Anda di halaman 1dari 34

FIKIH PEREMPUAN:

HAID, NIFAS, ISTIHADHAH, DAN AURAT

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih

Dosen Pengampu: Bapak Arif Chasannuddin, M.Pd.

Disusun Oleh:

Endang Muhjayani (21.13.00250)

Nashwa Aisya Zahira (21.13.00049)

Nurul Maulin Nikmah (21.13.00101)

PROGRAM PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDA’IYAH

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT PESANTREN MATHALI’UL FALAH

PATI

2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT kami panjatkan, karena atas izin-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Fikih Perempuan: Haid, Nifas,
Istihadhah, Dan Aurat”. Sholawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada
Nabi Agung Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Arif


Chasannuddin, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Fikih. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan semangat dan dukungan
dalam pengerjaan makalah ini.

Makalah ini memberikan penjelasan tentang fikih perempuan: haid, nifas,


istihadhah, dan aurat bagi pembaca agar lebih memahaminya dengan baik dan
benar. Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat. Amin.

Margoyoso, 18 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Penelitian 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Haid 3
B. Nifas 6
C. Istihadhah 10
D. Aurat 22

BAB III PENUTUP 30

A. Kesimpulan 30
B. Saran 30
C. Penutup 30

DAFTAR PUSTAKA 31

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perempuan sholihah adalah sosok makhluk yang tinggi derajatnya
di sisi Allah. Bahkan dalam keluarga sebagai ibu, ia harus lebih
dimuliakan anak di banding ayah. Namun dalam perjalanan awalnya, ia
selalu disingkirkan. Baik dalam kedudukannya didalam keluarga maupun
masyarakat. Lebih – lebih pada masa Jahiliyah. Ia tidak hanya dikucilkan,
akan tetapi juga diperlakukan secara tidak manusiawi. Namun dengan
datang dan berkembangnya agama Islam, hal itu lambat laun bisa dikikis.

Dengan tanpa mengabaikan kodrat sebagai perempuan,


perpempuan menjadi sosok sentral yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Karena ia bersentuhan langsung dengan pendidikan sang anak
semenjak bayi. Sehingga maju dan berkembangnya pendidikan sang anak
sangat dipengaruhi oleh kiprah darinya.

Dengan demikian, tidak ada alasan bagi perempuan untuk tidak


bersungguh – sungguh dalam membekali dirinya dengan ilmu. Terutama
yang berkaitan langsung dengan dirinya dalam upaya menjaga
kelangsungan hubungan yang sesuai dengan aturan syara’. Baik dengan
anak, keluarga, masyarakat, bahkan dengan Allah SWT.

Maka tidaklah berlebihan bila mempelajari masalah haid, nifas,


istihadhah, dan aurat, adalah suatu keniscayaan bagi perempuan. Sebab hal
itu amat erat kaitannya dengan permasalahan – permasalahan yang
berhubungan dengan hampir semua rutinitas ibadahnya. Namun hal ini
bukan berarti tidak penting bagi laki – laki. Sebab laki- laki justru lebih
berpotensi sebagai pendidik dibandingkan kaum Wanita.

Dari paparan diatas, penulis tertarik membahas mengenai “Fikih


Perempuan: Haid, Nifas, Istihadhah, Dan Aurat”.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja pembahasan dan penjelasan tentang haid?
2. Apa saja pembahasan dan penjelasan tentang nifas?
3. Apa saja pembahasan dan penjelasan tentang istihadhah?
4. Apa saja pembahasan dan penjelasan tentang aurat perempuan?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pembahasan dan penjelasan tentang haid
2. Untuk mengetahui pembahasan dan penjelasan tentang nifas
3. Untuk mengetahui pembahasan dan penjelasan tentang istihadhah
4. Untuk mengetahui pembahasan dan penjelasan tentang aurat
perempuan

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Haid
a) Pengertian Haid
Haid atau yang sering disebut menstruasi, secara harfiah (lughot)
memiliki arti mengalir. Sedangkan menurut arti syar’i merupakan
darah yang keluar melalui alat kelamin perempuan yang sudah
mencapai usia minimal 9 tahun kurang 16 hari kurang sedikit (usia 8
tahun 11 bulan 14 hari lebih sedikit) dan keluar secara alami (tabiat
perempuan) bukan disebabkan melahirkan atau suatu penyakit pada
rahim.1

b) Dalil Tentang Haid


Surah Al Baqarah ayat 222

ِ ِ
ِ ۙ ‫ِّساۤءَ ىِف الْ َمحْي‬
ۚ ‫ض َواَل َت ْقَربُ ْو ُه َّن َحىّٰت يَطْ ُه ْر َن‬ ِ ْ َ‫ض ۗ قُل ُهو اَ ًذ ۙى ف‬
َ ‫اعتَزلُوا الن‬ َ ْ ِ ‫ك َع ِن الْ َمحْي‬
َ َ‫َويَ ْسـَٔلُ ْون‬

ُّ ِ‫ث اََمَر ُك ُم ال ٰلّهُ ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ حُي‬


ُّ ِ‫ب الت ََّّوابِنْي َ َوحُي‬
‫ب الْ ُمتَطَ ِّه ِريْ َن‬ ِ
ُ ‫فَاذَا تَطَ َّه ْر َن فَْأُت ْو ُه َّن ِم ْن َحْي‬

Artinya: Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang


haid. Katakanlah, Itu adalah sesuatu yang kotor. Karena itu jauhilah
istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum
mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai
dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh,
Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang
menyucikan diri.

Hadist Nabi:

1
LBM-PPL 2002 M. “Uyunul Masail Lin - Nisa’ Sumber Rujukan Permasalahan Wanita”,
(Kediri: Lajnah Bahtsul Masail Madrasah Hidayatul Mubtadii-en Pondok Pesantren Lirboyo,
2008), hlm. 15.

3
Dari Aisyah RA. berkata: “Bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang
haid. Haid adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah kepada anak-
anak wanita Nabi Adam”. (HR Bukhari Muslim).2

c) Hukum Belajar Ilmu Haid


 Fardhu ‘Ain Bagi Perempuan yang Baligh
Artinya wajib bagi setiap perempuan yang sudah baligh
untuk belajar dan mengerti permasalahan yang berhubungan
dengan haidh, nifas dan istihadhah. Sebab menjadi syarat
keabsahan dan batalnya suatu ibadah adalah fardhu ‘ain.
 Fardhu Kifayah Bagi Laki – Laki
Karena haid, nifas, dan istihadhah tidak bersentuhan
langsung dengan ibadah kaum laki – laki.3

d) Batas Usia Wanita Haid


Awal seorang perempuan mengeluarkan darah haid adalah jika
sudah mencapai usia 9 tahun qomariah kurang 16 hari kurang sedikit.
Yakni kurang dari waktu yang cukup dihukumi minimal suci (15 hari)
dan minimal haid (satu hari satu malam). Sehingga jika dia
mengeluarkan darah kurang dari usia tersebut, maka darah yang keluar
tidak bisa disebut haid tetapi dinamakan darah istihadhah. Namun
umumnya perempuan mengeluarkan haid pada umur 12 - 14 tahun.
Bila darah yang keluar Sebagian pada usia sebelum haid, maka darah
yang dihukumi haid hanyalah darah yang keluar pada usia haid saja.
Sedangkan usia menopause (usia tidak keluar haid). Namun tidak
menutup kemungkinan terjadi haid pada masa – masa usia senja sebab
tidak ada batas usia maksimal perempuan mengeluarkan darah haid.4

e) Ketentuan Darah Haid


Darah yang keluar dihukumi haid apabila memenuhi empat syarat
sebagai berikut:
2
Ibid., hlm. 12.
3
Ibid., hlm. 16 – 17.
4
Ibid., hlm. 22.

