Anda di halaman 1dari 9

Tugas Asinkron

Hukum Administrasi Negara


“SANKSI DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu

Disusun oleh:
Salwa Rahmatri Afsari
21410727
Kelas K

Program Studi (S1) Ilmu Huku


Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
A. Pendahuluan
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan tidak akan efektif apabila tidak disertai
dengan penegakan hukum. Penegakan hukum terhadap suatu peraturan perundang-
undangan bisa bermacam-macam bentuknya, salah satunya dituangkan dalam ketentuan
sanksi, yang dapat berupa sanksi pidana, sanksi perdata, atau sanksi administratif.
Namun, penegakan hukum terhadap suatu peraturan perundang-
undangan tidak selalu harus diikuti dengan adanya ketentuan sanksi dalam peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Ketentuan sanksi ini, baik pidana, perdata,
maupun administratif merupakan suatu pilihan, artinya tidak harus ketiga-tiganya
diterapkan tetapi dapat dipilih mana yang paling efektif dan yang paling tepat dikaitkan
dengan lingkup substansi pengaturannya.
Ada kalanya sanksi perdata atau sanksi administratif dalam penegakan hukum suatu
peraturan perundang-undangan merupakan pilihan yang lebih tepat dan efektif
dibandingkan dengan sanksi pidana. Apabila substansi peraturan perundang-undangan
merupakan lingkup hukum administrasi, maka tidak tepat apabila dipaksakan untuk
diterapkan sanksi pidana. Tidaklah tepat pendapat yang menyatakan bahwa agar
peraturan perundang-undangan dapat berlaku secara efektif selalu disertai dengan sanksi
pidana. Untuk substansi yang berkaitan dengan masalah administratif, sanksi
adminisratiflah yang paling efektif. Sanksi administratif dapat diterapkan baik melalui
jalur pengadilan maupun jalur non pengadilan, yakni oleh pejabat administrasi. Sanksi
administratif yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan kebanyakan terkait
dengan masalah perizinan dan dilaksanakan oleh pejabat (badan) administrasi yang
berwenang mengeluarkan perizinan tersebut. Sanksi administratif yang dijatuhkan oleh
pejabat administrasi sering dikaitkan dengan pelanggaran terhadap persyaratan perizinan.
Ada beberapa tujuan pencantuman dan penerapan ketentuan sanksi dalam peraturan
perundang-undangan, termasuk sanksi administratif. Pertama, sebagai upaya penegakan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Seperti diuraikan sebelumnya bahwa suatu
norma yang mengandung larangan, perintah, atau keharusan pada umumnya akan
mengalami kesulitan dalam penegakannya apabila tidak disertai dangan sanksi.
Kedua, memberikan hukuman bagi siapapun yang melakukan pelanggaran atas suatu
norma peraturan perundang-undangan. Orang yang melakukan pelanggaran atas suatu
norma memang sudah sepantasnya diberikan hukuman sesuai dengan berat/ringannya
pelanggaran tersebut.Ketiga, membuat jera seseorang untuk melakukan kembali
pelanggaran hukum. Dengan dijatuhkannya sanksi diharapkan orang tidak akan
melakukan kembali pelanggaran. Dalam hukum pidana hal ini dikenal dengan teori
penjeraan. Keempat, mencegah pihak lain untuk melakukan pelanggaran hukum. Dengan
adanya ancaman berupa sanksi diharapkan orang tidak akan melakukan pelanggaran
hukum. Hal ini merupakan peringatan agar seseorang tidak melakukan sesuatu yang
dilarang.
B. Jenis-jenis Sanksi Pada Umumnya dalam Lingkup HAN
Dalam Hukum Administrasi Negara, sanksi merupakan inti dari penegakan hukum
administrasi yang dibutuhkan untuk menjamin penegakan hukum administrasi.
Penggunaan sanksi administrasi ini merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki
pemerintahan, yang berasal dari hukum administrasi tertulis dan tidak tertulis.
Sanksi administrasi ini muncul dari hubungan antara pemerintah dan warga negara, yang
dilaksanakan tanpa perantara atau pihak ketiga (kekuasaan peradilan). Berikut ini adalah
jenis-jenis sanksi.

