Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS DAN EVALUASI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

PERKARA NO 88 PK/TUN/2021 TERKAIT DENGAN HUBUNGAN


PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
ELANG MAULANA ISHAQ

PENDAHULUAN

Dalam menjalankan tugasnya, pejabat pemerintahan harus selalu merujuk kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Saat pemerintah semakin aktif dalam campur tangan di
berbagai aspek kehidupan masyarakat untuk memberikan pelayanan publik demi
kesejahteraan umum, seringkali pejabat pemerintahan dihadapkan pada situasi darurat dan
keadaan konkret yang memaksa mereka untuk membuat keputusan atau tindakan, bahkan
ketika peraturan yang ada belum mencakup situasi tersebut. Hal ini menciptakan wilayah
administrasi yang menjadi abu-abu hukum, di mana kebijakan atau tindakan pejabat
pemerintahan bisa dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang.

Pejabat pemerintahan yang semestinya memiliki kebebasan untuk bertindak dalam


memberikan pelayanan publik kepada masyarakat sering kali merasa terkekang oleh
kekhawatiran bahwa kebijakan atau tindakan mereka akan dianggap merugikan negara dan
dikategorikan sebagai tindak pidana, sehingga hal ini dapat membatasi kreativitas dan inovasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Praktik yang umumnya terjadi adalah banyak pejabat pemerintahan yang terlibat dalam
tindak pidana korupsi karena keputusan atau tindakan yang mereka buat. Ketika ada dugaan
penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan, aparat penegak hukum sering kali
mengarahkannya ke proses hukum pidana. Dalam proses ini, seringkali digunakan argumen
seperti "melanggar hukum" dan "menyalahgunakan wewenang," serta menyebut jumlah
"kerugian negara" sebagai dasar untuk menuduh pejabat pemerintahan melakukan tindak
pidana korupsi, tanpa mempertimbangkan bahwa pejabat pemerintahan tunduk pada norma-
norma hukum administrasi ketika mereka menjalankan tugas mereka. Terkadang, dugaan
"merugikan keuangan negara" juga digunakan sebagai dasar untuk menuduh pejabat
pemerintahan tanpa menyebutkan pelanggaran hukum yang spesifik.

Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengatur penyalahgunaan wewenang
dalam konteks pidana. Hingga saat ini, hukum pidana belum memberikan definisi yang jelas
dan batasan yang limitatif terkait penyalahgunaan wewenang, sehingga sering terjadi
inkonsistensi dalam menentukan apakah penyalahgunaan wewenang telah terjadi atau tidak.

Kemerdekaan hakim pidana dalam menafsirkan penyalahgunaan wewenang menciptakan


perbedaan dalam putusan pengadilan. Beberapa pengadilan memutuskan bahwa pejabat
pemerintahan harus diadili karena kebijakan yang mereka buat berdasarkan kewenangan
mereka, sementara pengadilan lainnya dapat memutuskan bahwa kebijakan tersebut tidak
dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang jika bertujuan untuk mencapai tujuan
yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Terkadang, aparat penegak hukum menilai
perbuatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik hanya
dengan mengacu pada aspek pelanggaran hukum pidana.

Penyalahgunaan wewenang dalam konteks hukum administrasi adalah konsep yang sering
membingungkan. Dalam praktiknya, penyalahgunaan wewenang sering kali didefinisikan
secara luas, mencakup penyalahgunaan sarana dan kesempatan, pelanggaran hukum, atau
bahkan tindakan yang melanggar aturan atau kebijakan dalam berbagai bidang. Penggunaan
konsep yang luas ini dapat menjadi senjata dalam menuduh penyalahgunaan wewenang
dalam situasi yang lain, dan pada akhirnya, menghilangkan kebebasan pejabat pemerintahan
dalam menghadapi situasi konkret.