4
1. Keluar dari Wanita yang usianya minimal 9 tahun kurang 16 hari
kurang sedikit
2. Darah yang keluar minimal satu hari satu malam jika keluar secara
terus menerus atau sejumlah 24 jam jika keluar secara terputus – putus
asal tidak melampaui 15 hari.
3. Tidak lebih 15 hari 15 malam jika keluar terus menerus
4. Keluar setelah masa minimal suci, yakni 15 hari 15 malam dari haid
sebelumnya.5

f) Hal – Hal yang Harus Dilakukan Perempuan Saat Datang dan


Berhentinya Haid
Saat tiba waktu haid, seorang perempuan harus menghindari
hal – hal yang diharamkan sebab haid, selain itu juga menjaga jangan
sampai sesuatu yang dipakai untuk ibadah terkena najisnya darah haid.

Saat darah haid berhenti, maka wajib melakukan mandi wajib


dan melaksankan rutinitas ibadah. Jika darah haid keluar lagi, maka
diwajibkan kembali menghindari hal – hal yang diharamkan sebab
haid. Dan jika darah haid berhenti lagi, maka wajib mandi lagi dan
seterusnya selama masih pada masa maksimal haid.

Kemudian darah dihukumi berhenti jika seandainya diusap


dengan cara memasukkan semisal kapuk, sudah tidak ada cairan yang
sesuai dengan sifat dan warna darah (hanya berupa cairan bening).
Namun jika masih ada cairan yang berwarna keruh dan kuning,
menurut para ulama ada yang mengatakan masih dihukumi darah haid
(qoul yang kuat), karena menganggap masih warna darah haid. Ada
yang berpendapat bukan darah haid karena menganggap cairan itu
tidak berwarna darah.6

5
Ibid., hlm. 24 – 25.
6
Ibid., hlm. 32 – 33.

5
g) Hal – Hal yang Patut Diperhatikan Oleh Perempuan Saat
Mengalami Haid
 Sunnah untuk tidak memotong kuku, rambut dan lain – lain dari
anggota badan saat haid/nifas.
 Saat darah berhenti, perempuan diperbolehkan mulai niat
melaksanakan puasa sekalipun belum mandi. Karena haramnya
puasa disebabkan haid bukan hadast.
 Bagi perempuan yang darah haidnya berhenti dan belum sempat
mandi, jika ingin tidur, makan atau minum disunnahkan
membersihkan farjinya lalu wudlu. Meninggalkan hal ini
dihukumi makruh.
 Biasanya menjelang atau waktu haid perempuan akan merasakan
pegal, lemah, lesu, perut mulas, mudah emosi dan payudara terasa
nyeri. Hal tersebut tidak perlu ditanggapi serius karena itu normal
bagi perempuan yang sedang haid.7

2. Nifas
a) Pengertian Nifas
Nifas menurut bahasa adalah melahirkan, sedangkan menurut
istilah syara’ adalah darah yang keluar melalui farji perempuan setelah
melahirkan atau belum melebihi 15 hari setelahnya, bila darah tidak
langsung keluar.

Adapun darah yang keluar saat melahirkan/bersamaan dengan


bayi, tidak disebut darah nifas. Dan hukumya sebagai berikut:

 Bila darah tersebut bersambung dengan darah haid sebelumnya,


maka disebut darah haid.
 Bila darah tersebut bersambung dengan darah sebelumnya namun
tidak mencapai aqollul haid (24 jam)/tidak bersambung dengan
darah sebelumnya maka disebut darah istihadhah.

7
Ibid., hlm. 34 – 35.

6
 Sedangkan darah yang keluar setelah melahirkan dengan selang
waktu 15 hari atau lebih, maka disebut darah haid.

b) Ketentuan Darah Nifas


Minimal masa nifas adalah sebentar walaupun sekejap, masa
maksimalnya 60 hari 60 malam, dan pada umumnya 40 hari 40
malam.8 Perhitungan maksimal masa nifas (60 hari 60 malam) dihitung
mulai dari keluarnya seluruh anggota tubuh bayi dari rahim
(sempurnanya melahirkan). Sedangkan yang dihukumi nifas adalah
mulai dari keluarnya darah, dengan syarat darah tersebut keluar
sebelum 15 hari dari kelahiran bayi.

Apabila seorang perempuan setelah melahirkan mengeluarkan


darah secara terputus – putus, maka hukumnya sebagai berikut:

 Jika keseluruhan darah yang keluar tidak melebihi 60 hari 60


malam dari lahirnya anak dan putusnya tidak sampai 15 hari,
maka keseluruhannya dihukumi nifas.
 Jika keseluruhan darah yang keluar masih dalam masa 60 hari 60
malam dan lahirnya bayi, dan berhentinya darah mencapai 15 hari
atau lebih, maka darah sebelum masa berhenti dihukumi nifas dan
darah setelah berhenti di hukumi haid, bila memenuhi ketentuan
haid. Dan nila tidak memenuhi ketentuan haid dihukumi
istihadhah. Sedangkan masa berhentinya darah dihukumi suci
yang memisahkan antara nifas dan haid.
 Jika darah yang pertama masih dalam masa 60 hari dari lahirnya
bayi dan darah keluar diluar masa 60 hari 60 malam setelah
lahirnya bayi, maka darah yang awal disebut nifas dan darah
kedua disebut haid, bila memenuhi ketentuannya. Sedangkan
masa – masa terputusnya darah dihukumi suci yang memisah
antara haid dan nifas.9

