Anda di halaman 1dari 5

PERSPEKTIF PERBANDINGAN INTER-SISTEMIK

Kesan-kesan dangkal yang muncul berdasarkan ketidaksamaan yang terpisah di antara


sistem-sistem ekonomi akan segera hilang dengan menguntip kesamaan – kesamaan inter-sistem
yang lebih positif. Dengan bantuannya, bisa ditetapkan secara analitis karakter yang jelas dari sistem
ekonomi islam yang beorientasi etik, dengan memperjelas asosiasi-asosiasi terhadapnya yang salah
tempat dan dirancukan dengan sistem-sistem ekonomi lain.

Empat hal yang harus di catat dalam percobaan ini:

1. Alasan untuk membedakan ekonomi islam dari kapitalisme, sosalisme, serta welfare-state
dengan merujuk pada nilai-nilai etik islam dimaksudkan untuk menetapkan superioritas
terhadap rival-rivalnya hanya dari sudut pandang muslim representatif –yakni diantara haal-
hal lain yang sama,dia akan lebih memilih suatu sistem ekonomi yang sesuai dengan
kepercayaan- kepercayaan etiknya.
2. Kapan saja superioritas tersebut ditegaskan, suatu sistem teoretis yang mengkombinasi
pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan nilai-nilai moral diasumsikan akan superior atas
suatu sistem yang membanggakan diri dari positivisme nya yang ekslusif.
3. Membuat perbandingantelah bekerja dengan sukses dan ada banyak hal dari kedua sistem
tersebut telah bekerja dengan sukses, dan ada banyak hal dari kedua sistem tersebut yang
harus dijadikan pelajaran bagi sistem ekonomi islam yang riil berlaku- khususnya, visi
kemajuan ekoonomi (dan sosial) mereka dari sosialisme, penekanan pada keadilan sosial dan
keadilan distributif dari kapitalisme, penekanan pada akumulasi dan pertumbuhan dalam
frame work 1kebebasan individu. Dan tentu, prinsip welfare-state perlu didekati karena
kesuksesannya dalam menggabungkan pertumbuhan dengan kesejajaran dan ditegaskan
bahwa ketika elemen-elemen kesuksesan ini di sesuatu yang berbeda, bahkan superior,
tidak hanya bagi muslim tetapi juga bagi manusia semuanya
4. Tidak adanya sistem ekonomi islam yang berlaku riil dalam sejarah yang relatif panjang,
perbandingan inter-sistemiik yang dihadirkan dibawah ini dibuat dengan hati- hati. Maka,
kami tidak membandingkan ideal-ideal sistem islam dengan praktik-praktik kapitalisme,
sosialisme, ataupun welfare-state.
A. Islam dan sosialisme
Sosialisme mungkin menarik karena ia secara eksplisit mengatasi problem-problem distribusi
pendapatan dan kekayaan yang adil, secara langsung menangani fenomena kemiskinan dan
kelaparan, serta menunjukkan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap kalangan yang
tidak beruntung dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, dilakukan penghapusan institusi-
institusi kepemilikan pribadi dalam segala bentuknya termasuk institusi alat-alat produksi. 2 pada
tingkat yang lebih umum, sejumlah pandangan Marxis telah menjadi bagian dan hadiah
kebijaksanaan yang diterima tentang bagaimana masyarakat berkembang sepanjang masa misal,
bahwa kualitas ketegangan – ketegangan antar kepentingan-kepentingan ekonomi memiliki
pengaruh penting atas jalan dan intensitas perjuangan politik. Bagian filsafat Marxis lain yang
menarik adalah penekanannya pada realitivitas yang mendasar dari hukum-hukum ekonomi atas

