagaimana
penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU
Nomor 20 Tahun 2001 oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Konstitusi Nomor
003/PUU-IV/2006
tanggal
25
Juli
2006
sudah
"diamputasi"
karena dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
2. Dalam yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie) yang dianut sejak lama
dalam praktik peradilan ternyata Mahkamah Agung RI telah menerapkan
adanya perbuatan melawan hukum materiil baik dalam fungsi negatif
(Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari
1966, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 71/K/1970 tanggal 27 Mei 1972,
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Mei 1977)
maupun fungsi positif (Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275
K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983, Putusan Mahkamah Agung Nomor:
2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan Mahkamah Agung Nomor:
1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995).
Konsekuensi logis dimensi demikian membawa suatu polarisasi pemikiran bahwa
Mahkamah Agung ingin menjatuhkan hukuman sesuai nuansa dan paradigma
asas keadilan yang walaupun tidak diatur dalam UU akan tetapi karena praktik di
masyarakat dianggap sebagai sebuah perbuatan tercela, maka aspek demikian
tidak dapat dibiarkan dan pelakunya harus dijatuhi hukuman sesuai norma yang
hidup dalam masyarakat (living law) dengan tetap mempergunakan parameter
asas keadilan.
3. Dikaji dari perspektif kebijakan pidana maka hakim selaku pemegang
kebijakan aplikatif, harus menerapkan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena dimensi demikian maka hakim tidaklah harus berarti menjadi
penyambung lidah atau corong UU (bousche de la loi/mouth of the laws)
akan tetapi hakim harus dapat menerapkan, sebagai filter dan
mengimplementasikan peraturan tersebut yang masih bersifat abstrak
terhadap kasus konkrit. Konsekuensi logis dimensi demikian hakim
dihadapkan kepada pilihan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Di satu
sisi perbuatan korupsi secara formal (perbuatan melawan hukum formal)
tidak ada, akan tetapi di sisi lainnya secara materiil (perbuatan melawan
hukum materril) ada maka hakim sebagai kebijakan aplikasi harus
menggali, memahami dan menghayati norma-norma hukum yang hidup di
dalam masyarakat. Apabila dijabarkan lebih jauh paradigma konteks di
atas dikarenakan hakim hidup di masyarakat, menggali dan menetapkan
hukum untuk masyarakat, peraturan dibuat untuk suatu masyarakat dan
juga tentu harus menjatuhkan hukuman sesuai dengan dimensi keadilan
kepada masyakarat pendukungnya di mana hukum itu hidup (living law).
Dalam paradigma modern sekarang dapat disebutkan dengan paradigma
bahwa, "hakim tidak hidup dalam menara gading".
4. PANDANGAN MAHKAMAH AGUNG PERBUATAN MELAWAN HUKUM
MATERIIL" PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Dimensi, paradigma, aktualitas dan pemikiran progresif sebagaimana apa yang
dikedepankan aliran fragmatic legal realism atau realisme amerika inilah yang
coba dikedepankan oleh Mahkamah Agung RI sebagaimana dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus 2006 atas nama
terdakwa Hamdani Amin dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974
K/Pid/2006 tanggal 13 Oktober 2006 atas nama terdakwa Prof. Dr. Rusadi
Kantaprawira SH. Esensi krusial putusan tersebut hakikatnya tetap
mempertahankan dan menerapkan perbuatan melawan hukum materiil dalam
perkara tindak pidana korupsi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 khususnya terhadap eksistensi ketentuan
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.
Apabila dijabarkan lebih detail ada beberapa argumentasi yang diterapkan oleh
Majelis Hakim Mahkamah Agung dengan melakukan suatu penemuan hukum
terhadap tetap diterapkannya perbuatan melawan hukum materiil
sebagaimana norma yang diatur dalam penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU
Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Pertama,
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli
2006 khususnya terhadap eksistensi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka yang dimaksud
dengan unsur "melawan hukum" menjadi tidak jelas rumusannya. Oleh karena
itu berdasarkan doctrine "Sens-Clair" (la doctrine du senclair) hakim harus
melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28 ayat
(1)
UU
Nomor
4
Tahun
2004
yang
menentukan,
"Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat", karena menurut ketentuan Pasal 16

ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004, "Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya".
Selain itu juga Hakim dalam mencari makna "melawan hukum" seharusnya
mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat unsur pada saat
ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit. Tegasnya, sebagaimana
disebutkan Hamaker bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai
dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup di dalam
masyarakatnya ketika putusan itu dijatuhkan, oleh karena itu menurut I.H.
Hymans hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan
kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan "hukum dalam makna
sebenarnya". Konklusi dasarnya, sebagaimana dikatakan Lie Oen Hock bahwa,
"apabila kita memperhatikan UU, ternyata bagi kita bahwa UU tidak saja
menunjukan banyak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas.
Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam
hal sedemikian UU memberi kuasa kepada hakim untuk menetapkan sendiri
maknanya ketentuan UU itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu
ketentuan UU. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan UU secara gramatikal
atau historis baik "rechts maupun wetshistoris", secara sistimatis atau secara
sosiologis atau dengan cara memperbandingkan hukum.
Kedua,
Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur "secara melawan hukum" dalam
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
memperhatikan doktrin dan Yurispudensi Mahkamah Agung RI yang
berpendapat bahwa unsur "secara melawan hukum" dalam tindak pidana korupsi
adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam
arti materiil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam fungsi positif dan
negatifnya, yang pengertiannya Mahkamah Agung berpedoman pada:

Bahwa "Tujuan diperluasnya unsur perbuatan "melawan hukum", yang


tidak saja dalam pengertian formil, namun meliputi perbuatan melawan
hukum secara materiil, adalah untuk mempermudah pembuktiannya di
persidangan, sehingga suatu perbuatan yang dipandang oleh masyarakat
sebagai melawan hukum secara materiil atau tercela perbuatannya,
dapatlah pelaku dihukum melakukan tindak pidana korupsi, meskipun
perbuatannya itu tidak melawan hukum secara formil.

Bahwa berdasarkan pengertian melawan hukum menurut Pasal 1 ayat (1)


sub a UU Nomor 3 Tahun 1971, tidak hanya melanggar peraturan yang
ada sanksinya melainkan mencakup pula perbuatan yang bertentangan
dengan keharusan atau kepatutan dalam pergaulan masyarakat atau
dipandang tercela oleh masyarakat.

Bahwa dari butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI tanggal 11 Juli 1970


sebagai pengantar diajukannya RUU Nomor 3 Tahun 1971 dapat
disimpulkan pengertian perbuatan melawan hukum secara materiil adalah
dititikberatkan pada pengertian yang diperoleh dari hukum tidak tertulis,
hal ini tersirat dari surat tersebut yang pada pokoknya berbunyi, "Maka
untuk mencakup perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya bersifat
koruptif akan tetapi sukar dipidana, karena tidak didahului suatu
kejahatan atau pelanggaran dalam RUU ini dikemukakan saran "melawan
hukum" dalam rumusan tindak pidana korupsi, yang pengertiannya juga
meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma
yang lazim atau yang bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan
hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barang maupun
haknya".

Bahwa sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi dalam


Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 29 Desember 1983 Nomor 275
K/Pid/1983, untuk pertama kalinya dinyatakan secara tegas bahwa korupsi
secara materiil melawan hukum, karena perbuatan tersebut adalah
perbuatan yang tidak patut, tercela dan menusuk perasaan hati
masyarakat banyak, dengan memakai tolok ukur asas-asas hukum yang
bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.