8
Ibid., hlm. 44 – 47.
9
Ibid., hlm. 48 – 50.

7
c) Masa Suci Pemisah Antara Haid dan Nifas
Masa suci pemisah antara haid dan nifas, nifas dan haid, atau
nifas dan nifas yang lain, tidak diisyaratkan harus ada 15 hari 15
malam. Namun bisa jadi hanya sehari semalam atau justru kurang dari
satu hari. Bahkan antara haid dan nifas tidak diisyaratkan ada waktu
suci yang memisah. Hal ini berbeda dengan suci yang memisah antara
haid dengan haid yang diisyaratkan harus ada 15 hari 15 malam.10

d) Sikap Perempuan Saat Datang dan Berhentinya Nifas


Secara umum sikap perempuan saat mengalami nifas sama
dengan sikap perempuan ketika mengalami haid. Hanya saja karena
paling sedikitnya nifas adalah sebentar maka yang harus diperhatikan
adalah kapan saja darah berhenti, ia wajib mandi dan melaksanakan
aktivitas ibadahnya.11

e) Hal – Hal yang Diharamkan Sebab Haid dan Nifas


 Sholat wajib maupun sholat sunnah
 Sujud syukur dan sujud tilawah
 Puasa wajib maupun sunnah
 Thowaf wajib maupun thowaf sunnah
 Membaca Al Qur’an jika diniati membaca Al Qur’an maka haram,
jika diniati dzikir/do’a, dimutlaqkan/dibaca dalam hati maka
hukumnya diperbolehkan.
 Menyentuh dan membawa mushaf Al Qur’an, jika yang dibawa Al
Qur’an yang ditafsiri selama lebih banyak tafsirnya maka
diperbolehkan seperti tafsir jalalain, tafsir munir, dll. Atau membawa
Al Qur’an bersamaan dengan barang lain dan tidak diniatkan
membawa Al Qur’an
 Lewat atau berdiam diri di masjid
 Dicerai, karena bisa menyebabkan bertambahnya masa iddah

10
Ibid., hlm. 51.
11
Ibid., hlm. 53.

8
 Bersetubuh/bersentuhan kulit pada anggota tubuh antara lutut dan
pusar.12

f) Sholat yang Harus Diqodlo Sebab Datang dan Berhentinya Haid


dan Nifas
Yang harus diperhatikan bagi perempuan yang mengalami
haid/nifas yakni mawani’ussholah (sesuatu yang mencegah
dilakukannya sholat). Sholat yang ditinggalkan selama masa haid/nifas
hukumnya haram diqodlo. Namun bukan berarti perempuan bebas total
dari beban qodlo sholat.

Datangnya mawani’ussholah akan mengakibatkan hutang


sholat yang saat mani’ nya hilang harus diqodlo, ketentuannya adalah
jika datangnya mani’ itu berada didalam ruang waktu sholat dan telah
melewati jarak waktu yang sekiranya cukup digunakan untuk
melakukan sholat tersebut, sementara dia belum melaksanakannya. Hal
ini apabila perempuan tidak mengalami dawamul hadats (orang yang
selalu mengeluarkan hadast). Kalau ia dawamul hadats, maka
kewajiban qodlo diisyaratkan datangnya mani’ tersebut telah melewati
jarak waktu yang cukup untuk sholat dan bersuci. Dan yang harus
diqodloi adalah sholat sebelum /sesudahnya, meskipun kedua sholat
tersebut bisa dijama’.

Kemudian hilangnya mani’, juga tidak terlepas dari


kemungkinan adanya sholat yang harus diqodlo. Yaitu hilangnya
mani’ ini masih berada dalam waktu sholat yang minimal masih muat
digunakan untuk takbirotul ihrom namun sholat tersebut tidak mungkin
dilaksanakan dalam waktunya. Bila mungkin, maka harus dilakukan
pada waktu itu.

Khusus masalah hilangnya mani’, sholat yang harus diqodlo


tidak hanya sholat disaat mani’ itu hilang, namun juga sholat

12
Ibid., hlm. 55 – 62.

9
sebelumnya ketika masih haid maka kedua sholat tersebut dijama’.
Sedangkan sholat yang bisa dijama’ adalah Dzuhur, Asar, Maghrib,
dan Isya’, sehingga sholat sebelum hilangnya mani’ ikut diqodloi
bersama sholat saat hilangnya mani’ apabila mani’ tersebut hilang
diwaktu Ashar dan Isya’ saja.13

g) Puasa yang Harus Diqodlo Sebab Haid dan Nifas


Jika haid dan nifas terjadi pada Bulan Ramadhan, maka semua
puasa yang wajib ditinggalkan harus diqodloi. Termasuk puasa yang
wajib dilakukan saat darah berhenti, dan masih dihukumi haid dan
nifas. Hal ini biasanya terjadi pada Wanita yang haid atau nifasnya
terputus – putus.14

3. Istihadhah
a) Pengertian Istihadhah
Secara bahasa istihadhah berarti mengalir. Dan secara istilah
syar’i istihadhah adalah darah penyakit yang keluar dari farji Wanita
yang tidak sesuai dengan ketentuan haid dan nifas.

b) Sifat dan Warna Darah


Kuat dan lemahnya darah, dipengaruhi oleh warna dan sifat
darah sebagaimana berikut:

 Warna darah
 Hitam
 Merah
 Merah kekuning – kuningan
 Kuning
 Keruh
 Sifat darah
 a. Kental b. Cair
 a. Berbau busuk/anyir b. tidak berbau
13
Ibid., hlm. 65 – 67.
14
Ibid., hlm. 68.

10
Warna darah nomer 1 lebih kuat dari pada nomer 2, dan
seterusnya. Jika kedua darah sama – sama memiliki sifat/warna yang
mendorong ke arah kuat, maka yang dihukumi darah kuat adalah yang
lebih banyak ciri – ciri yang mendorong ke arah kuat.15

c) Pembagian Mustahadhah Haid Serta Puasa dan Sholat yang


Harus Diqodloi
Wanita yang mengalami istihadhah haid ada 7 macam, yakni:

 Mubtadi’ah Mumayyizah

Perempuan yang baru pertama kali mengalami haid,


dan darah yang keluar melebihi batas maksimal haid (15
hari 15 malam). Serta darah dapat dibedakan antara yang
kuat dan lemah. Darah yang kuat dihukumi haid,
sedangkan yang lemah dihukumi Istihadhah. Perempuan
semacam ini disebut mumayyizah jika memenuhi 3 syarat
berikut:

1. Darah kuat tidak kurang dari sehari semalam (24


jam).
2. Darah kuat tidak melebihi 15 hari 15 malam.
3. Darah lemah tidak kurang dari 15 hari 15 malam.
Syarat ketiga ini diberlakukan jika darah kuat yang
sama dengan darah pertama keluar lagi, sebab syarat
ini untuk menentukan darah haid yang kedua
dihukumi darah haid. Jika tidak ada darah kuat
kedua, maka syarat ketiga tidak berlaku. Dan jika
ketiga syarat tidak terpenuhi maka masuk ke
mubtadi’ah ghoiru mumayyizah.16
 Mubtadi’ah Ghoiru Mumayyizah

15
Ibid., hlm. 70 – 71.
16
Ibid., hlm. 72 – 74.

11
Yaitu perempuan yang baru pertama kali mengalami
haid. Darah yang keluar melebihi batas maksimal haid (15
hari 15 malam) dalam satu warna/ lebih dari satu warna
tapi tidak memenuhi 3 syarat mubtadi’ah mumayyizah.
Sedangkan penentuan darahnya, sehari semalam awal
dihukumi haid, dan 29 hari selebihnya dihukumi
istihadhah untuk setiap bulannya. Hal ini kalau memang
perempuan itu ingat betul kapan ia mulai mengeluarkan
darah. Apabila tidak ingat digolongkan mustahdloh
mutahaiyyaroh (perempuan yang lupa kebiasaan haid).17

 Mu’tadah Mumayyizah

Yaitu perempuan yang sudah pernah haid dan suci.


Kemudian dia mengeluarkan darah melebihi batas
maksimal haid (15 hari 15 malam). Serta darah yang
keluar dapat dibedakan antara yang kuat dan yang lemah
dan memenuhi syarat – syarat mubtadi’ah mumayyizah.
Tentang hukumnya sama dengan mubtadi’ah
mumayyizah.18

 Mu’tadah Ghoiru Mumayyizah Dzakiroh Li’adatiha


Qodron Wa Waqtan

Yaitu perempuan yang sudah pernah haid dan suci.


Kemudian mengeluarkan darah melebihi batas maksimal
haid (15 hari 15 malam) dalam satu warna/lebib akan
tetapi tidak memenuhi 3 syarat mubtadi’ah mumayyizah.
Dan perempuan itu ingat kebiasaan lama dan mulai haid
yang pernah ia alami.

17
Ibid., hlm. 78.
18
Ibid., hlm. 79 – 80.

12
Sedangkan ketentuan haid dan sucinya disesuaikan
dengan adatnya. Dan adat yang dijadikan pedoman cukup
satu kali haid, tidak diisyaratkan berulang ulang jika adat
haidnya tidak berubah – ubah.19

 Mu’tadah Ghoiru Mumayyizah Nasiyah Li’adatiha


Qodron Wa Waqtan

Yaitu perempuan yang sudah pernah haid dan suci,


kemudian ia mengeluarkan darah melebihi batas maksimal
haid (15 hari 15 malam). Serta antara darah lemah dan
darah kuat tidak bisa dibedakan (satu warna), atau bisa
dibedakan (lebih dari satu warna) akan tetapi tidak
memenuhi 3 syarat mumayyizah, dan dia lupa kebiasaan
mulai dan lama haid yang pernah dialaminya.

Mustahadhoh ini dikenal dengan mutahayyiroh atau


muhayyarah atau muhayyiroh. Maksudnya ia dalam
keadaan kebingungan. Sebab hari – hari yang ia lalui
mungkin haid dan mungkin suci. Sehingga ia dihukumi
sebagaimana orang haid dalam masalah – masalah berikut:

1. Bersentuhan kulit dengan suaminya pada anggota


yang berada diantara pusar dan lutut
2. Membaca Al Qur’an diluar sholat
3. Menyentuh Al Qur’an
4. Membawa Al Qur’an
5. Berdiam diri di dalam masjid selain untuk ibadah
yang tidak dapat dikerjakan diluar masjid
6. Lewat masjid jika khawatir darahnya akan menetes
di masjid.

19
Ibid., hlm. 79 – 80.

13
Dan dia dihukumi sebagaimana orang yang suci,
dalam masalah:

1. Sholat, baik fardhu maupun sunnah


2. Thowaf, baik fardhu maupun sunnah
3. Berpuasa, baik fardhu mapun sunnah
4. I’tikaf
5. Tholaq
6. Mandi

Bila sama sekali tidak ingat waktu berhentinya haid


yang pernah ia alami, maka dia wajib mandi setiap akan
melakukan ibadah fardhu yang mensyaratkan harus suci
setelah masuknya waktu. Dan jika hanya ingat berhentinya
saja maka ia wajib mandi ketika itu saja dan untuk
selanjutnya cukup wudlu.

Sedangkan puasa Ramadhannya yakni: puasa satu


bulan penuh di bulan Ramadhan (29/30 hari). Selanjutnya
berpuasa 30 hari berturut – turut. Dengan cara puasa
tersebut, dapat diantisipasi segala kemungkinan yang
terjadi padanya yaitu:

Mungkin saja dia sebenarnya haid 15 hari 15 malam


(batas maksimal haid), sehingga semisal Ramadhan 29 hari,
puasa yang sah ia lakukan adalah 13 hari, sebab seumpama
haid yang ia alami mulai tanggal 1 siang, haid terebut akan
berakhir pada tanggal 16 siang. Dan seumpama haid yang
ia alami mulai tanggal 2, maka akan berakhir tanggal 17,
dan seterusnya. Sehingga puasa yang sah tetap 13 hari.

Jadi sama halnya, 29 dikurangi 16 hari = 13 hari,


puasa yang 13 hari ini, sah secara yaqin. Bila Ramadhan
berumur 30 hari maka sama halnya: 30 dikurangi 16 hari =

14
14 hari, puasa yang 14 hari ini sah secara yaqin. Dari tata
cara puasa tersebut, ia masih mempunyai hutang puasa 2
hari, baik usia Ramadhan 29 ataupun 30 hari. Dengan
kalkulasi sebagai berikut: Jika usia Ramadhan 29 hari,
maka 13 (29-16) + 14 (30-16) = 27. Jika usia Romadlon 30
hari, maka 14 (30-16) + 14 (30-16) = 28.

Salah satu cara mengqodlo 2 hari ialah: Berpuasa 3


hari (1,2,3) berturut turut, lalu ifthor (tidak puasa) selama
12 hari berturut turut, kemudian berpuasa lagi 3 hari (4,5,6)
secara berturut turut. Dengan cara seperti ini, hutang puasa
2 hari Sudah terpenuhi, sebab:

Jika mulai haidnya sebenarnya terjadi pada puasa ke


1, maka masa haid akan berakhir pada puasa ke 4 sehingga
puasa yang ke 5 dan ke 6 dihukumi sah, karena jarak antara
puasa ke 1 dan ke 4 sudah lebih dari kemungkinan paling
lamanya haid 15 hari.

Jika mulai haidnya sebenarnya terjadi pada puasa ke


2, Maka puasa yang ke 1 dan ke 6 dihukumi sah. Jika mulai
haidnya sebenarnya terjadi pada puasa ke 3, maka puasa
yang ke 1 dan ke 2 dihukumi sah.

 Mu’tadah Ghoiru Mumayyizah Dzakiroh Li’adatiha


Qodron La Waqtan
Yaitu perempuan yang sudah pernah haid dan suci,
kemudian ia mengeluarkan darah melebihi batas maksimal
haid (15 hari 15 malam). Darah yang keluar tidak bisa
dipilah antara darah kuat dan darah lemah (satu warna),
atau bisa dipilah (lebih satu warna) akan tetapi darah
tersebut tidak memenuhi syarat 3 syarat mubtadi’ah

15
mumayyizah, dan ia hanya ingat kebiasaan lama masa
haid, akan tetapi dia lupa kapan mulainya.20
Hukum penentuan darah perempuan itu yakni: hari
yang ia Yakini biasa haid. Yang ia yakini biasa suci,
dihukumi istihadhah. Dan hari – hari yang dimungkinkan
suci dan mungkin haid, ia harus berhati – hati seperti
mustahadhah mutakhayyiroh. 21
 Mu’tadah Ghoiru Mumayyizah Dzakiroh Li’adatiha
Waqtan La Qodron

Yaitu perempuan yang sudah pernah haid dan suci,


kemudian ia mengeluarkan darah melebihi batas maksimal
haid (15 hari 15 malam). Serta antara darah lemah dan
kuat tidak bisa dibedakan (satu warna), atau bisa
dibedakan (lebih satu warna) akan tetapi tidak memenuhi
3 syarat mumayyizah. Dan ia hanya ingat kebiasaan waktu
mulainya haid, serta lupa kebiasaan lamanya haid,
sebelum istihadhah.

