Anda di halaman 1dari 8

C.

KESAKTIAN PANCASILA ZAMAN BERZAMAN

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dalam perjuangan untuk mencapai kehidupan
yang lebih sempurna senan- tiasa memerlukan nilai-nilai luhur yang dijunjungnya sebagai suatu
pandangan hidup. Nilai-nilai luhur adalah merupakan suatu tolok ukur kebaikan yang berkenaan dengan
hal-hal yang bersifat mendasar dan abadi dalam hidup manusia, seperti cita-cita yang hendak dicapainya
dalam hidup manusia. Pandangan hidup yang terdiri atas kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur tersebut
adalah suatu wawasan yang menye- luruh terhadap kehidupan itu sendiri.

Manusia secara pribadi senantiasa hidup sebagai bagian dari ling- kungan sosial yang lebih luas, secara
berturut-turut dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan bangsa dan lingkungan
negara yang merupakan lembaga-lembaga masyarakat utama yang diharapkan dapat menyalurkan dan
mewujudkan pandangan hidup- nya. Dengan demikian, dalam kehidupan bersama dalam suatu nega- ra
membutuhkan suatutekad kebersamaan dalam mencapai cita-cita yang diinginkan. Dalam proses
penjabaran pandangan hidup individu maupun pandangan hidup bermasyarakat inilah diperlukan suatu
ni- lai- nilai dasar yang menjadi pandangan hidup bangsa dan negara, yaitu nilai-nilai dasar yang terdapat
dalam butir-butir Pancasila yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu
maupun secara bermasyarakat. Nilai dasar Pancasila yang di implementasikan dalam kehidupan
masyarakat terdapat dalam sila Pancasila itu sendiri, yaitu:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Mengandung arti bahwa Negara yang didirikan adalah sebagai pengejawantahan tujuan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, segala hal yang berhubungan dengan kegiatan
kehidupan baik secara individu maupun secara umum sebagai penye- lenggara Negara, sebagai politik
Negara, sebagai pemerintah Negara, sebagai penegak hukum dan peraturan perundang-undangan dan
se- bagai kebebasan hak-hak asasi manusia sebagai warga Negara harus di- jiwai dan mengamalkan nilai-
nilai yang terdapat dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti saling menghormati antar-umat
beragama, sa- ling toleransi dalam kegiatan umat beragama dan selalu berusaha agar menjadi umat
beragama yang bertakwa.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bila dilihat dalam Al-Qur'an terda- pat bebagai ayat yang menjelaskan
kedudukan sila pertama ini, di anta- ranya sebagai berikut:

Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. (QS. al-Ikhlash/ 112: 1)

Sesungguhnya kafırlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga,"
padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang
mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (QS.
al-Maaidah: 5: 73)

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Secara sistematis didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sila kemanusiaan sebagai
dasar fundamental dalam kehi- dupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Nilai kemanusiaan ini
bersumber pada dasar filosofis antropologis, bahwa hakikat manusia adalah susunan kodrat rohani dan
raga, sifat kodrat makhluk individu dan makhluk sosial yang kedudukan kodrat makhluk individu berdiri
sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Nilai kemanusiaan yang adil mengandung arti,
bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya harus berkodrat adil hal ini mengandung suatu
peng- ertian bahwa hakikat manusia harus adil dalam hubungan dengan diri sendiri, adil terhadap
manusia lain, adil terhadap bangsa dan Negara, adil terhadap lingkungannya, dan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.

Demikian juga dengan sila kemanusiaanyang adil dan beradab bila dilihat dalam Al-Qur'an maupun
Hadis terdapat berbagai ayat maupun yang menjelaskan kedudukan sila kedua ini, di antaranya sebagai
ber- ikut:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki meren- dahkan kumpulan yang
lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka men-
cela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk
panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka
mereka Itulah orang-orang yang zalim". (QS. al-Hujurat: 49: 11).

Demikian juga terdapat Hadis Nabi SAW yang berkaitan dengan sila kedua ini yakni di mana Rasul SAW
diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.

"Bahwa Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya aku diutus untuk menyem- purnakan akhlak manusia."

3. Persatuan Indonesia

Mengandung arti, bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis, yaitu
sebagai makhluk individu dan makh- luk sosial. Negara merupakan persekutuan hidup bersama di antara
ele- men-elemen yang membentuk negara yang berupa suku, ras, kelompok golongan, dan kelompok
agama, konsekuensinya adanya perbedaan, negara adalah beranekaragam tetapi tetap satu,
mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam suatu seloka Bhinneka Tunggal Ika.
Perbedaan dan beraneka ragam elemen-elemen tersebut bukanlah untuk diruncingkan menjadi konflik
dan permusuhan, melainkan dia- rahkan pada suatu sintesis yang saling menguntungkan yaitu persatuan
dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama. Negara memberikan wahana atas segala
paham golongan, etnis, suku, ras, indi- vidu, kelompok, dan golongan agama guna tercapainya harkat
dan mar- tabat seluruh warganya. Negara memberikan kebebasan atas individu, golongan, suku, ras,
dan golongan agama untuk merealisasikan seluruh potensinya dalam kehidupan bersama yang bersifat
integral.

