PENDAHULUAN
Dalam menjalankan tugasnya, pejabat pemerintahan harus selalu merujuk kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Saat pemerintah semakin aktif dalam campur tangan di
berbagai aspek kehidupan masyarakat untuk memberikan pelayanan publik demi
kesejahteraan umum, seringkali pejabat pemerintahan dihadapkan pada situasi darurat dan
keadaan konkret yang memaksa mereka untuk membuat keputusan atau tindakan, bahkan
ketika peraturan yang ada belum mencakup situasi tersebut. Hal ini menciptakan wilayah
administrasi yang menjadi abu-abu hukum, di mana kebijakan atau tindakan pejabat
pemerintahan bisa dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang.
Praktik yang umumnya terjadi adalah banyak pejabat pemerintahan yang terlibat dalam
tindak pidana korupsi karena keputusan atau tindakan yang mereka buat. Ketika ada dugaan
penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan, aparat penegak hukum sering kali
mengarahkannya ke proses hukum pidana. Dalam proses ini, seringkali digunakan argumen
seperti "melanggar hukum" dan "menyalahgunakan wewenang," serta menyebut jumlah
"kerugian negara" sebagai dasar untuk menuduh pejabat pemerintahan melakukan tindak
pidana korupsi, tanpa mempertimbangkan bahwa pejabat pemerintahan tunduk pada norma-
norma hukum administrasi ketika mereka menjalankan tugas mereka. Terkadang, dugaan
"merugikan keuangan negara" juga digunakan sebagai dasar untuk menuduh pejabat
pemerintahan tanpa menyebutkan pelanggaran hukum yang spesifik.
Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengatur penyalahgunaan wewenang
dalam konteks pidana. Hingga saat ini, hukum pidana belum memberikan definisi yang jelas
dan batasan yang limitatif terkait penyalahgunaan wewenang, sehingga sering terjadi
inkonsistensi dalam menentukan apakah penyalahgunaan wewenang telah terjadi atau tidak.
Penyalahgunaan wewenang dalam konteks hukum administrasi adalah konsep yang sering
membingungkan. Dalam praktiknya, penyalahgunaan wewenang sering kali didefinisikan
secara luas, mencakup penyalahgunaan sarana dan kesempatan, pelanggaran hukum, atau
bahkan tindakan yang melanggar aturan atau kebijakan dalam berbagai bidang. Penggunaan
konsep yang luas ini dapat menjadi senjata dalam menuduh penyalahgunaan wewenang
dalam situasi yang lain, dan pada akhirnya, menghilangkan kebebasan pejabat pemerintahan
dalam menghadapi situasi konkret.
Dalam menjalankan tugasnya, pejabat pemerintahan diharapkan untuk selalu merujuk pada
peraturan dan undang-undang yang berlaku. Peran pemerintah yang semakin meningkat
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sebagai bagian dari pelayanan publik demi
mencapai kesejahteraan umum seringkali membuat pejabat pemerintahan dihadapkan pada
situasi mendesak dan konkret yang memaksa mereka membuat keputusan atau tindakan,
bahkan ketika tidak ada ketentuan yang eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Hal
ini menciptakan wilayah administrasi yang menjadi abu-abu hukum, di mana kebijakan atau
tindakan pejabat pemerintahan bisa dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang.
Banyak kasus praktik korupsi yang melibatkan pejabat pemerintahan terjadi karena kebijakan
atau tindakan yang mereka ambil. Ketika ada dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat
pemerintahan, aparat penegak hukum sering kali langsung membawa mereka ke ranah hukum
pidana. Dalam proses ini, seringkali digunakan argumen seperti "melanggar hukum" dan
"menyalahgunakan kewenangan," serta menekankan jumlah "kerugian negara" sebagai dasar
untuk menuduh pejabat pemerintahan melakukan tindak pidana korupsi, tanpa
mempertimbangkan bahwa pejabat pemerintahan tunduk pada norma-norma hukum
administrasi ketika mereka menjalankan tugas mereka. Terkadang, dugaan "merugikan
keuangan negara" juga digunakan sebagai dasar tuduhan tanpa menjelaskan pelanggaran
hukum yang spesifik.
Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengatur penyalahgunaan wewenang
dalam konteks hukum pidana. Sampai saat ini, hukum pidana belum memberikan definisi
yang tegas dan batasan yang jelas tentang penyalahgunaan wewenang, yang mengakibatkan
seringnya terjadinya inkonsistensi dalam menentukan apakah penyalahgunaan wewenang
telah terjadi atau tidak.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan hukum (statute approach) dan studi kasus
(case approach) dengan data primer dan sekunder. Analisis data dilakukan dengan pendekatan
analisis hukum.
PEMBAHASAN
Saudara khairul anwar sinaga mengajukan permohonan peninjauan kembali terkait dengan
pemecatannya dari PNS (Pegawai Negeri Sipil) dengan dasar karena ingin memperjuangkan
haknya, walaupun saudara khairul anwar sinaga telah melakukan pelanggaran yang berkaitan
dengan profesinya yaitu tindak pidana korupsi (TIPIKOR) yang dilakukan bersama – sama
dengan rekannya.
- Bahwa Judex Facti sudah benar, tidak terdapat kekhilafan atau kekeliruan nyata dan
bukti yang diajukan sebagai novum bukan bukti yang bersifat menentukan;
- Bahwa Objek gugatan adalah Keputusan Bupati Labuhanbatu Selatan Nomor
188.45/403/BKD/2018 Tentang Pemberhentian Karena Melakukan Tindak Pidana
Kejahatan Jabatan Atau Tindak Pidana Kejahatan Yang Ada Hubungannya Dengan
Jabatan atas nama Khairul Anwar Sinaga, SKM dengan NIP. 196902261991031002
yang ditetapkan pada tanggal 21 Desember 2018;
- Bahwa karena penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa didasarkan
pada putusan pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap dan telah dilaksanakan
oleh Pemohon Peninjauan Kembali/Penggugat atas dakwaan melakukan tindak pidana
korupsi dalam jabatan dikualifisir melanggar Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-
Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Pasal 250 huruf b
Peraturan Pemerintah RI Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS;
Menimbang, bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex
Factie di tingkat pertama telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
tidak terdapat kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata di dalamnya;
Menimbang, bahwa novum yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali tidak bersifat
menentukan, sehingga tidak bisa menggugurkan pertimbangan hukum dari putusan Judex
Factie di tingkat pertama;
Menimbang, bahwa karena permohonan peninjauan kembali ditolak, maka biaya perkara
dalam peninjauan kembali ini harus dibebankan kepada Pemohon Peninjauan Kembali;
Putusan hakim sudah benar karena saudara khairul anwar sinaga sudah terbukti
bersalah melakukan penyelewengan jabatan dengan (TIPIKOR) tindak pidana
korupsi, berdasarkan kesaksian rekan dari khairul anwar sinaga di persidangan
terpisah terkait dengan (TIPIKOR).
PENUTUP
Saudara khairul anwar sinaga mengajukan pengembalian haknya sebagai pegawai negeri sipil
secara penuh seperti sebelumnya. ini merupakan kesalahan berpikir dari seorang criminal dan
hakim tidak butuh waktu lama untuk memutuskan perkara ini, karena kita semua tahu
seberapa anehnya pola pikir dari saudara khairul anwar sinaga terkait dengan permohonan
yang dilampirkannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2009_48.pdf
2. https://peraturan.bpk.go.id/Details/45350/uu-no-31-tahun-1999
3. https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/
zaec42c7985720f294ea313531353536.html
4. https://peraturan.bpk.go.id/Details/38580/uu-no-5-tahun-2014
5. https://peraturan.bpk.go.id/Details/5831/pp-no-11-tahun-2017