Bahwa yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum formil selain


UU dan kebiasaan serta traktat yang dapat digunakan oleh Mahkamah
Agung dalam kasus konkrit yang dihadapinya, yurisprudensi tentang
makna perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti
materiil harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya konsistensi
penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, karena sudah
sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup
dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Demikianlah beberapa argumentasi sebagai ratio decidendi mengapa perbuatan


melawan hukum materiil dalam perkara tindak pidana korupsi tetap
dipertahankan eksistensinya oleh Mahkamah Agung pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006.
1. PENUTUP
Bertitik tolak dari uraian diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa UndangUndang No 31 tahun 1999 jo UU no 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi telah mengimplementasikan fungsi positif ajaran sifat
melawan hukum materiil, padahal doktrin hukum pidana selama ini belum dapat
menerima penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil seperti itu karena
dianggap bertentangan dengan asas legalitas. Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 telah menghilangkan dimensi
perbuatan melawan hukum materiil dalam,

Mahkamah
Agung
dalam
Putusan
Nomor
996
K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus 2006 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
1974 K/Pid/2006 tanggal 13 Oktober 2006 menerapkan perbuatan melawan
hukum materiil, sehingga ajaran sifat melawan hukum materiil seolah terasa
"hidup
kembali".
Tugas,
fungsi
dan
peranan
hakim
asasnya memberikan keadilan karena itu UU memberi independensi kepada
hakim ketika memutus perkara dan doktrin memberikan cara dengan melakukan
penafsiran dan penemuan hukum guna pembentukan hukum baru yang
diterapkan pada kasus konkrit (law in concreto).. Sekarang kembali kepada
Hakim
yang
bersangkutan,
apakah
akan memutus sesuai yurisprudensi ataukah tidak, karena secara normatif,
teoretis, doktrin dan praktik peradilan jurisprudensi di Indonesia tidak bersifat
sebagai "the binding force of precedent" akan tetapi relatif bersifat sebagai
"pressuasieve of precedent". Hakim akan menegakkan Undang-Undang atau
akan menegakan keadilan;
Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada
hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan atau administrasinya. Balas
jasa yang diberikan oleh pejabat, disadari atau tidak, adalah kelonggaran aturan
yang semestinya diterapkan secara ketat. Kompromi dalam pelaksanaan
kegiatan yang berkaitann dengan jabatan tertentu dalam jajaran birokrasi di
Indonesia
inilah
yang
dirasakan
sudah
sangat
mengkhawatirkan.
Korupsi seringkali dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang ditentang
dan dikutuk, dicaci dan dimaki, serta digambarkan sebagai perbuatan yang tidak
bermoral dan berkaitan dengan keserakan, dan ketamakan sekelompok
masyarakat dengan menggunakan harta negara serta melawan hukum,
penyalahgunaan jabatan serta perbuatan lain yang dipandang sebagai
hambatan
dan
gangguan
dalam
membangun
negara.
Berdasarkan hasil penelitian Transparency International (TI) selama enam tahun
berturut-turut dari tahun 1995-2000, Indonesia selalu menduduki posisi sepuluh
besar sebagai negara paling korup didunia. Selanjutnya, berdasarkan penelitian
political and economic risk consultancy (PERC) tahun 1997, Indonesia menempati
posisi negara terkorup di Asia. Pada tahun 2001, posisi Indonesia menjadi negara
terkorup
nomaor
dua
setelah
Vietnam.
Tingkat korupsi Indonesia pada lima tahun berikutnya, dari tahun 2001 samapai
2005, tidak menunjukkan penurunan berarti. Masih menurut hasil penelitian
Teransparency International, pada tahun terakhir, Indonesia betah bertahan
disepuluh besar negara paling korup didunia. Pada tahun 2004, misalnya,
Indonesia menjadi negara paling korup nomor lima didunia dengan corruption
perception index (CPI), serta menjadi negara paling korup nomor satu di Asia
tenggara.
Menyimak laporan hasil survei korupsi yang dirilis oleh Transparency
Internasional (TI) tahun 2006, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia menempati
urutan ke-130 dari 163 negara. Angka ini lebih baik di banding tahun 2005,
dimana Indonesia menempati urutan 137 dari 159 negara yang di survei, selain
itu skor Indonesia tahun 2006 sedikit lebih baik. Dibanding tahun 2005,
Indonesia menempati urutan ketujuh negara paling korup diantara 163 negara.

BAB
PEMBAHASAN

II

A.
Pengertian
Korupsi
Korupsi merupakan suatu bentuk perbuatan melawan hukum yang merugikan
keuangan atau perekonomian negara. Menurut UU No. 31 tahun 1999 yang
termasuk
dalam
tindak
pidana
korupsi
sebagai
berikut:
1. Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian
negara
(Pasal
2);
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau
perekonomian
negara
(Pasal
3)
3. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri mengingat kekuasaan atau
wewenangnya yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan
tersebut
(Pasal
13)
Berdasarkan rumusan-rumusan diatas, maka korupsi merupakan suatu bentuk
tindak pidana yaitu perbuatan melawan hukum yang bertujaun menguntungkan
diri sendiri atau orang lain, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang,
kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatan yang merugikan keuangan
negara.
Ditinjau dari segi istilah Korupsi berasal dari kata Corrupteia dalam bahasa
latin Bribery berarti penyuapan atau Seduction makna yang diartikan
Corrupti atau Corruptus diartikan sebagai memberikan, menyerahkan kepada
seorang untuk agar orang tadi berbuat untuk atau guna keuntungan (dari
pemberi). Sedangkan yang diartikan sebagai Seduction atau penggoda ialah
sesuatu yang menarik untuk membuat seseorang menyeleweng dan dipakai juga
untuk menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi banyak
dikaitkan
dengan
ketidak
jujuran
seseorang
dibidang
keuangan.
Secara Harfiah korupsi adalah kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat
disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata bernuansa menghina atau
mefitnah, penyuapan, niet ambtelijk corruptie; dalam bahasa Indonesia kata
korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok
dan
sebagainya.
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20
tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa korupsi adalah
kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum
maupun
bukan
badan
hukum.
Makna korupsi berkembang dari waktu ke waktu sebagai pencerminan kehidupan
masyarakat dari sisi negatif. Semula istilah korupsi merupakan istilah yang
banyak dipakai dalam ilmu politik, kemudian menjadi sorotan berbagai disiplin
ilmu.
Ada beberapa definisi lain yang dimuat dalam berbagai literatur, yang
menjelaskan tentang pengertian korupsi menurut para sarjana, antara lain;
1.
Syed
Hussein
Alatas

