Anda di halaman 1dari 9

Diskusi tentang BLU memang menarik, khususnya rumah sakit dan perguruan tinggi.

Berikut
artikel tentang BLU dari Harian Republika dan blog.
Berharap Peningkatan Mutu RS Lewat Badan Layanan Umum
Rumah sakit adalah ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit
keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah.
Ini terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah.
Penyebabnya klasik, yaitu masalah keterbatasan dana. Sehingga rumah sakit (RSUD dan
rumah sakit milik pemerintah) tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik karena
peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang
rendah.
Menyadari hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Dengan
PP ini, maka status rumah sakit kini berubah menjadi BLU.
Sebagai tahap awal, pemerintah menetapkan 13 RS yang statusnya perusahaan jawatan
(Perjan) menjadi BLU. Yaitu enam RS di Jakarta (RSCM, RS Fatmawati, RS Persahabatan,
RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, RSAB Harapan Kita, RS Kanker Dharmais),
dan masing-masing satu RS di Bandung (RS Dr Hasan Sadikin), di Semarang (RS Dr
Kariadi), di Yogyakarta (RS Dr Sardjito), di Denpasar (RS Sanglah), di Makassar (RS Dr
Wahidin Sudirohusodo), di Padang (RS Dr M Djamil), dan RS Dr Mohammad Hoesin di
Palembang.
Pelantikan direktur utama BLU rumah sakit tersebut dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Siti
Fadilah Supari, di Jakarta, pekan lalu. Menurut Menkes, sebelum ditetapkan menjadi BLU,
RS yang berstatus Perjan telah diberi kesempatan untuk melewati masa transisi selama enam
bulan. Dalam masa tersebut, ada rumah sakit yang tenang-tenang saja. Namun, ada juga yang
bergejolak, baik positif maupun negatif.
Keleluasaan
Dengan manajemen BLU, kata Menkes, maka sebuah RS mempunyai keleluasaan dan
kelonggaran yang lebih untuk mendayagunakan uang pendapatan. Namun, pendapatan
tersebut harus dikelola sebaik-baiknya untuk meningkatkan mutu pelayanan bagi semua

pasien. Juga untuk meningkatkan kualitas SDM, mengendalikan tarif pelayanan, mengelola
sarana, dan bukannya untuk menumpuk keuntungan, katanya.
Menkes melanjutkan, dengan manajemen yang baik, keuntungan yang cukup longgar,
kesejahteraan SDM semakin meningkat, serta adanya UU Praktik Kedokteran dan UU
Perumahsakitan, maka para dokter akan bekerja lebih baik. Sehingga diharapkan
kepercayaan masyarakat terhadap dokter akan semakin meningkat. Dan akhirnya masyarakat
akan mantap untuk berobat di negeri sendiri serta tidak perlu lagi ke Singapura atau
Malaysia, tuturnya.
Senada, Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, Farid W Husein, menyatakan,
dengan status BLU, maka RS memiliki keleluasaan untuk mengelola keuangannya. Namun,
pihaknya akan selalu melakukan pengamatan terhadap kinerja rumah sakit BLU. Kehatihatiannya harus tambah, ujarnya.
Kalau sebagai tahap awal, sebanyak 13 RS yang statusnya Perjan telah ditetapkan menjadi
RS BLU, di kemudian hari semua RS akan dibawa ke arah sana. Syaratnya RS tersebut harus
sehat dalam melaksanakan pekerjaannya. Arah BLU adalah untuk meningkatkan kualitas
pelayanan RS. Yaitu bagaimana meningkatkan mutu dengan kebebasan keuangan yang
dimilikinya, kata Farid.
Kebebasan mengelola keuangan ini diakui oleh Direktur Utama BLU RSCM, Dr dr Akmal
Taher SpU (K). Dengan BLU kami punya cukup otonomi untuk mengelola sumber daya.
Jadi, ada keleluasaan, katanya.
Direktur Utama BLU RS Sanglah Denpasar, dr I Gusti Lanang M Rudiartha MHA, juga
mengatakan hal yang sama. Mudah-mudahan setelah apa yang dicanangkan, pengelolaan
sumber daya lebih bagus lagi dibandingkan pada saat masih sebagai Perjan. Pengelolaan
keuangan lebih leluasa. Ini yang kami harapkan. Ke depan pelayanan lebih bagus sehingga
pendapatan RS juga lebih bagus, ungkapnya.
Penggajian proporsional
Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, Prof Ascobat Gani, dengan adanya aturan soal
BLU ini, maka manajemen rumah sakit memiliki keleluasaan dalam mengelola keuangannya.
Tidak hanya itu, masalah penggajian karyawan juga bisa diatur secara lebih proporsional.

