Anda di halaman 1dari 4

Khairu Ummah, Masyarakat Madani Perspektif Qur’ani

Sep 15, 2014 adrian effendi ISLAMIYAH, Tafsir 0

Oleh Dr H Atabik Luthfi MA

Ketua Prodi Syariah Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon

“Dan hendaklah ada diantara kalian sekelompok umat yang senantiasa menyeru kepada
kebaikan, memerintah yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (Ali `Imran: 104)

Ayat ini memiliki korelasi yang kuat dengan ayat berikutnya, yaitu Ali Imran: 110, baik secara
lafaz maupun makna. Keduanya mengisyaratkan nilai yang harus dibangun untuk menghadirkan
masyarakat  berkualitas khairu ummah (umat terbaik), atau seperti yang dibahasakan oleh Ibnu
Asyur dalam kitab tafsirnya, At-Tahrir wat Tanwir, sebagai Afdhalul Umam (umat paling
unggul). Perbedaannya, redaksi yang digunakan di ayat 104 dalam bentuk instruksi Ilahi,
sedangkan ayat 110 dalam bentuk deklarasi Ilahi, bahwa masyarakat yang terdiri dari individu
yang beriman adalah masyarakat ideal yang layak dijadikan contoh:

“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk umat manusia. Kalian senantiasa
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
(Ali Imran: 110)

Redaksi kedua ayat kunci tentang masyarakat atau ummat terbaik, baik dalam bentuk deklarasi
maupun instruksi di atas menggunakan bentuk jama’. Ini berarti hadirnya masyarakat ideal
membutuhkan semangat kebersamaan dalam ikatan loyalitas berdasarkan iman. Karenanya,
Allah SWT menyebut hubungan diantara orang-orang yang beriman adalah hubungan yang
bersifat wala (At-Taubah: 71) untuk membedakan ikatan hubungan semu diantara orang-orang
munafik yang dinyatakan pada ayat sebelumnya (At-Taubah: 67).

Karakteristik masyarakat madani Qur’ani

Demikian juga, karakteristik yang disebutkan oleh kedua ayat di atas adalah sama, yaitu amar
ma’ruf dan nahi munkar. Karakteristik ini mirip jawaban Rasulullah saw ketika ditanya siapakah
manusia yang terbaik itu? Rasul menjawab:

 “Yang paling sering melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta yang paling bertakwa
kepada Allah dan menyambung tali silaturahim.” (HR Thabrani)

Instruksi Ilahi dalam ayat 110 ini, menurut Ibnu Asyur, berketetapan hukum wajib bagi setiap
generasi agar menghadirkan nilai-nilai kebaikan sebagai identitas masyarakat terbaik. Karenanya
instruksi ini bersifat kolektif. Seluruh komponen umat harus bahu membahu berusaha
menjalankan tiga instruksi tersebut agar memenuhi syarat deklarasi Allah SWT sebagai khairu
ummah, umat ideal yang dihadirkan di muka bumi ini. Deklarasi Ilahi tentang kebaikan umat ini
diperkuat dengan hadits Rasulullah SAW:

“Kalian akan menjumpai tujuh puluh umat. Kalianlah yang paling baik dan paling mulia di sisi
Allah.” (H.R. Tirmidzi)

Di sini, label masyarakat madani sebagai tipikal dari masyarakat ideal merujuk kepada tatanan
nilai dan moral. Tatanan ini berlaku dalam bangunan komunikasi dan interaksi di antara seluruh
anggota masyarakatnya, juga pada sifat-sifat yang menghiasi keseharian masyarakat tersebut,
bukan pada tataran fisik material sebagaimana yang sering ditonjolkan oleh masyarakat barat
yang hedonis. Sehingga, Al-Qur’an hanya menggariskan beberapa acuan nilai yang menjadikan
sebuah masyarakat itu masyarakat ideal, masyarakat madani dengan tetap mempertahankan nilai-
nilai kebaikan dalam segala bentuknya dan berusaha menepis keburukan dalam segala
bentuknya.