1. Paksaan Pemerintah (Bestuursdwang)


Berdasarkan Undang-Undang Hukum Administrasi Belanda, paksaan pemerintah
merupakan tindakan nyata yang dilaksanakan oleh pemerintah atau atas nama pemerintah
guna mengosongkan, memindahkan, menghalangi, memperbaiki keadaan yang telah
dilakukan atau sedang dilakukan, yang bertentangan dengan kewajiban yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan ke keadaan semula.
Dalam hal ini organ pemerintah memiliki kewenangan untuk merealisasikan
dengan nyata berkaitan dengan ketaatan warganya, jika perlu dengan paksaan terhadap
pelanggaran peraturan perundang-undangan atau kewajiban tertentu.
Paksaan pemerintahan ini dilihat dari bentuk eksekusi nyata, yaitu dilaksanakan secara
langsung tanpa perantaraan hakim dan biaya yang berkaitan dengan pelaksanaan paksaan
dapat dikenakan langsung kepada pelanggar.Dalam hal ini, pemerintah memiliki
kebebasan untuk memilih apakah menggunakan paksaan pemerintah atau tidak.
Salah satu ketentuan hukum dalam pelaksanaan paksaan pemerintah wajib didahului
oleh surat peringatan tertulis, yang dituangkan dalam bentuk KTUN. Surat peringatan
tertulis itu harus berisi hal-hal:
1. Peringatan harus definitif, artinya keputusan itu harus ditujukkan bagi organ
pemerintahan yang sudah harus pasti.
2. Di sebutkan organ yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintah.
3. Peringatan harus ditunjukkan kepada orang yang tepat.
4. Ketentuan yang dilanggar harus dicantumkan secara jelas.
5. Pelanggaran nyata harus digambarkan dengan jelas.
6. Terdapat penentuan jangka waktu.
7. Pemberian beban jelas dan seimbang.
8. Pemberian beban tanpa syarat.
9. Beban mengandung pemberian alasannya.
10. Peringatan memuat berita tentang pembebanan biaya.

2. Penarikan Kembali KTUN yang Menguntungkan


Penarikan kembali KTUN yang menguntungkan, berarti meniadakan hak-hak
yang terdapat dalam keputusan organ pemerintahan. Sanksi ini merupakan sanksi yang
berlaku ke belakang, yaitu sanksi yang pada situasi sebelum keputusan itu dibuat.
Penarikan kembali KTUN yang menguntungkan dilakukan dengan cara
mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan/atau menyatakan
tidak berlaku lagi ketetapan terdahulu.
Sebab-sebab pencabutan KTUN sebagai sanksi, yaitu sebagai berikut:
1. Pihak yang berkepentingan tidak menaati pembatasan-pembatasan, ketentuan
peraturan perundang-undangan atau syarat yang berkaitan dalam perizinan,
subsidi, atau pembayaran.
2. Pihak yang berkepentingan memberikan data yang tidak lengkap atau salah pada
saat mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin, subsidi, atau pembayaran.
Dalam penarikan suatu keputusan yang telah dibuat harus memperhatikan asas-asas
berikut:
1. Suatu keputusan yang bermanfaat bagi yang dikenainya, dan putusan tersebut juga
terdapat beberapa syarat tertentu, diantaranya yaitu dapat ditarik kembali ketika
pada waktu yang ditetapkan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan.
2. Suatu keputusan yang bermanfaat untuk pihak yang dikenainya tidak dapat ditarik
kembali setelah jangka tertentu sudah lewat, apabila melakukan penarikan kembali
setelah jangka waktu yang ditetapkan sudah lewat, maka suatu keadaan yang layak
di bawah kekuasaan keputusan-keputusan yang bermanfaat itu menjadi tidak
layak.
3. Adanya suatu keputusan yang tidak benar, yaitu dihadapkan pada suatu keadaan
yang tidak layak. Keadaan ini tidak boleh dihilangkan apabila menarik kembali
keputusan yang bersangkutan kepada pihak yang dikenainya itu mendapatkan
kerugian yang lebih besar daripada kerugian yang diderita oleh negara karena
keadaan yang tidak layak tersebut.
4. Menarik kembali atau mengubah suatu keputusan harus diadakan dengan cara
(formalitas) yang sama sebagaimana yang ditentukan bagi pembuat ketetapan itu
(asas contrarius actus).
5. Suatu keputusan yang dibuat karena yang berkepentingan melakukan penipuan,
hal ini dapat ditiadakan ab ovo (dari permulaan tidak ada).
6. Suatu keputusan yang isinya belum diberitahukan kepada yang bersangkutan, jadi
suatu keputusan yang belum menjadi perbuatan yang sungguh-sungguh dalam
pergaulan hukum, dapat ditiadakan ab ovo.