Korupsi adalah pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau kelompokkelompok politik pada jabatan-jabatan kedinasan aparatur pemerintah tanpa
memandang keahlian mereka, maupun konsekuensinya pada kesejahteraan
masyarakat yang dinamakan nepotisme, sehingga dapat diketahui adanya
empat jenis perbuatan yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni; penyuapan,
nepotisme,
pemerasan,
dan
penggelapan.
2.
Ediwarman
Korupsi adalah merupakan salah satu bentuk kejahatan atau tindak pidana yang
bertujuan untuk memperkaya diri dan secara langsung merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
3.
T.
Gayus
Lumbuun
Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak secara
luas, bahkan dengan menggunakan sarana teknologi seperti media elektronik
atau alat optik yang sulit diungkapkan.
B.
Sebab-sebab
Korupsi
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi
menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya
bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi
lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini
adalah
aspek-aspek
penyebab
seseorang
berbuat
Korupsi.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua
hal
yang
jelas,
yakni
:
a) Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan
sebagainya),
b) Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang
kontrol
dan
sebagainya.
Dr. Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa penyebab
korupsi,
yakni
:
a) Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin
meningkat;
b) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber
atau
sebab
meluasnya
korupsi;
c) Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien,
yang
memberikan
peluang
orang
untuk
korupsi;
d)
Modernisasi
pengembangbiakan
korupsi
Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul
Strategi Pemberantasan Korupsi, antara lain :
1.
Aspek
Individu
Pelaku
a.
Sifat
tamak
manusia
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau
penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi
masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada
pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.

b.
Moral
yang
kurang
kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan
korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau
pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
c.
Penghasilan
yang
kurang
mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi
kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan
berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya
dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi
peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga,
pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan
yang seharusnya.
d.
Kebutuhan
hidup
yang
mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi
terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang
untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
e.
Gaya
hidup
yang
konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar seringkali mendorong gaya hidup seseong
konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan
pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan
berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan
itu adalah dengan korupsi.
f.
Malas
atau
tidak
mau
kerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar
keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan
tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan
korupsi.
g.
Ajaran
agama
yang
kurang
diterapkan
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak
korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi
masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan
bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
2.
Aspek
Organisasi
a.
Kurang
adanya
sikap
keteladanan
pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai
pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi
keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka
kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.
b.
Tidak
adanya
kultur
organisasi
yang
benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila
kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi

tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan


negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan
misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran
yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut.
Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah
instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut
adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang
dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik
korupsi.
d.
Kelemahan
sistim
pengendalian
manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran
korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian
manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi
anggota atau pegawai di dalamnya.
e.
Manajemen
cenderung
menutupi
korupsi
di
dalam
organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang
dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini
pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
3.
Aspek
Tempat
Individu
dan
Organisasi
Berada
a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa
ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai
seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat
masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu
didapatkan.
b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat
masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu
masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah
negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena
proses
anggaran
pembangunan
bisa
berkurang
karena
dikorupsi.
c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti
melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri.
Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi
sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan
diberantas bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan
masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari
bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
e. Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya
kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup
adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni

penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang


disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak
konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi
peraturan perundang-undangan.
C. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Sulitnya Tindak Pidana Korupsi
Diberantas
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya tindak pidana korupsi
diberantas adalah:
1. Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia selalu dikaitkan dengan
politik.
Contoh kasus yang dapat diperhatikan dalam hal ini adalah; Kasus dugaan
korupsi yang dilakukan oleh Akbar Tandjung semasa menjabat menjadi menteri
sekretaris negara, kasus ini tidak bisa ditilik hanya dari sudut hukum semata
karena kasus itu sendiri sarat muatan politis sebagai kosenkuensi logis posisi
Akbar Tandjung sebagai ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar. Sehingga
terlepas dari kebnaran materi perkaranya, kasus ini terlanjur bernuansa politik.
Serta langkah berani KPK selalu di hadang oleh berbagai tekanan maupun
intimidasi dari mereka yang dirugikan kepentingannya, sehingga secara politis
keberadaan KPK tidak didukung oleh kekuasaan yang sedang memerintah.
Jikapun ada dukungan, semata-mata artificial karena secara kasat mata sudah
terjadi berbagai langkah KPK yang masih ewuh pakewuh dan tampak
diskriminatif dalam menghadapi berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat
negara dan mereka yang dekat dengan kekuasaan. Dari berbagai peristiwa dan
langkah tegas KPK masih tampak juga bahwa keadilan dan penegakkan hukum
masih jauh di awang-awang serta belum membumi, masih ada sebagian
koruptor yang segera dapat ditahan dan di masukkan kedalam penjara akan
tetapi masih banyak lagi mereka yang tidak ditahan dan dimasukkan kedalam
penjara dengan berbagai alasan teknis hukum yang sumir sama sekali.
2. Adanya kinerja yang bersifat diskriminatif dan tebang pilih dari para penegak
hukum.
Berkaitan dengan politik menyebabkan aparat penegak hukum keterkaitan
dengan politik menyebabkan aparat penegak hukum sering dituduh menerapkan
prinsip tebang pilih dalam menetapkan tersangka/terdakwa/ terpidana. Contoh
kasus adalah; Kasus paling aktual tentu mengenai korupsi di KPU (Komisi
Pemilihan Umum) yang melibatkan ketua dan seluruh anggota KPU, kecuali 3
(tiga) orang untouchable atau kebal hukum yang ikut menerima uang tetapi
entah mengapa sama sekali tidak diperkarakan. Contoh kasus lain tindak pidan
korupsi tebang pilh yaitu; Kasus perkara tindak pidana korupsi atas nama
Sudjiono Timan, merupakn salah satu direktur pada perusahaan milik Prajogo
Pangestu. Bersama-sama dengan Hadi Rusli, Hario Suprobo, Witjaksono
Abadiman dianggap melakukan tindak pidan korupsi. Ternyata hanya Sudjiono
Timan yang perkaranya sampai ke pengadilan dan kemudian dipuatus bersalah,
sementara yang lain-lain menguap begitu saja. Padahal dalam dakwaan jelas JPU
menyatakan bahwa keempat orang tersebut melakukan bersama-sama dan
berkas perkaranya diajukan secara terpisah. Memang berdasarkan KUHAP, JPU