Sebelum adanya aturan tentang BLU, manajemen pengelolaan keuangan di sebuah rumah
sakit sangat ketat. Akibatnya, rumah sakit tidak bisa mengembangkan diri dalam hal
keuangan. Yang lebih parah, mutu layanan kepada pasien atau konsumen juga semakin
menurun.
Yang jelas manajemen rumah sakit sekarang lebih luas dalam mengelola keuangannya. Dulu
ketat sekali sehingga tidak boleh pinjam uang namun tidak boleh berhenti melayani.
Akibatnya mutunya jadi turun, katanya pada Lokakarya Nasional Kesiapan Rumah Sakit
Daerah (RSUD) Menjadi BLU, yang diselenggarakan Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh
Indonesia (ARSADA), di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut Ascobat, aturan yang ada di PP 23 tahun 2005 memangkas aturan-aturan yang ada
sebelumnya. Justru yang itu membatasi gerak langkah RS. Dengan BLU, manajemen RS
diperbolehkan meminjam uang kepada pihak ketiga untuk menutup biaya operasional. Ini
bisa dilakukan jika kondisi keuangan sebuah rumah sakit benar-benar mengkhawatirkan.
Ascobat menyebut aturan di BLU ini sangat revolusioner. Tapi yang lebih penting, dengan
menjadi BLU, maka pimpinan RS memiliki hak untuk mengatur penggajian karyawannya. Ini
berbeda dengan aturan sebelumnya, yaitu semua karyawan mendapat gaji sama tanpa
membedakan prestasi atau hasil kerjanya.
Dengan BLU pimpinan RS bisa memberikan honor, insetif, atau bonus di luar ketentuan
gaji. Dulu kan PGPS alias Pinter Goblok Pembayaran Sama. Nah, dengan BLU sekarang
diatur bahwa di luar gaji boleh diberikan honor, insetif, bahkan bonus. Misalnya ketika
kinerja keuangan bagus sekali sehingga ada sisa hasil usaha, paparnya.
Masyarakat Miskin Tetap Terjamin
Selama ini muncul kekhawatiran di masyarakat terhadap rumah skit (RS) dengan status
sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dikhawatirkan, biaya kesehatan di RS semakin tak
terjangkau oleh masyarakat miskin. Akibatnya, masyarakat miskin makin jauh dari pelayanan
kesehatan yang sangat dibutuhkannya.
Menjawab kekhawatiran tersebut, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, meminta kepada
direktur rumah sakit BLU untuk benar-benar memperhatikan akses kesehatan bagi
masyarakat miskin.