Dalam menjalankan tugasnya, pejabat pemerintahan diharapkan untuk selalu merujuk pada
peraturan dan undang-undang yang berlaku. Peran pemerintah yang semakin meningkat
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sebagai bagian dari pelayanan publik demi
mencapai kesejahteraan umum seringkali membuat pejabat pemerintahan dihadapkan pada
situasi mendesak dan konkret yang memaksa mereka membuat keputusan atau tindakan,
bahkan ketika tidak ada ketentuan yang eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Hal
ini menciptakan wilayah administrasi yang menjadi abu-abu hukum, di mana kebijakan atau
tindakan pejabat pemerintahan bisa dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang.

Pejabat pemerintahan yang seharusnya memiliki kebebasan untuk bertindak dalam


memberikan pelayanan publik kepada masyarakat sering merasa terbatas karena khawatir
bahwa kebijakan atau tindakan mereka dapat dianggap merugikan negara dan dianggap
sebagai tindak pidana, yang pada gilirannya membatasi kreativitas dan inovasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.

Banyak kasus praktik korupsi yang melibatkan pejabat pemerintahan terjadi karena kebijakan
atau tindakan yang mereka ambil. Ketika ada dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat
pemerintahan, aparat penegak hukum sering kali langsung membawa mereka ke ranah hukum
pidana. Dalam proses ini, seringkali digunakan argumen seperti "melanggar hukum" dan
"menyalahgunakan kewenangan," serta menekankan jumlah "kerugian negara" sebagai dasar
untuk menuduh pejabat pemerintahan melakukan tindak pidana korupsi, tanpa
mempertimbangkan bahwa pejabat pemerintahan tunduk pada norma-norma hukum
administrasi ketika mereka menjalankan tugas mereka. Terkadang, dugaan "merugikan
keuangan negara" juga digunakan sebagai dasar tuduhan tanpa menjelaskan pelanggaran
hukum yang spesifik.

Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) mengatur penyalahgunaan wewenang
dalam konteks hukum pidana. Sampai saat ini, hukum pidana belum memberikan definisi
yang tegas dan batasan yang jelas tentang penyalahgunaan wewenang, yang mengakibatkan
seringnya terjadinya inkonsistensi dalam menentukan apakah penyalahgunaan wewenang
telah terjadi atau tidak.

Kemerdekaan hakim pidana dalam menafsirkan penyalahgunaan wewenang telah


menciptakan perbedaan pendapat dalam putusan pengadilan. Beberapa pengadilan
memutuskan bahwa pejabat pemerintahan harus diadili karena kebijakan yang mereka ambil
berdasarkan kewenangan mereka, sementara pengadilan lainnya dapat memutuskan bahwa
kebijakan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang jika
bertujuan untuk mencapai tujuan sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Terkadang,
aparat penegak hukum menilai perbuatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang baik hanya berdasarkan pelanggaran hukum pidana.

Penyalahgunaan wewenang dalam konteks hukum administrasi adalah konsep yang


seringkali membingungkan. Dalam praktiknya, penyalahgunaan wewenang sering kali
diartikan secara luas, mencakup penggunaan wewenang untuk kepentingan pribadi,
pelanggaran hukum, atau bahkan tindakan yang melanggar aturan atau kebijakan dalam
berbagai bidang. Penggunaan konsep yang luas ini dapat menjadi senjata dalam menuduh
penyalahgunaan wewenang dalam situasi lain, yang akhirnya dapat mengurangi kebebasan
pejabat pemerintahan dalam menghadapi situasi konkret.
METODE ANALISIS

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan hukum (statute approach) dan studi kasus
(case approach) dengan data primer dan sekunder. Analisis data dilakukan dengan pendekatan
analisis hukum.

PEMBAHASAN

Saudara khairul anwar sinaga mengajukan permohonan peninjauan kembali terkait dengan
pemecatannya dari PNS (Pegawai Negeri Sipil) dengan dasar karena ingin memperjuangkan
haknya, walaupun saudara khairul anwar sinaga telah melakukan pelanggaran yang berkaitan
dengan profesinya yaitu tindak pidana korupsi (TIPIKOR) yang dilakukan bersama – sama
dengan rekannya.