Hukumnya masa yang yakin haid, dihukumi seperti


layaknya orang yang haid. Masa yang yakin suci,
dihukumi seperti layaknya orang yang suci. Dan masa
yang mungkin haid dan mungkin suci dan mungkin
putusnya haid dihukumi seperti perempuan mutahayyiroh.

d) Pembagian Mustahadhah Nifas Serta Puasa dan Sholat yang


Harus Diqodloi
Mustahadhah nifas adalah perempuan yang mengeluarkan
darah nifas lebih dari 60 hari 60 malam (masa maksimal nifas). Dan
pembagiannya adalah sebagai berikut:

 Mubtadi’ah Mumayyizah Fin - nifas


20
Ibid., hlm. 83 – 87.
21
Ibid., hlm. 88.

16
Yaitu perempuan yang pertama kali nifas. Pada saat
itu darah yang keluar melebihi 60 hari 60 malam. 22 Serta
antara darah kuat dan darah lemah bisa dibedakan dan
darah kuat tidak melebihi 60 hari 60 malam.
Ketentuannya sama dengan mubtadi’ah
mumayyizah, yakni darah kuat dihukumi nifas dan darah
lemah dihukumi istihadhah.
 Mubtadi’ah Ghoiru Mumayyizah Fin – nifas
Yaitu perempuan yang pertama kali nifas. Pada
saat itu darah yang keluar melebihi 60 hari 60 malam.
Serta antara darah kuat dan darah lemah tidak bisa
dibedakan, atau bisa namun darah kuat lebih dari 60 hari
60 malam.
Sedangkan hukumnya, yaitu:23
1. Apabila ia belum pernah haid dan suci, maka darah
yang setetes pertama dihukumi nifas, 29 hari 29
malam selanjutnya dihukumi istihadhah.
Kemudian sehari semalam sesudahnya dihukumi
haid, begitu seterusnya bergantian antara
istihadhah 29 hari dan haid sehari semalam.
2. Apabila ia sudah pernah haid dan suci serta ingat
kebiasaan haidnya, maka yang dihukumi nifas
adalah darah setetes pertama. Kemudian darah
yang sama dengan kebiasaan suci dari haid
dihukumi istihadhah. Dan darah yang lamanya
sama dengan kebiasaan haid, dihukumi haid,
begitu seterusnya.
 Mu’tadah Mumayyizah Fin – nifas

22
Ibid., hlm. 89.
23
Ibid., hlm. 90.

17
Artinya perempuan yang sudah pernah nifas
kemudian ia mengeluarkan darah melebihi 60 hari 60
malam. Sementara antara darah kuat dan lemah bisa
dibedakan dan darah kuat tidak lebih 60 hari 60 malam. 24
Hukumnya adalah darah kuat dihukumi nifas dan darah
lemah dihukumi istihadhah.
 Mu’tadah Ghoiru Mumayyizah Fin – nifas Hafidhoh
Li ’adatiha Qodron Wa Waqtan
Artinya seorang perempuan yang sudah pernah
nifas, kemudian ia mengeluarkan darah melebihi 60 hari
60 malam. Dan diantara darah kuat dan darah lemah tidak
bisa dibedakan. Sementara ia masih ingat waktu kebiasaan
nifasnya. Hukumnya adalah sebagai berikut:
1. Jika ia belum pernah haid dan suci, maka darah
yang lamanya sama dengan pengadatan nifas
dihukumi nifas. Kemudian darah yang lamanya 29
hari 29 malam dihukumi istihadhah dan 1 hari 1
malam dihukumi haid. Begitu seterusnya bergantian
antara 29 hari istihadhah dan sehari – hari semalam
haid.25
2. Jika ia sudah pernah haid dan suci, maka darah yang
lamanya sama dengan nifas dihukumi nifas, yang
lamanya sama dengan adat suci dari haid dihukumi
istihadhah. selanjutnya darah yang lamanya sama
dengan adat haid dihukumi haid.

Catatan tentang mustahadhah nifas:

1. Satu kali nifas sudah bisa dibuat pedoman adat


2. Adat nifas yang digunakan rujukan hukum adalah
adat yang tidak berubah – ubah.
24
Ibid., hlm. 91.
25
Ibid., hlm. 92.

18
3. Adat yang berubah – ubah bisa dijadikan pijakan
hukum dengan syarat dua kali putaran yang tetap,
misalnya 40, 60 dan 40, 60.
4. Apabila adat nifas berubah – ubah tidak sampai
dua putaran atau dua putaran namun putarannya
tidak tetap, maka nifasnya disamakan dengan lama
nifas sebelum istihadhah.
 Mu’tadah Ghoiru Mumayyizah Fin – nifas Nasiyah Li
‘adatiha Qodron Wa Waqtan

Artinya seorang perempuan yang sudah pernah


nifas, kemudian mengeluarkan darah melebihi 60 hari 60
malam. Sementara antara darah kuat dan lemah tidak bisa
dibedakan. Sementara ia tidak ingat lama dan waktu
kebiasaan nifas.

Hukumnya adalah darah setetes pertama disebut


dengan nifas dengan yaqin, selanjutnya harus berhati –
hati. Sehingga ia wajib mandi setiap akan sholat fardhu
sampai 60 hari. Dan selanjutnya wajib wudlu setiap akan
melaksanakan sholat.

Hukumnya mu’tadah ghoiru mumayyizah fin – nifas


yang lupa Qodron atau Waqtan, sama dengan Mu’tadah
Ghoiru Mumayyizah Fin – Nifas Nasiyah Li ‘Adatiha
Qodron Wa Aqtan.26
Semua hari dalam permasalahan darah nifas yang
dihukumi istihadhah, sholat yang ditinggalkan wajib
diqodloi, disamping sholat saat datang dan berhentinya
nifas, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Demikian
pula puasanya, jika saat itu bulan Ramadhan.

26
Ibid., hlm. 93 – 94.

19
e) Keputihan dan Cairan yang Keluar Dari Vagina
Keputihan adalah getah/cairan yang keluar dari vagina, yang
ditimbulkan oleh infeksi jamur (jamur Candida) karena sifat vagina
yang lembab dan hangat. Getah/cairan yang ditimbulkan keputihan
biasanya berwarna putih, keruh, kental, dan kekuning – kuningan.
Biasanya menimbulkan gatal yang berakibat peradangan pada dinding
vagina. Adapun penyebab timbulnya keputihan, yaitu:

1. Menopause
2. Pil penghambat maupun penyubur kehamilan
3. Efek dari kontrasepsi dalam rahim
4. Stress
5. Celana yang terbuat dari nilon
6. Celana ketat27
7. Sabun bubuk pembersih

Adapun cara penanganannya bisa dilakukan dengan mendatangi


dokter/klinik khusus dan menggunakan ramuan alami, misalnya dari
bawang putih yang direndam cuka. Perlindungan diri terhadap
keputihan dapat dilakukan dengan:

1. Memelihara kesejukan daerah genital


2. Menjaga kebersihan
3. Mencuci pakaian dengan air mendidih tanpa sabun
4. Menjauhi aktivitas secara berlebihan

Perlu diketahui getah vagina dan keputihan bukan darah haid


dan istihadhah. Karena keluar dari luar anggota tersebut, yang dalam
istilah fiqih dikenal dengan ruthubatul farji (cairan farji),28 dan
hukumnya sebagai berikut:

1. Bila keluar dari balik liang farji (anggota farji bagian dalam
yang tidak terjangkau saat bersenggama), maka hukumnya
27
Ibid., hlm.95.
28
Ibid., hlm. 96.

