Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menjadi pedoman bagi masyarakat secara umum tentang
bagaimana cara kita bersikap dan menjunjung tinggi nilai-nilai Agama Islam tentang etika
berbangsa dan bernegara. Hal ini dirasakan cukup penting dengan memperhatikan fenomena
dan banyaknya kasus-kasus yang berkaitan dengan pudarnya pemahaman sekaligus
kesadaran sebagai warga negara yang harus memiliki etika dalam melakukan segala
perbuatan yang bertanggung jawab bagi kebaikan dan kemajuan bangsa. Modernisasi dan
arus globalisasi yang sangat pesat turut menyumbang faktor melemahnya kesadaran
masyarakat dalam menjunjung tinggi-tinggi nilai dan norma-norma yang harus menjadi acuan
dalam bertingkah laku, sehingga kondisi seperti ini harus memerlukan perhatian khusus bagi
kita semua dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan bangsa, terlebih bangsa kita adalah
bangsa yang sangat majemuk di semua lini, baik agama, ras, suku, budaya dan antar
golongan.
Islam adalah satu sistem hidup yang mengatur segala kehidupan dan penghidupan
manusia di dalam perbagai hubungan, maka agama tidak dapat dipisahkan dari
negara, negara tidak dapat dilepaskan dari agama. Karena itu sekulerisasi dalam
politik kenegaraan tidak dikenal dalam Islam, karena tidak sesuai dengan fitrah
Islam sebagai kebulatan ajaran.
2
menerima kewajiban dan tugas. Seperti, jika seseorang diberi kewajiban atau
tugas, maka seseorang tersebut akan melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Berbicara tentang tanggung jawab manusia menurut al-Qur’an,
memperhatikan surat al-Mukminun ayat 115 ditemukan bahwa manusia adalah
makhluk fungsional dan bertanggung jawab atau dengan kata lain penciptaan
manusia bukanlah sebuah kesia-siaan. Tanggung jawab manusia tersebut meliputi
tanggung jawab terhadap Allah Sang Pencipta, diri pribadi, keluaga, masyarakat,
bangsa dan Negara, serta tanggung jawab terhadap alam.
َص ُم ْوا بِ َح ْب ِل هّٰللا ِ َج ِم ْي ًعا َّواَل تَفَ َّرقُ ْو ۖا َو ْاذ ُك ُر ْوا نِ ْع َمتَ هّٰللا ِ َعلَ ْي ُك ْم اِ ْذ ُك ْنتُ ْم اَ ْعد َۤا ًء فَاَلَّفَ بَيْن ِ ََوا ْعت
هّٰللا
ُ ُشفَا ُح ْف َر ٍة ِّمنَ النَّا ِر فَا َ ْنقَ َذ ُك ْم ِّم ْن َه ۗا َك ٰذلِكَ يُبَيِّن َ صبَ ْحتُ ْم بِنِ ْع َمتِ ٖ ٓه اِ ْخ َوانً ۚا َو ُك ْنتُ ْم ع َٰلى ْ َ قُلُ ْوبِ ُك ْم فَا
َلَ ُك ْم ٰا ٰيتِ ٖه لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْهتَد ُْون
Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan
3
karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi
jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. Q.S Ali
'Imran [3]: 103
2
Ismail Ibnu Katsir ditahqiq oleh Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’I, 2003) hal. 104
4
karena takwa ini timbullah kekuatan yang besar dan barulah keadaan dan mulialah
tujuan.3
5
ak mereka ber-musyawarah pada waktu perang Badar mengenai keberangkatan
menghadang pasukan orang-orang kafir. Para Sahabat berkata, "Ya Rasulullah,
jika engkau menyeberangi lautan, niscaya kami akan ikut menyeberanginya
bersamamu. Dan jika engkau menelusuri daratan dalam kegelapan ke Barkil
Ghimad, niscaya kami akan ikut berjalan bersamamu. Kami tidak akan
mengatakan apa yang dikatakan kaum Musa kepadanya, di mana kaumnya itu
berkata, "Pergilah engkau bersama Rabb-mu dan berperanglah, kami akan duduk-
duduk di sini saja." Tetapi kami akan mengatakan kepadamu, "Pergilah, dan kami
akan senantiasa bersamamu, di depan, di kanan dan kirimu untuk ikut
berperang."5
Dalam ayat ini Tuhan menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul,
bahwasanya sikap yang lemah-lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah
dimasukkan oleh Tuhan rahmatNya. Rasa rahmat, belas-kasihan, cinta-kasih itu
telah ditanamkan Tuhan ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang
mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin.
Selanjutnya; "Ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan itu." Dan
inilah dia inti kepemimpinan. Urusan telah beliau tegaskan pembahagiaannya,
yaitu urusan agama dan urusan Dunia. Mana yang mengenai urusan agama, yaitu
lbadat, syariat dan Hukum Dasar, itu, adalah dari Allah. Muhammad memimpin
dan semua wajib tunduk. Tetapi urusan yang berkenaan dengan dunia, misalnya
perang dan damai, menjalankan ekonomi, ternak, bertani dan hubungan-hubungan
biasa antara manusia (Human Relation), hendaklah dimusyawarahkan. Berdasar
kepada pertimbangan maslahat (apa yang lebih baik untuk umum) dan malsadat
(apa yang membahayakan).6
Lalu bagaimana musyawarah itu dilakukan? Nabi saw. biasa melakukan dengan
cara beragam. Kadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk
bidang yang dimusyawarahkan. Pada saat yang lain, kadang beliau juga
melibatkan tokoh-tokoh atau pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada
semua yang terlibat di dalam masyarakat yang dihadapi.7 Dengan kata lain,
5
Ismail Ibnu Katsir ditahqiq oleh Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2 hal. 174
6
Abdul malik Abdul karim Amrullah. TafsirAl-Azhar jilid 2 hal. 965
7
Ibn Taimiyyah, As-Siyasah asy-Syar‘iyyah, h. 135; Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h.81.
6
kadang Nabi menggunakan sistem musyawarah secara langsung dan tidak
langsung (baca: perwakilan)
Sistem musyawarah yang dilakukan oleh Nabi antara lain dimaksudkan untuk:
1) memberikan contoh nilai konsultasi (syura) agar ditiru oleh umat Islam
lainnya;8
2) untuk memperkuat peringatan kepada pemimpin Islam tentang pentingnya
konsultasi.
Yang penting ialah adanya pokok pegangan. Yaitu dalam masyarakat
mesti selalu ada Syura. Masyarakat Islam, berdasarkan kepada yang tengah kita
tafsirkan ini didahului oleh ayat 38 Surat as-Syura itu telah menanamkan dasar
(prinsip), bahwa bermasyarakat dan bernegara wajib bermusyawarat. Demikian
hendaknya sejak dari desa kecil, desa besar, kota ataupun negara, bahkan satu
jamaah kecil pada satu lorong di tengah kota.
8
Ibn Taimiyyah, Majmu‘ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyyah, Jilid XXVIII (Riyad:
Matabi’ Riyad, 1963), h. 386.
9
Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Basri al-Mawardi, Ahkam al-Sultaniyyah
(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 6.
7
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya
kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. Q.S An-
Nisa' [4]: 58
Di dalam ayat ini telah dijelaskan bahwasanya Allah telah memerintahkan
kamu. Dengan kata memerintahkan itu teranglah bahwa mengatur pemerintahan
yang baik dan memilih orang yang cakap adalah kewaiiban, yang dalam ketentuan
hukum Ushul Fiqh dijelaskan, berpahala barangsiapa yang mengerjakannya dan
berdosa barangsiapa yang menganggapnya enteng saja. Dan darisinijuga dapat
difahamkan bahwa bagi seorang Muslim memegang urusan kenegaraan artinya
ialah memegang amanat. Dan urusan bernegara adalah bahagian yang tidak dapat
dipisahkan dari agama. Tidaklah dapat seorang Muslim berlagak masa-bodoh
dalam soal kenegaraan. Di ayat ini diperiniahkan kepada kamu meletakkan
amanat kepada ahlinya. Komu itu adalah orang banyak atau ummat. Maka ummat
itulah yang membentuk pimpinan.10
Firman Allah "Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. " Adalah perintah dari-
Nya untuk menetapkan hukum di antara manusia dengan adil. Untuk itu
Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam dan Syahr bin Hausyab berkata:
"Sesungguhnya ayat ini diturunkan untuk para umara, yaitu para pemutus hukum
di antara manusia."
"Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-sebaiknya
kepadamu." Artinya, Allah perintahkan kalian untuk menunaikan amanah,
menetapkan hukum di antara manusia dengan adil dan hal lainnya, yang
mencakup perintah-perintah dan syari'at-syari'at-Nya yang sempurna, agung dan
lengkap.