1
Lihat, misalnya, model kerja influensialnya al-sibai (?) untuk memperoleh jawaban positif yang tegas.
2
Tetapi, terakhir, institusi kepemilikan pribadi sedang dihidupkan kembali di negara-negara komunis.
hakekat sebuah masyarakat dan penekanannya hukum-hukum yang demikian itu kehilangan
relevansinya, begitu frame work sosial yang mendasarinya diubah total.
Tetapi, menyamakan sosialisme dengan ekonomi islam akan merupakan suatu non sequitur.
Ini karena, dalam visi Marxis, capaian-capaian ekonomi sama sekali tidak terkait secara eksplisit
dengan filsafat etika apa pun bahkan meski pertimbangan-pertimbangan moral diperboleh kan
mempengaruhi kesadaran 3 Memang,sosialisme yang menyebut dirinya bersifat ’ilmiah’,
menyandarkan kelainnya pada pengakuan terhadap hukum-hukum materialisme dialektis,
bukan pada ketentuan-ketentuan etik, yang muncul berbarengan dengan kondisi- kondisi
ekonomi yang ada. Disisi lain, dalam perspektif islam, struktur sosial dibuat tidak hanya dengan
kekuatan-kekuatan ekonomi (hubungan-hubungan produksi Marxis ); tetapi, bahkan secara lebih
mendasar, ia dibuat dari suatu instruktur etika yang kuat dengan demikian, karena mengambil
inspirasi dari dua konsepsi etik yang sangat bertolakbelakang, maka struktur dan institusi sosial
masyarakat islam secara alamiah akan berbeda dari yang ada dalam masyarakat sosialis, baik
pada dataran ideologis maupun pada dataran dunia riil. Kebebasan individu, menurut sistem ini,
bukan merupakan nilai yang absolut. Kebebasan individu, paling banter, merupakan sebuah nilai
yang bersifat instrumental. Sebailknya, dalam perspektif islam, kebebasan individu untuk
memilih diantara berbagai pilihan alternatif merupakan nilai absolut sekaligus instrumental-
dikatakan absolut, sejauh itu didasarkan, pada aksioma kehendak bebas; ia juga dikatakan relatif
dalam batas-batas bahwa bentuk ‘terbaik’ kebebasan individu adalah bentuk tidak bertentangan
dengan tuntutan kesejahteraan orang miskin dalam masyarakat- yang didasarkan pada aksioma
tanggung jawab. Karena alasan ini, ketika negara islam meminta warganya untuk berkorban,
mereka akan memberikannya atas dasar perintah moral dan melakukannya secara sukarela.
Pertama, penghapusam total institusi kepemilikan pribadi dibawah sosialisme bertentangan
dengan sikap jalan tengah islam terhadap masalah tersebut. 4
Kedua, pandangan hidup yang menginpirasikan lahirnya sosialisme secara mendasar
berbeda dengan ondangan hidup yang membuat islam bertindak. Dorongankemajuan ekonomi,
menurut sosialisme, berasal dari pndangan historis-dialektis tentang proses sosial, yang
merupakan pusat perjuangan kelas; “ sejarah manusia merupakan sejarah tentang perjuangan
kelas”. (marx, 1948).
Ketiga, sesuai dengan hukum dialektika Marxis, hubungan-hubungn produksi benar-benar
menentukan kerangka pikir dan kesadaran sebuah masyrakat. Maka, Marx menyatakan dalaam
pesannya yang terkenal: “ bukan kesadaran manusia yang menentukan eksisstensi mereka,,
tetapi, sebaliknya, eksistensi sosialnya yang menentukan kesadaran mereka.” 5dengan kata lain,
bukan kualitas kesadaran manusia yang menentukan bentuk tertentu dari realitas sosial;
melainkan adalah kekuatan-kekuatan produksilah yang menentukan realitas sosial. Dan faktor
penentu ini terjadi ketika kekuatan-kekuata produksi menjadi stabil dan mereproduksinya
3
Dalam pandangan Marxis, setiap masyarakat memiliki infra strukturnya sendiri yang mencakup dorongan-
dorongan dan relasi produksi. Ia juga memiliki supra struktur yang membentuk institusi-institusi politik,
hukum, juga pola pikir dan pandangan hidup.( Aron, 1968)
4
Maka Boisard (1987) menyatakan: “ jika, misalnya,( dalam islam) kepemilikan pribadi dan inisiatif individu
diakui sebagai penentangan terhadap komunisme kolektif, hal itu amat terbatas, yang sama sekali berbeda
dengan liberalisme barat”. (h.110)
5
Marx ( 1859) : kata pengangtar. Dia mengemukakan tesis yang sama sebelumnya sebagai respon terhadap
pemahaman Hegel terhadap aspek intelektual, spiritual, konseptual ataupun religius sebagai determinan
sejarah: “ berlawanan langsung dengan filsafat jerman yang turun dari langi ke bumi, disini bermula dari bui ke
langit... kehidupan tidak ditentukan oleh kesadaran, melainkan kesadaran (ditentukan) oleh kehidupan.” (Marx
de engels, 1845-6).
sendiri sepanjang waktu, yang dengan demikian membentuk struktur sosial yang (semi) tetap,
yang hanya dapat diubah dengan revolusi.
Keempat, sosialisme paling banter bersikap ambivalen terhadap peran individu versus peran
negara.
B. Islam dan kapitalisme
Satu hal yang jelas dari kesamaan antara ilmu ekonomi islam daan kapitalisme adalah
bahwa keduanya menolak sosialisme. Kemudian, terdapat beberapa kesamaan yang muncul
antara dua sistem tersebut berhubungan dengan sikap-sikapnya yang sangat mendukung
kebebasan individu dan hak milik pribadi serta sejumlah kesamaan dalam memandang peran
inisiatif pribadi dalam meningkatkan pertumbuhan. Juga, islam sebagaimana kapitalisme
menekankan akumulasi dalam bentuk komoditi yang bisa dipertukarkan (daripada nilai gunanya)
sebagai bagian dan bidang dari dinamika kemajuan ekonomi secara keseluruhan. Keduanya
mengecam feodalisme sebagai anti-kemajuan dan malah setuju dengan struktur sosial yang bisa
berubah-ubah.
Tetapi, perbedaan-perbedaan diantara kedua sistem tersebut adalah sama, bahkan lebih,
fundamental. Perbedaan-perbedaan itu muncul dari sumber hukum, yaitu pandangan etika dari
kedua sistem tersebut.6jika para pendukung kapitalisme yang terkenal terus bersikukuh pada
kebebasan moral perilaku mementingkan diri sendiri(yang ekslusif), baik dalam teori maupun
praktik,7maka ekonomi islam tidak akan menerima kedaulatan yang tak dapaat diganggu gugat
dari perilaku mementingkan diri sendiri dalam dunia ekonomi meski pentingnya perilaku
demikian itu sebagai suatu kekuatan motivasional dibalik inisiatif pribadi, diakui 8 . Dengan
demikian, bertentangan dengan konsep kepemilikan kapitalisme berhubungan dengan
kepemilikan kekayaan pribadi, islam menekankan sikap lebih banyak memberi.
Menurut Viner (1978), etika protestan merupakan kekuatan pendorong kapitalime:”...
pencarian kekayaan tak terbatas dan penuh pengabdian melalui kegiatan industri terus
menerus, pengekangan yang ketat terhadap pengeluaran untuk konsumsi ataupun untuk
shodaqoh, konsentrasi waktu dan perhatian dalam mengejar urusan-urusan bisnis seseorang,
menghindari hambatan melalui persahabatan yang akrab dengan orang lain, eksploitasi
terhadap buruh secara sistematik dan tanpa belas kasih serta pengawasan kejujuran yang ketat
dalam hubungan seseorang dengan orang lain didalam batas-batas yang diatur dalam ‘legalitas
formal’(h.151).9 kekayaan kaum kapitalis dengan cepat menumpuk, sementara gaji-gaji yang
eksploitatif dan kondisi buruk yang memprihatinkan berlangsung pada masa jayanya kapitalisme
suatu proses yang secara jelas menggambarkan preskripsi Marxis yang mana laba dan tingkat
laba yang kompetitif ditentukan oleh nilai tambah, yang dalam ukuran sebaliknya, ekspolitasi
sosial yang luas terjadi dalam sistem kapitalis.
Untuk mengetahui perbedaan inter-sistemik ini secara lebih jelas, hal-hal berikut perlu
dicatat.

