Disparitas sosial begitu jelas tampak di ruang ruang publik, dari perempuan yang tidak
mendapatkan haknya, seperti di dalam hubungan pernikahan. Perempuan dilarang bekerja
dikarenakan stigma masyarakat tetap berpegang bahwa perempuan “mahluk yang lemah”
(inferior) sebab patriarki masih mendarah daging. Semua timbul karena masyarakat muslim
bersyadatnya patut dipertanyakan, apakah hanya sekedar mengucapkan secara lisan saja? Tetapi
tidak dengan hati dengan disertai tindakan yang kongkrit. Sedangkan islam yang di reinterpretasi
ulang oleh para pemikir islam postmodern, seperti Asghar Ali Engineer terkait konsep ekonomi
islam menggunakan pandangan Bani Sadr.
Nama lengkapnya Abolhassan Bani Sadr, seorang presiden pertama semenjak revolusi
iran (1979) dan runtuhnya dinasti Pahlevi. Menurut Bani Sadr kekayaan seharusnya bersifat
kapitalisme negara, dalam pengertian kekayaan kolektif yang dibagi kepada warga negara,
meskipun bukan ummat muslim. Tetapi, konteks ekonomi di indonesia yang masyarakatnya
mayoritas beragama islam jauh dari nilai nilai „konsep ekonomi islam” yang sebenarnya tujuan
nyata dari masyarakat islam adalah membebaskan manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan
masyarakat dimana kekayaan bukan diperoleh dengan kekuatan (people power) melainkan atas
dasar (buruh, hasil kerja) atau gotong royong.
Di dalam bukunya “Islam dan Teologi Pembebasan” Asghar menjelaskan secara eksplisit
sebagai berikut: