Anda di halaman 1dari 13

TANGGUNG JAWAB SEORANG MUSLIM TERHADAP NEGARANYA

Ahmad Khatibul Umam


Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin
ahmadumam027@gmail.com

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menjadi pedoman bagi masyarakat secara umum tentang
bagaimana cara kita bersikap dan menjunjung tinggi nilai-nilai Agama Islam tentang etika
berbangsa dan bernegara. Hal ini dirasakan cukup penting dengan memperhatikan fenomena
dan banyaknya kasus-kasus yang berkaitan dengan pudarnya pemahaman sekaligus
kesadaran sebagai warga negara yang harus memiliki etika dalam melakukan segala
perbuatan yang bertanggung jawab bagi kebaikan dan kemajuan bangsa. Modernisasi dan
arus globalisasi yang sangat pesat turut menyumbang faktor melemahnya kesadaran
masyarakat dalam menjunjung tinggi-tinggi nilai dan norma-norma yang harus menjadi acuan
dalam bertingkah laku, sehingga kondisi seperti ini harus memerlukan perhatian khusus bagi
kita semua dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan bangsa, terlebih bangsa kita adalah
bangsa yang sangat majemuk di semua lini, baik agama, ras, suku, budaya dan antar
golongan.

Kata Kunci: Penafsiran, Tanggung Jawab, Berbangsa dan bernegara, Islam


A. PENDAHULUAN

Islam adalah satu sistem hidup yang mengatur segala kehidupan dan penghidupan
manusia di dalam perbagai hubungan, maka agama tidak dapat dipisahkan dari
negara, negara tidak dapat dilepaskan dari agama. Karena itu sekulerisasi dalam
politik kenegaraan tidak dikenal dalam Islam, karena tidak sesuai dengan fitrah
Islam sebagai kebulatan ajaran.

Fungsi al-Qur‟an adalah sebagai petunjuk hidup, termasuk di dalamnya


terdapat petunjuk bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Dengan itu sehingga
orang dianjurkan supaya berjuang membela dan menjunjung tinggi nusa dan
bangsanya. Sebab dengan demikian berarti ia mencintai Allah SWT yang telah
menciptakan tanah airnya dan segala keperluan hidupnya. Sebagai orang yang
hidup dalam suatu tanah air, bangsa dan negara, maka setiap muslim harus
menyadari bahwa ia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk
mempertahankan dan membangun bangsa dan negaranya dalam segala bidang,
baik yang bersifat fisik-materil maupun bersifat mental-spiritual, sesuai dengan
kemampuan dan keahiannya masing-masing.

Tulisan ini menggunakan metode maudhû’i, yaitu menghimpun seluruh


ayat al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama. Menguraikannya
dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali. Hasilnya diukur dengan
timbangan teori-teori akurat, agar dapat menyajikan tema secara utuh dan
sempurna. Alasan penulis memakai metode ini, karena dapat digunakan sebagai
penggali ayat-ayat yang berhubungan dengan tanggung jawab seorang muslim
terhadap negaranya secara sistematis

B. Makna Tanggung Jawab Dalam Islam

Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau


perbuatannya,baik yang disengaja atau tidak disengaja. Dengan begitu, tanggung
jawab dapat diartikan berbuat sesuatu sebagai perwujudan kesadaran akan
kewaiban.1Dan bisa dikatakan juga Tanggung jawab merupakan sikap siap
1
Sujarwa, Manusia dan Fenomena Budaya.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Glagah, 1998) hlm. 107

2
menerima kewajiban dan tugas. Seperti, jika seseorang diberi kewajiban atau
tugas, maka seseorang tersebut akan melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Berbicara tentang tanggung jawab manusia menurut al-Qur’an,
memperhatikan surat al-Mukminun ayat 115 ditemukan bahwa manusia adalah
makhluk fungsional dan bertanggung jawab atau dengan kata lain penciptaan
manusia bukanlah sebuah kesia-siaan. Tanggung jawab manusia tersebut meliputi
tanggung jawab terhadap Allah Sang Pencipta, diri pribadi, keluaga, masyarakat,
bangsa dan Negara, serta tanggung jawab terhadap alam.

C. Tanggung Jawab Seorang Muslim Terhadap Negaranya


1. Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Salah satu bentuk jihad mempertahankan negara adalah menjaga persatuan
dan kesatuan bangsa. Dalam konteks keindonesiaan yang masyarakatnya
majemuk, baik dari segi agama, suku, bahasa dan bangsa, maka menjaga
persatuan dan kesatuan menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi wilayah Indonesia
terdiri dari berbagai kepulauan yang “dipisahkan” sekeligus dihubungkan oleh
lautan. Kekuatan ini tidak mungkin diraih tanpa persatuan, dan persatuan tidak
dapat dicapai tanpa persaudaran dan kebersamaan serta kemauan untuk saling
menghormati satu sama lain. Dalam Al-Qur’an, perintah untuk menjaga persatuan
dan kesatuan sangat jelas, sebagaimana disebutkan dalam (QS. alAnbiya 92)
“Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu…”. Ini dikuatkan dengan ayat
Al-Qur’an yang melarang kita untuk bercerai-berai, sebagaimana firman Allah
Swt

َ‫ص ُم ْوا بِ َح ْب ِل هّٰللا ِ َج ِم ْي ًعا َّواَل تَفَ َّرقُ ْو ۖا َو ْاذ ُك ُر ْوا نِ ْع َمتَ هّٰللا ِ َعلَ ْي ُك ْم اِ ْذ ُك ْنتُ ْم اَ ْعد َۤا ًء فَاَلَّفَ بَيْن‬ ِ َ‫َوا ْعت‬
‫هّٰللا‬
ُ ُ‫شفَا ُح ْف َر ٍة ِّمنَ النَّا ِر فَا َ ْنقَ َذ ُك ْم ِّم ْن َه ۗا َك ٰذلِكَ يُبَيِّن‬ َ ‫صبَ ْحتُ ْم بِنِ ْع َمتِ ٖ ٓه اِ ْخ َوانً ۚا َو ُك ْنتُ ْم ع َٰلى‬ ْ َ ‫قُلُ ْوبِ ُك ْم فَا‬
َ‫لَ ُك ْم ٰا ٰيتِ ٖه لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْهتَد ُْون‬
Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan

3
karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi
jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. Q.S Ali
'Imran [3]: 103

Firman-Nya, "Dan janganlah kamu bercerai-berai." Allah memerintahkan


mereka untuk bersatu dalam jama'ah dan melarang berpecah-belah. Banyak hadits
Rasulullah yang melarang perpecahan dan menyuruh menjalin persatuan.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Muslim dari Abu Hurairah ‘bahwa
Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah meridhai kalian dalam tiga perkara
dan membenci kalian dalam tiga perkara. Dia meridhai kalian jika kalian
beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun,
berpegang teguh pada tali Allah dan tidak bercerai-berai dan setia kepada orang
yang telah diserahi
urusan kalian oleh Allah. Dan Dia membenci kalian dalam tiga perkara, yaitu
banyak bicara, membicarakan pembicaraan orang lain, banyak bertanya dan
menghamburkan harta."2
Di ayat ini ditegaskan, bahwa berpegang pada tali Allah itu ialah kamu
sekalian. Artinya telah bersatu-padu. Karena kalau pegangan semuanya sudah
satu, maka dirimu yang terpecah-belah itu sendirinyapun menjadi satu. Lalu
dikuatkan lagi dengan lanjutan ayat; "Dan janganlah kamu bercerai-berai." Di sini
tampak pentingnya Jamaah. Berpegang pada tali Allah sendiri-sendiri tidaklah ada
faedahnya. Kalau tidak ada persatuan antara satu dengan yang lain. Di sinilah
kepentingan kesatuan komando, kesatuan pimpinan. Pimpinan tertinggi ialah
Rasul s.a.w. Dengan ajaran yang demikian maka kebanggaan kabilah tidak ada
lagi. Tidak ada kemuliaan Arab atas Ajam, atau kulit putih atas kulit hitam, sebab
ayat yang terdahulu telah menyebutkan kepastian takwa. Maka yang lebih mulia
di sisi Allah, ialah siapa yang lebih takwa kepadaNya. Dengan sebab persamaan

2
Ismail Ibnu Katsir ditahqiq oleh Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’I, 2003) hal. 104

4
karena takwa ini timbullah kekuatan yang besar dan barulah keadaan dan mulialah
tujuan.3

2. Membudayakan Syura (Musyawarah)


Secara etimologi, konsep “syura” terambil dari kata sywr yang artinya
mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga
mencakup segala sesuatu yang dapat dikeluarkan, termasuk pendapat. Sehingga
musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan suatu pendapat.
Musyawarah (syura) pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik,
sejalan dengan makna dasarnya.4 Dengan kata lain, keputusan musyawarah tidak
dapat diterapkan untuk mengabsahkan perbuatan yang akan menindas pihak lain
dan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Meminjam bahasa Al-Qur’an,
jangan sampai syura itu bertujuan menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal yang jelas-jelas nasnya dalam Al-Qur’an atau Sunnah.
Firman Allah Swt:
‫هّٰللا‬
ِ ‫فَبِ َما َرحْ َم ٍة ِّمنَ ِ لِ ْنتَ لَهُ ۚ ْم َولَوْ ُك ْنتَ فَظًّا َغلِ ْيظَ ْالقَ ْل‬
‫ب اَل ْنفَضُّ وْ ا ِم ْن َحوْ لِ ۖكَ فَاعْفُ َع ْنهُ ْم‬
َ‫اورْ هُ ْم فِى ااْل َ ْم ۚ ِر فَا ِ َذا َع َز ْمتَ فَتَ َو َّكلْ َعلَى هّٰللا ۗ ِ اِ َّن هّٰللا َ ي ُِحبُّ ْال ُمتَ َو ِّكلِ ْين‬
ِ ‫ر لَهُ ْم َو َش‬tْ ِ‫َوا ْستَ ْغف‬
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah
ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. Q.S Ali 'Imran [3]: 159
Allah berfirman, "Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan
bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. " Oleh
sebab itu Rasulullah senantiasa mengajak para Sahabatnya bermusyawarah
mengenai suatu persoalan yang terjadi untuk menjadikan hati mereka senang dan
supaya mereka lebih semangat dalam berbuat. Sebagaimana beliau pernah mengaj
3
Abdul malik Abdul karim Amrullah. TafsirAl-Azhar jilid 2 (Jakarta: Pustaka Nasional PTE LTD
Singapura, 1989) hal. 863
4
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan 1999), h. 469.

5
ak mereka ber-musyawarah pada waktu perang Badar mengenai keberangkatan
menghadang pasukan orang-orang kafir. Para Sahabat berkata, "Ya Rasulullah,
jika engkau menyeberangi lautan, niscaya kami akan ikut menyeberanginya
bersamamu. Dan jika engkau menelusuri daratan dalam kegelapan ke Barkil
Ghimad, niscaya kami akan ikut berjalan bersamamu. Kami tidak akan
mengatakan apa yang dikatakan kaum Musa kepadanya, di mana kaumnya itu
berkata, "Pergilah engkau bersama Rabb-mu dan berperanglah, kami akan duduk-
duduk di sini saja." Tetapi kami akan mengatakan kepadamu, "Pergilah, dan kami
akan senantiasa bersamamu, di depan, di kanan dan kirimu untuk ikut
berperang."5
Dalam ayat ini Tuhan menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul,
bahwasanya sikap yang lemah-lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah
dimasukkan oleh Tuhan rahmatNya. Rasa rahmat, belas-kasihan, cinta-kasih itu
telah ditanamkan Tuhan ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang
mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin.
Selanjutnya; "Ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan itu." Dan
inilah dia inti kepemimpinan. Urusan telah beliau tegaskan pembahagiaannya,
yaitu urusan agama dan urusan Dunia. Mana yang mengenai urusan agama, yaitu
lbadat, syariat dan Hukum Dasar, itu, adalah dari Allah. Muhammad memimpin
dan semua wajib tunduk. Tetapi urusan yang berkenaan dengan dunia, misalnya
perang dan damai, menjalankan ekonomi, ternak, bertani dan hubungan-hubungan
biasa antara manusia (Human Relation), hendaklah dimusyawarahkan. Berdasar
kepada pertimbangan maslahat (apa yang lebih baik untuk umum) dan malsadat
(apa yang membahayakan).6
Lalu bagaimana musyawarah itu dilakukan? Nabi saw. biasa melakukan dengan
cara beragam. Kadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk
bidang yang dimusyawarahkan. Pada saat yang lain, kadang beliau juga
melibatkan tokoh-tokoh atau pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada
semua yang terlibat di dalam masyarakat yang dihadapi.7 Dengan kata lain,
5
Ismail Ibnu Katsir ditahqiq oleh Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2 hal. 174
6
Abdul malik Abdul karim Amrullah. TafsirAl-Azhar jilid 2 hal. 965
7
Ibn Taimiyyah, As-Siyasah asy-Syar‘iyyah, h. 135; Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h.81.

6
kadang Nabi menggunakan sistem musyawarah secara langsung dan tidak
langsung (baca: perwakilan)
Sistem musyawarah yang dilakukan oleh Nabi antara lain dimaksudkan untuk:
1) memberikan contoh nilai konsultasi (syura) agar ditiru oleh umat Islam
lainnya;8
2) untuk memperkuat peringatan kepada pemimpin Islam tentang pentingnya
konsultasi.
Yang penting ialah adanya pokok pegangan. Yaitu dalam masyarakat
mesti selalu ada Syura. Masyarakat Islam, berdasarkan kepada yang tengah kita
tafsirkan ini didahului oleh ayat 38 Surat as-Syura itu telah menanamkan dasar
(prinsip), bahwa bermasyarakat dan bernegara wajib bermusyawarat. Demikian
hendaknya sejak dari desa kecil, desa besar, kota ataupun negara, bahkan satu
jamaah kecil pada satu lorong di tengah kota.

3. Memperjuangkan Keadilan (al-Adalah)


Dalam memenej pemerintahan, keadilan (al-adalah) menjadi suatu
keniscayaan, sebab pemerintahan dibentuk antara lain agar tercipta suasana
masyarakat yang adil dan makmur. Tidaklah berlebihan jika kiranya kemudian
Syeikh al-Mawardî dalam al-Ahkam as-Sultaniyyah memasukkan syarat pertama
bagi seorang imam atau pemimpin negara adalah punya sifat al-adalah atau adil.9
Dalam Al-Qur’an, konsep keadilan diungkapkan dengan kata al-‘adl, al-
qist, al-mizan. Keadilan, menurut Al-Qur’an, akan mengantarkan kepada
ketakwaan. dan ketakwaan akan mengantarkan kepada kesejahteraan.
Firman Allah Swt:
‫اس اَ ْن تَحْ ُك ُموْ ا بِ ْال َع ْد ۗ ِل اِ َّن هّٰللا َ نِ ِع َّما‬ ۙ ٓ ‫ا َّن هّٰللا يْأم ُر ُكم اَ ْن تَُؤ ُّدوا ااْل َمٰ ٰن‬
ِ َّ‫ت اِ ٰلى اَ ْهلِهَا َواِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬
ِ ْ ُ َ َ ِ
‫هّٰللا‬
ِ َ‫م بِ ٖ ۗه اِ َّن َ َكانَ َس ِم ْيع ًۢا ب‬tْ ‫يَ ِعظُ ُك‬
‫ص ْيرًا‬

8
Ibn Taimiyyah, Majmu‘ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyyah, Jilid XXVIII (Riyad:
Matabi’ Riyad, 1963), h. 386.
9
Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Basri al-Mawardi, Ahkam al-Sultaniyyah
(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 6.

7
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya
kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. Q.S An-
Nisa' [4]: 58
Di dalam ayat ini telah dijelaskan bahwasanya Allah telah memerintahkan
kamu. Dengan kata memerintahkan itu teranglah bahwa mengatur pemerintahan
yang baik dan memilih orang yang cakap adalah kewaiiban, yang dalam ketentuan
hukum Ushul Fiqh dijelaskan, berpahala barangsiapa yang mengerjakannya dan
berdosa barangsiapa yang menganggapnya enteng saja. Dan darisinijuga dapat
difahamkan bahwa bagi seorang Muslim memegang urusan kenegaraan artinya
ialah memegang amanat. Dan urusan bernegara adalah bahagian yang tidak dapat
dipisahkan dari agama. Tidaklah dapat seorang Muslim berlagak masa-bodoh
dalam soal kenegaraan. Di ayat ini diperiniahkan kepada kamu meletakkan
amanat kepada ahlinya. Komu itu adalah orang banyak atau ummat. Maka ummat
itulah yang membentuk pimpinan.10
Firman Allah "Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. " Adalah perintah dari-
Nya untuk menetapkan hukum di antara manusia dengan adil. Untuk itu
Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam dan Syahr bin Hausyab berkata:
"Sesungguhnya ayat ini diturunkan untuk para umara, yaitu para pemutus hukum
di antara manusia."
"Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-sebaiknya
kepadamu." Artinya, Allah perintahkan kalian untuk menunaikan amanah,
menetapkan hukum di antara manusia dengan adil dan hal lainnya, yang
mencakup perintah-perintah dan syari'at-syari'at-Nya yang sempurna, agung dan
lengkap.
Memang, ayat inilah ajaran Islam yang wajib dipegang oleh penguasa-
penguasa, memberikan amanat hendaklah kepada ahlinya. orang yang akan diberi

10
Abdul malik Abdul karim Amrullah. TafsirAl-Azhar jilid 2 hal 1272

8
tanggung jawab dalam suatu tugas, hendaklah yang sanggup dan bisa dipercaya
memegang tugas itu. kemudian datanglah sambungan ayat: "Dan apabila kamu
menghukum di antara manusia, hendaklah kamu hukumkan dengan adil." Inilah
pokok kedua dari pembinaan pemerintahan yang dikehendaki Islam.11

4. Mentaati Ulil Amri (Pemerintah)


Segala kegiatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hendaklah
menuruti pola dan peraturan-peraturan yang telah digariskan oleh pemerintah.
Maka setiap muslim harus menjadi warga negara yang baik. Di samping ia wajib
mentaati pemerintah Allah dan RasulNya, ia berkewajiban pula mentaati perintah
peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang sah dan
adil di negaranya. Sebab semua peraturan dan undang-undang yang ditetapkan
pemerintah itu bertujuan untuk mengatur tata tertib kehidupan warga negara agar
selalu dalam ketentraman dan kebahagiaan, serta melindungi rakyat dari segala
macam kekejaman dan kesengsaraan. Firman Allah SWT:

‫هّٰللا‬
ُ‫ ال َّرسُوْ َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم فَاِ ْن تَنَازَ ْعتُ ْم فِ ْي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوْ ه‬t‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا َ َواَ ِط ْيعُوا‬
‫ك خَ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَْأ ِو ْياًل‬ َ ِ‫م ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذل‬tِ ْ‫اِلَى هّٰللا ِ َوال َّرسُوْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَو‬

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul


(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Q.S
An-Nisa' [4]: 59

Wahai orang-orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa Muhammad,


taatilah Allah, rasul-rasul- Nya dan penguasa umat Islam yang mengurus urusan
kalian dengan menegakkan kebenaran, keadilan dan melaksanakan syariat. Jika
11
Ismail Ibnu Katsir ditahqiq oleh Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2 hal. 336

9
terjadi perselisihan di antara kalian, kembalikanlah kepada al-Qur'ân dan sunnah
Rasul-Nya agar kalian mengetahui hukumnya. Karena, Allah telah menurunkan
al-Qur'ân kepada kalian yang telah dijelaskan oleh Rasul-Nya. Di dalamnya
terdapat hukum tentang apa yang kalian perselisihkan. Ini adalah konsekwensi
keimanan kalian kepada Allah dan hari kiamat. Al-Qur'ân itu merupakan kebaikan
bagi kalian, karena, dengan al-Qur'ân itu, kalian dapat berlaku adil dalam
memutuskan perkara-perkara yang kalian perselisihkan. Selain itu, akibat yang
akan kalian terima setelah memutuskan perkara dengan al-Qur'ân, adalah yang
terbaik, karena mencegah perselisihan yang menjurus kepada pertengkaran dan
kesesatan.12
Abu Dawud meriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar bahwa Rasulullah
bersabda: "Dengar dan taat adalah kewajiban seorang muslim, suka atau tidak
suka, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintahkan berbuat maksiat,
maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat." (Di keluarkan pula oleh al-
Bukhari dan Muslim dari hadits Yahya al-Qaththan).13
Ayat ini dengan sendirinya menjelaskan bahwa masyarakat manusia, dan
di sini dikhususkan masyarakat orang yang beriman, mestilah tunduk kepada
peratuan. Ummat beriman disuruh terlebih dahulu taat kepada Allah, sebab
apabila dia berbuat baik, bukanlah semata- mata karena segan kepada manusia,
dan bukan pula karena semata-mata menghutupku keuntungan duniawi.
Undang-undang suatu Negara saja tidaklah menjamin keamanan
masyarakat. Kalau tidak disertai oleh kepercayaan manusia yang bersangkutan
bahwa ada kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaan manusia akan
menghukum jika dia berbuat salah'.
Kemudian itu orang yang beriman diperintahkan pula taat kepada Rasul.
Sebab taat kepada Rasul adalah laniutan dari taat kepada Tuhan. Banyak perintah
Tuhan yang waiib ditaati, tetapi tidak dapat diialankan kalau tidak melihat contoh
teladan. Maka contoh teladan itu hanya ada pada Rasul' Dan dengan taat kepada
Rasul barulah sempurna beragama.
12
M.Quraish Shihab. TafsirAl-Misbah Jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) hal 479
13
Ismail Ibnu Katsir ditahqiq oleh Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2 hal 337

10
Kemudian diikuti oleh taat kepada ulil-Amri-minkum, orang-orang yang
menguasai pekerjaan, tegasnya orang-orang berkuasa di antara kamu, atas dari
pada kamu. Minkum mempunyai dua arti. Pertama di antara kamu, kedua kamu.
Maksudnya, yaitu mereka yang berkuasa itu adalah daripada kamu juga, naik atau
terpilih atau kamu akui kekuasaannya' sebagai satu kenyataan.14

5. Menjaga Prinsip Kebebasan (al-Hurriyyah)


Kebebasan atau al-hurriyyah dalam pandangan Al-Qur’an sangat
dijunjung tinggi, termasuk kebebasan dalam menentukan pilihan agama sekalipun
Bahkan secara tersurat Allah memberikan kebebasan apakah seseorang itu mau
beriman atau kafir. Sebab, kebebasan merupakan hak setiap manusia yang
diberikan Allah swt., tidak ada pencabutan hak atas kebebasan kecuali di bawah
dan setelah melalui proses hukum.
َ ‫ت َويُْؤ ِم ۢ ْن بِاهّٰلل ِ فَقَ ِد ا ْستَ ْم َس‬
‫ك‬ ِ ْ‫ٓاَل اِ ْك َراهَ فِى ال ِّد ْي ۗ ِن قَ ْد تَّبَيَّنَ الرُّ ْش ُد ِمنَ ْال َغ ۚ ِّي فَ َم ْن يَّ ْكفُرْ بِالطَّا ُغو‬
‫صا َم لَهَ ۗا َوهّٰللا ُ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬
َ ِ‫بِ ْالعُرْ َو ِة ْال ُو ْث ٰقى اَل ا ْنف‬
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas
(perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar
kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang
(teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar,
Maha Mengetahui. Q.S Al-Baqarah [2]: 256

Allah berfirman, "Tidak ada paksaan untuk memasuki agama. Maksudnya,


janganlah kalian memaksa seseorang memeluk agama Islam. Karena
sesungguhnya dalil-dalil dan bukti-bukti itu sudah demikian jelas dan gamblang,
sehingga tidak perlu ada pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluknya.
Tetapi barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah dan dilapangkan dadanya
serta diberikan cahaya bagi hati nurainya, maka ia akan memeluknya. Dan
barangsiapa yang dibutakan hatinya oleh Allah Ta'ala, dikunci mati pendengaran

14
Abdul malik Abdul karim Amrullah. TafsirAl-Azhar jilid 2 hal 1277

11
dan pandangannya, maka tidak akan ada manfaat baginya paksaan dan tekanan
untuk memeluk Islam15.
Sungguh-sungguh ayat ini suatu tantangan kepada manusia, karena Islam
adalah benar. Orang tidak akan dipaksa memeluknya, tetapi orang hanya diajak
buat berfikir. Asaldia berfikir sihat, dia pastiakan sampai kepada Islam. Tetapi
kalau ada paksaan, mestilah timbul taqlid. Manusia sebagai orang seorang akan
datang dan akan pergi, akan lahir dan akan mati. Tetapi fikiran manusia akan
berjalan terus. Penilaian manusia atas agama akan dilanjutkan dan kebebasan
berfikir dalam memilih keyakinan adalah meniadi tujuan dari manusia yang telah
maju.16
Para ulama menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah berkenaan
dengan beberapa orang kaum Anshar, meskipun hukumnya berlaku umum. Ibnu
Jarir meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, ada seorang wanita yang
sulit mempunyai anak, berjanji kepada dirinya, jika putranya hidup, maka ia akan
menjadikannya Yahudi. Dan ketika Bani Nadhir diusir, dan di antara mereka
terdapat anak-anak kaum Anshar, maka mereka berkata, "Kami tidak mendakwahi
anak-anak kami." Maka Allah menurunkan ayat, "Tidak ada paksaan untuk
{memasukij agama {Islam). Sesungguhnya telah jelis jalan yang benar dari jalan
yang sesat. "Demikian hadits yang diriwayatkan Imam Nasa'i secara keseluruhan.
Juga diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya.17

D. Kesimpulan

Sebagai agama universal, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan


manusia dalam hal ini adalah terkait tentang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ajaran Islam menekankan pentingnya tanggung jawab dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara agar terwujudnya kehidupan yang damai, tenteram dan
sentosa. Secara konseptual Al-Qur’an tidak merumuskan apa itu negara dan
bagaimana bentuk suatu negara, term yang menjelaskan komponen-komponen
15
Ismail Ibnu Katsir ditahqiq oleh Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 1 hal. 516
16
Abdul malik Abdul karim Amrullah. TafsirAl-Azhar jilid 1 hal. 624
17
Ismail Ibnu Katsir ditahqiq oleh Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 1 hal. 515

12
suatu negeri yang aman dan juga pentingnya memiliki cita-cita mulia
membutuhkan akan adanya negara yang baik di bawah ampunan Allah swt.
Pemeliharan terhadap negara yang aman, berkeadilan dan sejahtera merupakan
bagian nilai-nilai nasionalisme religius

Adapun beberapa kewajiban seorang muslim terhadap negaranya diantaranya:

1. Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa

2. Membudayakan Syura (Musyawarah)

3. Mentaati Ulil Amri

4. Memperjuangkan Keadilan (al’Adalah)

5. Menjaga Prinsip Kebebasan

DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M.Quraish, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudu’i atas Pelbagai


Persoalan Umat, Bandung: Mizan 1999.
Ibnu Katsir Ismail ditahqiq oleh Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir. (Jakarta: Pustaka
Imam Asy-Syafi’I, 2003)
Shihab M.Quraish.TafsirAl-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
Abdul malik Abdul karim Amrullah.TafsirAl-Azhar (Jakarta: Pustaka Nasional
PTE LTD Singapura, 1989)
Taimiyyah, Ibnu, As-Siyasah asy-Syar‘iyyah, t.t.t: Dar al-Saib, tt.
Taimiyyah, Ibnu, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyyah, Jilid
XXVIII, Riyadh: Matabi’ Riyad, 1963.
Mawardi, Abu al-Hasan ‘Ali Ibnu Muhammad ibnu Habib al-Basri, al-, al-Ahkam
as-Sultaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t..
Sujarwa, Manusia dan Fenomena Budaya.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Glagah,
1998)

13

Anda mungkin juga menyukai