Memang, ayat inilah ajaran Islam yang wajib dipegang oleh penguasa-
penguasa, memberikan amanat hendaklah kepada ahlinya. orang yang akan diberi
10
Abdul malik Abdul karim Amrullah. TafsirAl-Azhar jilid 2 hal 1272
8
tanggung jawab dalam suatu tugas, hendaklah yang sanggup dan bisa dipercaya
memegang tugas itu. kemudian datanglah sambungan ayat: "Dan apabila kamu
menghukum di antara manusia, hendaklah kamu hukumkan dengan adil." Inilah
pokok kedua dari pembinaan pemerintahan yang dikehendaki Islam.11
هّٰللا
ُ ال َّرسُوْ َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم فَاِ ْن تَنَازَ ْعتُ ْم فِ ْي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوْ هtٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا َ َواَ ِط ْيعُوا
ك خَ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَْأ ِو ْياًل َ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذلtِ ْاِلَى هّٰللا ِ َوال َّرسُوْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَو
9
terjadi perselisihan di antara kalian, kembalikanlah kepada al-Qur'ân dan sunnah
Rasul-Nya agar kalian mengetahui hukumnya. Karena, Allah telah menurunkan
al-Qur'ân kepada kalian yang telah dijelaskan oleh Rasul-Nya. Di dalamnya
terdapat hukum tentang apa yang kalian perselisihkan. Ini adalah konsekwensi
keimanan kalian kepada Allah dan hari kiamat. Al-Qur'ân itu merupakan kebaikan
bagi kalian, karena, dengan al-Qur'ân itu, kalian dapat berlaku adil dalam
memutuskan perkara-perkara yang kalian perselisihkan. Selain itu, akibat yang
akan kalian terima setelah memutuskan perkara dengan al-Qur'ân, adalah yang
terbaik, karena mencegah perselisihan yang menjurus kepada pertengkaran dan
kesesatan.12
Abu Dawud meriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar bahwa Rasulullah
bersabda: "Dengar dan taat adalah kewajiban seorang muslim, suka atau tidak
suka, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintahkan berbuat maksiat,
maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat." (Di keluarkan pula oleh al-
Bukhari dan Muslim dari hadits Yahya al-Qaththan).13
Ayat ini dengan sendirinya menjelaskan bahwa masyarakat manusia, dan
di sini dikhususkan masyarakat orang yang beriman, mestilah tunduk kepada
peratuan. Ummat beriman disuruh terlebih dahulu taat kepada Allah, sebab
apabila dia berbuat baik, bukanlah semata- mata karena segan kepada manusia,
dan bukan pula karena semata-mata menghutupku keuntungan duniawi.
Undang-undang suatu Negara saja tidaklah menjamin keamanan
masyarakat. Kalau tidak disertai oleh kepercayaan manusia yang bersangkutan
bahwa ada kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaan manusia akan
menghukum jika dia berbuat salah'.
Kemudian itu orang yang beriman diperintahkan pula taat kepada Rasul.
Sebab taat kepada Rasul adalah laniutan dari taat kepada Tuhan. Banyak perintah
Tuhan yang waiib ditaati, tetapi tidak dapat diialankan kalau tidak melihat contoh
teladan. Maka contoh teladan itu hanya ada pada Rasul' Dan dengan taat kepada
Rasul barulah sempurna beragama.
12
M.Quraish Shihab. TafsirAl-Misbah Jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) hal 479
13
Ismail Ibnu Katsir ditahqiq oleh Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2 hal 337
10
Kemudian diikuti oleh taat kepada ulil-Amri-minkum, orang-orang yang
menguasai pekerjaan, tegasnya orang-orang berkuasa di antara kamu, atas dari
pada kamu. Minkum mempunyai dua arti. Pertama di antara kamu, kedua kamu.
Maksudnya, yaitu mereka yang berkuasa itu adalah daripada kamu juga, naik atau
terpilih atau kamu akui kekuasaannya' sebagai satu kenyataan.14
14
Abdul malik Abdul karim Amrullah. TafsirAl-Azhar jilid 2 hal 1277
11
dan pandangannya, maka tidak akan ada manfaat baginya paksaan dan tekanan
untuk memeluk Islam15.
Sungguh-sungguh ayat ini suatu tantangan kepada manusia, karena Islam
adalah benar. Orang tidak akan dipaksa memeluknya, tetapi orang hanya diajak
buat berfikir. Asaldia berfikir sihat, dia pastiakan sampai kepada Islam. Tetapi
kalau ada paksaan, mestilah timbul taqlid. Manusia sebagai orang seorang akan
datang dan akan pergi, akan lahir dan akan mati. Tetapi fikiran manusia akan
berjalan terus. Penilaian manusia atas agama akan dilanjutkan dan kebebasan
berfikir dalam memilih keyakinan adalah meniadi tujuan dari manusia yang telah
maju.16
Para ulama menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah berkenaan
dengan beberapa orang kaum Anshar, meskipun hukumnya berlaku umum. Ibnu
Jarir meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, ada seorang wanita yang
sulit mempunyai anak, berjanji kepada dirinya, jika putranya hidup, maka ia akan
menjadikannya Yahudi. Dan ketika Bani Nadhir diusir, dan di antara mereka
terdapat anak-anak kaum Anshar, maka mereka berkata, "Kami tidak mendakwahi
anak-anak kami." Maka Allah menurunkan ayat, "Tidak ada paksaan untuk
{memasukij agama {Islam). Sesungguhnya telah jelis jalan yang benar dari jalan
yang sesat. "Demikian hadits yang diriwayatkan Imam Nasa'i secara keseluruhan.
Juga diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya.17
D. Kesimpulan
12
suatu negeri yang aman dan juga pentingnya memiliki cita-cita mulia
membutuhkan akan adanya negara yang baik di bawah ampunan Allah swt.
Pemeliharan terhadap negara yang aman, berkeadilan dan sejahtera merupakan
bagian nilai-nilai nasionalisme religius
DAFTAR PUSTAKA
13