20
najis dan menyebabkan batalnya wudlu, sebab keluar dari
dalam tubuh
2. Bila keluar dari liang farji (anggota farji yang tidak wajib
dibasuh ketika istinja’ dan masih terjangkau ketika
bersenggama), maka hukumnya suci menurut sebagian ulama.
3. Bila keluar dari luar liang farji (anggota farji yang tampak
ketika jongkok), maka hukumnya suci.

Dengan demikian, karena keputihan dan cairan yang keluar


dari farji bukan darah haid maka tidak mewajibkan mandi. Namun bila
cairan tersebut dihukumi najis (keluar dari dalam tubuh), maka harus
disucikan saat mau wudlu dan sholat. Dan jika terus menerus keluar,
maka hukumnya seperti istihadhah.29

f) Tata Cara Sholat, Bersuci, Bagi Mustahadhah dan Wanita yang


Mengalami Keputihan atau Keluar Cairan
Bagi perempuan yang mengalami istihadhah atau selalu hadast
(da’imul hadast), seperti selalu keluar cairan atau keputihan dari dalam
tubuh, maka ketika mau sholat garus mengikuti aturan berikut ini:30

1. Membersihkan farji dari najis yang keluar


2. Menyumbat farji dengan semacam kapuk, jika ketika
disumbat tidak merasakan sakit. Dan saat waktu puasa,
maka harus dihindari pada saat siang hari karena bisa
membatalkan puasa. Dalam menyumbat farji tidak
cukup memasukkannya pada anggota yang tidak wajib
disucikan saat istinja’ namun harus masuk ke dalam.
Agar ketika sholat tidak dihukumi membawa sesuatu
yang bertemu dengan najis. Dan jika darah terlalu
deras keluar dan tembus maka tidak apa – apa karena
dhorurot.

29
Ibid., hlm. 97.
30
Ibid., hlm. 98.

21
3. Wudlu dengan muwallah (terus - menerus), yakni
dalam membasuh anggota wudlu, anggota yang
dibasuh sebelumnya masih basah (belum kering).
4. Segera melaksanakn sholat. Hanya saja boleh
menundanya karena melakukan hal – hal yang terkait
dengan kemaslahatan sholat, seperti: menutup aurat,
menjawab adzan, menaati jama’ah, dan lain – lain.31

Semua tata cara diatas dilakukan secara berurutan dan


setelah masuk waktu sholat. Jika salah satunya tidak
terpenuhi/mengalami hadast yang lain, maka harus mengulang dari
awal. Dan yang demikian tadi harus dilakukan ketika hendak sholat
fardhu. Sehingga rangkaian thaharah tersebut tidak bisa digunakan
untuk 2 sholat, kecuali sholat sunnah, maka boleh berulang –
ulang.32

4. Aurat
a) Pengertian Aurat
Menurut pengertian bahasa (literal), aurat adalah al-nuqshaan
al-syai' al-mustaqabbih (kekurangan dan sesuatu yang mendatangkan
celaan). Diantara bentuk pecahan katanya adalah “awara”, yang
bermakna qabiih (tercela): yakni aurat manusia dan semua yang bisa
menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena tercela bila terlihat atau
di tampakkan. Secara istilah aurat berarti aurat merupakan anggota
tubuh pada wanita dan pria yang wajib ditutupi menurut agama dengan
pakaian atau sejenisnya sesuai dengan batasan masing - masing
(wanita dan pria). Jika aurat itu dibuka dengan sengaja maka
berdosalah pelakunya.33

31
Ibid., hlm. 99.
32
Ibid., hlm. 100.
33
Adnan Tharsyah, “Kiat Menjadi Muslimah Seutuhnya”, (Jakarta: Senayan Publishing, 2011),
hlm. 279-280.

22
b) Kewajiban Menutup Aurat
Kita sebagai umat muslim diwajibkan untuk menutup aurat.
Allah berfirman dalam Surah Al – A’raf ayat 26:

َ ِ‫الت ْق ٰوى ٰذل‬ ِ ۗ ِ ِ ِ


‫ك‬ ُ َ‫اسا ُّي َوا ِر ْي َس ْو ٰات ُك ْم َو ِريْ ًشا َولب‬
َّ ‫اس‬ ً َ‫يَا بَن ْٓي ٰا َد َم قَ ْد اَْن َزلْنَا َعلَْي ُك ْم لب‬

‫ت ال ٰلّ ِه ل ََعلَّ ُه ْم يَ َّذ َّك ُر ْو َن‬


ِ ٰ‫ك ِمن ٰاي‬ِ ۗ
ْ َ ‫َخ ْي ٌر ٰذل‬

Artinya: Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah


menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan
bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah
sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat.

Berdasarkan ayat tersebut, maka wajib bagi setiap muslim


menutup aurat ketika sholat. Karena tidak sah sholat seorang muslim
itu tanpa menutup aurat selagi ia mampu (kuasa). Hukum menutup
aurat adalah mutlak wajib (fardhu).

Yang dimaksud menutup aurat adalah menutup seluruh anggota


tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki kecuali wajah dan
telapak tangan dengan menggunakan kain atau pakaian yang berfungsi
sebagai penghalang/penghambat pandangan terhadap aurat terbuka,
dan tidak bisa menampakkan warna kulit. Artinya kain yang tipis,
tembus pandang, atau yang berlubang – lubang sudah barang tentu
tidak dapat dikategorikan sebagai menutup aurat. Begitu pula pakaian
yang ketat sehingga menampakkan lekuk – lekuk anggota – anggota
tubuh. Agama islam tidak mewajibkan seorang perempuan muslimah
menggunakan penutup wajah. Juga tidak melarangnya seandainya ada
yang hendak mempergunakannya.34

c) Macam – Macam Aurat Perempuan


 Aurat Perempuan Di Dalam Sholat
34
Fitria Hasan, “Makalah Fiqih (Fiqih Wanita)”,
http://darateukuumar.blogspot.com/2015/12/makalah-fiqih-fiqih-wanita-bab-i.html, diakses pada
tanggal 06 November 2021.