diberi hak untuk memecah maupun menggabungkan perkara beberapa orang


terdakwa. Tetapi karena satu atap tidak ada yang dapat mengawasi
bagaimana pelaksanaan wewenang tersebut. Tidak ada sanksi atau tuntutan
bagi
JPU
yang
tidak
mengajukan
perkara
ke
Pengadilan.
Kenyataan dalam banyak kasus, wewenang penggabungan maupun pemisahan
suatu perkara menjadi lahan KKN yang subur. Dengan adanya penanganan
perkara tindak pidana korupsi secara tebang pilih, maka suatu perkara korupsi
tidak pernah terungkap secara tuntas.
3. Terjadinya tumpang tindih kekuasaan dalam hal melakukan penyelidikan,
penuntutan
antara
lembaga
Kejaksaan
dan
lembaga
KPK.
Tidak adanya sinkroniasasi peraturan perundang-undangan, antara pidana
materil dengan undang-undang yang mengatur kelembagaan penegak hukum
khususnya antara kinerja Kejaksaan dan KPK dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan. Akibatnya terjadi tumpang tindih persaingan antar
lembaga dan semangat membela korps yang sangat kental satu dengan yang
lain. Penulis berpendapat, saat ini kita telah memiliki suatu hukum substantif
atau hukum materil yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yang cukup
baik, tegas, dan dengan ancaman yang menakutkan. Tetapi yang menjadi
masalah adalah tidak dibarengi dengan integrasidengan hukum lainnya,
misalnya UU Kejaksaan, UU Kepolisian, dan UU Kehakiman. Kita juga belum
memiliki
suatu
sistem
prosedural
yang
baik.
Tanpa merubah tatanan sistem secara keseluruhan, mustahil memberantas
korupsi sampai keakar-akarnya. Sebetulnya berdasarkan ketentuan UU No 30
tahun 2002 Tentang KPK (yang disahkan pada tanggal 27 Desember 2002, LN
RI.tahun.2002 Nomor 17) KPK diberi kewenangan untuk menetapkan Grand
Design bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Tetapi terjadi adalah KPK lebih
tertarik untuk bersaing merebut simpati politik dalam penanganan perkara
korupsi. Serta terjadinya persaingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan
antara lembaga Kejaksaan dengan lembaga KPK.
4. Kurangnya peran serta masyarakat dalam memerangi tindak pidana korupsi.
Dari beberapa faktor diatas, penulis juga beranggapan bahwa faktor sulitnya
tindak pidana korupsi diberantas adalah; kurang efektifnya peran masyarakat
dalam memerangi pemberantasan tindak pidana korupsi. Walaupun di dalam UU
No 31 tahun 1999 atau UU No 20 tahun 2001 Tentang TPK telah mengatur
tentang peranan serta dalam mengambil andil dalam memberantas korupsi,
namun pada kenyataannya peran serta masyarakat tersebut belum efektif
dilaksanakan. Langkah ini mungkin kalah populer dibandingkan dengan tindakan
seperti mengkap atau menahan tersangka koruptor, membongkar dan menyita
hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para koruptor, akan tetapi
dengan membangkitkan awarenes masyarakat akan memberikan hasil yang
lebih pasti.
BAB
PENUTUP

III

Secara Harfiah korupsi adalah kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat


disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata bernuansa menghina atau
mefitnah, penyuapan, niet ambtelijk corruptie; dalam bahasa Indonesia kata
korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok
dan
sebagainya
Faktor-faktor yang menyebabkan sulitnya tindak pidana korupsi diberantas,
antara
lain;
1. Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia selalu dikaitkan dengan
politik.
2. Adanya kinerja yang bersifat diskriminatif dan tebang pilih dari para penegak
hukum.
3. Tejadinya tumpang tindih kekuasaan dalam hal melakukan penyelidikan,
penuntutan
antara
lembaga
Kejaksaan
dan
lembaga
KPK.
4. Kurangnya peran serta masyarakat dalam memerangi tindak pidana korupsi.
Tujuan diundangkannya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UUTPK) (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001) adalah untuk
mengembalikan kerugian uang negara. Oleh karena itu, penegakan hukum
pidananya adalah mengutamakan pengembalian kerugian uang negara dari para
pelaku tindak pidana korupsi.
Upaya pengembalian kerugian uang negara dari para pelaku korupsi akan
berhasil apabila terjadi negosiasi antara aparat penegak hukum (polisi, jaksa,
KPK). Tanpa adanya negosiasi akan sulit terjadi suatu pengembalian kerugian
uang negara. Sebab, tidak ada pelaku korupsi yang mau mengembalikan uang
negara tetapi ia tetap dimasukkan ke dalam penjara.
Pelaku korupsi bersedia mengembalikan uang negara kalau perkara pidananya
ditiadakan. Masalahnya kebijakan demikian bersifat dilematis, di satu sisi tujuan
UUTPK dapat tercapai sehingga meningkatkan pengembalian kerugian uang
negara, tetapi di sisi lain menimbulkan masalah dalam penegakan hukum
pidana, salah satunya seperti kasus yang sekarang dialami Kajari Gunungsugih
(Lampung Post, 16 November 2010).
Persoalan demikian terjadi karena perumusan pasal dari UUTPK yang
menimbulkan multitafsir dalam penegakan hukumnya, yaitu pada unsur dapat
merugikan keuangan/perekonomian negara. Kata dapat diartikan bahwa
suatu perbuatan korupsi telah memenuhi unsur tindak pidana setelah perbuatan
itu dilakukan, walaupun kemudian pelaku mengembalikan kerugian uang negara,
perbuatannya tetap telah dianggap selesai (voltooid).
Dalam praktek penegakan hukum, keadaan ini mengakibatkan banyak pelaku
korupsi yang pasang badan, lebih baik dikenakan hukuman daripada sudah
mengembalikan kerugian uang negara tetapi tetap dihukum sehingga tingkat
pengembalian kerugian uang negara dari tahun ke tahun relatif kecil yang tidak
sesuai dengan tujuan diundangkannya UUTPK. Akan tetapi, upaya pengembalian
kerugian uang negara dengan meniadakan pidananya juga menjadi masalah
dalam penegakan hukum pidana.

Masalah Kerugian Negara


Perubahan pada munculnya kata dapat sebelum unsur merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara dalam Pasal 2 (2) UUTPK mengundang
banyak perdebatan dari para kalangan praktisi dan akademisi hukum. Persoalan
yang dipermasalahkan adalah unsur merugikan keuangan negara dalam
perkara korupsi, dinilai tidak mengandung kepastian hukum dan samar-samar.
Unsur tindak pidana korupsi dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara menggunakan kata-kata yang samar-samar. Fakta ini
akan membuat undang-undang memberikan kewenangan kepada setiap pejabat
yang melaksanakan undang-undang tersebut, secara tanpa batas, untuk
menafsirkan makna pasal sesuai kehendaknya. Pasal tersebut tidak mengandung
kepastian hukum, yang akhirnya membuat penegak hukum menjadi multi tafsir
mengenai makna dimaksud.
Akibatnya timbul apa yang disebut judicial dictatorship yang bertentangan
dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum. Di samping itu juga bertentangan dengan Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945
yang berbunyi Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Katakata dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dapat
ditafsirkan menurut kehendak siapa saja yang membacanya tidak mendatangkan
kepastian hukum kepada pencari keadilan dan penegakan hukum karena
perbuatan atau peritiwa tersebut belum nyata atau belum tentu terjadi dan
belum pasti jumlahnya.
Di samping itu, UUTPK menyebabkan terjadinya perubahan pengertian kerugian
negara karena Pasal 64 UU No. 1 Tahun 2004 juga memuat sanksi-sanksi
pidana: Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang
telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi
administratif dan/atau sanksi pidana. Putusan pidana tidak membebaskan dari
tuntutan ganti rugi.
Terhadap perdebatan itu telah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait
dengan judicial review Pasal 2 Ayat (1) UUTPK, yang menyatakan bahwa
penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UUTPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
lagi. Namun, dalam kaitan kerugian negara, MK berpendapat kalimat dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara tidak bertentangan
dengan hak atau atas kepastian hukum yang adil sebagaimana yang dimaksud
Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan ditafsirkan
Mahkamah (conditionally constitutional). Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa Pasal 2 Ayat (1) dikaitkan dengan penjelasannya.
Kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala
besar, sangatlah sulit dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang
dituntut sedemikian rupa akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka
jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, tetapi
kerugian telah terjadi akan berakibat pada terbukti adanya perbuatan yang

didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atau akurasi


kesempurnaan
pembuktiaan
sehingga
menyebabkan
dianggap
perlu
mempermudah beban pembuktian tersebut.
Tidak dapatnya diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan
yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi,
telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur
dakwaan lain berupa unsur memperkaya sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi dengan secara melawan hukum (wederrechtelijk) telah terbukti. Sebab,
tindak pidana korupsi digolongkan oleh UUTPK sebagai delik formil. Dengan
demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, di
mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik
materi, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul
tersebut harus telah terjadi sehingga delik dipandang terbukti, kalau unsur
perbuatan pidana tersebut telah dipenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari
perbuatan yang dilarang.
Menurut MK, hal demikian tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum
(onrechtszekerheid) yang bertentangan dengan konstitusi. Asas kepastian hukum
(rechtszekerheid) dalam melindungi seseorang, hubungan kata dapat dengan
merugikan keuangan negara tergambarkan dalam dua hubungan yang
ekstrem: (1) nyata-nyata merugikan negara atau (2) kemungkinan dapat
menimbulkan kerugian.
Menganalisis putusan MK di atas persoalan kerugian uang negara bukannya
semakin jelas bahkan menjadi semakin kompleks karena MK merumuskan
kerugian keuangan negara pada perbuatan yang nyata-nyata merugikan negara
dan potential loss. Padahal dalam UU Perbendaharaan Negara, kerugian negara
itu harus nyata dan pasti jumlahnya. Pascaputusan MK tidak semua hakim
menggunakan putusan MK dalam hakim membuat putusan pengadilan karena
terdapat hakim yang menggunakannya, tetapi terdapat pula hakim yang
mengenyampingkannya karena menganggap sumber hukum undang-undang
lebih tinggi daripada putusan MK.
Persoalan-persoalan di sekitar unsur kerugian uang negara ini akan semakin
banyak lagi apabila kita mengkaji mengenai siapakah yang dapat menetapkan
jumlah kerugian uang negara. Apakah cukup dilakukan kepolisian atau kejaksaan
yang kemungkinan tidak akan tepat dan akurat dalam menentukan besarnya
kerugian uang negara? Apakah oleh lembaga auditor resmi? Apakah oleh BPK
atau BPKP? (Sumber: Lampung Post, 18 Nopember 2010)
Hukum tidak otomatis berperanan dalam pembangunan ekonomi. Untuk dapat
mendorong pembangunan ekonomi hukum harus dapat menciptakan tiga
kwalitas : predictability, stability, dan fairness. Tidak adanya keseragaman,
adanya kerancuan dan salah pemahaman mengenai keuangan negara dan
kerugian negara telah mendatangkan ketidakpastian hukum dan akhirnya
menghambat pembangunan ekonomi. Paling sedikit ada enam masalah
mengenai kerancuan keuangan negara dan kerugian negara dalam usaha
pemberantasan
tindak
pidana
korupsi
dewasa
ini,
yaitu
:

1.
Apakah asset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan negara?
2. Apakah kerugian dari satu transaksi dalam PT. BUMN (Persero) berarti kerugian
PT.
BUMN
(persero)
dan
otomatis
menjadi
kerugian
negara?
3. Apakah ada upaya hukum bagi Pemerintah sebagai pemegang saham
menuntut Direksi atau Komisaris bila tindakan mereka dianggap merugikan
Pemerintah
sebagai
pemegang
saham?
4. Apakah Pemerintah sebagai pemegang saham dalam PT. BUMN (Persero)
dapat mengajukan tuntutan pidana kepada Direksi dan Komisaris PT. BUMN
(Persero) bila tindakan mereka dianggap merugikan Pemerintah sebagai
Pemegang
Saham?
5.
Apakah
yang
dimaksud
dengan
kerugian
negara?
6. Langkah-langkah apakah yang perlu dilakukan untuk terciptanya sinkronisasi
peraturan
perundang-undangan
dan
pelaksanaannya?
1. Apakah asset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan negara?
Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut Persero,
adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam
saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya
dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar
keuntungan. Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan terhadap Persero berlaku segala
ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan
hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu
Badan Hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang
terpisah dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai
pengawas), dan Pemegang Saham (sebagai pemilik). Begitu juga kekayaan
yayasan sebagai Badan Hukum terpisah dengan kekayaan Pengurus Yayasan dan
Anggota Yayasan, serta Pendiri Yayasan. Selanjutnya kekayaan Koperasi sebagai
Badan Hukum terpisah dari Kekayaan Pengurus dan Anggota Koperasi.
BUMN yang berbentuk Perum juga adalah Badan Hukum. Pasal 35 ayat (2)
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
menyatakan, Perum memperoleh status Badan Hukum sejak diundangkannya
Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya. Berdasarkan Pasal 7 ayat (6)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, BUMN Persero
memperoleh status badan hukum setelah akte pendiriannya disahkan oleh
Menteri
Kehakiman
(sekarang
Menteri
Hukum
dan
HAM).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kekayaan BUMN Persero maupun kekayaan
BUMN Perum sebagai badan hukum bukanlah kekayaan negara. Sebenarnya
tidak ada yang salah dengan perumusan mengenai keuangan negara dalam
penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
yang menyatakan : Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan
negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,
termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan

kewajiban
yang
timbul
karena
:
a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat
lembaga
Negara,
baik
ditingkat
pusat
maupun
di
daerah;
b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Kekayaan negara yang dipisahkan dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan harta
kekayaan Badan Hukum Milik Negara (BUMN) itu. Seseorang baru dapat
dikenakan tindak pidana korupsi menurut Undang- Undang bila seseorang
dengan sengaja menggelapkan surat berharga dengan jalan menjual saham
tersebut secara melawan hukum yang disimpannya karena jabatannya atau
membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Namun dalam prakteknya sekarang ini
tuduhan
korupsi
juga
dikenakan
kepada tindakan-tidakan Direksi BUMN dalam transaksi-transaksi yang didalilkan
dapat merugikan keuangan negara. Dapat dikatakan telah terjadi salah
pengertian dan penerapan apa yang dimaksud dengan keuangan negara. Begitu
juga tidak ada yang salah dengan definisi keuangan negara dalam UndangUndang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan
keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban
tersebut
(Pasal
1
angka
1).
Pasal 2 menyatakan Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 1, meliputi, antara lain kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta
hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Saya berpendapat
bahwa kekayaan yang dipisahkan tersebut dalam BUMN dalam lahirnya adalah
berbentuk saham yang dimiliki oleh negara, bukan harta kekayaan BUMN
tersebut. Kerancuan mulai terjadi dalam penjelasan dalam Undang-undang ini
tentang pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang menyatakan :
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari
sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan
Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter
dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik
berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek
yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana
tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah daerah, Perusahaan Negara/Daerah, san badan lain yang ada

kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara


mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek
sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan
Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang
berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut
di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang
pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam
sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Penjelasan Pasal 2 huruf g
sendiri
adalah
cukup
jelas.
Kesalahan terjadi lagi dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Pasal 19 menyatakan
penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutak atas piutang
Perusahaan Negara/Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya Pasal 20 menyatakan bahwa
tata cara dan penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak
atas piutang Perusahaan Negara/Daerah yang pengurusan piutang diserahkan
kepada PUPN, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Dengan
demikian peraturan ini tidak memisahkan antara kekayaan BUMN Persero dan
kekayaan Negara sebagai pemegang saham. Tampaknya pemerintah menyadari
kekeliruan pemikiran tersebut di atas ketika menghadapi kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) bank PT. BRI (Persero) Tbk, PT. Bank BNI (Persero) Tbk, PT.
Bank Mandiri (Persero) Tbk. Pemerintah merencanakan penghapusan pasal 19
dan Pasal 20 PP No. 14 Tahun 2005. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan :
Selanjutnya, pengurusan piutang perusahaan negara/daerah dilakukan
berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Jadi disebutkan bahwa aturan yang mengatur bank-bank BUMN adalah UU
Perseroan
dan
UU
BUMN.
Usulan perubahan PP No. 14 Tahun 2005 tersebut menjadi perdebatan di dalam
Komisi XI karena dianggap membatalkan Pasal 2 ayat g UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Ada usul anggota DPR, untuk perubahan PP No. 24
Tahun 2005 perlu meminta fatwa Mahkamah Agung RI. Namun ada pula yang
berpendapat, Pemerintah harus membuat peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perpu) untuk membatalkan Pasal 2 ayat g UU Keuangan
Negara.
2. Apakah kerugian dari satu transaksi dalam PT. BUMN (Persero) berarti
kerugian PT. BUMN (persero) dan otomatis menjadi kerugian negara?
Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
menyatakan bahwa dalam waktu lima bulan setelah tahun buku perseroan
ditutup, Direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan kepada RUPS, yang
memuat sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan tahunan yang 1 Media
Indonesia 11 Juli 2006 terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan
perhitungan laba/rugi dari buku tahunan yang bersangkutan serta penjelasan
atas dokumen tersebut. Dengan demikian kerugian yang diderita dalam satu

transaksi tidak berarti kerugian perseroan terbatas tersebut, karena ada


transaksi-transaksi lain yang menguntungkan. Andaikata ada kerugian juga
belum tentu secara otomatis menjadi kerugian perseroan terbatas, karena
mungkin ada laba yang belum dibagi pada tahun yang lampau atau ditutup dari
dana
cadangan
perusahaan.
Dengan demikian tidak benar kerugian dari satu transaksi menjadi kerugian atau
otomatis menjadi kerugian negara. Namun beberapa sidang pengadilan tindak
pidana korupsi telah menuntut terdakwa karena terjadinya kerugian dari satu
atau dua transaksi. Sebenarnya ada doktrin business judgment menetapkan
bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang
timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut
didasarkan kepada itikad baik dan hati-hati. Direksi mendapatkan perlindungan
tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan
atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan.
Business judgment rule mendorong Direksi untuk lebih berani mengambil
resiko daripada terlalu berhati-hati sehingga perusahaan tidak jalan. Prinsip ini
mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat kepastian yang
lebih baik dalam bidang bisnis daripada Direksi. Para hakim pada umumnya tidak
memiliki ketrampilan bisnis dan baru mulai mempelajari permasalahan setelah
terjadi
fakta-fakta.
3. Apakah ada upaya hukum bagi Pemerintah sebagai pemegang saham
menuntut Direksi atau Komisaris bila tindakan mereka dianggap merugikan
Pemerintah
sebagai
pemegang
saham?
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas tetap
memungkinkan Pemegang Saham menggugat Direksi atau Komisaris apabila
keputusan mereka itu dianggap merugikan Pemegang Saham berdasarkan salah
satu
dari
tiga
pasal
berikut
ini:
Pasal 54 ayat (2) yang menyatakan : Setiap pemegang saham berhak
mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan Negeri apabila dirugikan
karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil akibat keputusan RUPS,
Direksi
atau
Komisaris.
Pasal 85 ayat (3) yang menyatakan : Atas nama perseroan, pemegang saham
yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atas kelalaiannya
menimbulkan
kerugian
pada
perseroan.
Pasal 98 ayat (2) yang berbunyi : Atas nama perseroan, pemegang saham yang
mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri
terhadap Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya dapat
menimbulkan
kerugian
pada
perseroan.
Oleh karenanya Negara sebagai Pemegang Saham berdasarkan pasal-pasal di
atas dapat menggugat individu Komisaris dan Direksi karena keputusan mereka
dianggap merugikan. Adalah tidak benar tuntutan terhadap Direksi itu dilakukan
berdasarkan Undang-Undang 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan

Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi, atas dasar harta kekayaan Badan Hukum BUMN Persero adalah harta
kekayaan negara sebagai Pemegang Saham. Seperti saya katakan sebelumnya,
bahwa harta kekayaan Badan Hukum BUMN Persero tidaklah merupakan harta
kekayaan
Negara
selaku
Pemegang
Saham.
4. Apakah Pemerintah sebagai pemegang saham dalam PT. BUMN (Persero)
dapat mengajukan tuntutan pidana kepada Direksi dan Komisaris PT. BUMN
(Persero) bila tindakan mereka dianggap merugikan Pemerintah sebagai
Pemegang
Saham?
Direksi suatu perusahaan BUMN Persero dapat dituntut dari sudut hukum pidana.
Hal ini dapat saja dilakukan apabila Direksi bersangkutan melakukan
penggelapan, pemalsuan data dan laporan keuangan, pelanggaran Undang
-Undang Perbankan, pelanggaran Undang-Undang Pasar Modal, pelanggaran
Undang-Undang Anti Monopoli, pelanggaran Undang-Undang Anti Pencucian
Uang (Money Laundering) dan Undang-Undang lainnya yang memiliki sanksi
pidana.
5.

Apakah

yang

dimaksud

dengan

kerugian

negara?

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2001tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, yang berbunyi:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). (garis
bawah
dari
saya).
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi itu bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Perubahan Keempat) yang berbunyi : Negara
Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :2
a. Para penyusun Rancangan Undang-Undang atau perancang undang-undang
memiliki kewajiban mematuhi prinsip Rule of Law. Sebagai bagian dari kewajiban
itu, mereka harus memastikan agar kerangka rancangan mereka ada kejelasan,
ketelitian, dan konsistensi. Tanpa kejelasan dan ketelitian, undang-undang tidak
dapat diprediksi. Prinsip Negara Hukum menuntut agar sebanyak mungkin orang
mengetahui tentang apa yang diperintahkan kepada mereka berdasarkan
undang-undang, hal-hal apa yang diberikan kepada mereka berdasarkan undangundang, dan perilaku apa yang mereka harapkan dari pejabat. Adanya kejelasan
dan ketelitian dalam RUU itu sendiri menempatkan tugas penyusun RUU sebagai
dasar
dari
pemerintahan
yang
bersih
dan
pembangunan.
b.
Kewajiban penyusun RUU yang jelas dan teliti berasal juga dari
tuntutantuntutan pemerintahan demokrasi yang berupaya mengadakan
reformasi; untuk menggunakan hukum yang mengubah perilaku-perilaku

