Anda di halaman 1dari 7

BAB IX

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

A. Pengertian dan Tujuan


Kerukunan terambil dari kata rukun yang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
diartikan sebagai perihal keadaan hidup rukun atau perkumpulan yang berdasarkan tolong
menolong dan persahabatan (WJS. Poerwadarmita, 1980, 106). Penjelasan lain, rukun
diartikan (Imam Syaukani, 2008):
1. Rukun (nominal), berarti sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya pekerjaan, seperti
tidak sahnya manusia dalam sembahyang yang tidak cukup syarat, dan rukunnya asas,
yang berarti dasar atau sendi: semua terlaksana dengan baik tidak menyimpang dari
rukunnya agama.
2. Rukun (ajektif) berarti: Baik dan damai tidak bertentangan: hendaknya kita hidup
rukun dengan dengan tetangga, bersatu hati, sepakat. Merukunkan berarti pertama
mendamaikan, kedua menjadikan bersatu hati. Kerukunan: pertama perihal hidup
rukun; kedua rasa rukun; kesepakatan: kerukunan hidup Bersama.

Selanjutnya secara terminology kerukunan itu sendiri masih dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, diartikan sebagai sikap atau sifat menenggang berupa menghargai serta
membolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainya yang
berbeda dengan pendirian (WJS. Poerwadarmita, 1980).
Lebih dari itu, pada Pasal 1 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006/Nomor : 8 Tahun 2006, dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat
beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RepublikTahun 1945.
Lebih lanjut, tujuan kerukunan umat beragama adalah untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak umat beragama agar dapat berkembang, berinteraksi, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya kerukunan
umat beragama yang berkualitas dan berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan UUD 1945
pasal 29 ayat (2) yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”
Secara rinci, bisa dijelaskan bahwa tujuan dari kerukunan umat beragama
diantaranya ialah:
1. Untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan keberagamaan masing- masing
pemeluk agama (Hamid, 2004).
2. Untuk mewujudkan stabilitas nasional yang mantap.
3. Menunjang dan mensukseskan pembangunan.
4. Memelihara dan mempererat rasa persaudaraan (Hadi, 2005).

B. . Pokok-pokok Ajaran Islam tentang Kerukunan Hidup Beragama


Kerukunan dalam Islam dikenal dengan istilah ukhuwah. Ukhuwah merupakan
istilah Arab yang berasal dari kata dasar “Akhu” yang berarti saudara, teman, sahabat,
kata “Ukhuwah” sebagai kata jadian dan mempunyai pengertian atau menjadi kata benda
abstrak persaudaraan, persahabatan, dan dapat pula berarti pergaulan.
Ukhuwah yang berarti persaudaraan, maksudnya perasaan simpati dan empati
antara dua orang atau lebih. Setidaknya Islam mengenalkan lima dimensi ukhuwah: (1)
persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah), (2) persaudaraan nasab dan
perkawinan/semenda (ukhuwah nasabiyah shihriyah), (3) persaudaraan suku dan bangsa
(ukhuwah sya’biyah wathaniyah), (4) persaudaraan sesama pemeluk agama (ukhuwah
diniyah), (5) persaudaraan seiman-seagama (ukhuwah islamiyah/ imaniyah).
Lebih jauh, Islam adalah aturan yang unik, individualnya terkait langsung dengan
sosial dan sebaliknya dengan satu aturan, maka tujuan-tujuan individu-individu yang
terdapat dalam persaudaraan Islam bersifat satu, dan aturannya adalah aturan yang satu.
Perbedaan antar individu dalam status sosial, letak geografis, ras maupun ilmu
pengetahuan tidak menjadi halangan bagi terwujudnya ukhuwah islamiyah ini. Islam
justru memandangnya sebagai modal besar bagi perwujudan ukhuwah itu sendiri.
Dengan menjadikan fenomena alam sebagai ibrah yang menunjukkan perubahan
siang dan malam, peredaran galaksi dan keseimbangan yang maujud dialam sekitar
merupakan ibrah peraturan dan hukum yang mengagumkan. Benda-benda yang tak
memiliki ikhtiar tersebut teratur oleh satu aturan bekerja secara naturalis, atau yang
dikenal dengan sunatullah. Hal itu juga merupakan kehendak takwini Allah terhadap alam
dan pada diri-diri hamba-Nya yang juga kehendak tasyri’iy. Dengan demikian manusia
melalui ikhtiarnya dapat menyelaraskan dirinya dengan unsur-unsur fitrah ini dan
membentuk persaudaraan di tengah mereka.
Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, surat Al-Hujurat (49) ayat 11-12
berikut ini: “Hai orang-orang beriman! Janganlah ada suatu golongan memperolok
golongan yang lain; boleh jadi yang diperolok lebih baik daripada yang memperolok.
Juga jangan ada perempuan menertawakan perempuan yang lain; boleh jadi yang
diperolok lebih baik daripada yang memperolok. Janganlah kamu saling mencela dan
memberi nama ejekan. Sungguh jahat nama yang buruk itu setelah kamu beriman. Barang
siapa tidak bertobat, orang itulah yang zalim. Hai orang-orang beriman! Jauhilah
prasangka sebanyak mungkin; karena sebagian prasangka adalah dosa. Dan janganlah
saling memata-matai, jangan saling menggunjing. Adakah di antara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tidak, kamu akan merasa jijik.
Bertakwalah kepada Allah. Allah selalu menerima tobat, dan Maha Pengasih.”
Ukhuwah Islamiyah berorientasi pada maslahat keagamaan bersama dengan
tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa (QS Al-Maidah/5:2); saling ingat-
mengingatkan (QS Al-‘Ashr/103:3); musyawarah (QS Asy-Syura/42:38); sikap proaktif
(QS Ali Imran/3:104, QS An-Nisa`/4:85); toleransi (QS Al-Hujurat/49:11), dan
keteladanan (QS An-Nisa’/4:85). Normativitas ukhuwah imaniyah tidak menafikan
historisitas perselisihan intern umat Mukmin. Maka setiap Mukmin bertanggung jawab
mewujudkan persaudaraan seiman dan seagama tersebut.
Lebih dari itu, berikut merupakan beberapa contoh sikap yang harus
dikembangkan antara sesama muslim: Bermusyawarah dan memilih orang yang bertakwa
dan berakhlaq karimah sebagai pemimpin; Tolong-menolong dalam kebajikan dan
ketakwaan; Bersikap sopan dan lemah lembut; Menjalin hubungan sillaturrahmi dan
melakukan rekonsiliasi (perdamaian); Menghormati ulama shaleh/ahli ilmu; Dilarang
mencela diri sendiri dan meremehkan sesama mukmin; Dilarang menggunjing kepada
sesama manusia; Dilarang memanggil dengan panggilan yang tidak baik/ “paraban/
wadanan” yang dapat merendahkan martabat orang yang bersangkutan; Hormat kepada
orang tua dan sayang pada orang yang lebih muda; Berbuat kebaikan kepada kaum
kerabat yang dekat dan jauh; Berbuat kebaikan kepada tetangga dekat dan tetangga yang
jauh; Menolong orang fakir miskin, ibnu sabil, dan anak yatim; Menghormati/ mengasihi
mualaf (orang yang baru masuk Islam); Semangat berqurban untuk kepentingan
ukhuwah; dan mendoakan dan memohonkan ampunan kepada Allah untuk kaum
mukminin.
Adapun mengenai ukhuwah insaniyah, atau dikenal sebagai konsep persaudaraan
sesama manusia dilandasi ajaran, bahwa semua umat manusia adalah makhluk Tuhan.
Walaupun Allah SWT telah memberikan petunjuk jalan yang benar melalui agama Islam,
tetapi Allah juga memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalan
hidupnya, disitulah kita dapati keadilan Allah SWT. Allah menegaskan dalam Surat Al-
Hujuraat (49) ayat 13 tentang persaudaran yang tidak hanya tertuju pada sesama muslim
melainkan juga kepada sesama warga masyarakat yang non muslim:

‫وًب اوقاباائِ ال‬‫ع‬‫ش‬ُ ‫م‬ ‫ك‬


ُ
‫ا ا اا ْ ُ ا‬ ‫ا‬‫ا‬‫ن‬ ‫ل‬
ْ ‫ع‬‫ج‬ ‫و‬ ‫ى‬ ‫ث‬
‫ا‬ ‫ُن‬
ْ ‫أ‬
‫و‬ ‫ر‬ٍ ‫ك‬‫ا‬ ‫ذ‬
‫ا‬ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫َي أايُّها النَّاس إِ ََّّن خلا ْقناا ُكم‬
ْ ْ ‫ُ ا‬ ‫ا ا‬
‫اَّللا اعلِ ٌيم اخبِ ٌي‬ َّ ‫لِتا اع اارفُوا إِ َّن أا ْكارام ُك ْم ِعْن اد‬
َّ ‫اَّللِ أاتْ اقا ُك ْم إِ َّن‬
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.”