Saya tidak ingin mendengar lagi adanya rakyat kecil yang terlunta-lunta ketika ingin
mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Saya tidak mau mendengar lagi kisah
rakyat kecil yang ditolak oleh rumah sakit, terutama rumah sakit pemerintah, dengan alasan
apapun juga, katanya ketika melantik 13 direktur utama RS BLU dan sejumlah pejabat
eselon II Depkes lainnya, di Jakarta, pekan lalu.
Menkes menegaskan, pemerintah saat ini menjalankan program pengobatan gratis untuk
rakyat miskin di kelas tiga rumah sakit dengan mekanisme asuransi kesehatan yang dikelola
PT Askes. Karena itu, Menkes mengingatkan, agar jangan sampai ada masyarakat miskin
yang tidak memiliki kartu Askeskin ditolak di rumah sakit.
Saya tekankan, adakanlah satu atau lebih petugas untuk mengurus kartu Askeskin bagi orang
miskin yang belum mempunyai kartu. Jadi, tidak ada lagi alasan rumah sakit nombok karena
merawat orang miskin. Sebab hal itu bisa diselesaikan dengan PT Askes, kata Menkes
menegaskan.
Direktur Utama BLU RS Sanglah Denpasar, dr I Gusti Lanang M Rudiartha MHA, kepada
Republika, mengatakan dengan status BLU, rakyat miskin tetap akan mendapatkan pelayanan
kesehatan yang memadai.
Masyarakat miskin sangat terbuka dengan adanya pembiayaan dari Askes miskin. Yang
jelas, dengan status BLU maka sisi manajemen, pelayanan, dan sebagainya harus sudah jelas
arahnya, ujarnya.
Sumber: Republika Online Selasa, 18 Oktober 2005
Tuesday, July 17, 2007
BLU akankah menjadi solusi?
Hasil temuan BPK untuk tahun 2007 ini masih mengindikasikan banyak lembaga negara,
Departemen, dan juga Universitas Universitas terindikasi belum menyetorkan PNBP nya.
Alasan yang dikemukakan adalah dana dana PNBP itu digunakan terlebih dahulu selagi
menunggu cairnya anggaran APBN dalam suatu kegiatan.Tapi ternyata BPK tidak mau tahu
walaupun pengeluaran PNBP yang dilakukan Lembaga ada catatannya. Mereka menganggap
hal itu salah menurut hukum. Maka dari itu,terkesan banyak PNBP yang diposkan sementara

dalam rekening-rekening liar telah divonis merugikan negara. Demikian juga yang terjadi
dalam dunia kampus.
Menurut ketua BPK Anwar Nasution dari hasil pemeriksaan semester II 2006 menyatakan:
Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Hasanuddin Makassar, dan Universitas
Sumatera Utara masih menahan PNBP senilai Rp 242,65 miliar. Hal tersebut menimbulkan
kontroversi karena pihak universitas terpaksa menahan uang tersebut agar dapat membiayai
operasional perkuliahan dan kegiatan mahasiswa di kampusnya.
Untuk menyikapi hal itu, Menteri Keuangan sadar kesulitan yang dihadapi satker satker
dalam hal kebutuhan dana mendesak. Beliau mengatakan:Semuanya adalah aturan manusia
yang masih bisa diubah. Daripada membuat para rektor itu terus berbohong, lebih baik
dicarikan cara agar mereka dapat menggunakan dana PNBP tanpa harus terhambat oleh apa
pun,Beliau juga menyarankan sebuah Departemen, Lembaga,dan Universitas memiliki
Badan Usaha. Lebih bagus lagi bila memiliki Badan Layanan Umum yang telah memiliki
payung hukum yang jelas.
Namun muncul dilema bahwa adanya BLU akan menyebabkan komersialisasi di berbagai
sektor dan bidang.Upaya mewiraswastakan pemerintah tersebut dapat diketahui melalui
pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) sesuai pasal 68 dan 69 Undang-undang Nomor 1
tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa BLU
adalah Instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas. Walaupun BLU dibentuk tidak untuk mencari keuntungan, akan tetapi letak
enterprising-nya dapat dilihat pada pasal 69 ayat (6) bahwa pendapatan BLU dapat digunakan
langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan. Pendapatan yang dimaksud itu
dapat diperoleh dari hibah, sumbangan, atau sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan.
Sebagaimana amanat pasal 69 Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara bahwa BLU akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, pada tanggal 13
Juni 2005 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang
Badan Layanan Umum. Peraturan tersebut mengatur lebih rinci mengenai tujuan, asas,
persyaratan, penetapan, pencabutan, standar layanan, tarif layanan, pengelolaan keuangan,
dan tata kelola BLU.