bermasalah dan dalam pengambilan keputusan secara tidak sepihak. Kedua hal
tersebut menuntut agar menggunakan hukum dalam mendorong perilakuperilaku yang menjadi sasaran dari peraturan perundang-undangan baik warga
masyarakat maupun para pejabat. Dalam pembangunan tugas utama hukum
yaitu mengatur perilaku-perilaku, baik perilaku peran utama maupun dari para
pejabat
dalam
lembaga-lembaga
pelaksanaan
(Penegak
Hukum).
c.
Demokrasi menuntut kejelasan dan ketelitian dari para perancang
undangundang. Pada prinsipnya, melalui peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh badan pembuat undang-undang yang dipilih secara demokratis,
Rakyat menentukan perilaku penguasa. Prinsip Negara Hukum akan runtuh
apabila para pejabat yang menjadi sasarannya para hakim dan penegak hukum
lainnya tidak mematuhi hukum. Tanpa itu demokrasi berada dalam posisi yang
sangat lemah. Para perancang undang-undang wajib memastikan agar RUU
mereka mendorong perilaku-perilaku pejabat yang diinginkan, karena sesuai
dengan prinsip Negara Hukum (Rule of Law), yaitu pemerintahan harus
berdasarkan hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 :
Negara
Indonesia
adalah
negara
hukum.
d. Untuk memastikan bahwa prediksi dapat dibuat, guna mendorong adanya
perilaku yang sesuai dengan pemerintahan yang bersih, dan memastikan bahwa
khususnya para pejabat pemerintah mematuhi ketentuan-ketentuan dalam
undang-undang, serta para pihak yang dituju undang-undang memiliki akses
yang mudah terhadap isi dari undang-undang yang bersangkutan. Sebagai
syarat pertama dari kemudahan untuk memperoleh akses, kerangka undangundang pengungkapan dari strukturnya secara keseluruhan, perincian tentang
siapa melakukan apa, serta kejelasan, ketelitian dan konsistensi kalimat-kalimat
dalam undang-undang sehingga memberikan kepastian bagi para pihak yang
dituju tentang kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum. Untuk memastikan
bahwa prediksi dapat dibuat, dan memastikan agar undang-undang
sesungguhnya mendorong perilaku-perilaku yang diinginkan baik untuk
mencapai pembangunan maupun pengambilan keputusan tidak secara sepihak,
dan untuk melindungi pengendalian demokratis terhadap pemerintah, maka
para penyusun RUU harus mampu menghasilkan undang-undang yang
terperinci,
teliti,
jelas
dan
dapat
diakses.
e. Pasal 2 ayat (1) yang memuat kalimat : ... yang dapat merugikan keuangan
Negara ..., menggunakan kata-kata yang samar-samar. Bagaimana hukum
harus ditetapkan atau hukuman dijatuhkan berdasarkan suatu peristiwa yang
belum terjadi, belum tentu terjadi atau mungkin tidak terjadi. Kata-kata ... yang
dapat merugikan keuangan Negara ..., pada prakteknya kata-kata ini dapat
berarti apa saja sesuai dengan pilihan pembacanya. Bagaimana besar akibatnya
bagi tersangka yang dijatuhi hukuman berdasarkan kata-kata di atas, tetapi
ternyata kemudian kerugian Negara itu tidak terjadi. Ketika sebuah kasus dibawa
ke pengadilan, hal tersebut secara implisit memberikan wewenang kepada
hakim untuk merumuskan peraturan-peraturan terperinci yang diperlukan.
Ketidakpastian kata-kata demikian tentu saja tidak diinginkan. Membuat RUU
yang samar-samar adalah tidak baik, sebuah istilah yang samar-samar
memberikan kewenangan kepada setiap pejabat yang melaksanakan undangundang tersebut, secara tanpa batas. Hal ini dapat menimbulkan apa yang

disebut Judicial Dictatorship yang tentu saja bertentangan dengan Pasal 1 ayat
(3)
UUD
1945
:
Negara
Indonesia
adalah
Negara
hukum.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut yang memuat
kata-kata ... yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara ..., telah bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (garis
bawah
dari
saya),
berdasarkan
alasan-alasan
berikut
:
a. Kata-kata : ... yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara ..., yang dapat ditafsirkan menurut kehendak siapa saja yang
membacanya tidak mendatangkan kepastian hukum kepada pencari keadilan
dan Penegak Hukum, karena perbuatan atau peritiwa tersebut belum nyata atau
belum
tentu
terjadi
dan
belum
pasti
jumlahnya.
b. Telah ada definisi Kerugian Negara yang menciptakan kepastian hukum,
yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat (22) : Kerugian Negara/Daerah
adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai
(garis bawah dari saya). Kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya...,
memberi
kepastian
hukum.
Kesimpulan saya dari sudut hirarki peraturan perundang-undangan :
a. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut agar tidak
diperlakukan karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (1)
UUD 1945, atau kata dapat dihilangkan sehingga, berbunyi : Setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara....
b. Hal tersebut di atas tidak akan menimbulkan kekosongan hukum, dengan
adanya pengertian yang mendatangkan kepastian hukum, sebagaimana
tercantum dalam pengertian kerugian sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat
(22) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
c. Alasan tidak berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, sesuai pula
dengan azas Hukum Pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP :
Jika undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada
tersangka
dikenakan
ketentuan
yang
menguntungkan
baginya.
Menurut hemat saya telah terjadi perubahan pengertian Kerugian Negara itu
oleh pembuat undang-undang karena Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara tersebut juga memuat sanksi-sanksi pidana, Pasal 64
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 menyatakan : Bendahara, Pegawai Negeri
bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti
kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi
pidana.
Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi. (garis bawah dari
saya)
d.
Terjadinya suatu perubahan undang-undang ditandai dengan perubahan

perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat undang-undang. Tiap-tiap


perubahan, baik dalam perasaan hukum dari pembuat undang-undang, maupun
dalam keadaan karena waktu, boleh diterima sebagai perubahan undang-undang
dalam arti kata Pasal 1 ayat (2) KUHP; walaupun perubahan tersebut tidak
disebutkan dalam redaksi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2001.3 Kemarin Mahkamah Konstitusi memutuskan dalam yudicial review Pasal 2
ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat lagi. Isi penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun
1999 adalah : Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Namun
sebelumnya Mahkamah Konstitusi RI berpendapat bahwa kalimat dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara tidak bertentangan
dengan hak atau atas kepastian hukum yang adil sebagaimana yang dimaksud
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan ditafsirkan
Mahkamah (conditionally constitutional). Mahkamah Konstitusi RI berpendapat
bahwa, pasal 2 ayat (1) dikaitkan dengan penjelasannya, maka persoalan pokok
yang
harus
dijawab
adalah
:
1.
Apakah pengertian kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK yang
pengertiannya dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) bahwa dengan
penambahan kata dapat tersebut menjadikan tindak pidana korupsi dalam
Pasal
2
ayat
(1)
a
quo
menjadi
rumusan
delik
formil;
2. Apakah dengan pengertian sebagaimana dijelaskan pada butir 1 tersebut di
atas, frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
yang diartikan baik kerugian yang nyata (actual loss) maupun hanya yang
bersifat potensial atau berupa kemungkinan kerugian (potential loss),
merupakan unsur yang tidak perlu dibuktikan atau harus dibuktikan;
Menimbang bahwa kedua pertanyaan tersebut akan dijawab dengan
pemahaman bahwa kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK
menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja
karena perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian
negera secara nyata,akan tetapi hanya dapat menimbulkan kerugian saja pun
sebagai kemungkinan atau potensial loss, jika unsur perbuatan tindak pidana
korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Kata dapat
tersebut harus dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1)
tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata dapat tersebut sebelum frasa
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa
tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana
korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan
dengan timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan
Pasal 2 ayat (1) sepanjang menyangkut kata dapat sebelum frasa merugikan
keuangan
negara
atau
perekonomian
negara;

Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak


pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan
secara tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan
menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumah kerugian diajukan dan
tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telahterjadi, akan
berakibat pada terbukti adanya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah
mendorong antisipasi atau akurasi kesempurnaan pembuktiaan, sehingga
menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut.
Dalam tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau
perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat
terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku,
sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi dengan secara melawan hukum (wederrechtelijk) telah
terbukti. Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo
sebagai
delik
formil.
Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik
formil, dimana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai
delik materil, yang mensyratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul
tersebut harus telah terjadi. Kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dapat dilihat dalam arti yang sama dengan
kata dapat yang mendahului frasa membahayakan keamanan orang atau
barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang, sebagaimana
termuat dalam Pasal 387 KUHP.Delik demikian dipandang terbukti, kalau unsur
perbuatan pidana tersebut telah dipenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah
nyata
terjadi;
Menimbang bahwa menurut Mahkamah hal demikian tidaklah menimbulkan
ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang bertentangan dengan konstitusi
sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Karena, keberatan kata dapat sama
sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya kepastian hukum yang
menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana korupsi atau sebaiknya
orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi pidana;
Menimbang bahwa dengan asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam
melindungi seseorang, hubungan kata dapat dengan merugikan keuangan
negara tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim: (1) nyata-nyata
merugikan negara atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian. Hal yang
terakhir ini lebih dekat dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi
delik formil. Diantara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan
yang belum nyata terjadi, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan khusus
dan kongkret disekitar peristiwa yang terjadi, secara logis dapat disimpulkan
bahwa
suatu
akibat
yaitu
kerugian
negara
yang
terjadi.
Untuk
mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret sekitar peristiwa yag terjadi,
yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi,
haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara,
serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.
Menimbang bahwa dengan adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata

dapat sebelum frasa merugikan keuangan negara atau perekonomian


negara, kemudian mengkualifikasikanya sebagai delik formil, sehingga adanya
kerugian negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus
terjadi, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur
kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai
perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan
oleh seorang ahli dibidangnya. Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa
kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam
penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Pasal 4, bahwa
pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang
meringankan. Oleh karena persoalan kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU
PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat
penegak
hukum,
dan
bukan
menyangkut
konstitusionalitas
norma;
Menimbang dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa frasa dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negera, tidaklah bertentangan
dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagimana dimaksudkan oleh Pasal
28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah
di
atas
(conditionally
constitutional);
Menimbang bahwa oleh karena kata dapat sebagaimana uraian pertimbangan
yang dikemukakan di atas, tidak dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan
justru diperlukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, maka
permohonan Pemohon tentang hak itu tidak beralasan dan tidak dapat
dikabulkan.
Dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi hanya Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki,
SH., yang berbeda pendapat (Dissenting Opinion). Ia antara lain mengatakan
mencabut kata dapat pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU tersebut berserta
penjelasan-penjelasannya justru meniadakan ketidakpastian hukum, sementara
penegakkan hukum dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi tetap
berjalan serta legitim. Pendapatnya ini berdasarkan pertimbangan antara lain
pengujian teks pasal batang tubuh harus dilakukan bersamaan dengan
penjelasan, menimbulkan ketidakpastian hukum, dan telah adanya rumusan
baru kerugian negara dalam Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004. Oleh karena
terdapat dua undang-undang yang merumuskan hal kerugian negara maka
undang-undang lebih kemudian yang bakal beraku mengikat, mengutip I. C. van
der
Vlies.5
Namun demikian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, menurut
Tumpak Hatorangan Panggabean Wakil Ketua KPK, menyebabkan dimasa
mendatang pemberantasan korupsi kembali kepada aturan UU No. 24 Prp Tahun
1960 sebelum adanya UU No. 3 Tahun 1971 yaitu untuk membuktikan seseorang
melakukan tindak pidana korupsi harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa yang
bersangkutan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang.
Setidaknya ada tiga syarat, agar hukum dapat berperanan mendorong jalannya
perekonomian bangsa, yaitu hukum harus dapat menciptakan predictability,
stability
dan
fairness.
Pertama, undang-undang dan pelaksanaannya harus bisa menciptakan
predictability atau kepastian. Beberapa undang-undang dan peraturan

pelaksanaannya ditafsirkan menurut siapa yang membacanya telah


mendatangkan ketidakpastian bahkan kekhawatiran bagi pelaku ekonomi.
Kedua, undang-undang sebagai salah satu sumber hukum harus bisa
menciptakan
stability
(stabilitas),
yaitu
dapat
mengakomodir
kepentingankepentingan yang saling bersaing di masyarakat, antara lain, yaitu
kepentingan untuk memberantas korupsi dan kepentingan untuk mendapat
kepastian
hukum.
Ketiga, undang-undang sebagai salah satu sumber hukum harus bisa
menciptakan fairness (keadilan). Beberapa undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya serta penerapannya tidak mendatangkan keadilan. Andi Seruji
dan Fajar Marta dalam karangannya Ibarat Debat Telur dan Ayam pada
Kompas, 24 Juni 2006 menyebutkan : ...masalahnya proyek-proyek itu banyak
yang tidak jalan. Itu terkonfirmasikan dari anggaran proyek tersebut, yang justru
tidak terserap. Hal itu dibenarkan Yusuf Kalla. Pemerintah (pusat) kirim uang ke
daerah, masuk Bank Pembangunan Daerah, bank masukkan lagi ke SBI. Jadi balik
lagi uang itu. Kenapa? Terjadi kelambatan di daerah. Padahal, kecepatan
ekonomi di era desentralisasi ini tergantung kecepatan daerah. Ini (kelambatan)
harus dihentikan, katanya... Banyak pegawai di departemen atau instansi
pemerintah enggan jadi satuan kerja yang dulu dikenal pimpro karena takut
berhadapan dengan hukum. Ini masalah lain yang timbul dari upaya
pemberantasan korupsi, Ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati... Yang
diperlukan adalah satunya persepsi penegak hukum tentang korupsi. Ada
kontraktor yang untung dua puluh juta rupiah dari mengerjakan proyek
pemerintah. Eh, dia diperiksa karena keuntungannya dianggap merugikan
negara...
Ujar
Menteri
Keuangan.
Pertumbuhan ekonomi 2006 sebesar 5,9 persen versi Pemerintah dan Bank
Indonesia maksimal 5,7 persen diperkirakan sulit dicapai karena Kompas 24 Juni
2006 macetnya pembiayaan bank, ketidakmampuan pemerintah daerah
menstimulus pertumbuhan sektor riil ditambah bencana yang tak terhindarkan.
Menurut sementara pengusaha perlu ada kepastian hukum sebagai salah satu
faktor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (Kompas 25 Juli 2006).
Melanjutkan upaya pemberantasan korupsi mutlak harus dilaksanakan terus
menerus, baik korupsi yang terjadi di pemerintahan maupun dikalangan swasta
sebagaimana tercantum dalam United Nations Convention Against Corruption
yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 2006. Namun
pemberantasan korupsi tersebut harus didasarkan kepada undang-undang
nasional yang jelas, pasti dan adil sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu diperlukan amandemen beberapa peraturan perundangundangan seperti diuraikan diatas dan memperkuat aparatur penegak hukum
dengan keahlian dan kejujuran.

Anda mungkin juga menyukai