6
Untuk memperoleh pandangan yang agak berbeda, dan sering berlawanan, lihat Rodinson (1978); khususnya
bab 5.
7
Dengan mengevaluasi peran etika dalaam ekonomi, Stigher (1981) berkesimpulan:”...kita hidup dalaam dunia
orang-orang yang sangat rasional yang bertindak dengan cerdas untuk mengejar kepentingan-kepentingan
pribadi mereka”, (h.25)
8
Misalnya, Taleghani(1982) menunjukan bahwa “ ilmu ekonomi islam tidak didasarkan baik pada kebebasan
kepemilikan pribadi yang tak terbatas yang menghasilkan kapitalisme yang tak terkendali maupun pada
kepemilikan publik yang menyebabkan penolakan total terhadap kebebasan dan kepimilikan pribadi...” (h.25).
9
Lihat juga Aron (1970) untuk memeriksa tesis Weberian.
a. Dari sudut pandang islam, penekanan yang berlebihan oleh kapitalisme terhadap nilai-
nilai material merusak keseimbangan yang tipis antara perilaku ekonomi dan etik.
b. Berlawanan dengan sanksi(moral) kapitalisme terhadap tindakan menimbun kekayaan
tanpa pembatasan yang jelas, islam dengan jelas mengakui bahwa sebagian dari
kekayaan seseorang adalah milik orang miskin, dan mereka (orang-orang miskin)
kehilangan sebagian harta tersebut karena proses organisasi produksi masyarakat.
c. Kapitalisme berpegang teguh pada kebebasan ekonomi individu; dan elemen penting
dari kebebasan ini adalah hak individu atas kekayaan pribadi dan khususnya haknya
‘untuk menahannya dari penggunaan masyarakat jika mereka menginginkan’ .
(Heilbroner, 1987).
d. Kapitalisme juga memaksakan rasa tanggung jawab sosial pada individu melalui
kebijakan-kebijakan seperti pajak pendapatan progresif dan ‘pajak kematian’, konsep
tanggung jawab sosial tidak menonjol sebagaimana dalam ekonomi islam. Jika dalam
kapitalisme, orang miskin tidak memiliki hak atas kekayaan orang kaya, maka islam
memiliki teori yang jelas tentang kewajiban-kewajiban sosial individu, dimana individu
diharuskan mengluarkan sebagian dari kekayaannya sebagai hak masyrakat; yang kaya
dilarang menghambur-hamburkan kekayaan karena yang demikian itu merupakan
“saudara setan” ini semua khas islam dan menjadikannya berbeda dengan kapitalisme
(sebagaimana juga dengan sosialisme).
C. Islam dan doktrin Welfare-state
Dalam perspektif historis, doktrin welfare-state, yang berusaha memprjuangkan jalan tengah
antara kapitalisme dan sosialisme, merupakan kulminasi perjuangan hak-hak politik
kewarganegaraan.(T.H. Marshall, 1963). Disamping menuntut kebebasan individu, welfare state
juga menanamkan rasa tanggungjawab dalam masyarakat dengan menjamin bahwa individu dan
keluarga bisa memenuhi kebutuhan dasar tertentu – sakit, ketuaan, pengangguran- lepas dari
nilai jual kekayaan mereka (Briggs, 1961). Melalui penarikan pajak tinggi kepada yang kaya, suatu
sistem kesejahteraan yang rumit, juga disebut sebagai “ fiscal kesejahteraan “ menyadiakan
pelayanan kesehatan, pendidikaan, dan fasilitas- fasilitas pokok yang lain kepada kalangan tak
berpunya. Dengan demikian, disamping diizinkannya adanya kesenjangan pendapatan pada
tingkat pendapatan(kasar), proses pensejajaran pendapatan terjadi melalui pemasukan
pendapatan pajak. Juga ada usaha sadar untuk tidak membiarkan kesenjangan pendapatan
terlau lebar.
Pada dasarnya, karakter doktrin Welfare-state berasal dari prinsip sosialisme:’dari setiap
orang sesuai kemampuannya dan untuk setiap orang sesuai kebutuhannya’ . prinsip ini
mempengaruhi pemisahan antara kapasitas sejumlah orang untuk memperoleh pendapatandan
penetapan setiap individu dalam masyarakat untuk mendapatkan standard hidup minimum. 10
Dalam frame work islam, perilaku egoistik digabung dengan komitmen, prinsip kepemilikan
absolut digantikan dengan prinsip amanah, dan kebutuhan kalangan yang tak beruntung
mendapat perhatian pertama dari sumber-sumber negara. Lebih jauh, ayat Al-qur’an “dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
meminta.” (QS. 51:19), menggariskan ‘pemisahan’ konsumsi dari kemampuan individu untuk
mendapatkan penghasilan. Untuk menjembatani jurang pemisah ini, harus ada kebijakan