3. Pengenaan Uang Paksa (Dwangsom)


Pengenaan uang paksa dalam Hukum Administrasi Negara ini dikenakan pada
pihak yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.
Pengenaan uang paksa ini merupakan alternatif dari tindakan paksaan pemerintah.
Pengenaan uang paksa dikatakan sebagai alternatif untuk tindakan nyata, yang berarti
sebagai sanksi “subsidiary” dan dianggap sebagai sanksi reparatoir.
Persoalan hukum yang dihadapi dalam pengenaan dwangsom sama dengan
pelaksanaan paksaan nyata. Pengenaan uang paksa ini lebih banyak diterapkan ketika
pelaksanaan bestuursdwang sulit dilakukan.

4. Pengenaan Denda Administratif


Mengutip pendapat P. de Haan bahwa pengenaan denda administratif itu tidak
lebih dari sekadar reaksi terhadap pelanggaran norma yang ditujukan untuk menambah
hukuman yang pasti, terutama denda administrasi yang terdapat dalam hukum pajak.
Pengenaan denda administratif ini diberikan tanpa perantaraan hakim, artinya pemerintah
dapat menerapkan secara arbitrer, tetapi harus tetap memperhatikan asas-asas Hukum
Administrasi Negara baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
Berkenaan dengan denda administratif ini, di dalam Algemene Bepalingen Van
Administratief Recht, disimpulkan bahwa denda administrasi hanya dapat diterapkan
atas dasar kekuatan wewenang yang diatur Undang-Undang dalam arti formal.

C. Jenis-jenis Sanksi Administrasi Dalam UU No. 30 Tahun 2014


Berdasarkan pengamatan dari berbagai peraturan perundang-undangan dan literatur ada
beberapa macam sanksi administratif, yaitu:

1. Peringatan/teguran lisan;
Peringatan/teguran lisan merupakan sanksi administratif yang paling ringan dan
lazimnya peringatan/teguran lisan merupakan tahap awal sebelum menuju ke
jenjang/tahap sanksi administratif berikutnya, karena biasanya sanksi administratif bisa
diterapkan secara berjenjang. Artinya, untuk menerapkan sanksi administratif yang cukup
berat dilakukan secara berjenjang diawali dengan sanksi administratif yang teringan,
lazimnya dilakukan peringatan terlebih dahulu sampai beberapa kali. Kalau ternyata
setelah dilakukan peringatan beberapa kali tidak ada respon baru diterapkan sanksi
administratif tahap selanjutnya yang cukup berat. Dalam bidang kepegawaian, dan
kemungkinan juga di bidang lain, sanksi administratif berupa peringatan/teguran lisan
sering ditulis dalam bentuk surat sehingga dilihat dari bentuknya bukan lagi lisan tapi
tertulis. Berdasarkan pengamatan biasanya dalam bagian perihal surat tersebut disebutkan
“Perihal:peringatan/teguran lisan.” Mengapa dilakukan dalam bentuk tertulis, meskipun
jenisnya lisan? Hal ini untuk lebih mempermudah pembuktian, karena kalau dilakukan
secara lisan sangat sulit pembuktiannya. Kalau dilakukan secara tertulis dapat
didokumentasikan sehingg mempermudah pembuktiannya. Pemberian sanksi
administratif berupa teguran/peringatan lisan bisa dilakukan lebih dari satu kali, baru
setelah itu dilakukan pemberian sanksi administratif tahap berikutnya.