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali


disertai dengan pengajuan novum sebagaimana Berita Acara Sumpah Nomor
137/G/2019/PTUN-MDN tanggal 3 November 2020;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasannya telah


diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan
dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, oleh karena itu permohonan peninjauan
kembali tersebut secara formal dapat diterima;

Menimbang, bahwa berdasarkan Memori Peninjauan Kembali yang diterima tanggal 4


Desember 2020 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Putusan ini, Pemohon
Peninjauan Kembali memohon kepada Mahkamah Agung untuk memberikan putusan sebagai
berikut:

1. Menerima Permohonan Peninjauan Kembali Pemohon Peninjauan Kembali;

2.Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan Nomor


137/G/2019/PTUN-MDN., tanggal 20 Agustus 2019;

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung


berpendapat:

- Bahwa Judex Facti sudah benar, tidak terdapat kekhilafan atau kekeliruan nyata dan
bukti yang diajukan sebagai novum bukan bukti yang bersifat menentukan;
- Bahwa Objek gugatan adalah Keputusan Bupati Labuhanbatu Selatan Nomor
188.45/403/BKD/2018 Tentang Pemberhentian Karena Melakukan Tindak Pidana
Kejahatan Jabatan Atau Tindak Pidana Kejahatan Yang Ada Hubungannya Dengan
Jabatan atas nama Khairul Anwar Sinaga, SKM dengan NIP. 196902261991031002
yang ditetapkan pada tanggal 21 Desember 2018;

- Bahwa karena penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa didasarkan
pada putusan pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap dan telah dilaksanakan
oleh Pemohon Peninjauan Kembali/Penggugat atas dakwaan melakukan tindak pidana
korupsi dalam jabatan dikualifisir melanggar Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-
Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Pasal 250 huruf b
Peraturan Pemerintah RI Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS;

Menimbang, bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex
Factie di tingkat pertama telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
tidak terdapat kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata di dalamnya;

Menimbang, bahwa novum yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali tidak bersifat
menentukan, sehingga tidak bisa menggugurkan pertimbangan hukum dari putusan Judex
Factie di tingkat pertama;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan


kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali tersebut adalah tidak beralasan
sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa karena permohonan peninjauan kembali ditolak, maka biaya perkara
dalam peninjauan kembali ini harus dibebankan kepada Pemohon Peninjauan Kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan
UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, serta
peraturan perundangundangan lain yang terkait’;

Oleh karena itu hakim mengadili dengan rincian yaitu:


1. Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali
KHAIRUL ANWAR SINAGA, SKM;

2. Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali membayar biaya perkara pada


peninjauan kembali sejumlah Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada hari


Kamis, tanggal 29 Juli 2021, oleh Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N., Hakim Agung
yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, bersama-sama
dengan Dr. H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., M.H., dan Dr. H. Yosran, S.H.,
M.Hum., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan dihadiri Hakim-Hakim
Anggota tersebut, dan M. Usahawan, S.H., Panitera Pengganti tanpa dihadiri oleh
para pihak.

Putusan hakim sudah benar karena saudara khairul anwar sinaga sudah terbukti
bersalah melakukan penyelewengan jabatan dengan (TIPIKOR) tindak pidana
korupsi, berdasarkan kesaksian rekan dari khairul anwar sinaga di persidangan
terpisah terkait dengan (TIPIKOR).

PENUTUP

Saudara khairul anwar sinaga mengajukan pengembalian haknya sebagai pegawai negeri sipil
secara penuh seperti sebelumnya. ini merupakan kesalahan berpikir dari seorang criminal dan
hakim tidak butuh waktu lama untuk memutuskan perkara ini, karena kita semua tahu
seberapa anehnya pola pikir dari saudara khairul anwar sinaga terkait dengan permohonan
yang dilampirkannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2009_48.pdf
2. https://peraturan.bpk.go.id/Details/45350/uu-no-31-tahun-1999
3. https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/
zaec42c7985720f294ea313531353536.html
4. https://peraturan.bpk.go.id/Details/38580/uu-no-5-tahun-2014
5. https://peraturan.bpk.go.id/Details/5831/pp-no-11-tahun-2017

Anda mungkin juga menyukai