Selanjutnya Islam menyerukan seluruh manusia memiliki tanggung jawab yang


sama untuk menciptakan keharmonisan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Masing-
masing elemen masyarakat berkewajiban untuk melaksanakan peran sosial sesuai dengan
bidang tugas dan kemampuannya. Kontribusi yang ditekankan oleh Islam adalah berbuat
dan mengajak kepada kebaikan serta mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh
kerakusan, ketamakan dan ulah tangan manusia-manusia yang jahil (Q.S: al- Qashash
(28) ayat 77): “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenimatan) dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Prinsip agar saling tolong menolong dengan sesama manusia memberikan makna
universalisme nilai-nilai kebaikan yang diinginkan oleh setiap manusia. Nilai-nilai
tersebut didalam Al-Qur’an diformulasikan dalam “amar ma’ruf nahi munkar”.
Menyikapi kebersamaan umat beragama dalam kehidupan sosial, Islam melalui
Al-Qur’an menganjurkan umat Islam mengajak kepada komunitas umat beragam lainnya
untuk mencari suatu pandangan yang sama (kalimatun sawa), sebagaimana yang
ditegaskan dalam surat Ali Imran (3) : 64 :
‫اب تا اعالا ْوا إِ اَل اكلِ ام ٍة اس او ٍاء باْي نا ناا اوباْي نا ُك ْم أاال نا ْعبُ اد إِال‬ ِ ‫قُل َي أ ْاهل الْ ِكتا‬
‫ْا ا‬
ِ‫اَّلل‬
َّ ‫ون‬ ِ ‫ضا أارًبًب ِمن د‬ ِ ‫اَّلل وال نُ ْش ِراك بِِه اشي ئاا وال ي ت‬
ُ ْ ‫ضناا با ْع ا ْ ا ا‬ ُ ‫َّخ اذ با ْع‬ ‫ْ ا ا‬ ‫َّا ا‬
‫فاِإ ْن تا اولَّْوا فا ُقولُوا ا ْش اه ُدوا ِِبا ََّّن ُم ْسلِ ُمو ان‬
Artinya: “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa
tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang
lain sebagai Ilah selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah
kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah).”

Selain itu, prinsip larangan mencaci maki simbol agama lain juga dikedepankan
dalam Islam terkait kerukunan beragama. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an QS. Al-An’am
(6): 108:

َّ ‫اَّللِ فايا ُسبُّوا‬


‫اَّللا اع ْد اوا بِغا ِْي ِع ْل ٍم‬ َّ ‫ون‬ِ ‫وال تاسبُّوا الَّ ِذين ي ْدعو ان ِمن د‬
ُ ْ ُ ‫ا ا‬ ُ ‫ا‬
‫ك ازيَّنَّا لِ ُك ِِّل أ َُّم ٍة اع املا ُه ْم ُُثَّ إِ اَل ارِِِّبِ ْم ام ْرِجعُ ُه ْم فايُنابِِّئُ ُه ْم ِِباا اكانُوا‬ ِ
‫اك اذل ا‬
‫يا ْع املُو ان‬
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap
umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan.”

C. Kerukunan Beragama di Indonesia


Kerukunan antar agama merupakan salah satu pilar utama dalam memelihara
persatuan bangsa dan kedaulatan negara Republik Indonesia. Dan dalam konteks
masyarakat Indonesia, peranan umat Islam untuk mewujudkan kerukunan beragama
sangat menentukan dimana umat Islam adalah mayoritas. Keadaan masyarakat Indonesia
sangat bergantung pada konstribusi yang diberikan oleh umat Islam. Selanjutnya,
sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa agar seluruh umat beragama tetap dalam
kondisi rukun telah dinyatakan bahwa pilar-pilar itu terdapat dalam Dasar Negara NKRI
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang sebagian substansinya adalah negara
memberikan jaminan untuk melindungi umat beragama bagis seluruh masyarakat.
Konstitusi Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal
29 telah memberikan jaminan dalam melaksanakan kebebasan berkeyakinan dan
beragama. Pasal 29 ayat 1 menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa. Sedangkan ayat 2 berbunyi, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama
dan kepercayaanya.
Jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia ditegaskan dalam
pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Kedua ayat itu menyatakan
bahwa, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya." Bahwa,"
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap
sesuai dengan hati nuraninya." Jaminan ini diperkuat lagi dalam pasal 29 ayat (2) UUD
1945, yang menyebutkan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu."
Di samping itu, dalam Pasal 281 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan
bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah bagian dari "hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun," oleh sebab itu dalam ayat (2) Pasal
281 juga ditegaskan bahwa, "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif."
Lebih dari itu, melihat sejarah dan keadaan kerukunan beragama saat ini di Indonesia,
maka dalam beberapa waktu kerukunan umat beragama di Indonesia dapat berjalan
dengan baik dan bahkan bisa dibanggakan. Tidak sedikit pengamat dari negara lain
kagum akan hal ini. Sebagai contoh survey kondisi kerukunan umat beragama di
Indonesia oleh Kementerian Agama Republik Indinesia pada tahun 2020 menunjukkan
Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) angka rata-rata nasional pada 67,46 dengan
kategori tinggi Policy paper (naskah kebijakan) ini secara khusus memuat analisis terhadap
survei Kerukunan Umat Beragama (KUB). Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) adalah
survei nasional yang mengukur tingkat kerukunan umat masyarakat dalam beragama di
Indonesia. Tiga dimensi Indeks KUB mencakup toleransi, kesetaraan, dan kerjasama. (Haris
Burhani, 2020).
Untuk itulah, agar bisa menjamin tiap-tiap penduduk dalam memeluk agama dan
menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya itu, maka umat beragama
memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan kehidupan agama yang rukun, selaras,
serasi, dan harmonis. Oleh karena itu di Indonesia perlu dilakukan penyelenggaraan
kerukunan umat beragama yang dilandasi sikap toleran dan tanpa diskriminasi.

Anda mungkin juga menyukai