23
Aurat bagi perempuan merdeka termasuk kanak –
kanak dalam sholat adalah seluruh badan, termasuk rambut
yang terjuntai melalui telinga, selain wajah dan telapak tangan
sampai pergelangan. Penutupnya adalah sesuatu yang tidak bisa
menampakkan warna kulit. Diperbolehkan menutup aurat
dengan suatu pakaian yang menampakkan bentuk badan, tetapi
hal ini dihukumi khilaful aula. Kewajiban menutup aurat
adalah dari bagian atas dan samping, bukan dari bawah.35
Aurat bagi perempuan hamba sahaya adalah mulai
pusar hingga lutut, tetapi pusar dan lututnya tidak termasuk
dalam aurat, hanya diantara keduanya saja, namun demikian
Sebagian dari pusar dan lutut harus tertutupi untuk kehati –
hatian agar bagian bagian aurat yang berbatasan dengan
keduanya tetap terjaga dan tidak terbuka.36
Wajib menutup aurat jika perempuan merdeka amat
mampu menutupnya. Sedangkan orang yang tidak mampu
menutup aurat, ia tetap wajib sholat walaupun dengan tanpa
busana dan tidak wajib mengulangi sholatnya, sekalipun ia
masih punya penutup yang terkena najis, dimana ia berhalang
mencucinya. Lain halnya jika ia mampu mensucikannya, maka
ia tidak boleh sholat dengan tanpa busana, tapi wajib
mencucinya sekalipun sampai keluar waktu sholat.
Jika seseorang hanya mampu menutup sebagian
auratnya, maka ia wajib menutupnya dengan sesuatu yang ada.
Dalam hal ini, agar mendahulukan menutup kubul dan dubur,
jika tidak cukup maka menutup kubul saja, kemudian dubur.
Jika yang dimiliki adalah pakaian dari sutera, maka
tidak boleh sholat dengan tanpa busana, tapi wajib memakai

35
Asy Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al – Malibari, “Terjemah Fathul Muin”, Ust. Abul
Hiyadh, (Surabaya: Al – Hidayah, 1993), hlm. 146 – 147.
36
Syaikh Abdurrahman Al – Juzairi, “Terjemah Fikih Empat Mazhab Jilid 1”, (Jakarta Timur:
Pustaka Al – Kautsar, 2012), hlm. 314 – 315.

24
sutera itu. Sebab, memakai sutera manakala ada hajat,
hukumnya boleh. Bila tidak mempunyai pakaian, ia wajib
melumuri auratnya dengan lumpur atau sejenisnya.
Orang yang memakai pakaian, sah sholatnya
bermakmum kepada orang yang tanpa busana. Sekalipun
hendak sholat tanpa busana, tidak diperbolehkan ghasab
pakaian untuk sholat. Bagi orang yang sholat, disunnahkan
mengenakan pakaian yang paling bagus, berselendang,
memakai sorban, baju kurung dan baju toga.
Jika seseorang hanya memiliki dua pakaian sholat,
maka yang satu dipakai dan yang satu lagi disampirkan
(diselendangkan), jika memang disitu ada sutrah (batas yang
ada dihadapan untuk sholat), jika belum ada sutrah, maka yang
satu tersebut hendaknya digunakan sajadah sholat.37
Apabila aurat tersingkap saat sedang sholat namun tidak
langsung ditutup kembali padahal mampu untuk menutupnya,
maka sholatnya dianggap tidak sah. Lain halnya jika tertiup
angin, lalu segera menutupnya tanpa banyak bergerak, maka
sholatnya tetap dianggap sah. Begitu pula jika aurat itu
disingkapkan karena lupa dan langsung menutup kembali.
Berbeda jika aurat tersingkap karena perbuatan anak kecil atau
hewan, maka sholatnya tetap batal.38
 Aurat Perempuan Di Luar Sholat
Menutup aurat diwajibkan juga di luar sholat agar tidak
terlihat oleh dirinya sendiri (hukumnya makruh) ataupun orang
lain yang tidak dihalalkan untuk melihat aurat dirinya, kecuali
karena terpaksa, seperti melakukan pengobatan (melihat yang
dibutuhkan saja), laki – laki yang hendak melamar dalam
pernikahan (calon suami boleh melihat wajah dan kedua

37
Asy Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al – Malibari, Op. Cit., hlm. 148 – 149.
38
Syaikh Abdurrahman Al – Juzairi, Op. Cit., hlm. 317.

25
telapak tangan meskipun tidak mendapat izin calon istri),
kesaksian di pengadilan (melihat aurat seperlunya dan wajah.
Contoh; saksi zina), dan muamalah dalam jual beli (melihat
wajah).39
Sedangkan kedua kaki jika tidak ada hal mendesak
untuk menampakkannya maka tidak ada keraguan untuk
menutupnya karena pendapat shahih bahwa kaki adalah aurat.
Dan diperbolehkan membuka aurat ketika hendak mandi,
buang air, atau semacamnya selama berada dalam ruang
tertutup/dalam keadaan sendirian hingga aurat tidak dilihat oleh
orang lain.40
Menutup aurat wajib sekalipun menutupnya dengan
pakaian najis atau sutera, jika hanya itu yang ditemukan,
walaupun ia berada ditempat sepi. Di tempat sepi, wajib bagi
perempuan, kanak – kanak, maupun ummu walad (budak
wanita yang digauli pemiliknya dan melahirkan anak darinya,
baik laki – laki atau perempuan) menutup mulai dari pusar
sampai lutut.
Boleh hukumnya, membuka aurat hanya untuk
keperluan kecil, meskipun di dalam masjid, misalnya untuk
mendinginkan badan, menjaga pakaian dari kotoran dan debu
ketika menyapu rumah, mandi atau sejenisnya.41
Adapun batas aurat untuk perempuan merdeka diluar
sholat adalah antara pusar dengan lutut, dengan syarat ketika ia
dalam keadaan sendirian, atau hanya bersama mahramnya, atau
hanya bersama para perempuan muslimah. Ia dihalalkan
menyingkap anggota tubuh yang lain selain aurat yang dibatasi
itu meskipun dengan keberadaan mahram dan perempuan
muslimah, atau dalam keadaan seorang diri. Jika berada dengan
39
Ibrahim Al – Baejuri, “Baejuri Juz 2”, (Baerut, Lebanon: Al Kutub Al Ilmiyah, 2017), hlm. 178.
40
Syaikh Abdurrahman Al – Juzairi, Op. Cit., hlm. 320.
41
Asy Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al – Malibari, Op. Cit., hlm. 149 – 150.