2. Peringatan/teguran tertulis;
Sanksi administratif berupa teguran/peringatan tertulis biasanya merupakan
tahapan berikutnya apabila sudah diberikan sanksi administratif berupa
teguran/peringatan lisan tetapi ternyata masih tetap diabaikan dan perbuatan yang
dilanggar belum dilakukan perbaikan. Sama dengan sanksi administratif
teguran/peringatan lisan, sanksi administratif teguran/peringatan tertulis juga bisa
dilakukan untuk lebih dari satu kali. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan
sering dipersyaratkan untuk menuju pada sanksi administratif yang lebih berat harus
didahului dengan teguran/peringatan (lisan atau tertulis) terlebih dahulu, kecuali dalam
keadaan yang sangat mendesak. Setelah itu baru diberikan sanksi administratif tahap
berikutnya yang agak lebih berat. Hal-hal yang perlu dituangkan dalam
teguran/peringatan tertulis antara lain perintah yang jelas, apa yang harus dilakukan oleh
orang yang diberi teguran/peringatan tertulis agar pejabat administrasi negara tidak
sampai pada pengambilan tindakan nyata (paksa). Teguran/peringatan secara tertulis ini
harus mengandung kepastian hukum, artinya bahwa orang yang diberi teguran/peringata
tersebut mengetahui secara pasti apa yang harus dilakukan dan apa konsekuensinya jika
tidak dilakukan.

..
3. Tindakan paksa pemerintahan (bestuursdwang/politiedwang)
Tindakan paksa pemerintahan (bestuursdwang/politiedwang) merupakan tindakan
nyata (feitelijke handelingen) dari pejabat administrasi negara guna mengakhiri suatu
keadaan yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan atau melakukan
sesuatu yang seharusnya ditinggalkan oleh seseorang karena bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Tindakan ini merupakan tindakan langsung dari pejabat
administrasi negara. Tindakan nyata tersebut dilakukan oleh pejabat administrasi negara
dalam rangka menyesuaikan keadaan nyata yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan, manakala warga negara melalaikannya. Kewenangan pejabat
administrasi negara untuk melaksanakan tindakan nyata tersebut merupakan konsekuensi
dari tugas pemerintah bahwa pejabat administrasi negara dibebani tugas untuk
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tindakan paksa pemerintahan
tersebut dalam praktik sangat bervariatif. Misalnya, perintah pengosongan tanah bagi
orang yang memanfaatkan tanah tanpa izin. Selain itu, ada juga variant yang lain yaitu
perintah penghentian pekerjaan pembangunan, tindakan penyegelan, pembongkaran
terhadap pelanggaran fisik. Penertiban pedagang kaki lima, pemulihan atas pelanggaran
pencemaran lingkungan, penghentian usaha atas pabrik yang mencemari lingkungan, dan
lainnya

4. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan


Jenis sanksi administratif yang lain adalah penarikan kembali keputusan yang
menguntungkan. Ada 2 alasan mengapa suatu keputusan yang menguntungkan dapat
1) yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan, persyaratan, atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang dikaitkan dengan izin, subsidi, ataspembayaran
2) yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan .untuk mendapat
izin,subsidi, atau pembayaran telah memberikan data atau keterangan tidak benar atau
tidaklengkap, apabila data atau keterangan tersebut diberikansecara benar atau lengkap
kemungkinan keputusan yangdiberikan akan lain.
Penarikan keputusan lazimnya juga dituangkan dalam bentuk keputusan, sehingga
penarikan kembali keputusan merupakan keputusan baru yang berisi penarikan kembali
dan menyatakan tidak berlaku keputusan terdahulu. Sebagai suatu keputusan, maka
konsekuensi yang timbul dalam keputusan bisa juga timbul dalam keputusan penarikan
kembali keputusan. Apabila keputusan penarikan kembali tersebut menimbulkan
kerugian, maka terhadap keputusan tersebut dapat ditempuh upaya hukum sebagaimana
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

5. Denda administratif;
Sanksi administratif lainnya adalah denda administratif. Sanksi denda administratif
banyak ditemukan dalam hukum perpajakan. Pengenaan sanksi ini hampir menyerupai
pengenaan sanksi pidana dan harus ada dasar hukum yang tegas dalam peraturan
perundang-undangan. Dalam perkembangan sekarang ada kecenderungan pada beberapa
kasus terbatas dengan berbagai pertimbangan pejabat administrasi negaraberalih pada
pengenaan denda administratif.