Dalam sila ketiga ini, Pancasila mengajak bangsa Indonesia untuk mengedepankan kesatuan dan
persatuan. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang diwacanakan Islam.

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepa- damu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka
Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Al- lah, orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat pe- tunjuk.(QS. Ali-
Imran/3:103)

Kemudian juga terdapat dalam QS. al-Hujuraat: 49: 9; dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tetapi kalau yang satu melanggar
Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hen- daklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.

Begitu juga dengan Hadis Nabi SAW yang menjelaskan tentang ke- dudukan sila ketiga ini.

"Tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyeru kepada ashobiyyah (fanatisme golongan).
Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang berperang atas dasar ashobiyyah (fanatisme
golong- an). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang terbunuh atas nama ashobiyyah
(fanatisme golongan)" (HR Abu Dawud 4456).

4. Kerakyatan, Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan

Didasari oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sila Kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila Persatuan
Indonesia serta mendasari dan menjiwai sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, me-
ngandung arti bahwa hakikat negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial. Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa yang bersatu dan berdaulat bertujuan mewujudkan har- kat dan martabat
manusia dalam suatu wilayah negara. Rakyat adalah merupakan subjek pendukung pokok negara.
Negara adalah dari, oleh dan untuk rakyat, oleh karena itu, rakyat adalah merupakan asal mula
kekuasaan negara, sehingga dalam sila kerakyatan terkandung nilai de- mokrasi yang secara mutlak
harus dilaksanakan dalam kehidupan ber- negara.
Pancasila menyeru agar mendahulukan musyawarah dan kemufa- katan dalam memutuskan keputusan
untuk kepentingan bersama. Sa- habat Umar saat menjadi Khalifah mempunyai enam orang Dewan syu-
ra, yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas, Abdurrahman
bin Auf, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Sebagaimana dalam QS. Ali-Imraan: 3: 159; Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mere- ka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawarahlah dengan me- reka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.

Misalnya juga di dalam QS. asy-Syuura: 42: 38; Dan (bagi) orang- orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami beri- kan kepada mereka.

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sila Kema- nusiaan yang adil dan beradab, sila
Persatuan Indonesia dan kerakyat- an yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, mengandung arti bahwa nilai keadilan yang harus terwujud dalam
kehidupan bersama, dengan didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan
dalam hubungan manusia seca- ra individu, hubungan manusia dengan masyarakat, bangsa dan nega- ra
serta hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang
harus terwujud adalah, bahwa pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan sosial dalam bentuk
keadilan membagi tentang kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bantuan un- tuk rakyat, subsidi
untuk rakyat dan kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban seluruh
rakyat Indonesia.

Sila terakhir ini menjelaskan bahwa bangsa Indonesia selayaknya untuk tidak berlebih-lebihan dan
bermegah-megahan dalam berkehi- dupan dan selalu bergotong royong dalam membangun negara
demi kebaikan.

Rekam pemahaman sila kelima ini bisa dilihat dalam Al-Qur'an mi- salnya QS. al-Furqaan: 25: 67: Dan
orang-orang yang apabila membe- lanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

Di ayat lain juga terdapat hakikat dari sila kelima ini misalnya QS. adz-Dzaariyaat.: 51: 19; Dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat
bagian.
Dalam Kitab Sunannya, al-Tirmizi meriwayatkan sebuah Hadis de- ngan lafalnya yang berbunyi:

"Rasul SAW bersabda: Barangsiapa yang melepaskan seorang mukmin daripada satu kesusahan daripada
kesusahan-kesusahan dunia, nisca- ya Allah akan melepaskannya daripada satu kesusahan daripada
kesu- sahan-kesusahan Qiamat. Barangsiapa yang mempermudahkan bagi orang susah, niscaya Allah
akan mempermudahkan baginya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutup ke'aiban seorang
Muslim, nisca- ya Allah akan menutup ke'aibannya di dunia dan akhirat. Allah sentiasa bersedia
menolong hambaNya selagi mana dia suka menolong saudara- nya. Barangsiapa yang melalui suatu jalan
untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan mempermudahkan baginya suatu jalan menuju ke surga. Se-
suatu kaum tidak berkumpul di salah sebuah rumah-rumah Allah (yaitu masjid) sambil mereka membaca
Kitab Allah dan mengkajinya sesama mereka melainkan suasana ketenangan akan turun ke atas mereka,
rah- mat akan meliputi mereka dan mereka akan di kelilingi oleh para malai- kat dan Allah akan
menyebut (perihal) mereka kepada orang-orang yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang terlambat
amalannya, niscaya na- sab keturunannya tidak mampu mempercepatkannya."

PANCASILA SEBAGAI ETIKA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA

Di era sekarang sekarang ini, tampaknya kebutuhan akan norma etika untuk kehidupan berbangsa dan
bernegara masih perlu, bahkan amat penting untuk ditetapkan. Hal ini terwujud dengan keluarnya
ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat
yang merupakan penjabaran nilai- nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap dan
bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang sudah
mengakar dalam kehidupan bermasyarakat.

Etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat bertujuan untuk:

1. Memberikan landasan etik moral bagi seluruh komponen bangsa dalam menjalankan kehidupan
kebangsaan dalam berbagai aspek

2. Menentukan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat.

3. Menjadi kerangka acuan dalam mengevaluasi pelaksanaan nilai-nilai etika dan moral dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Etika kehidupan berbangsa meliputi sebagai berikut


a. Etika sosial dan Budaya

Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat
manusia. Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama
lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia
saling berkaitan.

Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara
kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadpa pandangan-pandangana dunia dan
idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian
luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian atau
bidang.

Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur,
saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan tolong-menolong di antara
sesame manusia dan anak bangsa. Senada dengan itu juga menghidupkansuburkan kembali budaya
malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai
luhur budaya bangsa.

b.Etika pemerintahan dan politik

Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku etika
yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek
etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainya, karena yang
dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubunganya dengan
masyarakat bangsa maupun negara, Etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai
manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada
hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa
masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang kearah keadaan yang tidak baik dalam arti moral.
Aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia
sebagai manusia, Sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik.

Etika ini dimaksudkan untuk mewujudk e fektif serta menumbuhkan suasana polit ik yang demokratis
yang bercirikan keterbukaan, tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan,
jujur dalam persaingan, serta menjujunjung tinggi hak asasi manusia.

c. Etika ekonomi dan bisnis


Etika bisnis adalah Suatu sikap yang baik yang harus dilaksanakan dalam hubungan bisnis/jalannya bisnis
atau dapat juga dikatakan suatu aturan yang harus dijalankan dalam pebisnis atau praktisi bisnis yang
melakukan kegiatan bisnis pada jalan yang benar di dunia bisnis sesuai dengan aturan yang berlaku.

Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi
mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika
dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah,
masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara
pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak
mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis
tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis
yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang
bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam
perekonomian.

Etika ini bertujuan agar prinsip dan prilaku ekonomi baik oleh pribadi, institusi, maupun keputusan
dalam bidang ekonomi dapat melahirkan ekonomi dengan kondisi yang baik dan realitas.

d. Etika penegakan hukum yang berkeadilan

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya noma-norma
hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pengertian penegakan hukum dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam
hal ini pengertiannya mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu
mencakup pada nilai-nilai keaadilan yang terkandung didalam bunyi atau formal maupun nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya
menyangkut penegakan peraturan yang fomal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan kata "Law
Enfocment" ke dalam bahaasa Indonesia dalam menggunakan perkataan "Penegakan Hukum" dalam arti
luas dapat pula digunakan istilah "Penegakan Peraturan" dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita
aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul
dalam bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah " The Rule Of Law" atau dalam istilah "The
Rule of Law and Not Of A Man" Versus itilah "The Rule By Law" yang berarti "The Rule Of Man By Law"
dalam istilah " The Rule Of Law"terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam
artinya yang formal, melainkan mencakup nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu
digunakan istialah "The Rule Just Of Law". Dalam istilah sebaliknya adalah "The Rule By Law" yang
dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat
kekuasaan belaka.
Berpijak kepada teori penegakan hukum Soerjono Soekamto, faktor-faktor penegakan hukum atau yang
lebih dikenal dengan istilah law enforcement yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di
dalam pergaulan hidup.

Etika ini bertujuan agar penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif
terhadap setiap warga Negara di hadapan hukum, dan menghindarkan peggunaan hukum secara salah
sebagai alat kekuasaan.

e. Etika keilmuan dan disiplin kehidupan

Etika ini diwujudkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu
berpikir rasional, kritis, logis, dan objektif.

Dengan berpedoman pada etika kehidupan berbangsa tersebut, penyelenggara Negara dan warga
Negara berprilaku secara baik bersumber pada nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya. Etika
kehidupan berbangsa tidak memiliki sanksi hukum. Namun sebagai semacam kode etik, pedoman etik
berbangsa memberikan sanksi moral bagi siapa saja yang berprilaku menyimpang dari norma-norma etik
yang baik. Etika kehidupan berbangsa ini dapat kita pandang sebagai norma etik Negara sebagai
perwujudan dari nilai-nilai dasar Pancasila.

Etika dan moral bagi manusia dalam kehiduan berbangsa, berne gara, dan bermasyarakat, senantiasa
bersifat relasional. Hal ini berarti bahwa etika serta moral yang terkandung dalam sila-sila Pancasila,
tidak dimaksudkan untuk manusia secara pribadi, namun secara relasioanal senantiasa memiliki
hubungan dengan yang lain baik kepada Tuhan yang maha esa maupun kepada manusia lainnya.

Arifinsyah. 2018. Pendidikan kewarganegaraan NKRI harga mati. Prenadamedia group: Jakarta. hal 20-
25. ( Bagian yg c)

Kaderi.Alwi.2015. pendidikan Pancasila. Aswarja Presindo; Banjarmasin. Hal 135-145

Anda mungkin juga menyukai