Dr Sayyid Muhammad Nuh dalam karyanya, Taujihat Nabawiyyah `ala Thariq, memberi catatan
tentang nilai yang diisyaratkan oleh ayat di atas. Menurutnya, pengertian amar ma’ruf adalah
mengajak dan memberi motivasi kepada setiap individu dalam masyarakat untuk melaksanakan
kebaikan dalam seluruh dimensi dan bentuknya, menyiapkan sebab-sebab dan sarana-sarananya
dalam bentuk mengokohkan pilar-pilarnya, serta menjadikannya karakteristik umum bagi seluruh
kehidupan. Sedangkan nahi munkar tercermin dalam bentuk mengingatkan, menjauhkan dan
menghalangi siapa pun dari melakukan kemunkaran, memutuskan sebab-sebab dan sarana-
sarananya sampai ke akarnya, serta membersihkan kehidupan dari segala bentuk kemunkaran,
sehingga lahirlah kemuliaan dan kedamaian hidup. Dan, itulah orang-orang yang akan mendapat
keberuntungan (Al-Muflihun).
 

Pilar-pilar masyarakat madani

Dalam perjalanannya, sebuah masyarakat madani akan tetap kokoh apabila ditopang oleh tiga
fondasi utama: yaitu keadilan, sikap ihsan dan kepedulian kepada orang lain. Hal ini seperti yang
Allah sebutkan dalam surah An-Nahl ayat 90: “Sesungguhnya Allah menyuruh berbuat adil, 
berbuat ihsan, serta memberi bantuan kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji,
kemunkaran dan permusuhan.”

Karenanya, ayat ini, dalam pandangan sahabat Abdullah bin Mas’ud RA, merupakan ayat yang
paling komprehensif dalam Al-Qur’an, yang berbicara tentang kebaikan-kebaikan yang
diperintahkan dan keburukan-keburukan yang dicegah.

Sayyid Quthb, dalam tafsir fi Zhilalil Qur’an, memaparkan pemahamannya dengan pendekatan
corak ijtima’i yang menjadi ciri khas tafsirnya, bahwa di ayat inilah Al-Qur’an datang dengan
mabadi’ (prinsip-prinsip) yang akan menguatkan simpul-simpul yang terjalin di dalam sebuah
masyarakat. Allah SWT mengawalinya dengan prinsip al-`Adl, yang seharusnya menjadi acuan
utama dalam pergaulan sehari-hari. Terlebih lagi, prinsip al-`Adl di dalam ayat ini disandingkan
dengan al-Ihsan untuk melembutkan ketajaman keadilan yang solid. Karena kata al-Ihsan
memang lebih luas pengertiannya, yakni mencakup seluruh sendi-sendi kehidupan dari hubungan
seorang hamba dengan Rabbnya, dengan keluarganya, masyarakatnya, dan dengan manusia pada
skala yang lebih luas.

Betapa prinsip keadilan, sikap ihsan dan semangat takaful dalam struktur masyarakat dewasa ini
semakin rapuh dan kehilangan tempat di hati masyarakat. Padahal tiga kekuatan penghancur
yang tampil dalam bentuk tindakan keji, kemunkaran dan permusuhan justru semakin eksis dan
kuat. Malah tiga kekuatan destruktif ini muncul serentak dalam beragam bentuk dan kemasannya
yang menjadi ganjalan dan duri dalam tubuh umat Islam yang mendambakan hadirnya suasana
‘madani’ dalam masyarakat.

Prinsip keadilan atau kesetaraan merupakan nadi dari masyarakat madani yang dibangun oleh
Rasulullah SAW, sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah, yang mengatur hubungan antar
komponen masyarakat. Keadilan yang dibangun oleh Rasulullah adalah keadilan yang mencakup
semua aspek kehidupan: politik, sosial, ekonomi dan hokum, dengan pernyataannya yang tegas:
“Tidak ada keutamaan bangsa Arab atas bangsa ‘Ajam, melainkan dengan taqwa.”

Jaminan Allah SWT bagi masyarakat yang berhasil menghadirkan dan mempertahankan
karakteristik madani dalam tatanan kehidupannya adalah keberkahan dan kedamaian serta
rahmat dan ampunan Allah SWT seperti yang pernah Allah anugerahkan kepada penduduk
negeri Saba’ dalam firmanNya:

“Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu
dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): ‘Makanlah
olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.
(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun.”
(Saba: 15).

Saatnya setiap individu muslim berusaha mengaplikasikan instruksi Ilahi agar menjadi khairu
ummah yang dapat menjadi teladan dan contoh bagi masyarakat lain. Karena, jaminan Allah
SWT di dalam Al-Qur’an sifatnya adalah jaminan yang bersyarat, seperti ungkapan ‘syarat dan
ketentuan berlaku.’

Anda mungkin juga menyukai