Indulgensia
Max Weber menyatakan bahwa pemerintah memiliki dua tinjauan peranan penting.
Pemerintah mempunyai fungsi sebagai regulator dan administrator jika ditinjau dari mechanic
view. Jika ditinjau dari organic view pemerintah juga berfungsi sebagai public service agency
dan investor yang harus dinamis. Idealnya kedua tinjauan itu dapat terlaksana secara
simultan.
Namun rupanya untuk mencapai kondisi ideal tersebut di Indonesia bagaikan menegakkan
benang basah. Masyarakat sudah terlanjur memiliki persepsi bahwa pemerintah merupakan
organisasi birokratis, tidak efisien, tidak efektif, dan lambat. Pada kenyataannya masyarakat
memang sering dihadapkan pada birokrasi komplek pemerintah. Bahkan birokrasi komplek
tersebut pada beberapa instansi telah melahirkan mata pencaharian baru, yaitu sebagai calo.
Praktek percaloan ini tak jauh beda dengan praktek suap menyuap, kolusi, korupsi, dan
extraordinary crime lainnya.
Dalam penjelasan PP 23 tahun 2005 dijelaskan bahwa pembentukan BLU diharapkan
menjadi contoh konkrit penerapan manajemen keuangan berbasis kinerja sehingga mampu
menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Hal ini sebenarnya pemerintah secara
tidak langsung mengakui adanya persepsi masyarakat tersebut. Dengan dibentuknya BLU,
pemerintah mengakui tidak bisa menjalankan perannya sebagai mecanic view dan organic
view secara simultan. Jadi PP 23 tahun 2005 tak ubahnya seperti surat indulgensia, surat
pengakuan dosa, dari pemerintah kepada rakyatnya.
Rencana Dosa
Rakyat mungkin akan memaafkan pengakuan dosa-dosa pemerintah itu. Namun apa jadinya
jika BLU dimanfaatkan untuk merencanakan dosa-dosa lain yang justru menjadi legal karena
keberadaan BLU yang diakui pemerintah. Pada kesempatan kali ini setidaknya penulis
menemukan tiga rencana dosa dalam kaitan keberadaan BLU.
Pertama, pola pengelolaan kas BLU sebenarnya menghambat proses pembentukan Treasury
Single Account sebagai mana diamanatkan UU Perbendaharaan Negara. Sesuai dengan pasal
16 PP 23 tahun 2005 BLU menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengelolaan kas. Kegiatan
itu antara lain: merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas, melakukan pemungutan

pendapatan atau tagihan, menyimpan kan dan mengelola rekening bank, melakukan
pembayaran, mendapatkan sumber dana untuk menutp defisit jangka pendek, dan
memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. Aturan
ini menjadi kelihatan tidak beres setelah dibandingkan dengan pasal 12 ayat (2) dan pasal 13
ayat (2) UU Perbendaharaan Negara. Ketentuan perbendaharaan negara menyebutkan bahwa
semua penerimaan dan pengeluaran negara/daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum
Negara/Daerah.
Permasalahan ini mungkin saja diperdebatkan, karena BLU membuat rencana kerja dan
anggaran dalam menyelenggarakan kegiatannya. Namun juga harus diketahui bahwa rencana
kerja dan anggaran merupakan fungsi planning dalam manajemen yang pada kenyataannya
bisa menimbulkan varians. Demikian juga dengan BLU yang diberi kewenangan untuk
memperoleh pendapatan selain dari APBN/APBD yaitu sehubungan dengan jasa layanan,
hibah dan sumbangan. Dengan kondisi tersebut, penulis kira BLU tidak mungkin
menjalankan anggaran secara mutlak, atau bisa dikatakan hampir pasti terjadi varians antara
anggaran dengan realisasi kerja BLU. Lantas bagaimana jika varians yang terjadi bukan
bagian dari fungsi planning? Kondisi ini yang dikhawatirkan penulis akan menjadi dana non
budgeter atau dana taktis. Suryohadi Djulianto, penasehat KPK, dengan tegas menyatakan
bahwa apapun alasannya perbuatan menghimpun dana non budgeter adalah perbuatan
melawan hukum. Demikian juga BLU yang menghimpun dana di luar APBN dan APBD serta
tidak mencantumkan dalam rencana kerja telah melanggar UU Perbendaharaan Negara.[1]
Kedua, BLU dapat menggunakan surplus anggarannya untuk kepentingan BLU tersebut. Hal
ini dengan gamblang disebutkan dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005
yaitu Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas
perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,
disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan
mempertimbangkan posisi likuiditas BLU. Jika dibandingkan dengan pasal 3 UU Keuangan
Negara, maka aturan mengenai surplus BLU tersebut telah menganakemaskan BLU sehingga
tidak tercermin adanya keadilan.
Pasal 3 ayat (7) UU Keuangan Negara menyebutkan bahwa Surplus penerimaan/negara
dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
Selanjutnya pada ayat berikutnya dijelaskan Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan

Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.


Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa kaidah perlakuan surplus adalah
dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Peruntukan lain terhadap surplus
anggaran ini harus memperoleh persetujuan DPR/DPRD. Perbandingan kedua aturan yang
mengatur surplus angaran ini menunjukkan bahwa BLU memiliki daya tawar keuangan yang
lebih tinggi dibandingkan Perusahaan Negara/Daerah.
Ketiga, keberadaan BLU sebagai bukan subjek pajak telah melanggar Undang-undang
Nomor 7 tahun 1983 stdtd Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
(PPh). Pada pasal 14 PP 23 tahun 2005 dijelaskan bahwa pendapatan BLU dilaporkan sebagai
pendapatan negara bukan pajak kementrian/lembaga atau pendapatan negara bukan pajak
pemerintah daerah. Beberapa penggagas BLU juga menyatakan bahwa BLU dibebaskan dari
kewajiban membayar PPh Badan atas sisa anggaran atau hasil usaha/nilai tambah karena
BLU bukan subjek pajak.
Apabila keberadaan BLU memang demikian adanya, maka telah terjadi pelanggaran terhadap
pasal 2 UU PPh. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa subjek pajak adalah orang
pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai kesatuan, menggantikan yang berhak; badan;
dan bentuk usaha tetap. Selanjutnya terminologi badan jelaskan bahwa badan adalah
sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk
usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
PPh merupakan pajak subjektif sehingga yang diperhatikan terlebih dahulu adalah kewajiban
subjektifnya. Sebagaiman dijelaskan diatas bahwa badan merupakan salah satu subjek pajak,
maka seharusnya BLU juga merupakan subjek pajak. Apabila BLU dikatakan bukan subjek
pajak maka hal ini perlu dikonfrontir dengan pasal 3 UU PPh. Pada akhirnya juga diketahui
bahwa BLU tidak termasuk golongan yang dikecualikan dari subjek pajak. Jadi berdasarkan
aturan PPh BLU secara mutlak adalah subjek pajak.
Dalam Reformasi Depkeu diusulkan bahwa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) akan
berubah menjadi BLU. Di satu sisi model BLU masih sering diperdebatkan dan masih banyak

yang menentangnya. Tapi disi lain mungkin hal ini akan dapat meningkatkan kinerja dari
instansi terkait. Semoga STAN yang nantinya benar benar menjadi BLU dapat menjadi
BLU yang baik dengan meningkatkan pelayanan kepada mahasiswanya yang saat sekarang
ini masih terkesan asal asalan. Semoga STAN bukan termasuk instansi yang memanfaatkan
kesalahan untuk berbuat salah.
Sumber: Civitas Stan @ Wirawan Purwa Y. Dipetik dari Heru Blog

Anda mungkin juga menyukai