6. Pengenaan uang paksa (dwangsom)


Yang terakhir adalah sanksi administratif yang berupa uang paksa (dwangsom).
Pengenaan uang paksa oleh pejabat/badan administrasi negara merupakan bentuk sanksi
administrasi modern sebagai alternatif untuk penerapan upaya paksa pemerintahan
(bestuursdwang). Pengenaan sanksi uang paksa ini pun sama seperti pengenaan denda
administratif, yakni harus ada dasar hukum yang tegas dalam peraturan perundang-
undangan. Karena merupakan alternatif/pengganti dari upaya paksa pemerintahan
(bestuursdwang), maka kewenangan untuk menetapkan uang paksa melekat pada pejabat
administrasi negara yang berwenang mengenakan upaya paksa pemerintahan
(bestuursdwang). Pengenaan uang paksa akan dilakukan apabila upaya paksa
pemerintahan (bestuursdwang) secara praktis sulit dilakukan atau upaya paksa
pemerintahan (bestuursdwang) tersebut dianggap terlalu berat. Uang paksa tersebut bisa
ditentukan setiap kali pelanggaran diulangi lagi atau setiap hari/waktu tertentu yang
ditentukan dan akan hilang apabila pelanggaran tersebut diulangi lagi atau setiap hari
apabila pelanggaran tersebut masih tetap berlanjut.
D. Penutup

Hal yang penting terkait dengan sanksi administratif ini adalah bahwa setiap
pengenaan sanksi administratif harus ada dasar hukumnya dan disertai dengan
kemungkinan bagi yang terkena sanksi untuk mengajukan upaya hukum. Bagi yang
pejabat administrasi negara yang akan mengenakan sanksi administratif harus
memastikan bahwa betul-betul telah terjadi pelanggaran atas ketentuan peraturan
perundang-undangan dan pada waktu menerapkan sanksi tersebut telah
diperhatikan/dipertimbangkan betul asas-asas umum pemerintahan yang baik, misalnya
asas kecermatan, asas kepastian hukum, asas keseimbangan dan sebagainya.
Konsep Penjatuhan Sanksi Administratif terhadap pejabat pemerintah yang tidak
melaksanakan putusan Peratun dalam sengketa Tata Usaha Negara yang efektif yaitu ;
(a). Dibutuhkan adanya regulasi yang mengatur tentang pejabat pemerintah yang tidak
melaksanakan putusan Peratun dimaknai sebagai tindakan sewenang-wenang yang
dikenai sanksi administratif tingkat berat berupa sebagaimana ketentuan dalam pasal 81
Ayat 3 Undang-Undang Administrasi pemerintahan.
(b). Lembaga PTUN tidak hanya sebagai pengawas dalam pelaksanaan putusan
Pengadilan Tun yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap akan tetapi juga sebagai
pelaksana putusan Pengadilan TUN harus berperan aktif sebagaimana azas Dominis Litis
(c). Sebagai Ultimum Remedium atau upaya terakhir bilamana sanksi Administratif telah
dijatuhkan kepada pejabat pemerintahan, tetapi pejabat pemerintahan yang bersangkutan
tersebut tetap tidak mau melaksanakan Putusan PERATUN maka penjatuhan sanksi
pidana dapat dijatuhkan bagi pejabat pemerintahan yang tidak mau melaksanakan
kewajiban yang diperintahkan dalam putusan Pengadilan TUN yang berkekuatan hukum
tetap.

Anda mungkin juga menyukai