10
Welfare state yang demikian itu juga didefinisikan sebagai ‘ penggunaan kekuatan negara untuk
memodifikasi reproduksi tenaga buruh dan mengurus penduduk yang tak bekerja dalam masyarakat kapitalis’.
(Gough,1979).
redistribusi yang seksama, dengan menciptakan keseimbangan antara baik pendapatan dan
kekayaan marginal maupun intra-marginal.
Perbedaan antara ekonomi islam dan doktrin Welfare-state tersebut sangat fundamental
tidak haanya dalam hal prinsip perilaku ‘ rasional’, melainkan mencakup keseluruhan spektrum
aktivitas ekonomi yakni, konsumsi,produksi, serta distribusi. Memang, “ karakter” fungsi
kesejahteraan sosial mengalami perubahan besar. Maka, jika ada pilihan, negara islam tidak
akan mengurangi pengeluaran sosial tetapi meningkatkan jenis-jenis pengeluaran yang lain.
Dengan kata lain, posisi keseimbangan akan ditandai dengan tadah “ konsumsi” tertentu,
dengan mengeluarkan komoditi-komoditi yng dilarang dikonsumsi dalam islam, sementara
memasukkan lebih banyak barang-barang yang dikonsumsi orang miskin, yakni, barang-barang
kebutuhan pokok. Agar terjadi peningkatan kebutuhan barang-barang pokok, struktur produksi
juga harus diorientasikan secara lain. Perbedaan-perbedaan ini akan tetap bahkaan jika distribusi
pendapatan dan kekayaan adalah sama dibawah kedua sistem egaliter ini, meskipun keduanya
menekankan kebebasan manusia dan tanggung jawab.

Anda mungkin juga menyukai