26
perempuan yang bukan mahram, maka batas auratnya adalah
seluruh tubuhnya.
Wajah dan telapak tangan termasuk dalam aurat
perempuan dalam keberadaan laki – laki bukan mahram.
Sedangkan dalam keberadaan perempuan kafir maka wajah dan
telapak tangan bukan termasuk auratnya. Kedua anggota tubuh
tersebut juga boleh terbuka saat seorang perempuan muslim
sedang berada di dalam rumahnya sendiri, termasuk leher juga
tangan. Hukum yang berlaku pada keberadaan perempuan kafir
juga berlaku pada perempuan yang rusak akhlaqnya. 42
Tidak boleh seorang laki – laki meskipun laki – laki
tersebut sudah sangat tua dan sudah tidak mampu berhubungan
badan melihat auratnya ajnabiyah (orang – orang yang bukan
mahram).
Seorang laki – laki melihat aurat istri dan juga budak
perempuannya itu diperbolehkan kecuali kecuali kemaluan istri
dan budak perempuannya. Adapun melihat farji istri ataupun
budak perempuannya menurut qoul dhaif itu dilarang,
sedangkan menurut pendapat yang ashoh itu hukumnya jawaz
ma’al karohah (boleh tapi makruh).
Melihat budak perempuan ketika hendak membelinya,
itu hanya diperbolehkan melihat tempat yang dibutuhkan untuk
menciumnya yaitu melihat selain antara pusar dan juga lutut.43
Larangan melihat aurat perempuan berlaku untuk aurat
yang masih menyatu dengan tubuhnya ataupun tidak menyatu
lagi. Misalnya seorang perempuan yang memotong rambutnya,
atau terpenggal tangannya. Semua hal tersebut tetap haram
dilihat meskipun sudah terpisah dari tubuh.44

42
Syaikh Abdurrahman Al – Juzairi, Op. Cit., hlm. 321.
43
Ibrahim Al Baejuri, Loc.Cit.,
44
Ibid., hlm. 322.

27
Adapun batas aurat bagi remaja perempuan yang sudah
hampir baligh disamakan dengan aurat laki – laki dewasa
(antara pusar dan lutut). Sementara batas aurat kanak – kanak
atau remaja perempuan yang belum hampir baligh, apabila
paras atau bentuk tubuh cukup menarik menurut orang yang
biasa saja /berpandangan lurus (yakni bukan pervert), maka
auratnya sama seperti perempuan dewasa, namun jika tidak
terlalu menarik perhatian maka auratnya seperti tidak ada,
namun tetap diharamkan untuk melihat qubul dan duburnya
bagi selain orang yang mengurus kesehariannya.45

d) Hukum Suara Perempuan


Para ulama berbeda pendapat tentang suara perempuan.
Sebagian mengatakan bukan aurat, karena para istri Nabi Muhammad
SAW. Dulunya meriwayatkan berbagai khabar pada kaum laki – laki.
Sedangkan Sebagian lain mengatakan, suara perempuan adalah aurat
dan dilarang untuk mengeraskan pembicaraannya hingga dapat
didengar oleh laki – laki bukan mahram. Sebab suara lebih dekat
kepada fitnah dari pada gelang kakinya.46

Sesungguhnya Allah Ta’ala melarang mendengar suara gelang


kaki, karena menandakan perhiasannya. Maka, mengeraskan suaranya
lebih utama dari pada ini. Karena itulah, para fuqaha tidak menyukai
adzan dikumandangkan oleh perempuan, karena adzan butuh suara
yang keras dan perempuan dilarang dari hal tersebut. Atas dasar ini
pula perempuan diharamkan mengeraskan suaranya dalam nyayian
yang disertai alat music atau tidak. Tambah haram lagi apabila nyayian
itu mengandung lirik – lirik yang memancing munculnya syahwat,
seperti menyebutkan ciri – ciri perempuan serta mengajak kepada
kebejatan dan sebagainya.47
45
Ibid., hlm. 323.
46
Syaikh Abdurrahman Al – Juzairi, “Terjemah Fikih Empat Mazhab Jilid 6”, (Jakarta Timur:
Pustaka Al – Kautsar, 2015), hlm. 92.
47
Ibid., hlm. 93.

28
Sementara itu, kalangan As – Syafi’iyah berpendapat,
“Nyanyian yang tak bermutu yang ditampilkan dengan iring – iringan
alat – alat hiburan dan music hukumnya haram bagi kaum perempuan
maupun laki – laki, begitu pula mendengarkannya. Telah dikutip ari
Imam Asy – Syafi’i, bahwa ia pernah mendengar mengatakan:
“Nyanyian itu adalah hiburan yang makruh menyerupai kebatilan.
Barang siapa yang sering melakukannya maka dia orang yang kurang
akal dan ditolak kesaksiannya”.48

48
Ibid., hlm. 94.

29
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, kami dapat menyimpulkan bahwa
perempuan lebih membutuhkan aturan dan pengajaran dibanding laki-laki.
Keadaan menuntut agar perempuan bisa berkarya dan menuntut ilmu yang
berguna serta mengamalkan amal sholeh. Jika hal-hal tersebut tidak
diperhatikan dan dipelajari dengan benar, maka ibadah yang dilakukan
tidak sempurna, bahkan tidak sah. Perempuan harus mendalami tentang
haid, nifas, istihadhah dan bagaimana menutup aurat dengan benar, supaya
tidak menyalahi aturan syariat Islam. Karena yang paling penting adalah
mengerjakan ibadah dan beramal sholeh. Sebelum mengerjakan ibadah
dan amal sholeh diperlukan panduan, supaya ibadah apa saja yang kita
lakukan mendapat pahala serta ridha dari Allah SWT.

B. Saran
Dari penyusunan makalah ini kami berharap dapat menambah
pengetahuan pembaca tentang fikih perempuan: Haid, Nifas, Istihadhah,
Dan Aurat dan semakin rajin dalam beribadah.

C. Penutup
Syukur Alhamdulillah makalah ini dapat diselesaikan. Namun,
kami sadar bahwa karya ini masih banyak kekurangan karena terbatasnya
kemampuan. Dalam menyusun makalah ini, kritik dan saran sangat
dibutuhkan oleh kami. Semoga makalah ini dapat diambil hikmah dan
manfaatnya bagi kita semua, khususnya bagi kami sendiri.

30
DAFTAR PUSTAKA
Al – Baejuri, Ibrahim. (2017). Baejuri Juz 2. Baerut, Lebanon: Al Kutub Al
Ilmiyah.

Al – Juzairi, Syaikh Abdurrahman. (2012). Terjemah Fikih Empat Mazhab Jilid 1.


Jakarta Timur: Pustaka Al – Kautsar.

Al – Juzairi, Syaikh Abdurrahman. (2015). Terjemah Fikih Empat Mazhab Jilid 6.


Jakarta Timur: Pustaka Al – Kautsar.

Al – Malibari, Asy Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz. (1993). Terjemah Fathul
Muin. (Ust. Abul Hiyadh, Terjemahan). Surabaya: Al – Hidayah.

Hasan, Fitria. Makalah Fiqih Wanita. Diakses pada tanggal 06 November 2021.

http://darateukuumar.blogspot.com/2015/12/makalah-fiqih-fiqih-wanita-
bab-i.html.

LBM-PPL 2002 M. (2008). Uyunul Masail Lin - Nisa’ Sumber Rujukan


Permasalahan Wanita. Kediri: Lajnah Bahtsul Masail Madrasah Hidayatul
Mubtadii-en Pondok Pesantren Lirboyo.

Tharsyah, Adnan. (2011). Kiat Menjadi Muslimah Seutuhnya. Jakarta: Senayan


Publishing.

31

Anda mungkin juga menyukai